6 Feb 2016

PSIKOLOGI DAN AL-QUR’AN ( Solusi Permasalahan Di Era Globalisasi )


A.    Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup bagi manusia agar bahagia dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup (way of life), Al-Qur’an berisi konsep-konsep ajaran dan sistem hidup yang sangat luar biasa. Segala aspek kehidupan manusia dapat diatur dan diarahkan oleh Al-Qur’an, termasuk watak, karakteristik, dan kepribadian manusia, serta penggolongannya.  Dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan tentang kepribadian manusia dan karakteristik umum yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Selain itu, juga terdapat model atau pola umum kepribadian manusia yang dibedakan dengan beberapa cirri utama. Salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi. Manusia diberikan amanah sebagai khalifah Tuhan di muka bumi karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.
Pada era informasi dan komunikasi global seperti sekarang ini segala hal yang berbau modernisasi mampu menyentuh setiap segi kehidupan manusia, para pakar di bidang psikologi pun serta merta menegaskan klaim yang hampir senada. "Tidak ada orang pada masa kini yang mengaku tidak mengenal psikologi," ujar Rita L. Atkinson dan kawan-kawan dalam buku mereka, Introduction to Psychology.[1]Beberapa psikolog berpendapat menurut mereka, psikologi telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Hal ini tertuang dari berbagai komentar masyarakat yang mulai memikirkan jawaban dari beberapa pertanyaan, di antaranya, efek yang ditimbulkan oleh stres jangka panjang, mempelajari hal ihwal perilaku manusia dan kebutuhan pengetahuan psikologi.  Kemudian, perhatian dan minat sementara orang untuk mempelajari perilaku atau kodrat manusia hanya digerakkan oleh dorongan rasa ingin tahu. Mereka, boleh jadi, ingin sekadar tahu dan mengerti saja, tak ubahnya seperti orang yang melihat bintang gemintang di langit, sekadar untuk tahu dan mengerti.[2]
Selanjutnya, mereka lebih tertuju pada alasan-alasan yang lebih praktis dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang perilaku, kodrat, tabiat, atau pribadi manusia ari berbagai kelompok, komonitas dan kultur. Mereka yakin bahwa berbagai masalah sosial akan bisa dipecahkan atau diatasi seandainya orang nengetahui persis pangkal penyebabnya secara universal. Dalam pandangan mereka, kesukaran-kesukaran, atau persoalan-persoalan yang dibuat dan dialami oleh manusia dapat segera diatasi. Dengan bekal pengetahuan itu, mereka ingin mengikis, atau setidaknya, mengurangi problema-problema sosial, seperti kegelisahan dan pemogokan karyawan yang kerap terjadi, kejahatan dan tindak kriminalitas, konflik sosial, sampai pada perang sebagai konflik yang dilembagakan.[3]
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain lingkungan masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya. Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir, berkebiasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri.  Ada yang berbuat kebaikan, kejahatan, asusila dan perilaku-peilaku yang lain. Bagaimana pun, psikologi dapat memberikan pengertian yang lebih baik mengenai sebab-sebab orang berpikir dan bertindak seperti yang mereka lakukan, dan memberikan pandangan untuk menilai sikap dan reaksi, baik yang kita lakukan sendiri atau orang lain.
Singkatnya, psikologi dibutuhkan oleh mereka yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dan bersama orang lain. Psikologi dibutuhkan atau dipelajari oleh mereka yang dalam tugas dan jabatannya akan bekerja bersama orang lain. Dengan demikian, psikologi selalu dibutuhkan oleh pimpinan perusahaan, pengurus organisasi massa, pengurus lembaga sosial, para pejabat pemerintah, para elit politik, komandan pasukan, wartawan, hakim, khatib, guru, dosen, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya.  Juga dibutuhkan oleh setiap orang dalam fungsi dan perannya sebagai rakyat biasa, suami, istri, ayah, ibu, dan anak dan lain sebagainya. Jadi, dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal manusia. Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu, misinyanya, sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia memahami perasaan orang lain. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual dari orang tersebut. 
Masyarakat hari ini  sedang mengalami sosial drastis, informational, dan perubahan teknologi. Kemajuan revolusioner dalam globalisasi dan teknologi elektronik adalah  menjelmakan alam era baru yang menjangkau seluruh komunitas manusia yang saling mempengarui serta dibarengi emosi. Pengembangan dan kemajuan yang meningkat,  menuntut pada pribadi secara personal  untuk membentuk tujuan global dan hidup masyarakat yang bertarap internasional.[4]  Kompetisi ini dikawatirkan akan tumbuh  berbagai tekanan-tekanan  dari  aspek psikologi.  Sehingga perlu penelitian sejauhmana pengaruh globalisasi terhadap psikologi. Psikologi adalah disiplin yang integratif terbaik serta untuk pemahaman dan adaptasi manusia yang selalu berubah. Disiplin ilmu psikologi dengan uniknya saling mempengaruhi secara kompleks antara  intrapersonal, biologi, hubungan antar pribadi, dan sosiostructural  manusia. [5] 
Bidang psikologi berusaha ikut andil pada visi an misi manusia yang lengkap dengan berbagai kesenangandan konflik. Keunggulan manusia di dalamr semua lapisan hidup saat ini berusaha untuk adaptasi dengan sistemdan nilai manusia yang selalu berkembang dan berubah dari  suatu perspektif local hingga lintas dimensi yang global.  Corak manusia era global memungkinkan manusia untuk  pengembangan mereka sendiri secara personal dan pembaharuan akan berdampak negative terhadap mental dan kejiwaan mereka. [6] Psikologi bila ditinjau dari aspek  global dari ruang lingkup kajiannya, tentu memiliki karelasi yang sangat dekat dengan ilmu-ilmu lain, seperti hubungan psikolagi dan filsafat, psikologi, psikologi dan pendidikan terutama dengan paedagogiek, psikologi dan sosial, psikologidan kedokteran, psikologi dan agama, psikologi dan antropologi, psikologi dan politik, psikologi dan komonikasi, psikologi dan biologi, psikologi dan ilmu alam dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan psikologi.
Membicarakan psikologi sebagai suatu solusi hidup, tentu hal tersebut senada dengan kitab suci Al-Qur’an.  Maksud dan tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk mengatur kepentingan hidup manusia, serta berfungsi sebagai petunjuk dan pembeda antara benar dan salah. Isi Al-Qur’an sangat sesuai dengan kebutuhan hidup manusia, karena yang membuat adalah Tuhan yang menciptakan dan mengatur manusia. Oleh karena itu sangat mustahil bahwa isi Al-Qur’an kontraproduktif dengan sistem kehidupan manusia, dan Al-Qur’an sanggup menjadi solusi setiap permasalahan bagi umat manusia. Hal tersebut sudah tersirat dalam surat al-Baqarah ayat 2 yang intinya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup untuk orang yang imgin memelihara diri dari segala keburukan. Sebaliknya, bagi orang-orang yang zalim Al-Qur’an tidak dapat mendatangkan kebermanfaatan hidup, bahkan menjadi sesuatu yang merugikan. Seperti dalam (QS Al-Isra : 82). "Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi Penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian". Sejarah telah banyak membuktikan: bahwa kitab-kitab suci yang dibawa oleh para Nabi / Rasul selalu mendapatkan perlawanan dan pertentangan, baik dari masyarakat sekitarnya atau dari keluarga nabi sendiri.
Bagi setiap muslim selayaknya isi Al-Qur’an harus dijadikan tuntunan bukan tontonan. Ayat-ayat Al-Qur’an hendaknya dapat dijadikan sebagai kompas kehidupan. Oleh karena itu bagi setiap muslim hukumnya wajib untuk  membaca, mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Setiap ayat yang tertulis d idalam Al-Qur’an memiliki makna dan maksud yang berbeda. Apabila kita banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita akan makin banyak mendapatkan manfaat dan kebaikan sebagai solusi setiap kasus yang timbul dari diri manusia.
Dalam konfrensi tahunan ke XVII Ikatan Dokter Amerika, di Sant Louis, wilayah Missuori AS, Dr Ahmad Al-Qadhi pernah melakukan presentasi tentang hasil penelitiannya (penelitian awal) dengan tema: pengaruh Al-Qur’an pada manusia dalam prespektif fisiologi dan psikologi. Dia adalah seorang direktur utama Islamic Medicine Institute for Education and Research yang berpusat di Amerika Serikat, sekaligus sebagai konsultan ahli sebuah klinik di Panama City, Florida AS.  Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan: untuk menentukan kemungkinan adanya pengaruh Al-Qur’an pada fungsi organ tubuh manusia, sekaligus mengukur intensitas pengaruhnya jika memang ada. Tujuan kedua adalah efek relaksasi atau penurunan yang ditimbulkan oleh bacaan Al-Qur’an pada ketegangan saraf refleksi beserta perubahan fisiologi yang mengirinya.  Penelitian ini melibatkan beberapa responden non muslim sebanyak 5 responden: 3 laki-laki dan 2 perempuan, usia mereka berkisar 18 tahun sampai 40 tahun. Para responden tersebut tidak mengerti bahasa arab, apalagi untuk membaca ayat suci Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan: mesin pengukur yang berbasis komputer, Model MEDAQ 2002 (Medical Data Quotien) yang dilengkapi dengan Sofware, Komputer jenis Apple 2A dan sistem ditektor elektronik . Alat super canggih ini ditemukan dan dikembangkan oleh Pusat kedokteran Universitas Boston dan perusahaan Davicom di Boston Amerika Serikat.[7]
Sebelum penelitian dimulai, setiap responden dipasang empat jarum elektrikal pada masing anggota tubuh , kemudian dikoneksitaskan ke mesin pengukur yang berbasis komputer. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik dan mengukur reaksi urat saraf reflektif pada masing organ tubuh responden . Seperti diketahui: bahwa tubuh manusia diliputi medan elektronmagnetik, berupa bias cahaya yang tidak terlihat. Medan cahaya ini sekarang dapat dipotret secara elektrik dengan Kirlian photography.[8]
Dalam penelitian dilakukan 210 kali eksperimen kepada lima responden. Para responden (dalam keadaan santai dan mata tertutup) diminta mendengarkan Al-Qur’an sebanyak 85 kali eksperimen, bacaan teks berbahasa Arab sebanyak 85 kali eksperimen, dan pada 40 kali eksperimen berikutnya tidak mendengarkan bacaan apapun. Dalam mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan bacaan teks berbahasa arab responden dilantunkan dengan kesamaan instrumen dari aspek lafal, tatanan pengucapan dan melodi, sehingga responden tidak bisa membedakan keduanya, karena memang responden tidak bisa berbahasa arab.  Hasil penelitian tersebut adalah: menunjukan hasil positif bahwa mendegarkan bacaan ayat suci Al-Qur’an memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer.[9]
Adapun pengaruh yang terjadi adalah, adanya perubahan-perubahan arus listrik di otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan tersebut menunjukan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya pelonggaran pembulu nadi dan penambahan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekwensi detak jantung. Diketahui bahwa stres berpotensi menurunkan imunitas ( daya kekebalan) tubuh. Meningkatnya stres akan menyebabkan penyempitan dan pengerasan pembuluh nadi (arteriosclerosis), sehingga kadar darah yang mengalir dipembulu nadi kulit pun akan turun, begitu juga tingkat suhu kulit, sementara detak jantung akan semakin cepat.[10]
Dengan adanya hasil eksperimen komperatif tersebut, kesimpulan awal dapat diperoleh: bahwa mendengarkan ayat suci Al-Qur’an mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap perubahan fisiologi dan psikologi manusia. Dengan demikian kemajuan ilmu telah mengungkapkan: bahwa Al-Qur’an diturunkan memiliki kebermanfaatan untuk kepentingan manusia, walaupun hanya sekedar mendegarkannya. Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat: bahwa mendegarkan ayat-ayat Al-Qur’an dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan organ tubuh, serta memberikan aura positif pada tubuh manusia.
Terbayang oleh fikiran kita apabila seorang muslim gemar membaca, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an, maka sangat dimungkinkan akan terpancar aura positif pada tubuhnya dan memberikan bias pada alam sekitarnya. Oleh karena itu wajarlah apabila kita dapati: bahwa orang-orang yang saleh memiliki wajah yang bersinar dan teduh, karena didalam tubuhnya telah tersusun medan elektromagnetik sesuai fungsinya, serta diiringi terpancarnya aura positif: ketenangan, kesejukan dan kedamaian. Sangat tepat apabila Rasulullah Muhammad SAW menyuruh kita: untuk senantiasa bersosialisasi dengan orang-orang saleh, agar aura positif pada diri orang saleh terpancar kedalam tubuh kita, serta dapat memberikan ketentraman dan ketenangan.
B.  Teori Psikologi
Apa itu psikologi, pendefinisian istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan memberikan jawabannya di antaranya. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti "ilmu". jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-geiala kejiwaan.[11] Untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an Introduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.[12]
Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. W.A Gerungan adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang tidak sependapat. Menurutnya,[13]
1.      Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang dikenal tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artinya yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi merupakan istilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
2.      Ilmu jiwa kami gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala khayalan dan spekulasi mengobati jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang disepakati para sarjana psikologi pada zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
            Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang disebut psikologi itu juga termasuk ilmu jiwa.
Tampaknya, para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah, jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pemah berujar, "My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul" (Pikiran saya tidak mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Jadi, amat sukar untuk mengenai jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah mengobservasi perilakunya, meskipun perilaku bukan merupakan percerminan jiwa secara keseluruhan.. Plato dapat disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini.[14] la mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga orang memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga.
Dalam teorinya tentang "Pengingatan-Kembali", Plato mengapungkan. dua proposisi.[15] Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai pendapat yang berbeda dengannya. la melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa. Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda, walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualistis.  Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat, tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan "Cogito Ergo Sum" (saya berpikir, karena itu saya ada).
            Konsep-konsep difinisi, metodologi dan pendekatan-pendekatan dalam Psikologi yang telah dirumuskan para ahli bukanlah capaian final. Selalu terkandung cacat-cacat dalam setiap rumusan suatu ilmu, tidak terkecuali Psikologi. Secara sederhana saja dapat dikatakan bahwa karena teori-teori atau aliran-aliran Psikologi lahir dari peradaban Barat, maka kerangka pikir (mode of thought) dan rumusan Psikologi itu pun tak terlepas dari mode of thought masyarakat Barat. Karenanya, sangat mungkin ia mengandung bias-bias ketika kita memakaianya untuk menganalisis atau menerapkannya pada budaya atau masyarakat yang berbeda.[16]
Selanjutnya, untuk akhir-akhir ini umat manusia diperkenalkan kajian teori psikologi modern, yang yang bernama  Behaviorisme, Psikoanalisa, Humanistik dan psikologi yang termuda bernama Transpersonal. 
            Behaviorisme[17] (Aliran Perilaku) yang disponsori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), mendasarkan diri pada konsep stimulus respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan pada dasamya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitamya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik. Pandangan semacam ini memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Pandangan ini beranggapan bahwa apa pun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.[18]
Aliran  Psikoanalisa, Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1893), berpandangan manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya adalah komponen yang alami pada manusia sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.[19]
Psikologi Humanistik Aliran yang dipelopori Abraham H. Maslow (1908-1970) dan Carl Ransom Rogers (1902-1987) ini mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif, mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan antar manusia. Akan tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, akan kita temui begitu banyak kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimisti terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[20]
Transpersonal merupakan salah satu aliran psikologi dipelopori oleh Anthony Sutich.  Menurut Marylin Ferguson dalam buku The Aquarian Conspiracy mengatakan bahwa, Transpersonal lahir dan tumbuh berkembang di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960 dan 1970-an.  Gerakan yang menuntut persamaan hak perempuan, kaum homseksual dan lesbian, hal ini melanda daerah Amerika dan Eropa.    Psikologi Transpersonal cukup berbeda dengan psikologi-psikologi yang lain, pola pandangan aliran ini memuat ide-ide yaitu; potensi-potensi luhur (the highest potentials) fenomena kesadaran  (states of consciousness) manusia, yang meliputi demensi kesatuan mistik, daya-daya batin, meditasi. Intinya aliran ini berusaha menyatukan teori psikologi dan spiritualitas.[21]
            Dari berbagai tinjauan secara definisi dan sekilas beberapa uraian aliran-aliran psikologi yang dikembangkan oleh para psikolog, secara garis besar memiliki berbagai bentuk dan obyek kajian, terfokus pada kajian terhadap manusia.  Baik secara individu, maupun kelompok masyarakat. 
Sedangkan teori psikologi dalam ranah islam yaitu, secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa memiliki padanan dengan kata nafs, meski ada juga yang menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.[22] Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah psikologi kontemporer seperti soul atau psyche. Hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani dan ruhani, sedangkan soul dan psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia.[23]
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.[24]
Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian tentang jiwa tersebut selanjutnya “menghilang” bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya.  Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs) oleh Islam para Ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang menyebut kata nafs tidak kurang dari 300 kali. Demikian pula dalam hadits, kata nafs banyak sekali di sebut. [25]
Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang kita kenal saat ini, tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs al muthma’innah).[26]
Terlepas dari itu semua, ilmu psikologi seharusnya dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunnatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsaniyah) dalam arti menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi, dan hukum-hukum di seputar kejiwaan manusia.
Berangkat dari asumsi di atas, kiranya “PR” yang perlu dikerjakan adalah menjadikan psikologi agar dapat digunakan untuk menerangkan berbagai problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam kehidupan kesehariannya, melakukan telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam, kemudian menawarkan konsep alternatif tentang psikologi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat disebut Psikologi Islami atau Psikologi Islam, meskipun sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah menggunakan nama Psikologi Islami atau Psikologi Islam.
Dari kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Psikologi Islam seperti halnya Sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains. “Kebaruan” ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs, atau jiwa belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda.[27] Perbedaan yang lain adalah dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekatinya. Psikologi Barat semata-mata menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapakan asas-asas kejiwaan, sementara Psikologi Islam mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus.[28]  Walaupun demikian, sebagai ilmu yang masih dalam proses pembangunan, jika ingin menghasilkan suatu pendekatan baru dalam khasanah Psikologi Islam, maka langkah yang paling tepat bukan memulainya dari nol, melainkan dimulai dari penemuan dan teori psikologi Barat kontemporer.
Berangkat dari asumsi demikian, kiranya ada dua model pendekatan, Pertama, psikologi sebagai pisau analisis dalam menghadapi masalah-masalah yang berkembang di kalangan Umat Islam. Kedua, Islam dijadikan sebagai alat untuk menilai konsep-konsep psikologi Barat kontemporer.[29]
Diatas itu semua, semangat pengembangan Psikologi Islam hendaknya tetap mengacu pada beberapa hal, diantaranya:
1.      Psikologi Islami adalah merupakan ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (al Qur’an dan Hadits), akal, indera dan intuisi.
2.      Psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah melalui proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan Islam.
3.      Psikologi Islami adalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam.
4.      Psikologi Islami ialah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber formal (al Qur’an dan Hadits) yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah.
5.      Psikologi Islam merupakan corak psikologi yang berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam kerohanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.[30]
Dengan demikian, jika psikologi mempunyai tugas mencakup, menguraikan, memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia, maka psikologi Islam masih memiliki tugas tambahan, yaitu pengembangan psikologi Islam. Dalam hal ini psikologi Islam harus menempatkan agama sebagai pijakan ilmu.
Selain itu, psikologi Islam juga harus mampu merumuskan asas-asas kejiwaan dari al Qur’an dan Hadits, yaitu yang berkaitan dengan karakter manusia sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam al Qur’an, seperti dlaif (lemah), jahl (bodoh), halu’ (terburu-buru), zhulm (sewenang-wenang), kaffar (banyak menentang), kanud (tindak pandai berterimakasih), ghalidl al qalbi (keras dan kasar hati), qalbun salim (hati yang bersih), fi qulubihim maridl (penyakit hati), lahiyah al qulub (hati yang lalai), ru’fah wa rahmah (cinta dan kasih saying) dan lain-lain.[31]
Psikologi Islami juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan umat Islam yang disinyalir memiliki pijakan psikologis. Dalam bidang konseling misalnya, meski para Ulama’ tidak mengenal teori Bimbingan dan Konseling modern, tetapi terapi psikologi bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai. Boleh jadi paradigma yang digunakan oleh para kiai tersebut berbeda dengan paradigma psikologi modern, melainkan paradigma tasawuf dan akhlak, tetapi tidak bisa dibantah bahwa tujuan tausiyah para kiai tersebut adalah memberikan solusi atas problem-problem psikologi yang dihadapi.
Jadi, jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi yaitu, fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi Islami di samping tiga dimensi tersebut juga mencakup dimensi keruhanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh psikologi Barat karena perbedaan pijakan.[32]

C.  Manusia Menurut Psikologi Islam
Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu insan, basyar dan bani adam. Kata “Insan” diambil dari asal kata “Uns” yang mempunyai arti jinak, tidak liar, senang hati, dan tampak atau terlihat (Q.S At-Tin, 95:4). Kesempurnaan manusia dapat dilihat pada asal kata “Ins” yang berarti seorang manusia, sedang “Insani” berarti dua orang manusia. Dari kata “Insan” tersirat makna bahwa manusia mempunyai dua unsur kemanusiaannya, yakni aspek lahiriyah dan aspek bathiniyah (Q.S Adz-Dzariyat, 51:56). Sedangkan kata-kata Ins dan Unas, menunjukkan makna bahwa sifat dasar manusia adalah fitri yang terpancar dari alam rohaninya, yaitu gemar bersahabat, ramah, lemah-lembut, dan sopan santun serta taat kepada allah swt (Q.S Al-A’rof, 7:172).
Sedangkan Basyar, berasal dari makna kulit luar yang dapat dilihat dengan mata kasar, bersifat indah dan cantik, dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia, dan gembira bagi siapa saja yang melihatnya (Q.S Ali Imran, 3:7).  Sementara kata “Bani Adam”, ialah anak adam atauputra Nabi Adam as (Al-A’raf, 7:27).[33]
Istilah yang mirip dan memiliki pengertian yang sama dengan Bani Adam adalah Dzurriyat Adam. Adam digambarkan daam Al-Qur’an sebagai makhluk manusia yang pertama kali. Di sampingnya terdapat seorang perempuan yang diciptakan Allah untuk hidup berdampingan dengan adam, yakni Hawa namanya. Dari pernikahan adam dan Hawa lahirlah bangsa manusia. Maka, semua manusia adalah bani adam atau keturunan Adam.[34]
Abdurrahman An-Nahlawi, mengatakan bahwa manusia menurut pandangan Islam meliputi : [1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya (Q.S Al-Isro: 70 dan Al-Hajj : 65). [2] Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan (Q.S As-Syam: 7-10). [3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat Al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", “afala tata fakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.[35]
Selain itu, Al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan juga bodoh. Al-Qur'an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al-'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas.[36] Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. At-Tiin (95) : 5-6 :
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Selain itu, Al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf: 179 sebagai berikut :
Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya.
Agama adalah sandaran utama yang seharusnya dipakai untuk membangun paradigma baru ilmu pengetahuan. Salah satu kesalahan yang dilakukan oleh perumus konsep manusia adalah mereka membangun konsep manusia secara spekulatif. Mereka merumuskan apa dan siapa manusia didasarkan pada pandangan yang sangat subyektif dan tidak disandarkan pada pegangan yang benar-benar bisa dipercaya. Agar konsep manusia yang dibangun bukan semata-mata merupakan konsep yang spekulatif, maka mesti bertanya kepada Dzat yang mencipta dan mengerti manusia, yakni Allah swt. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata, benar dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an adalah sumber yang layak dijadikan acuan utama dan tak pantas dilupakan.[37]
Selama ini kepribadian atau personality, kita ketahui dalam wacana psikologi modern, atau psikologi Barat atau disebut juga psikologi kontemporer. Keempat mazhab psikologi, eksistensialis, behaviorisme, dan psikoanalisa serta psikologi humanistik menjelaskan teori kepribadian yang berbeda satu sama lain. Kendati berbeda pandangan, namun mereka sama-sama mengandalkan panca-indra untuk mengamati, mengevaluasi, dan menentukan tipe kepribadian seseorang.
Beberapa psikolog berpendapat (ilmu tentang jiwa) ternyata tidaklah benar-benar ilmu yang berbicara tentang jiwa bahkan cenderung menafikan pembicaraan jiwa. Menurut mereka jiwa adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dibuktikan dengan data empiris, sekali pun mereka tahu ada sumber kekuatan dibalik yang nampak melalui perilaku atau perbuatan seseorang. Sebagai contoh kita melihat seseorang yang berulang kali makan. Lalu kita dapat menyatakan dia sangat lapar karena dia makan. Padahal mungkin belum tentu dia lapar, siapa tahu dia sedang stress atau memang hobinya makan. Contoh lain kita melihat seseorang yang tidak tersenyum kepada kita ketika berjumpa, lalu mungkin kita akan katakan dia sombong, pemurung, tidak ramah atau sudah lupa kepada kita. Padahal siapa tahu dia sedang sakit gigi, tidak sehat, banyak pikiran, sedang gundah dan lain-lain.
Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:
Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.
Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (Ali Imran: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini, maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.[38]
Menurut al-Ghazali, pada diri manusia terkumpul sekaligus empat dimensi kejiwaan, yaitu: dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (an-natiyyah), dimensi hewani (al-hayawaniyyun), dan dimensi insani (al-insaniyyah).
Dimensi tetumbuhan memiliki fungsi nutrisi (al-qhaadiyyah), fungsi pertumbuhan (an-naamiyyah), dan fungsi reproduksi(al-muwallidah). Sedangkan pad dimensi hewani ada dua fungsi yaitu: motivasi (al-muharrikah) dan persepsi (al-mudrikah). Semua itu disebut al-Ghazali sebagai “pasukan hati” (junud al-qalb) yang jenisnya sangat beragam dan jumlahnya pun tak diketahui dengan pasti. Fungsi motivasi misalnya terdiri dari dua daya, yaitu daya pembangkit dan pendorong (syahwat dan kemarahan), serta penggerak tubuh dan aktifitas (daya dan kekuatan). Keduanya mencerminkan kemauan dan kemampuan. Sedangkan persepsi adalah kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu yang pada taraf pertama biasanya diperoleh melalui proses penginderaan.[39]
   
C.  Issu Glabalisasi dan Psikologi
Sebagai konsep, globalisasi mungkin telah menggantikan universalisasi. Dokter jiwa  yang biasanya mengadopsi suatu pandangan universalis di dalam perasaan yang mendasari manusia fisiologis dan sampai taraf tertentu psikologis yang bersifat universal, sedangkan ahli antropologi membantah untuk suatu relativis posisi. Relativis takut liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan memutar ruang individu mereka ke dalam kesatuan yang lebih homogen. Suatu pandangan globalisasi yang umum adalah bahwa masyarakat didorong kearah berbagai hal yang tak dapat dikendalikan dan bergeser ke status ke korporasi multinasional. Terdengar issu perdagangan bebas dan gerak bebas ekonomi semakin tak terkendali. [40]
Bagaimana peran media di dalam cara menggambarkan kemiskinan, kelaparan dan bencana alami di dalam berbagai fariabel negeri.  Globalisasi sedang mendobrak dan memerinci batasan-batasan alami, kita dapat menngunjungi dari satu kultur ke lain melalui televisi, internet, bioskop dan buku-buku. Dengan pergerakan ini  menaikkan harapan dan cita-cita. Orang pindah ekonomi tidak mengalami penghalang apapun dan menikmati suatu kultur perusahaan multinasional di mana mereka dapat mempunyai makanan Cina di Paris, makanan Perancis di dalam India dan orang India menyamak kulit Hong Kong.[41] Pengembaraan wisatawan dan ekonomi yang belakangan menghasilkan pendapatan. Globalisasi sedang memutar mereka yang adalah lemah dan miskin tanpa ketentuan dan tak berpendidikan diseret ke dalam kehidupan gelandangan. Siapun diijinkan untuk tetap berada di tempat maupun untuk mencari-cari suatu lebih baik menempatkan untuk menjadi segala bentuk karakter.
Globalisasi sebagai  intensifikasi interconnection global, mengusulkan suatu dunia penuh dengan pergerakan dan campuran, kontak dan pertalian, dan interaksi budaya saling menukar. Teknologi komunikasi dan pengangkutan semakin banyak dan cepat. Biaya produksi dan memaksimalkan laba telah memimpin korporasi multinasional untuk bergeser ke dalam produksi yang lebih jauh. Biaya Manusia bukanlah suatu pertimbangan di dalam akuntansi. Bagaimanapun, globalisasi dapat bermanfaat bagi individu, dengan membiarkan mereka untuk ikut serta, kultur imigran bisa meningkatkan cita-cita mereka. Dengan saling behubungan yang kompleks, tidak hanya dapat menyilang, menarik ke dalam tempat jaringan yang hegemony keuangan, tetapi juga orang-orang bergerak ke lintas batasan-batasan nasional, memutar wilayah pribadi ke dalam ruang publik[42], dan berjuang keras untuk mengatasi permasalahan satu sama lain, di mana kultur berselisih. Arus ibukota yang cepat, orang-orang, barang-barang, gambaran dan ideologi dunia bekerja sama di dalam suatu jaringan  yang ketat, kadang-kadang boleh mencekik individu untuk membebaskan diri dari permasalahan yang komplek. Saling behubungan ini dapat ditelusur balik ke dalam Kolonialisme mengenai Eropa, yang memulai proses dari homogenisasi budaya ke seberang batasan-batasan geografis.
Konseptual globalisasi menurut Harvey (1999) yang terutama sebagai tekanan ruang dan waktu seseorang hanya dapat mempertimbangkan tentang dampak dari tekanan sosial dan jiwa perorangan.  Tekanan ini tidak terjadi karena suatu selalu berlanjut tetapi secara singkat. Pertemuan sosial mungkin segera dan secara langsung, atau komunikasi ke seberang ruang dan waktu. Globalisasi begitu memimpin ke arah angka-angka orang-orang semakin banyak tertinggal di dalam keadaan di mana institusi mereka dibunuh,  praktek lokal berhubungan dengan sosial globalis mengorganisir aspek yang utama dari kehidupan sehari-hari,[43] sehingga memproduksi suatu perselisihan yang mengasingkan kedua-duanya individu dari  tempat dan ruang global.[44]  
Dari perspektif psikiater budaya, kultur mempengaruhi gejala dan idiom yang menyusahkan, model individu bersifat menjelaskan karakter.  Identitas kesukuan mempunyai suatu peran di dalam individu yang mengagumi diri sendiri dan mempengaruhi terhadap sosial. Konsekwensi konteks pendukung pluralisme multikultural masyarakat yang baru, untuk kesejahteraan dan kesehatan psikologis individu sebagian besar tak dikenal. Dokter jiwa budaya melanjutkan untuk belajar sistem identitas yang  diancam oleh proses globalisasi.
Kita sudah masuk dunia baru globalisasi yang menantang. globalisasi mungkin adalah digambarkan sebagai suatu proses di mana batasan-batasan yang tradisional yang memisahkan individu dan masyarakat secara berangsur-angsur dan terus meningkat. Proses ini sedang mengubah sifat alami interaksi manusia di dalam lapisan banyak orang, baik dari aspek ekonomi, politis, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. globalisasi sedang mengubah jalan hidup, ruang dan waktu tanpa batas.[45].
Pendekatan ideologis dan filosofis memandang tentang dampak globalisasi pada individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga, globalisasi jelas mempunyai efek negatif dan positif serta kemungkinan menciptakan pecundang dan pemenang. Masyarakat berubah dengan cepat melalui urbanisasi, acculturasi, modernisasi, sosial, politik dan perubahan budaya. Di dalam negara-negara orang banyak dimakan karat oleh disintegrasi ekonomi, distribusi yang berbeda, kekayaan kolektif, gangguan sosial, penindasan politis, imigrasi dan bahkan perang. Berjuta-juta orang masih kekurangan makanan, air, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara mendasar. Kekuatan ekonomi global sudah memperlemah masyarakat dan negara-negara lemah dan miskin pada status yang ekonomi.  Mata rantai yang kompleks antar  globalisasi, kesehatan, sosial dan kesejahteraan serta kesehatan mental sangat perlu untuk diselidiki.[46]
Pengaruh globalisasi pada psikologis cukup signifikan, sebagaimana pengujian yang dilakukan oleh beberapa pakar. Terjadinya globalisasi diberbagai daerah dunia, yang kemudian konsekwensi globalisasi cukup berpengaruh pada psikologis, uraian globalisasi terfokus pada isu identitas. Yang secara rinci mereka berargumentasi bahwa kebanyakan orang-orang di seluruh dunia berkembang dari suatu kombinasi kultur dan identitas yang yang berbeda, dari kultur lokal bersinggungan dengan suatu identitas kultur yang global.  Identitas yang berbeda itulah melahirkan kebingungan dan meningkatnya emosi antar publik. Kultur barat sebagai hasil globalisasi  menjadikan identitas mereka terpelihara yang selanjutnya terus meningkat luas.[47]
Globalisasi telah tumbuh dan hidup berabad-abad sebagai proses perubahan, dimana kultur saling mempengaruhi satu sama lain dan menjadi lebih mirip, hal ini terjadi melalui perdagangan, imigrasi,  pertukaran informasi dan munculnya berbagai gagasan-gagasan baru.  Bagaimanapun juga di dalam dekade terbaru, derajat dan tingkat intensitas koneksi antar kultur yang berbeda dunia sudah mempercepat kemajuan berbagai sektor secara dramatis, oleh karena itu kemajuan dalam telekomunikasi mengalami suatu peningkatan cepat dan saling ketergantungan misalnya keuangan dan ekonomi di seluruh dunia. Globalisasi meliputi suatu isu dan gejala yang memiliki cakupan luas. Di dalam perkembangan buku-buku terbaru pada  topik atas, sebagian besar mereka telah terfokus pada ekonomi, didalam buku-buku tentang globalisasi juga telah menunjukan adanya isu-isu lain, globalisasi telah banyak mempengaruhu kehidupan orang-orang kota dan pada praktek budaya. Globalisasi menurut beberapa riset mempunyai implikasi psikologi terhadap masyarakat (publik), tetapi sampai sekarang implikasi ini belum secara menyeluruh dapat diuraikan. Akan tetapi secara langsung kontribusi psikologi untuk suatu pemahaman globalisasi telah diakui.  Sejalan dengan pergeseran budaya dan identitas masyarakat.[48]
Lingkungan sosial dihubungkan dengan resiko sakit ingatan, sukar untuk meramalkan dampak globalisasi pada secara umum. Bagaimanapun juga, kekacauan mental tidak bisa lagi di hindari dari konteks yang global yang membingkai hidup kita. Menurut Kirmayer & Minas (2000), globalisasi mempengaruhi psikiatri di dalam tiga jalan utama.  Di antranya :[49]
1.      Melalui efek pada format individu dan identitas kolektif
2.      Melalui dampak dari ketidaksamaan ekonomi terhadap kesehatan mental
3.      Melalui bentuk ketidak perdulian dari pengetahuan psikiatris sendiri
4.      Melalui mass media dan telekomunikasi elektronik, kultur local dan kesukuan di seluruh bumi.[50]
Harpham et Al, 1988 and  Kleinman ( 1991), urbanisasi adalah peningkatan yang relatif yang berkenaan dengan populasi kota sebagai proporsi total, dan setelah diamati, urbanisasi telah mendorong suatu peningkatan gangguan perilaku terutama apabila dihubungkan dengan keluarga, mencakup kekerasan ke pasangan, anak-anak,  dan berbagai kekacauan di tingkat masyarakat.  Urbanisasi secara jangka panjang akan bereimplikasi pada kekacauan mental, di mana berbagai kesulitan dan peristiwa hidup sebagai salah-satu faktor penyebabnya. Kesulitan hidup yang kronis seperti lingkungan miskin, kekerasan dan kecelakaan, kompetisi sosial, konflik kelas, pemondokan.[51]
Marsella berkenaan dengan kehidupan global mengusulkan untuk menghadirkan suatu laboratorium alami untuk belajar tentang kekacauan mental tradisional seperti tekanan, penyakit jiwa dan sakit saraf,  terutama tentang tekanan yang berhubungan dengan permasalahan memondokkan, pekerjaan, perkawinan, anak terlantar, keamanan dan berbagai kesulitan lain berkenaan dengan kehidupan kota di dalam interaksi bersama dengan sumber daya yang tersedia untuk pelatihan atau resolusi mereka menyediakan pemahaman yang terbaik tentang faktor penentu psychopathological kekacauan di dalam populasi.  Peneliti lain[52] menekankan pada mata rantai antara kesehatan mental dan kemiskinan, perbedaan ekonomi dan underdevelopment, kondisi kerja dan rasa lapar kronis, kebebasan dan diskriminasi jenis kelamin, pelanggaran hak azasi manusia dan pendidikan yang terbatas,  semua itu patut untuk dipikirkan sebabbisa memperlemah dan membinasakan individu dan antara kedua-duanya dan sosial bisa bertindak sebagai penyangga atau bantalan melawan terhadap permasalahan kesehatan mental.[53]
Sakit ingatan dan permasalahan kesehatan mental meliputi 8% dari setiap tahun, karena orang dewasa yang tua 15-44 tahun tinggal di  demographically, penyakit neuropsychiatric 12% adalah beban penyakit yang global. Kebanyakan peneliti menggaris bawahi kemungkinan itu yang banyaknya orang dengan sakit ingatan utama dan beban permasalahan kesehatan mental bermasyarakat, akan menjadi terus meningkat setiap tahun ke tahun  sebagai dampak globalisasi.[54] 
Tekanan dapat bertindak sebagai suatu paradigma di dalam diskusi dampak globalisasi, dalam hal kelaziman kekacauan mental, tekanan juga dapat terjadi sebagai peristiwa tunggal dalam seumur hidup. Latar belakang  budaya mungkin ikut menentukan apakah tekanan akan jadi pengalaman, dan ternyata dinyatakan oleh psikologis dan terminologi emosional, atau fisik terminology tekanan dapat berpengaruh terhadap fisik.[55]
Tekanan adalah suatu kekacauan yang  sangat lazim. Tentu saja, pengalaman dari suasana hati dysphoric yang kini dianggap sebagai suatu peristiwa universal, walaupun corak klinis  boleh berbeda dengan kultur. Organisasi Kesehatan Dunia (OKD) meramalkan bahwa di dalam tahun 2020 tekanan akan terjadi di seluruh dunia, di dalam negara berkembang tekanan diproyeksikan sebagai penyebab beban penyakit.[56] Dari perspektif ini, kita meninjau ulang riset terbaru ke dalam variasi budaya di dalam epidemiologi, hasil diagnosa perawatan dan presentasi tekanan klinis, dan bagaimana globalisasi akan mempengaruhi idiom kesulitan.[57]
Tekanan Epidemiologi belajar pada permasalahan psikologis di dalam  pelayanan kesehatan umum  Suatu studi besar oleh Organisasi Kesehatan Dunia, secara umum  arus adalah paling menekan perasaan.  Tekanan adalah kekacauan suatu yang cukup berpengaruh terhadap mental.[58]
Globalisasi mungkin untuk meningkatkan ketidaksamaan sosial dengan memperburuk perbedaan di dalam akses dan distribusi sumber daya. Persaud & Lusane (2000) menyarankan teknis proses ekonomi dihubungkan dengan diskriminasi sosial, seperti faktor sosial mungkin meningkatkan resiko perang saudara dan kekerasan kolektif.  Lebih lanjut faktor timbulnya serangan teroris, ekspose ke unsur berbahaya dan tersebar penyakit drug-resistant sebagai efek meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional mempunyai suatu dampak pada kesehatan mental yang tidak bisa di diremehkan.[59]
Teori somatisasi[60] lebih awal mengusulkan itu, yaitu padanan tekanan budaya, yang secara khas terjadi kultur non-Western. Sekarang tumbuh bukti adanya gejala somatic, yaitu mempresentasikan secara umum corak tekanan seluruh dunia itu. Tekanan di dalam terminologi berkenaan dengan metafora somatic. Simon menggunakan data dari orang yang belajar pada permasalahan psikologis di dalam  pelayanan kesehatan umum, menguji hubungan antara tekanan dan gejala somatic. Bagaimanapun juga somatisasi telah digambarkan sebagai gejala somatic secara medis, frekwensi gejala somatic tergantung pada bagaimana somatisasi digambarkan. Somatisasi  adalah suatu konsep yang mencerminkan dualisme yang tidak bisa dipisahkan di dalam Biomedical di dalam praktek barat, sedangkan kebanyakan dari tradisi obat dan  kedokteran yang besar seperti Cina suatu pembedaan jelas antara mental dan phisik tidak terjadi.[61]
Orang-orang dari kultur tradisional tidak membedakan emosi lekas marah dan tekanan sebab mereka cenderung untuk di dalam menyatakan kesulitan di dalam terminologi somatic atau mereka mengorganisir konsep dysphoria dalam cara-cara yang berbeda dari orang-orang barat. Sebagai contoh orang-orang Cina yang mempunyai tingkat tekanan dan cenderung untuk menyangkal tekanan dan somatically.[62] Di dalam suatu tinjauan ulang literatur menunjukan kepada satu set saling behubungan dan saling berpengaruh. Negeri China telah mendiagnose neurasthenia, konsep neurasthenia diuraikan oleh Cina sebagai shenjing shuairuo dan itu meliputi somatic, teori dan gejala emosional sebagai tambahan terhadap apapun secara menekan gejala perasaan. [63] Konsep ini sesuai dengan epistemologi yang menjadi penyebab penyakit tradisional atas dasar kepincangan atau kejanggalan dari ketidak seimbangan dan organ bagian badan chi yang sangat penting. [64]
Imigran Korea di  AS menyatakan bahwa rasa sakit yang tiba-tiba setelah doselidiki merupakan emosi yang secara simbolis atau secara fisik itu merupakan tekanan. fisik secara terminologi bukan emosional maupun jasmani, tetapi di suatu tempat diantara keduanya. Dysphoria telah dinyatakan sebagai gejala holistic (kemurungan jiwa telah diserap ke dalam badan). Kedokteran Korea tradisional membagi fungsi simbolis pada masing-masing organ bagian badan, paru-paru dihubungkan dengan keraguan, duka cita dan roh, hati dan marah, ginjal untuk takut.[65]
Bhui meninjau ulang literatur itu pada kekacauan mental umum antara orang India dan orang-orang Pakistan, mengacu pada kotak somatisasi yang hitam. Ia melaporkan bahwa Pasien yang mengunjungi dokter umum, mereka lebih sering mempunyai tekanan perasaan dan tekanan gagasan. Sakit adalah gejala pisik yang paling umum, akan tetapi proses penyembuan melalui mental itu sangat membantu penyembuan fisik.
Untuk mencegah dan mengantisipasi berbagai konflik yang timbul dari efek berbaurnya manusia ini, al-Qur’an memberikan isyarat dalam suarat al-Hujurat :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Hujurat :11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Hujurat :12)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat :13)
Dari ayat di atas menggambarkan bahwa, apabila suatu saat terjadi konflik di antara dua pihak tidak sepatutnya ikut-ikutan atau memihak kepada salah satu pihak. Kewajiban muslim adalah mendamaikan keduanya dengan semampunya. Bila dalam menyelesaikan suatu konflik dari efek globalisasi idealnya dilakukan secara personal. Bila tidak mampu, bekerjasama dengan minta bantuan yang  lain untuk mendamaikannya. Bila hal itu lakukan dengan ikhlas, selain akan di sayang sesama, Allah pun akan menyayangi. Surah Al Hujuraat ayat 13 merupakan penjelasan lebih lanjut ayat 10 diatas. Allah mengingatkan bahwa kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Di dunia ini ada berapa bangsa dan suku yang mempunyai adat dan tradisi yang  berbeda-beda serta kondisinya pun tidak sama. Ada yang  kaya, miskin, berkulit dan berbahasa macam-macam.  Kita tdk boleh merasa lebih atau paling tinggi diri yang  lain sehinga menjadi takabur. Tidak boleh pula merasa rendah diri sehingga minder. Derajat manusia di hadapan Allah swt. tidak di tentukan oleh keelokan tubuh, kebangsawanan, kekayaan, atau kedudukan dan tidak pula oleh warna kulit, suku atau kebangsaan semuanya sama saja. Hanya yangg paling bertakwalah yangg paling mulia disisi Allah swt. Manusia berbeda-beda, baik dari kondisi sosial-ekonomi atau kesukubangsaan, hal itu agar kita saling mengenal. Dari situ kita akan saling menghormati dan menyayangi.

F.  Al-Qur’an Sebagai Solusi Permasalahan
            Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya.  Disamping itu, Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.[66]
Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an. Di antaranya ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin ayat 5 (manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya) dan Surah al-Isra’  ayat 70 (manusia dimuliakan oleh Allah dibandingkan dengan kebanyakan makhlik-makhluk yang lain). Di samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan memberikan cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim : 34), manusia sangat banyak membantah (Q.S. al-Kahfi : 54), dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij: 19). [67]
Pada hakekadnya, potensi manusia yang saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu’ (jiwa yang selalu menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf ayat 53; nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah ayat 1-2; dan nafsu muthma’innah (jiwa yang tenteram), lihat Surah al-Fajr ayat 27-30.[68] Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan psikologis antara aspek material dan aspek spiritual. [69]
Membicarakan tentang berbagai permasalahan tentang psikologi manusia, tentu banyak hal yang harus diselesaikan, terutama memperbaiki mental manusia yang kian bergejolak dan tidak terarah.  Melihat kondisi ini perlu ada solusi, agar manusia bisa tetap survive dalam melaksanakan proses kehidupannya.  Dalam hal ini, Prof Darwis memberikan konsep dan beberapa solusi tentang pentingnya kesehatan mental bagi manusia dalam menangkal problem kehidupan.
Adapun rincian konsep sehat mental dalam mengatasi permasalahan dari dampak glabalisasi tersebut, sebagai berikut : [70]
1.      Memiliki Iman  yang Menjadi Landasan Semua Sikap dan Tingkah Laku
Di antara problematika dalam kehidupan modern saat ini adalah masalah sosial, budaya dan ekonomi yang sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya. Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun orang Islam dengan non-Islam. Ketika manusia beraktifitas dalam setiap kesempatan tentu memiliki tujuan-tujuan yang berbeda.  Dalam pelaksanaan inilah perlu prinsip dan landasan hidup yang kuat, agar semua aktifitas yang dilakukan oleh manusia (khususnya mu’min) dapat mengontrol diri dari hal-hal yang akan berakibat pada kerugian diri sendiri.
Manusia dalam menjalani proses kehidupan ini butuh iman sebagai landasan pokok, agar manusia tidak terkontaminasi sifat dan karakter binatang.  Sebab, hanya dengan keimanan manusia akan mampu kontrol sikap dan tingkah laku, agar tetap memiliki martaba yang mulya.  Orang-orang yang beriman kepada Allah swt dengan kesungguhan hati dengan tak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada mereka baik didunia maupun diakhirat.  Adapun kemuliaan didunia itu meliputi :[71]
a)      Hatinya tenang, tidak goyah atau terombang ambing oleh ajakan nafsu jahat atau orang yang akan menyesatkan. Allah berfirman dalam al-Qur’an di dalam surat ar-Ra’d ayat 28 :
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
b)      Orang yang berimman akan selalu mendapat bimbingan dari alahh swt, oleh karena itu apa yang dilakukannya adalah perbuatran-perbuatan baik dan terpuji
c)      Orang yang beriman meiliki sikap dan jiwa sosial, menyayangi anak yatim, menyantuni fakir miskin, dan mengahrgai sesama orang lain
d)     Orang yang beriman akan selalu melakukan amalan-amalan saleh, rendah hati, kasih sayang terhadap sesame manusia, bahkan terhadapsemua makhluk ciptaan Tuhan, baik hewan atau tumbuh-tumbuhan
e)      Allah akan memasukkan orang yang berimanb kedalam surga sebagai rahmatnya dana pahala atas ketaatan serta kepatuhannya selama hidup didunia firman Allah swt dalam surat Al Maidah ayat 9 :
وَعَدَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٩﴾
Allah Telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

2.      Mampu Membebaskan dirinya dari Penyakit-penyakit Hati
Di era modern saat ini, banyak dijumpai berbagai persaingan di semua sektor kehidupan manusia, tanpa terkecuali.  Kondisi ini mudah memicu persaingan yang tidak sehat, berbagai persaingan yang terjadi menimbulkan dampak psikologi yang negatif, tumbuhnya penyakit-penyakit hati yang di antaranya adalah iri dan dengki dikalangan pekerja atau pegawai.  Hal ini jika tidak segera diatasi, akan menimbulkan gejolak dan konflik yang berkepanjangan. 
Penyakit hati yang mengkronis akan memiliki dampak yang membahasakan umat manusia.  Minimal ada tiga akibat yang ditimbulkan oleh orang yang mempunyai penyakit hati. Pertama, kerugian terhadap diri sendiri. Orang yang terkena virus penyakit hati, jelas tidak akan pernah merasakan ketenangan dan kenikmatan dalam hidup,walau pun jabatan dan hartanya berlimpah, tetapi harta dan jabatan tersebut tidak akan pernah mendatangkan berkah dan manfaat baginya, karena kerja sibuk dengan mencar-cari dan memikirkan kesalahan orang lain, yang tidak mempunyai kesudahan.
Dalam hal ini Allah memberikan isyarat di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

3.      Mampu Beradaptasi terhadap Kenyataan (Kesuksesan dan Kegagalan)
Di era globalisasi saat ini, setiap individu manusia selalu dituntut untuk berubah dan berkembang serta meningkatkan taraf hidup yang memiliki standar tertentu. Kondisi ini membuat manusia mudah lelah dan tertekan, sebab situasi yang demikian itu akan terjadi berbagai persaingan yang memicu manusia harus memiliki kesuksesan tertentu, bahkan sampai menembus batas-batas ukuran yang sewajarnya.  Ketika manusia ingin mencapai taraf hidup tertentu, hal biasa akan menjumpai namanya keberhasilan dan kegagalan. Untuk itu, ketika manusia menemuai suatu kegagalan harus diantisipasi dari dini, supaya tidak merasa tertekan dan merasa ketinggalan dari yang lain. Padahal, suatu hal yang wajar jika setiap manusia bekerja untuk mencapai tujuan tertentu akan merasakan namanya kegagalan, akan tetapi tidak semua individu menerima suatu kegagalan, bahkan ada sebagain manusia yang ketika menemui suatu kegagalan menempuh jalan syaitan (menghaalkan segala cara dan bunuh diri).
Idealnya, setiap individu di era modern saat ini yang dipenuhi dengan ambisi dan persaingan, memiliki kontrol diri untuk dijadikan obat mujarap dalam melaksanakan kegiatan apapun.  Jika seseorang berhasil dalam karir alangkah baiknya jika ia bersyukur dan mencatat proses keberhasilannya.  Jika ia menemui kegagalan, alangkah baiknya kalau ia instropeksi diri dan tidak bersedih yang berkepanjangan.  Sebab, kesedihan, sumpah serapah, menyalahkan orang lain, marah dan dendam tidak akan merubah kondisi, bahkan akan membuat diri seseorang akan lebih tertekan dan stres.
Segala situasi dan kondisi yang menimpa manusia di jagat ini merupakan sunatullah, hal ini sudah Allah gambarkan di dalam surat al-Baqarah ayat 155-157 :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ﴿١٥٦﴾  أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ ﴿١٥٧﴾
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"(sesunggungnya kami milik Allah dan kepada Allah akan kembali)
157. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
 
4.      Mampu Memperoleh Kepuasan dari Upaya Perjuangan Hidupnya
Di zaman sekarang ini, tingkat kebutuhan hidup semakin tinggi.  Hal ini mamaksa manusia untuk senantiasa bekerja keras dalam memperoleh hajat hidupnya.  Dalam memperjuangkan hidup, masyarakat di era modern saat ini berupaya semaksimal mungkin dengan melalui berbagai cara dan bidang garapan.  Bahkan, sebagian masyarakat walau sudah tergolong tinggi status sosial dan ekonominya tetap tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki.  Kenyataan ini membuat masyarakat sakit jiwa, sebab tidak pernah merasa puas dan cukup dari apa yang ia dapatkan dan miliki. [72]
Kepuasan hidup seseorang memeng berbeda, akan tetapi melihat hal ini al-Qur’an memberikan renungan, agar manusia lebih menerima atau puas dengan apa yang ada pada diri masing-masing, tidak boleh saling iri hati dengan sesuatu milik orang lain yang bukan haknya.  Dengan menerima yang ada pada diri kita dari hasil kerja keras, akan membawa pada ketenangan jiwa.  Lebih lanjut Allah menegaskan di dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 32 :
وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً ﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah memberikan karunianya kepada manusia dalam bentuk yang berbeda dan dengan bobot yang tidak sama, hal itu merupakan ketentuan Allah.  Hal ini sudah Allah sampaikan dalam surat al-Isra’ ayat 30 :
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Walaupun manusia tidak mendapat giliran karunia berupa materi yang banyak tentu harus menerima, sebab sebagaimana ayat di atas, semua adalah ketentuan Allah.  Kehidupan dunia beserta isinya adalah fatamorgana yang akan cepat hilang.  Oleh karena itu Allah memberikan penekanan kepada umat manusia (mukmin) untuk lebih mengedepankan kehidupan akhiratnya.  Lebih lanjut Allah berfirman  dalam surat al-Isra’ ayat 21 :
انظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلاً ﴿٢١﴾
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.

5.      Lebih Senang Memberi daripada Menerima
Di era modern saat ini masih banyak manusia yang berkarakter miskin (merasa miskin), padahal hidupnya sudah bergelimang materi.  Mereka menumpuk-numpuk harta dan materi lainnya dan enggan berbagi kepada orang lain yang membutuhkan.  Karakter yang demikian inilah, yang membuat manusia tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan, sehingga perasaan mereka ini berdampak pada  minus nilai-nilai sosial, enggan memberi pada orang lain dan merasa fakir yang berkesinambungan.
Pergolakan ekonomi global yang tajam juga ikut andil dalam menciptakan karakter miskin pada individu manusia, sebab mereka bersaing antara satu dengan yang lain terhadap  apa yang mereka dimiliki, akhirnya mereka terjebak pada demensi kemiskinan jiwa yang kronis dan mengakar bahkan kadang ditularkan pada generasi selanjutnya.
Untuk mencapai ketengangan batin di era sekarang ini, al-Qur’an menawarkan solusi, di antaranya dengan berbagai (memberikan sesuatu) pada orang lain yang lebih membutuhkan, sebab memberi (sedekah) memiliki manfaat yang langsung diraasakan di dunia.  Hal ini Allah isyaratkan di dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 174 :
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٢٧٤﴾
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 114 :
لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿١١٤﴾
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Nabi Muhammad juga S.A.W. bersabda: "Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR Tirmidzi) "Sesungguhnya sedekah itu akan memadamkan murka Tuhan dan mencegah pelakunya dari kematian yang buruk" (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) Naungan bagi seorang mukmin pada hari kiamat adalah sedekahnya.” (HR. Ahmad)[73]

6.      Mampu Menjalin Hubungan dengan Orang  Lain dan Saling Menguntungkan
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia kita tidak lepas untuk saling berhubungan dengan satu sama lain. Hubungan tersebut tidak hanya yang berupa hubungan yang menguntungkan namun ada juga hubungan yang cenderung memberi ketidaknyamanan seperti perselisihan atau konflik. Konflik sendiri didefinisikan sebagai kondisi ketidaksesuaian, perselisihan, dan pergeseran yang terjadi ketika tindakan atau nilai dari seseorang tidak diterima oleh orang lain, dan terdapat adanya ketahanan dari orang lain
Hubungan yang baik adalah hubungan yang saling menguntungkan. Saya yakin anda tidak suka di rugikan demikian sebaliknya orang lain juga tidak suka kita rugikan. Dari itulah salah satu dasar pergaulan sehat yang lain adalah simbiosis mutualisme. Jangan sampai kita berpikir untuk merugikan orang lain, berpikir saja kita tidak di berbolehkan apalagi kita melakukannya. Ketika seseorang hidup dengan penuh rasa respek dan saling menguntungkan maka hubungan yang harmonis akan lebih mudah terjalin antara.
Manusia di lahirkan dengan berbagai macam perbedaan, baik itu dari segi fisik, psikologis, ras, suku, budaya dan lain-lain. Setiap manusia itu memiliki keunikan tersendiri, karena hal inilah kita harus memahami perbedaan tersebut. Apa yang kita rasa cocok untuk diri kita belum tentu cocok untuk orang lain, apa yang kita pikir benar belum tentu juga benar menurut orang lain, apa yang kita rasa baik buat diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Sadarilah hal ini dengan baik, supaya kita bisa menjalin hubungan yang lebih sehat dan kondusif. [74]
Satu kata yang selalu saya ingat jika kita ingin di harga dan di hormati orang lain, maka kita harus lebih dulu bisa menghargai dan menghormati orang lain. Mengahargai dan menghormati orang lain ini bisa di lakukan dengan banyak hal seperti menghargai dan menghormati pendapat orang lain, menghargai dan menghormati cara beribadah orang lain, menghargai dan menghormati adat istiadat orang lain, menghargai dan menghormati cara berpikir orang lain dan sebagainya. Hal ini penting di lakukan untuk membangn sebuah hubungan yang positif dengan orang lain.  Allah menjelaskan di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.


7.      Bebas dari Kecemasan atau Ketegangan
Tekanan hidup dari arus globalisasi membuat masalah yang tidak pernah berakhir, selalu datang dan hadir silih berganti. Mulai dari problem keluarga, anak-anak, keuangan, pekerjaan, kesehatan, lingkungan dan masih banyak yang lain. Jika kita tidak dapat mengatasi masalah-masalah ini, pasti akan muncul ketegangan dan kecemasan. Sampai batas tertentu ketegangan dan kecemasan ini baik, karena akan memberikan dorongan yang positif, namun bila ketegangan dan kecemasan ini sudah sangat berlebihan dan terus menerus, akan mengganggu memori dan efisiensi diri kita dalam segala hal. Dampaknya pikiran akan membentuk penghabat. Hubungan pikiran sadar dan bawah sadar akan terputus, sehingga kita tidak dapat mengakses informasi yang kita butuhkan dari bawah sadar. Dan kejernihan pikiran kita akan terganggu. Sebaliknya emosi negatif dan amarah akan senantiasa muncul meluap-luap mencari sasaran.
Untuk menghindari dampak negatif dari kecemasan dan ketegangan, al-Qur’an berpesan kepada manusia sebagaimana Allah sampaikan dalam surat Fushshilat ayat 30 :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".

8.      Mampu Mengarahkan Permasalahan Menjadi Penyelesaian Konstruktif
Manusia diciptakan untuk melengkapi kehidupan di dunia, dan di dalam dunia ini merupakan tempat kehidupan manusia yang dilengkapi dengan yang namanya masalah. tidak ada satu orangpun yang lahir kedunia ini tanpa mengalami yang namanya masalah dan memang pada kodratnya masalah juga dilahirkan dengan adanya kelahiran manusia itu sendiri, apalagi di era globalisasi saat ini.  Hampir setiap manusia setiap harinya menjumpai permasalahan.
Hidup di era globalisasi saat ini, hampir secara keseluruhan manusia ingin memiliki taraf hidup yang tinggi, status sosial di atas rata-rata dan lingkungan keluarga yang berkecukupan materi (kemewahan).  Dalam melaksanakan aktifitas tentu akan menemui berbagai permasalahan, baik yang bersumber dari intern maupun ekstern.  Masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia, bahkan dalam istilah umum dikatakan bahwa, orang hidup pasti memiliki masalah, jika tidak mau memiliki masalah tidak usah hidup. 
Setiap masalah itu ada sulusinya tetapi karena setiap saat kita menghadapi masalah atau mendengar kalau kita sedang dalam masalah maka tanpa sadar kita selalu merasa panik dan rasa panik itu juga dengan sendirinya langsung merasuki alam bawah sadar kita sehingga pikiran seseorang ikut-ikutan terpengaruh oleh rasa panik itu dan akhirnya masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan waktu yang singkat akhirnya harus memakan waktu yang lama dan lebih parahnya lagi dapat membawa masalah yang baru lagi.
Masalah bukanlah sesuatu yang menakutkan, menjengkelkan atau mematikan. Karena pada dasarnya masalah itu adalah suatu proses pendewasaan seseorang. Masalah itu mudah atau rumit hanya sebuah anggapan saja. Wajar sekali manusia yang hidup itu memiliki berbagai macam anggapan, termasuk anggapan akan sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi. Anggapan ini biasanya muncul karena adanya ketidak seimbangan keinginan dan kenyataan yang harus dihadapi. Dan biasanya berujung pada sebuah anggapan negative yang bisa merusak pola pemikiran seseorang.
Selanjutnya, masalah dan berbagai bentuk konflik pada hakekadnya proses hidup yang harus dilalui setiap manusia.  Setiap permasalahan yang hadir dalam kehidupan manusia merupakan ujian dari Tuhan dan setiap orang pasti kuat menjalaninya.  Dalam hal ini Allah menuturkan dalam surat al-Baqarah ayat 286:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

9.      Memiliki Rasa Setia Kawan terhadap Sesama
Umat manusia itu adalah bersaudara, selama kita tinggal satu atap, hidup di bawah langit yang sama, menghirup udara yang sama kita harus bisa hidup berdampingan, toh kita sama-sama ciptaan Tuhan. Bahkan, jika kita mengingat bahwa kita ciptaan Tuhan, kita pun harus menghargai hak hidup makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Jika saja di muka bumi ini terjalin perasaan setia kawan yang erat, bukan tidak mungkin akan terjalin rasa persaudaraan yang kuat. Bahkan jika rasa cinta kasih terhadap sesama terpupuk dengan subur, jangan akan terhadap sesama manusia, sesama makhluk lainnya pun akan berlaku sama. Pada akhirnya bumi ini tidak akan sekarat seperti sekarang ini. Kedengarannya memang gombal, melangkolis, atau lebay. tapi, mau diakui atau tidak itulah kenyataannya. Itulah kunci sukses perdamaian dan ketenangan dunia.
            Memiliki dan mengamalkan perilaku setia kawan pasti akan terjalin sikap saling peduli satu sama lain. Rasa peduli muncul karena rasa empati dalam diri. Sedangkan rasa empati merupakan bentuk dari kasih sayang. Rasa kasih sayang selalu ada dalam diri manusia, merupakan software dari Tuhan yang diinstal dalam hati dan dijalankan bersama nurani. Orang bilang antara cinta dan benci dibatasi dengan batasan yang sangat tipis, sehingga bisa jadi yang dicintai malah menjadi yang paling dibenci, begitupun sebaliknya. Akan tetapi, rasa cinta itu tetap dijaga dan dipelihara, bukan hanya rasa setia kawan saja yang akan muncul, namun juga  akhlak terpuji lainnyapun akan terwujud. Intinya setiap manusia jika ingin terbebas dari penyakit hati yang memeliki ketenangan hidup, harus saling bantu membantu dan tolong menolong antar sesama. Dalam hal ini Allah menegaskan di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 148 :
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
      Selanjutnya, dalam urusan konflik masyarakat, agar manusia tetap menjaga tali persahabatan dan memagang erat sifat setia kawan.  Sebagaimana Allah berfirman pada suarat al-Maidah ayat :
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

F.  Penutup
Globalisasi nampaknya akan menjadi salah satu kekuatan yang dominan di dalam  pengembangan psikologis orang-orang abad 21 itu. Kultur bisa dan dapat dipengaruhi satu sama lain melalui perdagangan, migrasi, dan perang. Berbagai kultur akan menyatu dansaling berkompetisi untuk mempertahankan identitas mereka masing-masing. Issu krisis akan semakin terdengar walaupun lapangan kerja semakin banyak, menebabkan hidupnya penyakit jiwa yang mengkronis pada diri publik.
Sebagai konsekwensi globalisasi, menciptakan tantangan baru pada setiap identitas, yang selanjutnya berimplikasi dan mengubah terhadap system tradisional, dan beranjak ke era baru yang asing bagi mereka, sehingga mereka rentan terhadap  penyakit jiwa, sebab persinggungan kultur dan identitas mempuat publik yang asing tersebut menjadi gagu di dalam segala hal, khususnya berbagai kemajuan yang sangat global.
            Eksistensi psikologi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia era baru tekait berbagai permasalahan yang timbul akibat globalisasi, konflik keluarga, kultur, budaya, ekonomi, sosial, pertemuan kultur yang berbeda dan persaingan menjadi salah satu penyebab menyebarnya virus jiwa yang akan mempengarui struktur manusia yang universal.  Berbagai cara digunakan oleh publik peneliti untuk menyelesaikan permasalahan mental yang terganngu akibat dari konflik global.
            Manuasia dalam mengatasi persoalan dan issu yang terjadi di lingkungannya perlu tuntunan dan solusi jitu.  Dal hal ini al-Qur’an adalah suatu pedoman hidup dan solusi dalam mengatasi semua problem kejiwaan manusia.  Sebab, terjadinya berbagai tekanan kejiwaan diawali oleh komposisi manusia yang tidak memiliki keyakinan dan kesabaran.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebahagian dan ketenangan hidup perlu pembinaan spiritual melalui pendekatan agama dan al-Qur’an. Sebagaimana isyarat al-Qur’an dalam surat al-Isra’ayat 111 :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً ﴿٨٢﴾
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
            Dan surat Fussilat ayat 54 :
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء …………… ﴿٤٤﴾
…..Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar ……..






























DAFTAR PUSTAKA


Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era. 2011. Jurnal Vol.547
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003
Bauman  Z, Globbalization; The Human Consequences, 1998, Vol. 421
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku Politik, Bandung :Al-Mizan, 1996
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995. Jurnal Vol. 321
Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental disorders. 2010. Jurnal Vol.557.
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994
EnthinHervina, tempo;  Lebih lanjut lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, Diktat. 2015
J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada,  Cet., ke-7
Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, Jurnal Vol.579
Kirmayer & Young, A, Culture and  Samatization, 2008, Jurnal Vol. 673
Kirmayer, L.J., & Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2009, Vol. 451
Kunit, S.J., Globalization State and the Health of Indigenous Peaples, 2011, Vol. 90
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3
MariaT, Dkk, The Psychology of  Workingand  Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008
Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993
Murray, C.J.L.  & Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349
Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3
Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19
Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 2008
Ancok, Jamaluddin, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000
Mujib, Abdul, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Adz-Dzaky, Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2006.
Ancok, Djamaludin & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2005.
Nashori, Fuad, Potensi-Potensi Manusia (Seri Psikologi Islami), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nawawi, Rif'at Syauqi, “Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an”, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
Sanaky, Hujair AH., “Konsep Manusia Berkualitas Menurut Al-Qur'an dan Upaya Pendidikan“,http://www.sanaky.com/materi/konsep_manusia_berkualitas_menurut_al.pdf
Muhammad Izzudin, at-Ta’silu al-Islami li Dirosat an-Nafsiyyah (Risalah Doktor), Kairo: Daar as-Salam, 2002
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006.




[1] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi, diterjemahkan olehWidjaja Kusuma dari judul Introduction to Psychology. Batam : Interaksara, t.thal. hal. 15
[2] Alex Sobur, Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia, 2003, hal. 18
[3] Alex Sobur, Psikologi Umu., Bandung : Pustaka Setia, 2003, hal. 19
[4] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, hal.12
[5] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, hal.12
[6] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, hal.12
[7] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[8] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[9] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[10] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[11] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, hal. 19
[12] Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992, hal.4
[13] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, hal. 20
[14] Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku Politik, Rahardjo, Bandung :Al-Mizan, 1996, hal. 261
[15] Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993, hal. 27-28
[16] DjamaludinAncok danFuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994.,  hal. 65
[17] Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3, hal.  122
[18] [18] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994, hal. 66; Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., hal. 107-117
[19] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994., hal. 67; Sarlito  W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., hal. hal.151-155
[20] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994., hal.69;  Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., hal. 174-178; Loren, 295-296
[21] EnthinHervina, tempo;  Lebih lanjut lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, hal.4-16
[22] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 3
[23] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 5
[24] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 261
[25] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 262
[26] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 262
[27] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 261
[28] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 265
[29] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 12
[30] A Jamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal. 144 - 170
[31] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 267
[32] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 268
[33] Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2006. hal. 13-15.
[34] Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia (Seri Psikologi Islami), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. hal. 19-20.
[35] Rif'at Syauqi Nawawi, “Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an”, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal. 11
[36]Hujair AHAL. Sanaky, “Konsep Manusia Berkualitas Menurut Al-Qur'an dan Upaya Pendidikan “,http://www.sanaky.com/materi/konsep_manusia_berkualitas_menurut_al.pdf.
[37] Djamaludin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem Psikologi,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. hal. 155
[39] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2005, hal. 79-80.
[40] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.10
[41] Bauman  Z, Globbalization; The Human Consequences, 1998, vol. 421., hal. 9
[42] Publik adalah orang banyak atau umum, dan orang yang datang mengunjungi atau menonton dan merasa puas dengan pertunjukan itu.[42] Publik pada umumnyalebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti misalnya pcmbicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film dan lain sebagainya. Alat-alat pcnghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih bcsar. Akan tetapi karena jumlahnya yang sangat bcsar, maka tak ada pusat perhatian yang tajam dan karena itu kesatuan juga tak ada. Sctiap aksi publik diprakarsai oleh keinginan individual (misalnya pcmungutan suara dalam pemilihan umum), dan temyata individu-individu dalam suatu publik masih mempunyai kesadaran akan kedudukan sosial yang scsungguhnya dan juga masih lebih mementingkan kepentingan-kepcntingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan. Dengan demikian, tingkah-laku pribadi kelakuan publik didasarkan pada tingkah-laku atau perilaku individu. Untuk memudahkan mengumpulkan publik tersebut, digunakan cara-cara dcngan menggandengkan nilai-nilai sosial atau tradisi masyarakat bcrsangkutan, atau dengan menyiarkan pemberitaan-pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya. Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19, hal.161-162
[43] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.11
[44] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.11
[45] Kunit, S.J., Globalization State and the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90, hal. 65
[46] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.10
[47] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57, hal.774
[48] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57, hal.774
[49]  Kirmayer, L.J., & Minas, I.HAL., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45., hal.17
[50] Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental disorders, hal.12
[51] MariaT, Dkk, The Psychology of  Workingand  Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008, 8 ; 5-18, hal.15
[52] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, hal. 30
[53] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.11
[54] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, hal. 30
[55] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, hal. 33
[56] Murray, C.J.L.  & Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349, hal.19
[57] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal.14
[58] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal. 14
[59] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal. 12
[60] Somatisasi menurut Kamus Psikologi adalah mempertalikan semua penyakit mental dengan organic;  J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada,  cet., ke-7, hal. 474
[61] Kirmayer & Young, A, Culture and  Samatization, 1998, 67
[62] Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
[63] Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22
[64] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h  14
[65] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, hal. 15
[66] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006. hlm. 378
[67] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006. hlm. 379
[68] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 373-374
[69] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 377
[70] Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media Kreatif, 2015. hal. 65-79
[71] Muhammad Izzudin, at-Ta’silu al-Islami li Dirosat an-Nafsiyyah (Risalah Doktor), Kairo: Daar as-Salam, 2002
[72] Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media Kreatif, 2015. hal. 65-79
[73] CD Maktabah syamillah dan Terjemahnya. 2010
[74] Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media Kreatif, 2015. hal. 65-79

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun