8 Jul 2012

RASM AL QUR’AN


RASM AL QUR’AN

A.     Pengertian Rasm Al Qur’an

Istilah Rasm Al Qur’an[1] terdiri dari dua kata : rasm dan Al Qur’an. Rasm berarti bentuk tulisan,[2] dapat juga diartikan atsar,[3] ‘alamah. Sedangkan Al Qur’an[4] adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh banyak orang), mempelajari merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.[5]
Rasm Al Qur’an berarti bentuk tulisan Al Qur’an . Para ulama lebih cenderung menamainya dengan istilah Rasmul Mushaf.[6] Ada pula yang menyebutnya Rasm Usmani. Ini wajar, karena Khalifah Usmanlah yang merestui dan mewujudkannya dalam kenyataan.[7]
Rasm mushaf adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman bin Affan beserta sahabat- sahabat lainnya dalam penulisan Al Qur’an berkaitan dengan susunan hu ruf-hurufnya yang terdapat  dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai dae rah dan kota, serta mushaf Al Iman yang berada ditangan Usman sendiri.[8]

 

B.  Latar Belakang Rasm Al Qur’an

Kaum muslimin memelihara Al Qur’an melalui dua cara, yaitu hafalan dan tulisan. Keduanya berlangsung sejak masa hidup Rasulullah. Sedangkan penghimpun dan penyempurnaan tulisan Al Qur’an dari lembaran-lembaran kulit dan dan tulang ke dalam satu naskah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin.[9]
Secara kronologis, orang pertama menghimpun Al Qur’an adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, karena banyaknya hafizh yang mati syahid di pertempuran Yamamah. Itu atas saran Umar bin Khatab. Sepeninggal Abu bakar naskah Al Qur’an tersebut dititipkan kepada hafshah. Di kemudian hari disempurnakan oleh Usman bin Affan dengan memjbentuk panitia empat. Ide itu muncul karena banyaknya perbedaan bacaan dikalangan kaum muslimin, baik yang berbangsa Arab maupun bukan berbangsa Arab ( ‘ajam ), tanpa sedikit pun melakukan perubahan dari naskah aslinya, baik dalam hal susunan maupun tulisannya.[10]
Panitia empat, yaitu Ai Mu’awiyyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Sabit,[11] yang diketuai oleh  Zaid bin Tsabit dibebani tugas menulis beberapa naskah Al Qur’an untuk disebarkan ke  daerah-daerah Islam. Mereka menempuh car a khusus yang disetujui oleh khalifah Usman, baik dalam hal penulisan lafazh-lafazh ataupun bentuk huruf yang digunakan.[12]


C.     Pendapat Ulama Tentang Rasm Al Qur’an

Pendapat ulama tentang rasm al-Qur'an berkisar pada masalah apakah rasm al-Qur’an merupakan tauqif (ketetapan ) Nabi atau bukan. Mengenai permasalahan ini muncul dua kubu ulama; kubu pertama menyatakan bahwa rasm al-Qur’an tauqif Nabi dan kubu kedua menyatakan bahwa rasm al-Qur’an bukan tauqif nabi.[13]
Menurut golongan pertama, rasm al-Qur’an itu tauqifi dan metode penulisannya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw. Pendapat ini dipegangi dan dipertahankan oleh Ibnul Mubarak di dalam kitabnya yang berjudul al-Ibriz, yang sependapat dengan gurunya Abdul Aziz ad Dabbagh. Ia menyatakan sebagai berikut : “Tidak seujung rambut pun huruf Al qur’an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm al-Qur’an adalah tauqif dari Nabi, yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah saw. Beliaulah yang menyuruh  mereka (para sahabat ) menulis rasm al-Qur’an itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tak dapat dijangkau oleh akal pikiran, yaitu rahasi yang dikhususkan oleh Allah bagi kitab suci al-Qur’an. Suatu kekhususan yang tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya. Sama halnya dengan susunan al-Qur’an itu mu’jiz (membuat lawan tak berdaya ) maka rasm al-Qur’an itu mu’jiz juga”.[14]
            Pendapat tersebut didasarkan pada suatu riwayat bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu, Ambillah tinta tulislah huruf-huruf dengan qalam (pena ); rentangkan huruf ba’ ,bedakan dengan huruf sin, jamgan merapatkan lubang huruf  mim,tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar Rahman” dan tulislah lafadz “Ar Rahim” yang indah.kemudian letakkanlah qalamma pada telinga. Ia akan selalu mengingatkan engkau”.[15]    Atas dasar itu maka Az Zarqani di dalam bukunya Manahilul Irfan berpendapat bahwa tidak ada salahnya memandang beberapa keistimewaan rasm[16] Usmani sebagai petunjuk tentang adanya makna rahasia yang sangat halus.
      Golongan kedua berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu tak masuk akal kalau dikatakan tauqif. Ini dipelopori oleh Qadhi Abu Bakar al Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam bukunya Al Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama sekali tidak mewajibkan kepada umat islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an menggunakan rasm selain  itu (Usman ). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya diketahui dari berita-beruta yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an dan hadis. Tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkann bahwa rasm al-Qur’an dan pencatatannyahanya boleh dilakukandalam bentuk khusus atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan, demikian pula dengan ijma’ul ulama. Bahkan sunnah Rasulullah saw. Menunjukkan dibolehkaanya penulisan al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah, karena Rasulullah memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan ( rasm ) tertentu, dan beliau tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah sehingga bentuk tulisan mushaf berbeda-beda. Maka boleh saja al-Qur’an ditulis dengan huruf  Kufi dan huruf zaman kuno. Setiap orang boleh menulis mushaf dengan cara yang sudah lazim menjadi kebiasaanya atau dengan cara yang dipandangnya paling mudah dan paling baik.[17]
            Pendapat pertama mengandung penghormatan kepada rasm Usman berlebih-;ebihan, karena mengada-adakan pengertian dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi. Mereka menyarahkan persoalan pada selera bartin yang sifatnya relatif dan tak dapat dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran syariat agama. Tidak logislah bila dikatakan bahwa soal rasm ( huruf dan tulisan ) Qur’an itu tauqif, atas tuntunan, petunjuk dan persetuajuan langsung dari Rasulullah saw. Beliau pun tidak pernah sama sekali  menyatakan adanya rahasia didalam kandungan huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadis Rasulullah mengenai hal itu perlu diteliti kebenarannya.[18]
            Yang benar ialah adalah penulis mushyaf (panitia empat )sepakat menggunakan istilah rasm  bila terjadi perbedaan pendapat.[19] al-Qur’an. Dan istilah itu disetujui Khalifah, bahkan Khalifah Usmann menetapkan pedoman yang harus diindahkan oleh para penulis mushaf
            Subhi Ash Shalih tidak sepakat dengan pendapat kedua yang dilontarka n oleh al baqilani.Tentang kebolehan menulis Al Qur’an dengan rasm kuno, Subhi Ash Shalih sepakat dengan pendaoat Al Izz bai Abdussalam yang mengatakan , bahwa dewasa ini perbuatan nulisan mushaf tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa dahulu, agar tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama islam. Ini berarti al-Qur’an seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamannya. Bukan berarti rasm Usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal itu akan merusak lambbang keagamaan besaryang telah disepakati bulat oleh seluruh umat islam, yang dapat menyelamatkan uamt dari perpecahan, karena mshaf Usman merupakan salah sifat atu cara untuk memelihara persatuan sdan kesatuan umat Islam atas dasar syiar dan satu istilah.[20]


D.  Bentuk Tulisan Dan I’rab Yang Digunakan

            Bangsa Arab sebelum Islam dalam tulis-menulis menggunakan khat Hijri. Setelah datang Islam dinamakan khat Kufi.[21]
            Dalam sejarah disebutkan bahwa para sahabat tidak meletakkan tanda baca apapun; titik atau syakal pada mushaf yang mereka salin. Tulisan bangsa Arabsaat itu sama sekali tidak disertai tanda baca seperti sekarang ini.[22]
            Pada zaman Nabi hingga abad kedua hijrah al-Qur’an ditulis dengan khat ini, maka para sahabat dan tabi’in bersandar pada hafalan, periwayatan dan bacaan pada qurra’ .Sejauh itu bahasa mereka dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakkan, karena adanya kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka. Akan tetapi setelah Islam berkambang luas keluar Jazirah Arab dan bangsa mulai berhubungan dengan bangsa lain, maka mulailah timbul kerusakan dalam bahasa Arab.[23]
      Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk membantu memudahkan membaca al-Qur’an bagi orang-orang awam, maka Abdul Aswad Ad- Du’ali membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab dengan petunjuk dari Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya ia membuat titik-titik pada huruf Arab dengan perintah seorang Khalifah Bani Umayah, yakni Abdul Malik bin Marwan. Dengan itu kemungkinan keliru semakin berkurang, tetapi belum semuanya bisa dihilangkan sampai muncul penemu ilmu ‘Arydh, yakni Khalil bin Ahmad Al Farahidi, yang membuat bentukbentuk penulisan sebagai cara pengucapan huruf-huruf bahasa Arab, seperti mad, tasydid, fathah, kasrah, dammah, sukun, dan tanwin. Dengan ini maka selamatlah al-Qur’an dari kemungkinan keliri itu, dipasang titik-titik sebagai sebagai petunjuk harakat. Misalnya, sebagai ganti fathahkasrah ditulis  titik dibawah huruh; segai ganti dhammah ditulis titik diatas huruf pada bagian akhir. Tetapi kadang cara ini justru menambah kebingungan.[24] dipasang titik diawal huruf; sebagai ganti

E.  Problema Qira’ah Dan Tujuh Huruf Dalam  Rasm Usmani

            Pengetahuan tentang latar belakang linguistik dan pengertian mengenai Qira’ah[25] dan tujuh huruf[26] itu sangatlah diperlukan, sebelum kita menjelajahi problema yang ada dalam rasm Usmani.
            Di zaman jahiliyah, orang Arab mempunyai beberapa bahasa (dialek ) yang kadang satu sama lainnya berbeda, terutama dalam cara pengucapannya. Akan tatapi mereka mengutamakan bahasa Quraisy, sebab bahasa Quraiasy lebih unggul dan mengatasi sekalian dialek yang hidup di Jazirah Arabia yang jumlahnya puluhan. Dengan bahasa itu Allah menurunkan kitab suci-Nya.[27]
            Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang sab’atu ahruf, ada beberapa riwayat hadis yang menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.  Di antaranya, hadis riwayat Abu Ya’la di dalam Musnad Kabirnya. Hadis tersebut yang artinya:”Sesungguhnya al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf.  Semuanya lengka lagi mencukupi”.  Selanjutnya hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim berbunyi: “Jibril membacakan (al-Qur'an) kepadaku atas beberapa huruf.  Aku senantiasa meminta tambah, dan iapun menambahkanku sampai mencapai tujuh huruf”.  Kemudian  hadis yang lain berbuny: “Sesungguhnya al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf.  Karena itu bacalah menurut bacaan yang paling mudah”.[28]
            Para ulama berbeda pendapat tentang dalam menafsirkan tujuh huruf ini.  Di antara pendapat yang dianggap mendekati kebenaran adalah, pertama, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam mahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna, maka al-Qur'an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu ini.  Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur'an hanya mendatangkan satu lafadz saja.  Kedua, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu, amr, nahyu, wa’ad, wa’id, jadal, qashash, dan masal.  Dan yang ketiga adalah, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah qira’ah tujuh.[29]  Ketiga, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’ah tujuh.[30]
            Ibn Syamah berkata bahwa mengartikan akhruf dengan qira’ah adalah pendapat yang lemah.  Sab’ah al-Ahruf diartikan sebagai al-Qira’ah as-Sab’ah (qira’ah tujuh) ini hanya dugaan orang-orang awam.[31]
            Abu Bakar ibn Arabi menegaskan pula, bahwa bukanlah qira’ah sab’ah yang telah dikenal itu sebagai keharusan bagi orang yang hendak membaca al-Qur'an sehingga tidak membolehkan seseorang membaca dengan qira’ah yang lain seperti halnya qira’ah Abu ja’far, Syaibah, A’masy dan lain-lain, sebab derajat keabsahan dan kedudukan nilai sanad qira’ah mereka semua adalah sama.[32]
Timbul pertanyaan, apakah pengertian itu terbatas pada tujuh huruf (qira’ah saja, ataukah yang dimaksudkan at-tawasu’ (pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas pada angka tujuh saja) sehingga boleh jadi lebih dari tujuh qira’ah.[33]
            Ulama yang mengatakan bahwa bukan tujuh qira’ah itu sendiri yang dimaksudkan, bersandar pada kenyataan masih ada qira’ah selain yang tuhuh itu yang mencapai derajat mutawatir[34]. Sedangkan kata tujuh dalam hadis tidaklah mesti diartikan angkanya sendiri. Dalam hal ini , tidaklah hakikat jumlahnya yang analisa, melainkan pengertiannya, bahwa kata tujuh boleh jadi berarti memberikan kemudahan dan kelapangan dalam membaca al-Qur’an bagi orang.[35]
            Menurut Subhi Ash Shalih, pendapat yang mendekati kebenaran adalah, bahwa maksud sab’atu ahruf (tujuh huruf ) itu adalah tujuh macam cara yang diberikan kelapangan bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an. Maka dengan cara mana pun ia dibaca oleh seorang qari’ [36]adalah benar.[37]
            Tentang keberadaan tujuh huruf dalam rasm Usmani, sebagian ulam fiqh qurra’ (ahli baca ) dan mutakallimin berpendapat bahwa semua huruf tersebut pada mushaf Usman, dengan alasan, pertama, bahwa suatu bangsa tidak boleh mengabaikan kutipan  dari mushaf Usman. Kedua, para sahabat berpendapat bahwa suhuf yang dinukil dan ditulis oleh Abu bakar, yang telah mencakup tujuh huruf .[38]
            Jumhur ualama dari kalangan salaf, khalaf dan imam-imam Muslim berpendapat bahwa mushaf Usmani mencakup huruf- huruf dan terkandung dalam bentuk tulisannya saja serta penawaran Nabi yang terakhir kepada malaikat.[39]
            Berbeda dengan itu, Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan bahwa mushaf Usmani itu hanya melambangkan satu bentuk huruf dari ketujuh betuk tersebut. Dia beralasan bahwa huruf yang tujuh itu hanya terdapat pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar. Adapun pada masa Usman, umat dibawah pinpinannya menganggap cukup satu huruf saja untuk mempersatukan kaum mulimin.  Dengan huruf yang satu itu Usman menulis semua mushafnya.

F.  Kesimpulan
            Dari beberapa uraian yang telah disebutkan diatas,  dapatlah diambil kesimpulan, di antaranya[40] :
            Pertama, Rasm al-Qur’an adalah bentuk tulisan al-Qur’an, sedang rasm Mushaf adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman bin Affan beserta sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an yang berkaitan dengan susunan huruf- hurufnya yang terdapat dalam mushaf yang dikirimmkan ke berbagai daerah dan kota serta mushaf Imam yang berada di tangan Usman sendiri.
            Kedua, dalam hal Rasm al-Qur’an, terdapat dua kubu ulama; ulam yang mengatakan bahwa rasm al-Qur’an itu tauqifi dari Nabi dan ulama yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu bukan tauqif dari Nabi saw.   .
            Ketiga, pengertian tentang sab’atu ahruf sangat beragam; demikian juga tentang keberadaannya dalam rasm Usmani.
            Keempat, mushaf salinan Usman tiada bersyakal dan tiada bertitik. Hal itu akan memungkinkan terjadinya berbagai macam bacaan . Maka untuk mengantisipasi kesalahan dalam membaca, para ulama menciptajkan tanda-tanda baca tertentu yang dapat memudahkan untuk membaca al-Qur’an. Ulama yangt terkenal memberi titik pada huruf-huruf al-Qur’an dan Khalil bin Ahmad; yang memberi baris atau harakat.
  
DAFTAR PUSTAKA



Asrowi,   Makalah  seminar Pragram Pascasarjana;    Kedudukan Rasm al-Qur’an dalam Penafsiran al-Qur’an;  Studi Pebandingan Antar Mufasir,  Jakarta:  UIN Syarif Hidayatullah,  2004 

As-Salih,  Subhi,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah,  Jakarta: Pustaka Firdaus,  1999  cet. ke-7

Al-Qatan,  Manna Khalil,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah,  Bogor:  Pustaka Litera Antar Nusa,  2000,  cet. ke-5

At-Thahan,  Mahmud,   at-Taisir Mushtalah al-Hadis,  Bairut: Dar al-Fikr,  1986,  t.cet.

Al-Zarqani,  Muhammad Abdul Adhim,  Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,  Jakarta: Gema Media Pratama,  2001  cet. ke-1,  Jilid 1

Ash-Shabuny,  Muhammad Aly,  at-Tibyan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,  Bandung: Al-Ma’arif,  1996,  cet. ke-10

Chirzin,  Muhammad, Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an,  ,Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,  1998,  cet. ke-1

Salabi, ‘Abd al-Fatah Isma’il,  Rasm al-Mushhaf wa al-Ihtijaj bih fi al-Qira’ah,  Mesir:  Maktabah Nahdhah,  1960,  t.cet


  
     



[1] Ilmu Rasm Qur’an adalah Ilmu yang membahas tentang Tulisan al-Qur’an, dan ilmu ini merupakan salah satu cabang dari Ulum al-Qur'an, serta kedudukannya dalam memahami teks al-Qur'an dari segi menafsirkan al-Qur'an sangatlah penting.  Sebagaimana para ulama banyak menyebutkan di dalam berbagai kajian ilmu-ilmu  al-Qur’an (ulum al-Qur'an).  Makalah  seminar Pragram Pascasarjana;  Asrowi,  Kedudukan Rasm al-Qur’an dalam Penafsiran al-Qur’an;  Studi Pebandingan Antar Mufasir,  (Jakarta:  UIN Syarif Hidayatullah,  2004),  h. 2  

[2] Subhi as-Salih,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah,  (Jakarta: Pustaka Firdaus,  1999),  cet. ke-7,  h. 361

[3] ‘Abd al-Fatah Isma’il Salabi,  Rasm al-Mushhaf wa al-Ihtijaj bih fi al-Qira’ah,  (Mesir:  Maktabah Nahdhah,  1960),  t.cet.,  h. 9

[4] Al-Qur'an menurut bahasa terambil dari kata qara’a, qir’atan, qur’anan yang bermakna maqru’ (apa yang dibaca) atau bacaan, yakni penamaan maf’ul dengan masdar.  Lihat,  Manna Khalil al-Qatan,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah,  (Bogor:  Pustaka Litera Antar Nusa,  2000),  cet. ke-5,  h. 15-16;  Selanjutnya:  Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani,  Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,  (Jakarta: Gema Media Pratama,  2001),  cet. ke-1,  Jilid ,  h. 2-3   

[5] Muhammad Aly ash-Shabuny,  at-Tibyan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,  (Bandung: Al-Ma’arif,  1996),  cet. ke-10.  h. 18

[6] Abd al-Fatah Isma’il Salabi,  loc. cit.

[7] Muhammad Chirzin,  Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an,  (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,  1998),  cet. ke-1,  h. 106
[8] Ibid.

[9] Ibid.,  h. 105

[10] Ibid.

[11] Manna Khalil al-Qatan,  op. cit.,  h. 185
[12] Subhi as-Salih,  op.cit.,  h. 361

[13] Muhammad Chirzin,  loc. cit.

[14] Subhi as-Salih,  op. cit.,  h. 361-362

[15] Ibid.

[16] Ibid.
[17] Ibid.,  h. 366-367

[18] Muhammad Chirzin,  op .cit.,  h. 108

[19] Ibid.

[20] Ibid
[21] Ibid.,  h. 108

[22] Ibid.,  h. 109

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Qia’at adalah jamak dari kata qira’ah, yang berarti bacaan, dan ia adalah masdar dari qara’a. menurut istilah ilmiah sebagaimana yang dikatakan oleh Manna Khalil al-Qatan, qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Qur'an yang dipilih oleh salah seorang Imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berada dengan madzhab lannya.  Manna Khalil al-Qatan,  op. cit.,  h. 247.  sedangkan menurut az-Zarqani qiraat adalah, suatu cara yang ditempuh oleh seorang imam Qiraah (qari’) yang dengannya ia berada dengan yang lainnya dalam hal membaca al-Qur'an, disertai dengan kecocokan riwayat-riwayat dan jalur-jalur darinya, baik perbedaan itu dalam hal membaca atau mengucapkan huruf ataupun caranya.  Az-Zarqani,  op. cit.,  h. 423

[26] Tujuh huruf adalah, tujuh bentuk bacaan dalam al-Qur’an yang bersumber pada Nabi saw. (marfu’).  Akan tetapi dalam hal memaknai tujuh huruf ulama berbeda pendapat. Perbedaan ulama tentang hal tersebut bersumber pada beberapa hadis Nabi.  Makalah  seminar Pragram Pascasarjana yang disampaikan oleh Asrowi, dengan judul, Kedudukan Rasm al-Qur’an dalam Penafsiran al-Qur’an;  Studi Pebandingan Antar Mufasir,  (Jakarta:  UIN Syarif Hidayatullah,  2004),  h. 7  

[27] Muhammad Chirzin,  op. cit.,  h. 110

[28] Lihat buku-buku Ulum al-Qur'an, di antaranya;  Az-Zarqani,  op. cit.,  h. 148-150;  Manna Khalil al-Qatan,  op. cit.,  h. 226-231;  Abdul Djalal,  Ulumul Qur'an,  h. 328-329;  Ash-Shabuni,  op. cit.,  h. 300-303

[29] Manna Khalil al-Qatan,  op. cit.,  h.  230

[30] Ash-Shabuny,  op. cit.,  304

[31] Muhammad Chirzin,  op. cit.,  h. 141

[32] Ibid.,  h. 112

[33] Muhammad Chirzin,  loc. cit. 

[34] Mutawatir adalah, suatu berita yang dinukil dari Nabi melalui mata rantai jalur sanad yang berjumlah minimal sepuluh jalur.  Mahmud at-Thahan,  at-Taisir Mushtalah al-Hadis,  (Bairut: Dar al-Fikr,  1986),  t.cet.,  h. 17
[35] Ibid.

[36] Tujuh Qari’ itu adalah, Ibn ‘Amir, Ibn Kasir, ‘Ashim, Abu Amr, Hamzah al-Kufy, Nafi, dan Kisa’i;  Lihat,  Ash_shabuny,  op. cit.,  h. 321-324

[37] Subhi Salih,  op. cit.,  h. 129

[38] Muhammad Chirzin,  loc. cit.

[39] Ash-Shabuni,  op. cit.,  h. 311
[40] Muhammad Chirzin,  op. cit.,  h. 113-114

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun