Dalam
interaksinya dengan dunia dan lingkungan sosial sekitarnya, manusia membutuhkan
pengetahuan. Kebutuhan hidup manusia dapat juga dikatakan sebagai suatu faktor
yang mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan manusia. Memperoleh
pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup merupakan suatu bagian integral
dari cara berada manusia. Dalam pengertian ini, kegiatan mengetahui merupakan
bagian hakiki dari cara berada manusia (knowing is a mode of being).[1]
Kajian
tentang sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran merupakan lingkup bahasan
epistemologi. Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan
mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Kajian
epistemologi ini juga berusaha mengkaji secara kritis pengandaian-pengandaian
dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta
mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan
objektivitasnya. Pertanyaan besar yang mesti dijawab dalam bahasan epistemologi
ini adalah, "Bagaimana pengetahuan diperoleh dan diuji
kebenarannya?".
Dalam
makalah sederhana ini, penulis mencoba memaparkan sekilas tentang apa hakikat
pengatahuan itu? Apa saja yang menjadi sumber pengetahuan? Dan bagaimana
argumentasi yang diajukan oleh beberapa aliran pemikiran tantang sumber
pengetahuan? Selanjutnya, penulis melangkah ke pembahasan berikutnya dengan
mengetengahkan beberapa pokok bahasan seperti apa hakikat kebenaran? Dan
bagaimana kriteria kebenaran berikut argumentasi yang terdapat dalam
teori-teori kebenaran?
B. Pengetahuan
dan Sumbernya
Bagi
filsafat Yunani kuno, pengetahuan (episteme) berbeda dengan opini (doxa).
Pengetahuan bentuk tertinggi adalah kebijaksanaan (sophia) yang
merupakan pengetahuan tentang keseluruhan (menurut Plato) dan pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pertama atau sebab-sebab pertama segala sesuatu (bagi
Aristoteles).[2]
Pengetahuan pada dasarnya merupakan keadaan mental (mental state).
Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek; dengan kata
lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Secara
semantik, pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu.[3] Hasil
pekerjaan tahu itu adalah hasil dari: kenal, sadar, insaf, mengerti, dan
pandai. Ringkasnya, semua milik atau isi pikiran adalah pengetahuan.
Dalam
artikulasi lain disebutkan bahwa pengetahuan merupakan suatu sistem gagasan
yang bersesuaian dengan sistem benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan.[4] Dari
definisi ini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang mesti
dipenuhi dalam pengetahuan, yaitu: Satu, adanya suatu sistem gagasan
dalam pikiran. Dua, gagasan tersebut sesuai dengan benda-benda yang
sebenarnya ada. Tiga, adanya suatu keyakinan tentang adanya persesuaian
tersebut.
Jika
salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada, maka pengetahuan tidak mungkin
mewujud. Artinya, meskipun ada gagasan dan ada benda-benda yang
sesuai dengan gagasan tersebut, namun tidak ada keyakinan tentang
persesuaian tersebut, maka pengetahuan tidak akan terjadi. Demikian halnya jika
ada gagasan, ada keyakinan tentang persesuaian antara gagasan dan benda, tetapi
benda tersebut tidak ada, maka pengetahuan juga tidak akan terjadi.[5]
Selanjutnya,
Sidi Gazalba mengklasifikasikan pengetahuan tersebut ke dalam tiga kategori,
yaitu: pengetahuan indra (knowledge), pengetahuan ilmu (science),[6]dan
pengetahuan filsafat.[7] Pertama,
pengetahuan indra yaitu melihat, mendengar, merasa, mencium segala sesuatu.
Pengalaman indra ini melalui proses pemikiran langsung menjadikannya sebagai
sebuah pengetahuan. Kedua, pengetahuan ilmu yaitu berfikir secara
sistematis, radikal dan disertai dengan riset dan eksperimen. Hasil berfikir
dan berbuat dengan metode ini juga membentuk pengetahuan. Ketiga, pengetahuan
filsafat, yaitu memikirkan segala sesuatu secara sistematis, radikal dan
universal. Sistem berfikir ini juga membentuk pengetahuan.[8] Pada
intinya, kategorisasi pengetahuan tersebut bukanlah sebuah pemisah (gap) jika
mengkaji tentang sumber pengetahuan. Ketiga kategori pengetahuan tersebut akan
menemukan titik temu dalam pembahasan sumber pengetahuan.
Dari
uraian di atas, sebuah pertanyaan akan mengemuka, yaitu: Dari mana pengetahuan
itu diperoleh? Untuk menjawabnya, setidaknya dalam sejarah filsafat disebutkan
bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari tiga jalan, yakni:
1. Pengetahuan
yang diperoleh dari pengamatan langsung.
2. Pengetahuan
yang diperoleh dari suatu konklusi.
3. Pengetahuan
yang diperoleh dari kesaksian dan autoritas.[9]
Adapun
uraian sumber pengetahuan sebagai berikut ;
1. Pengetahuan Langsung
Pengetahuan langsung dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: persepsi-ekstern
dan persepsi-intern. Pada persepsi-eksterm, secara langsung
kita dapat mengetahui adanya sesuatu benda dalam dunia luar dengan melalui
alat-alat indra seperti telinga, hidung, mata, dan sebagainya. Pada persepsi-intern,
yang disebut sebagai introspeksi, secara langsung kita dapat mengetahui
keadaan dalam diri kita sendiri, seperti kesenangan dan kesedihan.
Berkenaan dengan hal ini, Alexis Carrel (1987) –sebagaimana
dikutip Watloly- menyetujui kebenaran
pendapat yang menunjukkan bahwa pengetahuan indrawi yang dimiliki manusia
diperoleh melalui kemampuan indranya, namun selalu bersifat relasional.[10]
Menurutnya, kemampuan itu diperoleh manusia sebagai mahluk biotik, namun tidak
semata sebagai mahluk biotik, sebab mahluk biotik lainnya seperti pohon atau
bunga tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal
konkret-material dalam ketunggalannya, entah nyata atau semu. Pengetahuan
indrawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang
satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi ini berhubungan dengan sifat khas
fisiologi indra dan ciri objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya.
Masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk
yang menjadi objeknya, seperti bunyi, cerah, atau bentuk dengan keras-lunaknya,
rasa, atau bau, dan sebagainya. Dengan demikian, pengetahuan indrawi menjadi
berbeda-beda menurut perbedaan indra dan terbatas pada sensibilitas organ-organ
indra tertentu.
Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah 'kesimpulan
sementara' bahwa secara epistemologis betapapun objektifnya pengetahuan indrawi
tersebut, jelas bahwa ia hanya ditangkap oleh satu indra saja. Oleh karena itu,
ia tidak dapat dipandang sebagai pengetahuan yang utuh.[11] Dengan
kata lain, jenis pengetahuan indrawi ini belum mempunyai dasar objektif yang
kokoh. Meskipun demikian, pengetahuan indrawi ini sangatlah penting karena
dapat bertindak sebagai pintu gerbang pertama untuk menuju pengetahuan yang
lebih utuh.
2. Pengetahuan
Konklusi
Dalam menarik suatu konklusi atau suatu pemikiran, kita
dapat mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui dengan pertolongan materi atau
data yang ada. Materi atau data yang ada itu kita peroleh dari pengetahuan
langsung. Jenis pengetahuan ini sering juga disebut sebagai pengetahuan
inferensial.[12]
3. Pengetahuan Kesaksian dan Autoriti
Kesaksian berarti keterangan yang diperoleh dari seseorang
yang dapat dipercaya. Oleh karena lapangan untuk memperluas pengetahuan manusia
melalui pengetahuan langsung sangat terbatas, sedangkan kebutuhan sehari-hari
menghendaki perluasan pengetahuan yang dapat dicapai oleh tiap-tiap individu,
maka orang mencari cara lain untuk mendapatkan pengetahuan itu dan ke luar dari
batas-batas pengetahuan langsung.
Sedangkan autoriti menghendaki kekuatan untuk mempengaruhi
pendapat dan menanamkan kepercayaan. Kekuatan ini dapat dimiliki oleh individu,
benda atau lembaga. Sebelum diterima, pengetahuan yang diperoleh dengan
autoriti harus diuji dahulu dengan hati-hati sekali karena hal yang seperti ini
dengan mudah dapat menyesatkan kita disebabkan oleh pengaruh perasaan kita
terhadap lembaga, benda atau individu tersebut.[13]
Ketika mengkaji hakikat
pengetahuan, akan menemukan dua teori, yaitu: realisme dan idealisme,[14] maka
dalam pembahasan tentang cara memperoleh pengetahuan atau sumber pengetahuan
didapati tiga macam teori, yaitu; rasionalisme, empirisme, dan
iluminasionisme.
Adapun
penjelasan tentang sumber pengetahuan sebagai berukut ;
1. Rasionalisme
Rasionalisme menempati posisi penting dalam teori pengetahuan.
Istilah ini biasanya dihubungkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah seperti Rene Descartes
(1596-1650), Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), Baruch de Spinoza
(1632-1677) dan Christian Wolff (1679-1754).[15]
Rasionalisme ialah paham yang beranggapan bahwa akal itulah
sebagai alat pencari dan pengukur pengetahuan.[16]
Artinya, pengetahuan dicari dengan akal dan temuannya juga diukur dengan akal.
Dalam hal ini, akal berhajat pada bantuan pancaindra untuk memperoleh data dari
alam nyata, namun hanya akal yang menghubungkan data tersebut satu sama lain
yang pada gilirannya melahirkan apa yang dinamakan pengetahuan itu. Dalam
penyusunan ini, akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide
universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat
universal.[17]
Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari
benda-benda konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi.
Penganut teori ini memakai metode deduktif[18] dalam
menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari
ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka
bukanlah ciptaan pikiran manusia. Ide ini sendiri sudah ada jauh sebelum
manusia berusaha memikirkannya.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa diperoleh
dengan akalbudi semata.[19] Dalam
konteks ini, pikiran manusia hanya berfungsi untuk mengenali prinsip yang telah
ada sebelum manusia memikirkannya tersebut yang kemudian berubah menjadi
pengetahuannya. Prinsip tersebut bersifat apriori dan dapat diketahui oleh
manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan
prinsip, tetapi justeru sebaliknya; hanya dengan mengetahui prinsip yang
didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti
kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara ringkas, Jujun
S. Suriasumantri membahasakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat
apriori dan pra-pengalaman yang diperoleh manusia lewat penalaran rasional.[20]
Adapun kesulitan yang ditemui dalam teori ini adalah karena
tidak semua data yang ada dalam alam dapat dikumpulkan. Alam terlalu besar,
sedangkan masa berjalan terus. Yang dapat dikumpulkan hanyalah sebagian dari
data dan itu pun data yang telah terjadi; dengan kata lain, data yang belum
terjadi tidak dapat dibuat bahan observasi. Dengan demikian, pengetahuan yang
diperoleh bukanlah pengetahuan yang lengkap, tetapi pengetahuan yang belum
sempurna. Berdasarkan ini, sebagian filosof bersikap skeptis atau ragu bahwa
kebenaran yang sebenarnya bisa dicapai oleh manusia.[21]
2. Empirisme
Empirisme merupakan paham filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan yang sahih harus bersumber dari pengalaman (empiria). Dengan
pendirian dasar seperti itu, pandangan mereka disebut empirisme.[22] Paham
ini menyalahkan serba-budi. Pasalnya, prinsip-prinsip rasional sebagai pangkal
tolak serba-budi sesungguhnya dijabarkan dari pengalaman konkret juga.[23] Akan
tetapi, ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak karena dapat
dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisme, atau
rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.[24]
Sikap empiris semacam ini cukup menggejala di Inggris, sehingga
seringkali tradisi Anglo-Saxon disamakan dengan tradisi empiris.
Sebetulnya, dalam pemikiran Francis Bacon di akhir Renaisans, pemikiran
empirisme ini telah muncul, yaitu ketika dia menjelaskan metode induksinya.[25] Hanya
saja, baru dalam filsafat Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704),
George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776) pengalaman baik berupa
indrawi maupun batiniah menjadi pokok refleksi utama.[26] Atas
dasar itulah, para filosof tersebut dianggap sebagai perintis sikap empiris
yang menggejala pada zaman ilmu dan teknologi dewasa ini.
Dari segi latar belakang kemunculannya, empirisme tak jauh
berbeda dengan rasionalisme karena keduanya memiliki maksud yang jelas untuk
mengganti cara berfikir tradisional. Dengan mengembalikan pengetahuan pada
pengalaman, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi
spiritual yang menandai metafisika tradisional. Dengan cara itu juga, empirisme
berusaha memisahkan filsafat dari teologi. Seiring dengan perputaran waktu,
terlihat dengan jelas bahwa para filosof dari aliran ini memelopori kelahiran
ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris, seperti
psikologi.
Seperti yang disebutkan di atas bahwa pengalaman yang konkret
merupakan sumber pengetahuan dalam aliran empirisme. Gejala-gejala alamiah
menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan
lewat tangkapan pancaindra manusia. Gejala tersebut ternyata memiliki beberapa
karakteristik tertentu seperti terdapatnya pola yang teratur mengenai suatu
kejadian tertentu.[27]
Berangkat dari pandangan ini, muncul permasalahan pada penyusunan pengetahuan
empirisme karena pengetahuan yang dikumpulkannya itu cenderung untuk menjadi
suatu kumpulan fakta-fakta. Lebih tegasnya dapat dikatakan bahwa kumpulan
mengenai suatu fakkta atau kaitan antara beragam fakta belumlah menjamin
terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis.
Selanjutnya, anggapan mereka tentang eksistensi pancaindra
sebagai penangkap gejala nyatanya dunia fisik melahirkan sebuah permasalahan,
yaitu: Seandainya kita mengetahui dua fakta yang nyata, misalnya rambut
keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan
antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan intelegensi manusia
memiliki kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya dijawab
"tidak", bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan
sebaliknya? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara
berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana dugaan kita selama ini. Harus
terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa A
mempunyai kaitan dengan B, sebab kalau tidak, maka pada hakikatnya semua fakta
dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.[28]
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengetahuan indrawi bersifat parsial
disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya.
Pancaindra itu sendiri sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi ia
bisa melakukan kesalahan.
3. Iluminasionisme
Untuk menghubungkan teori rasionalisme dan empirisme, Emmanuel
Kant berusaha menjelaskan dengan tingkat-tingkat pengenalan roh, dari tingkat
yang terendah sampai yang tertinggi. Pengenalan yang terendah adalah pengamatan
indrawi kemudian akal, akhirnya budhi. Kerja akal mengatur data-data indrawi,
yaitu dengan mengemukakan putusan-putusan lewat sintesis yang teratur. Budhi
merupakan semacam penghubung batin yang transenden antara cerapan indrawi dan
akal. Budhi ini, menurut Kant, adalah
daya pencipta pengertian murni atau mutlak, yang tidak diberikan oleh
pengalaman.[29]
Pengertian yang diperoleh budhi ini tidak lewat pengalaman,
contohnya pengertian atau ide tentang Tuhan. Olehnya itu, pengetahuan yang
semacam ini juga disebut dengan intuisionisme. Yaitu pemahaman atau pengenalan
terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui penyimpulan (inferensi),
penglihatan langsung atau penangkapan (apherensi) kebenaran.[30] Dalam
kaitan ini, wahyu dan intuisi merupakan sumber pengetahuan.
Selanjutnya, dalam terminologi tasawuf, intuisi disebut dengan makrifah,
yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.
Istilah ini juga sering disebut dengan iluminasi.[31] Intuisi
dalam filsafat Barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang
konsisten, sedangkan dalam Islam makrifah diperoleh lewat perenungan dan
penyinaran dari Tuhan. Adapun tokoh filsafat yang tersebut dalam kajian
intuisionisme ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Hanya saja, pengetahuan intuisi ini banyak mendapatkan
tantangan, terutama sifat objektivitasnya. Namun, pengetahuan ini telah terjadi
pada beberapa orang tertentu dengan pola yang sama, sehingga bisa dianggap
sebagai pengetahuan intersubjektivitas. Permasalahan yang muncul kemudian
adalah apakah pengetahuan intersubjektivitas ini terbilang ilmiah? Untuk
menjawab ini, penulis mengetengahkan paparan Mehdi Ha'iri Yazdi, sebagaimana
juga dikutip oleh Amsal Bakhtiar- yang memandang pengetahuan jenis ini termasuk
dalam kategori ilmiah. Alasannya, pengetahuan korespondensi melibatkan objek di
luar dirinya, sedangkan pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa
pengetahuan tentang yang di luar harus didahului dengan pengetahuan tentang
dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang mengetahui sesuatu objek di luar
dirinya tanpa mengetahui terlebih dahulu pengetahuan yang ada dalam dirinya.
Pengetahuan dalam dirinya ini diperoleh berkat anugerah Tuhan, baik sejak lahir
maupun setelah dewasa. Kalau semua orang mengakui adanya pengetahuan tentang
dirinya 'mengetahui' sebelum mengetahui yang lain, maka pengetahuan iluminasi
adalah objektif dan bisa diterima secara ilmiah.[32]
C. Hakikat
dan Kriteria Kebenaran
Kebenaran
dalam term Inggris disebut truth, sedangkan dalam istilah Anglo-Saxon
disebut sebagai treouth yang berarti kesetiaan, dan dalam bahasa Latin
maupun Yunani disebut aletheia. Istilah ini merupakan lawan dari
kesalahan, kesesatan, kepalsuan dan terkadang bermakna opini.[33] Secara
umum, kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi
objeknya, yaitu terdapatnya persesuaian dalam hubungan antara objek dan pengetahuan
kita tentang objek tersebut.[34] Dalam
pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolok ukur penentuan
penilaian. Secara epistemologis, kebenaran selalu bersifat problematis dan
aktual dari sekedar sebuah rumusan logis yang berlaku mutlak definitif.
Meskipun
problem kebenaran ini selalu menjadi pokok dalam pengetahuan, bahkan orang
tidak jarang berbicara mengenai perjuangan menegakkan kebenaran, tetapi
pendekatannya dalam mencapai kebenaran itu tampaknya masih bersifat pragmatis.
Kondisi tersebut terjadi tak ubahnya orang bersikap terhadap pengetahuan.
Problem kebenaran ini pun dalam perkembangannya telah memacu tumbuh dan
berkembangnya epistemologi.[35]
Telaah
epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa
perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu:
a)
Kebenaran epistemologis
b)
Kebenaran ontologis
c)
Kebenaran semantis.[36]
Kebenaran epistemologis
adalah pengertian kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, yang
terkadang disebut dengan veritas cognition atau veritas logica.
Sedangkan kebenaran dalam arti ontologis ialah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun
kebenaran dalam arti semantis yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam
tutur kata dan bahasa, yang sering juga disebut kebenaran moral (veritas
moralis).[37]
Untuk memahami pengetahuan dengan lebih baik,
suatu hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana proses pengetahuan tersebut
dimulai. Sejalan dengan itu, hal yang paling utama adalah adanya kebenaran di
dalam pencarian pengetahuan. Setidaknya, di dalam pengetahuan dikenal adanya
teori kebenaran klasik, di antaranya : teori korespondensi, teori koherensi, teori
pragmatik, teori performatif,
teori konsensus, dan teori semantik.[38]
Adapun,
pemaparan tentang teori-teori tersebut sebagai berikut :
1. Teori
Korespondensi
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan
bahwa suatu pernyataan benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam
pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut. Teori ini dipelopori oleh Bertrand Russell (1872-1970).[39]
Dalam teori ini, peran subjek sangatlah penting. Pasalnya,
subjek atau si pengamat akan berhadapan dengan objek atau sesuatu yang
diamatinya. Dengan persentuhan indrawi maka apa yang dilihatnya memiliki
persesuaian dengan objek tersebut. Jaminan kebenaran di sini adalah adanya
kesamaan atau setidak-tidaknya kemiripan struktur antara apa yang dinyatakan
(proposisi yang diungkapkan dalam suatu kalimat) dan suatu fakta objektif di
dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Contoh pernyataan berdasarkan
teori kebenaran korespondensi ini yaitu: "Pemenang Pilpres (Pemilihan
Presiden) Indonesia tahun 2014 adalah pasangan JokoWI-Kalla" adalah benar,
karena isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut sesuai dengan
fakta yang sebenarnya. Lain halnya kalau dikatakan "Pemenang Pilpres
(Pemilihan Presiden) Indonesia tahun 2014 adalah pasangan Prabowo-Hatta".
Pernyataan terakhir ini adalah salah karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Terdapat beberapa versi
yang berbeda satu sama lain dalam teori kebenaran korespondensi di balik
pandangan umum yang telah disebutkan di atas. Sebagai contoh, versi G. W.
Leibniz (1646-1716) yang mendasarkan diri pada asumsi adanya keselarasan yang
sudah ditetapkan lebih dulu oleh Tuhan (pre-established harmony) antara
tatanan pengetahuan dan tatanan kenyataan. Meskipun kedua tatanan tersebut
paralel satu sama lain dan tidak berinteraksi, namun Tuhan yang menciptakan
keduanya menjamin bahwa pengetahuan bawaan kita memang betul-betul
berkorespondensi dengan kenyataan yang ada.[40]
Sedangkan menurut versi Wittgenstein awal dan kaum Atomis Logis [41]
mendasarkan diri pada asumsi bahwa struktur bahasa yang berhubungan satu lawan
satu (isomorfis) dengan struktur dunia. Artinya, bahasa mencerminkan
atau menggambarkan kenyataan (language pictures reality). Selanjutnya,
versi Thomas Aquinas dan kaum Skolastik mendasarkan diri pada tradisi
Aristoteles yang meyakini adanya kesesuaian antara akal budi dan
kenyataan.
Dalam konteks tersebut, teori ini umum dimengerti karena secara
intuitif mudah diterima. Namun, jika dikritisi lebih jauh, maka akan ditemukan
beberapa kesulitan. Teori korespondensi ini mengasumsikan kebenaran faham
realisme yang berpendapat bahwa pengetahuan baru dianggap benar dan tepat jika
sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, faham idealisme menolak pandangan
korespondensi ini dengan alasan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan tak lebih dari
hanya proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif.[42]
Berdasarkan pandangan ini, penganut faham idealisme ini memilih teori kebenaran
koherensi.
2. Teori
Koherensi
Teori koherensi adalah teori kebenaran yang memberlakukan
adanya persepsi-persepsi subjek yang konsisten menerima kebenaran yang telah
diuji.[43] Suatu
proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain
yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan demikian, pemaknaan
yang kontradiktif mesti dihindari. Teori ini dikembangkan oleh Plato (427-347
SM) dan Aristoteles (384-322 SM) berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan
Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.[44]
Teori kebenaran koherensi berakar pada dua hal, yaitu: Satu,
fakta bahwa matematika dan logika adalah sistem deduktif yang ciri
hakikatnya adalah konsistensi. Dua, sistem metafisika rasionalistik yang
seringkali mengambil inspirasi dari matematika. Dengan dua akar ini, maka kaum
Rasionalis dan Positivis Logis menekankan teori kebenaran ini.[45]
Selanjutnya, Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa matematika merupakan
salah satu bidang pengetahuan yang dilakukan pembuktian berdasarkan teori
koherensi ini. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang
dianggap benar yakni aksioma yang dengan beberapa aksioma tersebut kemudian
melahirkan teorema.[46]
Teori kebenaran ini hanya mungkin sejauh orang menerima
pandangan tertentu tentang logika dan matematika di satu pihak, dan di pihak
lain tentang adanya relasi internal, yaitu keterjalinan hakiki antara sesuatu
dengan segala sesuatu yang lainnya, sehingga kalau ada satu bagian yang
berubah, seluruhnya juga berubah. Dalam pandangan ini, baik geometri model
Euklides maupun yang non-Euklides adalah sama-sama benar kalau konsisten dengan
aksioma masing-masing. Hanya saja, jika disadari bahwa baik teorema matematika
dan logika tidak bicara tentang dunia nyata yang menyebabkan kebenarannya
bersifat formal, maka dapat disimpulkan bahwa teori koherensi sebenarnya
memiliki ruang lingkup yang cukup terbatas. Dengan ini pula, kebenaran mengenai
kenyataan faktual tidak bisa dideduksikan dari sistem aksioma.
3. Teori
Pragmatik
Teori kebenaran pragmatik adalah teori kebenaran berdasarkan
kegunaan atau manfaat dari sesuatu yang ditelitinya. Teori ini bersumber pada
aliran Pragmatisme yang merupakan suatu gerakan filosofis yang muncul di
Amerika Serikat di penghujung abad ke-19. Adapun pencetus teori pragmatik ini
adalah Charles S. Pierce (1839-1914) yang kemudian dikembangkan oleh beberapa
tokoh filsafat seperti: William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), dan
George Herbert Mead (1863-1931).[47]
Teori kebenaran pragmatik menekankan peran aktif subjek penahu
dalam mencari kebenaran dan mengkritik serta memberikan alternatif yang menarik
terhadap teori pengetahuan yang menganggap subjek penahu semata sebagai
penonton yang pasif (the spectator theory of knowledge). Sebagai implementasi
dari teori pragmatik ini dapat dicontohkan bahwa sekiranya ada orang yang
menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut
dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X ini
adalah fungsioanal dan mempunyai kegunaan (utility).
Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Teori ini masuk
akal sejauh yang dibicarakan menyangkut kasus-kasus adanya masalah yang harus
dipecahkan atau adanya penyelidikan yang perlu dilakukan. Salah satu tolok ukur
kebenaran dalam teori ini juga adalah mewujudnya hasil seperti yang diharapkan.
Hal ini senada dengan ungkapan William James, "Something is true if it
works".[48]
Mungkin di sinilah letak 'tidak universalnya' nilai kebenaran yang dilahirkan
oleh teori ini karena secara logis tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kalau
suatu pernyataan atau teori atau pemikiran dipraktekkan terbukti membawa hasil
seperti yang diharapkan, maka dengan sendirinya pernyataan atau teori itu juga
benar.
Berkaitan denga ketiga teori kebenaran klasik di atas, dapat
dipahami bahwa masing-masing memiliki kekhususan tersendiri. Teori
korespondensi cocok untuk dipakai menilai kebenaran pernyataan-pernyataan
empiris faktual, seperti: "Hari ini kepala saya pusing karena sedang
flu". Teori kebenaran koherensi cocok untuk dipakai menilai
pernyataan-pernyataan logis dan matematis, seperti: "Jumlah dari tiga
sudut dalam segitiga adalah 180 derajat". Sedangkan teori kebenaran
pragmatis cocok untuk dipakai menilai kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah
sebagai hipotesis yang masih perlu dibuktikan, seperti: "Semakin banyak
hutan digunduli, semakin banyak pula bahaya erosi yang akan terjadi". Thus,
dalam praksis kegiatan pencarian dan pengembangan pengetahuan, ketiga teori
tersebut, sejauh dapat diterapkan, biasa digunakan semuanya karena dapat saling
melengkapi.
4. Teori
Performatif
Teori performatif akan muncul apabila pernyataan-pernyataan
(statement) dapat menciptakan realitas. Artinya, yang dianggap benar
dalam teori performatif ini adalah apabila pernyataan itu menciptakan suatu
realitas sebagaimana pernyataan yang dimunculkan. Teori kebenaran performatif
ini dipelopori oleh Frank Ramsey, John Austin, dan banyak dianut oleh kelompok
ahli bahasa.[49]
Secara umum, mereka ingin menunjukkan bahwa kebenaran harus dilandasi oleh
kenyataan bahasa yang benar, bukan hanya sekedar deskripsi tentang sesuatu.
Sebagai contoh, peristiwa akad nikah di Kantor Urusan Agama
(KUA). Pejabat KUA berkata, "Dengan ini saya sahkan anda berdua menjadi
pasangan suami-isteri yang sah". Kalimat yang dituturkan oleh pejabat KUA
tersebut kepada kedua mempelai telah menciptakan sebuah realitas, yaitu sebuah pasangan
suami-isteri.
5. Teori
Konsensus
Teori kebenaran konsensus didasarkan pada komunikasi secara
dialogis atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi bukan
diorientasikan pada kekuasaan. Jurgen Habermas (Lahir 1929) mendasarkan teori
kebenaran konsensus pada kepentingan ilmu pengetahuan sosial (secara praksis)
yang mengutamakan logika dalam berinteraksi.[50] Model
kebenaran konsensus sering juga disebut sebagai model logika interaksi atau
logika hermeneutik.[51] Teori
kebenaran konsensus dielaborasi lebih lanjut oleh Habermas sehingga memilki
sifat praksis yang kritis emansipatoris yang tujuannya mengembangkan dan
menyusun struktur-struktur masyarakat secara baru atas dasar kepentingan
tertentu dan untuk mewujudkan kemajuan (emansiapasi) dan pembebasan manusia.
6. Teori
Semantik
Teori kebenaran bahasa atau semantik merujuk pada arti kata
yang ada pada suatu bahasa. Beberapa tokoh filsafat bahasa, seperti Ayer,
Wittgenstein, bahkan tokoh hermeneutika seperti Gadamer dan Ricoeur menekankan
pentingnya pemahaman tentang arti suatu kata. Secara logis, orang tidak dapat
memahami sesuatu terutama persoalan ilmiah, tanpa memiliki unsur
"mengerti". "Mengerti" itu sendiri mesti sejalan dengan
bahasa, karena "mengerti" diaktualisasikan dengan cara berinteraksi
dengan orang lain.[52] Membaca
suatu teks tidak hanya teks-teks masa lalu, tetapi teks-teks (wacana) baru yang
menyangkut kehidupan manusia. Selanjutnya, pemahaman terhadap
"mengerti" apa yang ditulis orang mengarah pada pemahaman baik secara
ontologis (keberadaan manusia) maupun secara epistemologis (kebenaran
pengetahuan). Bahasa tidak hanya mengungkapkan perasaan subjek, tetapi
mengungkapkan juga realitas kebenaran objek.
D.
Penutup
Dari
paparan sederhana di atas, penulis berkesimpulan bahwa pengetahuan merupakan
semua kehadiran internal objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit, ia dapat
diartikan sebagai putusan yang benar dan pasti. Pengetahuan ini dapat diperoleh
melalui beberapa cara dengan motif dan argumentasi yang berbeda pula
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beberapa tokoh filsafat.
Last
but not least, manusia membutuhkan pengalaman dalam mencari bentuk-bentuk
pengetahuan, baik secara deskriptif (knowledge by description-knowledge
about thing) maupun mengumpulkan sejumlah pengetahuan melalui knowing
'perkenalan' (knowledge by acquintance). Sejauh pengetahuan itu teruji
oleh teori kebenaran yang ada (korespondensi, koherensi, pragmatik, performatif,
konsensus, dan semantik) maka di situlah epistemologi tampil di dalam dunia
kehidupan manusia. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan dapat diterima selama
dapat diukur melalui kriteria yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2000
Bahtiar, Amsal, Filsafat Agama I, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997
Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta:
Gramedia, 1981
Budianto, M., Irmayanti, Realitas dan Objektivitas, Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, 2002
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat I, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat II, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1980
Hardiman, F. Budi, Sejarah Filsafat Modern, Diktat
STF Driyarkara Jakarta
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta:
UI-Press, 1986
Kattsoff, O. Louis, Pengantar Filsafat,
(diterjemahkan oleh Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, Jakarta:
Kanisius, 2001
Longman, Dictionary of Contemporary English, London:
Longman Group, 1998
Mehra, S. Parta & Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional,
Bandung: Binacipta, 1988
Peursen, Van, Bdk., Fakta, Nilai, Peristiwa, Jakarta:
Gramedia, t.th.
Sudarminta, J., Dr., Epistemologi; Pengantar ke Beberapa Masalah
Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: t.p., 2001
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: CV Muliasari, 2000
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta:
Kanisius, 2001
[1] Bdk. Van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa,
(Versi Indonesia diterjemahkan oleh Sonny Keraf), (Jakarta: Gramedia, t.thal.),
hal. 198.
[3] Dalam ungkapan keseharian, term knowledge biasanya
digunakan sebagai ekuivalen dengan term pengetahuan yang diartikan
sebagai "apa yang diketahui berupa fakta, informasi, kemampuan, dan
pemahaman yang diperoleh dan dialami seseorang, baik melalui proses belajar
maupun pengalaman". (What a person knows; the facts, information,
skills, and understanding that one gained through learning or experience).
Lihat: Longman, Dictionary of Contemporary English, (London: Longman Group,
1998), Edisi VIII, hal. 581
[4] Partap Sing Mehra & Jazir Burhan, Pengantar
Logika Tradisional, (Bandung: Binacipta, 1988), Cet. IV, hal. 3
[5] Partap Sing Mehra & Jazir Burhan, Pengantar
Logika Tradisional, (Bandung: Binacipta, 1988), Cet. IV, hal. 4
[6] Longman, Dictionary of Contemporary
English, (London: Longman Group, 1998), hal. 934. Term science
didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat dibuat ke dalam sebuah sistem
dan yang biasanya berdasar pada penglihatan dan hukum-hukum alam yang umum. (Knowledge
which can be made into a system and which usually defends on seeing and testing
facts and stating general natural laws).
[9] Dalam kaitan ini, Sidi Gazalba menyebutkan bahwa
pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari empat jalan, yaitu: Pertama, pengetahuan
yang dibawa sejak lahir. Kedua, diperoleh dari budi. Ketiga, diperoleh
dari indra-indra khusus seperti penglihatan, pendengaran, ciuman, dan rabaan. Keempat,
berasal dari penghayatan langsung atau ilham. Lihat: Sidi Gazalba, Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), Jilid I, Cet. VI, hal. 27.
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II, hal. 807.
[13] Partap Sing Mehra & Jazir Burhan, Pengantar
Logika Tradisional, (Bandung: Binacipta, 1988), Cet. IV, hal. 4
[14] Ada dua macam teori untuk menyingkap tabir
hakikat kebenaran itu. Pertama, realisme, yang mempunyai pandangan
realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau
duplikat yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Dengan kata lain,
pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah duplikat dari yang asli
yang ada di luar akal tersebut. Teori realisme ini berpendapat bahwa
pengetahuan baru dianggap benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan. Kedua,
idealisme, yang menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan tak lebih dari
hanya proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif.
[15] Paham rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
atau Cartesius (1596-1650) yang disebut sebagai "Bapak Filsafat
Modern" karena sejak Descartes kesadaran betul-betul digumuli dalam
filsafat. Masyarakat tempat ia hidup bercirikan aristokrat, yakni memberi
tempat utama kepada elite bangsawan yang minatnya adalah pada masalah
metafisika skolastik. Descartes lahir dari kalangan borjuis yang sedang mekar
saat itu di kota La Haye di wilayah Touraine. Ia kemudian juga berusaha
memberikan pendasaran metodis yang baru dalam filsafat. Metode itu kemudian
disebutnya "Le doute methodique" (metode kesangsian). Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), Cet. XXI, hal. 18.
[18] Deduktif dalam bahasa Inggris disebut deduction;
dari Latin de (dari) dan ducere (mengantar, menuju). Istilah
latin deductio berpolakan istilah Aristoteles apogage. Metode
deduktif ini bercirikan penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal
(contoh) khusus dari kebenaran itu, proses pembuatan implikasi-implikasi logis
dari pernyataan atau premis-premis menjadi eksplisit, aturan-aturan logika
merupakan pola yang dipakai dalam proses penarikan kesimpulan dari
premis-premis yang ada. Pertentangan terjadi tentang metode deduktif ini
seperti keberatan yang diajukan Francis Bacon. Penjelasan selanjutnya, lihat: Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2000), Cet. II, hal. 149-150.
[19]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
(diterjemahkan oleh Soejono Soemargono), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1992), Cet. VII, hal. 139
[20] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu;
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000), Cet.
XIII, hal. 51.
[21] Skeptis artinya ragu-ragu atau sak wasangka.
Artinya, tidak terus menerima ajaran-ajaran yang datang dari ahli-ahli filosofi
masa lampau. Di masa Helen-Romana terdapat dua sekolah skeptis, yaitu: Skeptis
Pyrrhon dan Skeptis Akademia. Pendirian kedua aliran ini sama, yaitu
ragu-ragu tentang ajaran kaum klasik bahwa kebenaran dapat diketahui. Perbedaan
dari kedua aliran tersebut adalah pada hal apa yang dimaksud dengan sikap
ragu-ragu itu. Penjelasan selanjutnya, lihat: Mohammad Hatta, Alam
Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. III, hal. 156.
[24] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), Cet. XXI, hal. 32.
[25] Induktif, dalam bahasa Inggris disebut induction;
dari bahasa Latin in (dalam, ke dalam) dan decure (mengantar).
Term ini diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Latin barangkali oleh
Cicero dari istilah Aristoteles epagoge. Salah satu pengertian tentang
metode induktif ini adalah penalaran yang berangkat dari suatu bagian suatu
keseluruhan, dari contoh-contoh khusus sesuatu menuju suatu pernyataan umum
tentangnya; dari hal-hal individual ke hal-hal universal. Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II,
hal. 341.
[27] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu;
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000), Cet.
XIII, hal. 52.
[28] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu;
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000), Cet.
XIII,
[31] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II,, hal. 314. Illumination (Inggris)
berasal dari bahasa Latin Illuminare yang berarti menerangi. Illuminasi,
dalam epistemologi Agustinus dan Fransiskan abad ke-1 (seperti
Bonaventura), diyakini sebagai pengaruh ilahi istimewa yang terjadi dengan
menghasilkan pengetahuan niscaya, universal dan pasti dalam manusia.
[33] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II,, hal. 412. Martin Heidegger
menafsirkan pengertian Plato tentang kebenaran sebagai aletheia secara
etimologis berarti "ketidaktersembunyian adanya" atau
"ketersingkapan adanya" (the unhiddenness of being). Dalam
pengertian ini, Plato berkesimpulan bahwa kebenaran sebagai
"ketaktersembunyian adanya" itu tidak dapat dicapai manusia selama
hidupnya di dunia ini. Dalam tradisi Aristotelian, kebenaran merupakan
kebenaran logis dan linguistik propositional. Argumentasi ini dilandasi oleh
pandangan Aristoteles yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang paling benar dan
paling luhur baru dimiliki kalau subjek penahu (idealitas) dan objek yang
diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan akal budi
yang sempurna.
[38] Irmayanti M. Budianto, Realitas dan
Objektivitas, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002), hal. 75.
Secara klasik teori kebenaran ini hanya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: teori korespondensi, teori koherensi, dan
teori pragmatik. Jujun S. Suriasumantri hanya membahas kebenaran tersebut
dalam tiga kerangka teori yang disebutkan. Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000),
Cet. XIII, hal. 55-59. Bandingkan dengan Lorens Bagus yang memaparkan
lima teori dengan tidak menyebutkan teori konsensus. Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II, hal.311
[40] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), Cet. XXI, hal. 43-44.
[41] Atomisme Logis (logical atomism) merupakan
sebuah konsepsi yang dirumuskan Bartrand Russell dalam karyanya Our
Knowledge of the External (1914). Konsep ini juga dirumuskan oleh
Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico Philosophicus (1921). Paham
ini merupakan suatu reaksi terhadap neo-Hegelianisme F. Bardley yang
mempertahankan bahwa hanya yang mutlak bersifat real dan hal-hal yang nisbi
merupakan tampakan semata-mata. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II,, hal. 100-101.
[44] Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000), hal.
57. Dalam literatur lain disebutkan bahwa teori koherensi ini dikembangkan oleh
O. Neurath dan Carnap ketika keduanya berpolemik dengan Schlick di dalam
lingkungan Wina.
Lihat: Lorens, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 470.
[45] J. Sudarminta, Epistemologi;
Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, (Jakarta:
t.p., 2001), hal. 71.
[47] Filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat
Amerika karena tokoh-tokoh yang mengembangkan teori ini berkebangsaan Amerika.
[48] J. Sudarminta, Epistemologi;
Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, (Jakarta:
t.p., 2001), hal. 73.
[49] Irmayanti M. Budianto, Realitas dan Objektivitas,
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002), hal. 75
[52] Irmayanti M. Budianto, Realitas dan Objektivitas,
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002), hal. 78.
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun