A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam, wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup bagi
manusia agar bahagia dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup (way of life),
Al-Qur’an berisi konsep-konsep ajaran dan sistem hidup yang sangat luar biasa.
Segala aspek kehidupan manusia dapat diatur dan diarahkan oleh Al-Qur’an,
termasuk watak, karakteristik, dan kepribadian manusia, serta penggolongannya. Dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan tentang
kepribadian manusia dan karakteristik umum yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Selain itu, juga terdapat model atau pola umum kepribadian
manusia yang dibedakan dengan beberapa cirri utama. Salah satu keistimewaan yang
diberikan Tuhan kepada manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna di muka bumi. Manusia diberikan amanah sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi karena manusia mempunyai kecenderungan dengan
Tuhan.
Pada era informasi dan komunikasi global seperti sekarang
ini segala hal yang berbau modernisasi mampu menyentuh setiap segi kehidupan
manusia, para pakar di bidang psikologi pun serta merta menegaskan klaim yang
hampir senada. "Tidak ada orang pada masa kini yang mengaku tidak mengenal
psikologi," ujar Rita L. Atkinson dan kawan-kawan dalam buku mereka, Introduction
to Psychology.[1]Beberapa
psikolog berpendapat menurut mereka, psikologi telah menyentuh semua aspek
kehidupan manusia. Hal ini tertuang dari berbagai komentar masyarakat yang
mulai memikirkan jawaban dari beberapa pertanyaan, di antaranya, efek yang
ditimbulkan oleh stres jangka panjang, mempelajari hal ihwal perilaku manusia dan
kebutuhan pengetahuan psikologi.
Kemudian, perhatian dan minat sementara orang untuk mempelajari
perilaku atau kodrat manusia hanya digerakkan oleh dorongan rasa ingin tahu.
Mereka, boleh jadi, ingin sekadar tahu dan mengerti saja, tak ubahnya seperti
orang yang melihat bintang gemintang di langit, sekadar untuk tahu dan
mengerti.[2]
Selanjutnya, mereka lebih tertuju pada alasan-alasan yang
lebih praktis dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang perilaku, kodrat,
tabiat, atau pribadi manusia ari berbagai kelompok, komonitas dan kultur.
Mereka yakin bahwa berbagai masalah sosial akan bisa dipecahkan atau diatasi
seandainya orang nengetahui persis pangkal penyebabnya secara universal. Dalam
pandangan mereka, kesukaran-kesukaran, atau persoalan-persoalan yang dibuat dan
dialami oleh manusia dapat segera diatasi. Dengan bekal pengetahuan itu, mereka
ingin mengikis, atau setidaknya, mengurangi problema-problema sosial, seperti
kegelisahan dan pemogokan karyawan yang kerap terjadi, kejahatan dan tindak
kriminalitas, konflik sosial, sampai pada perang sebagai konflik yang
dilembagakan.[3]
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau
pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal
siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan orang lain lingkungan masyarakat dan
pengaruh-pengaruhnya. Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan
untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir,
berkebiasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri. Ada yang berbuat kebaikan, kejahatan, asusila
dan perilaku-peilaku yang lain. Bagaimana pun, psikologi dapat memberikan
pengertian yang lebih baik mengenai sebab-sebab orang berpikir dan bertindak
seperti yang mereka lakukan, dan memberikan pandangan untuk menilai sikap dan
reaksi, baik yang kita lakukan sendiri atau orang lain.
Singkatnya, psikologi dibutuhkan oleh mereka yang dalam
kehidupannya selalu berhubungan dan bersama orang lain. Psikologi dibutuhkan
atau dipelajari oleh mereka yang dalam tugas dan jabatannya akan bekerja
bersama orang lain. Dengan demikian, psikologi selalu dibutuhkan oleh pimpinan
perusahaan, pengurus organisasi massa, pengurus lembaga sosial, para pejabat
pemerintah, para elit politik, komandan pasukan, wartawan, hakim, khatib, guru,
dosen, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya.
Juga dibutuhkan oleh setiap orang dalam fungsi dan perannya sebagai
rakyat biasa, suami, istri, ayah, ibu, dan anak dan lain sebagainya. Jadi,
dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal manusia.
Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat menguraikan dan
menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya.
Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek
kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu, misinyanya,
sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia memahami
perasaan orang lain. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri bagi
orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual dari
orang tersebut.
Masyarakat hari ini sedang mengalami sosial drastis,
informational, dan perubahan teknologi. Kemajuan revolusioner dalam globalisasi
dan teknologi elektronik adalah
menjelmakan alam era baru yang menjangkau seluruh komunitas manusia yang
saling mempengarui serta dibarengi emosi. Pengembangan dan kemajuan yang
meningkat, menuntut pada pribadi secara
personal untuk membentuk tujuan global
dan hidup masyarakat yang bertarap internasional.[4]
Kompetisi ini dikawatirkan akan
tumbuh berbagai tekanan-tekanan dari aspek psikologi. Sehingga perlu penelitian sejauhmana pengaruh
globalisasi terhadap psikologi. Psikologi adalah disiplin yang integratif
terbaik serta untuk pemahaman dan adaptasi manusia yang selalu berubah.
Disiplin ilmu psikologi dengan uniknya saling mempengaruhi secara kompleks
antara intrapersonal, biologi, hubungan
antar pribadi, dan sosiostructural
manusia. [5]
Bidang psikologi berusaha
ikut andil pada visi an misi manusia yang lengkap dengan berbagai kesenangandan
konflik. Keunggulan manusia di dalamr semua lapisan hidup saat ini berusaha
untuk adaptasi dengan sistemdan nilai manusia yang selalu berkembang dan
berubah dari suatu perspektif local
hingga lintas dimensi yang global. Corak
manusia era global memungkinkan manusia untuk
pengembangan mereka sendiri secara personal dan pembaharuan akan
berdampak negative terhadap mental dan kejiwaan mereka. [6]
Psikologi bila ditinjau dari aspek global
dari ruang lingkup kajiannya, tentu memiliki karelasi yang sangat dekat dengan
ilmu-ilmu lain, seperti hubungan psikolagi dan filsafat, psikologi, psikologi
dan pendidikan terutama dengan paedagogiek, psikologi dan sosial, psikologidan
kedokteran, psikologi dan agama, psikologi dan antropologi, psikologi dan
politik, psikologi dan komonikasi, psikologi dan biologi, psikologi dan ilmu
alam dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan psikologi.
Membicarakan psikologi sebagai suatu solusi hidup, tentu
hal tersebut senada dengan kitab suci Al-Qur’an. Maksud dan tujuan Al-Qur’an diturunkan
adalah untuk mengatur kepentingan hidup manusia, serta berfungsi sebagai
petunjuk dan pembeda antara benar dan salah. Isi Al-Qur’an sangat sesuai dengan
kebutuhan hidup manusia, karena yang membuat adalah Tuhan yang menciptakan dan
mengatur manusia. Oleh karena itu sangat mustahil bahwa isi Al-Qur’an
kontraproduktif dengan sistem kehidupan manusia, dan Al-Qur’an sanggup menjadi
solusi setiap permasalahan bagi umat manusia. Hal tersebut sudah tersirat dalam
surat al-Baqarah ayat 2 yang intinya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman
hidup untuk orang yang imgin memelihara diri dari segala keburukan. Sebaliknya,
bagi orang-orang yang zalim Al-Qur’an tidak dapat mendatangkan kebermanfaatan
hidup, bahkan menjadi sesuatu yang merugikan. Seperti dalam (QS Al-Isra : 82).
"Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi Penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian". Sejarah telah banyak membuktikan:
bahwa kitab-kitab suci yang dibawa oleh para Nabi / Rasul selalu mendapatkan
perlawanan dan pertentangan, baik dari masyarakat sekitarnya atau dari keluarga
nabi sendiri.
Bagi setiap
muslim selayaknya isi Al-Qur’an harus dijadikan tuntunan bukan tontonan. Ayat-ayat
Al-Qur’an hendaknya dapat dijadikan sebagai kompas kehidupan. Oleh karena itu
bagi setiap muslim hukumnya wajib untuk membaca, mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an.
Setiap ayat yang tertulis d idalam Al-Qur’an memiliki makna dan maksud yang
berbeda. Apabila kita banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita akan makin
banyak mendapatkan manfaat dan kebaikan sebagai solusi setiap kasus yang timbul
dari diri manusia.
Dalam
konfrensi tahunan ke XVII Ikatan Dokter Amerika, di Sant Louis, wilayah
Missuori AS, Dr Ahmad Al-Qadhi pernah melakukan presentasi tentang hasil
penelitiannya (penelitian awal) dengan tema: pengaruh Al-Qur’an pada manusia
dalam prespektif fisiologi dan psikologi. Dia adalah seorang direktur utama
Islamic Medicine Institute for Education and Research yang berpusat di Amerika
Serikat, sekaligus sebagai konsultan ahli sebuah klinik di Panama City, Florida
AS. Penelitian tersebut dilakukan dengan
tujuan: untuk menentukan kemungkinan adanya pengaruh Al-Qur’an pada fungsi
organ tubuh manusia, sekaligus mengukur intensitas pengaruhnya jika memang ada.
Tujuan kedua adalah efek relaksasi atau penurunan yang ditimbulkan oleh bacaan
Al-Qur’an pada ketegangan saraf refleksi beserta perubahan fisiologi yang
mengirinya. Penelitian ini melibatkan
beberapa responden non muslim sebanyak 5 responden: 3 laki-laki dan 2
perempuan, usia mereka berkisar 18 tahun sampai 40 tahun. Para responden
tersebut tidak mengerti bahasa arab, apalagi untuk membaca ayat suci Al-Qur’an.
Penelitian ini menggunakan: mesin pengukur yang berbasis komputer, Model MEDAQ
2002 (Medical Data Quotien) yang dilengkapi dengan Sofware, Komputer jenis
Apple 2A dan sistem ditektor elektronik . Alat super canggih ini ditemukan dan
dikembangkan oleh Pusat kedokteran Universitas Boston dan perusahaan Davicom di
Boston Amerika Serikat.[7]
Sebelum
penelitian dimulai, setiap responden dipasang empat jarum elektrikal pada
masing anggota tubuh , kemudian dikoneksitaskan ke mesin pengukur yang berbasis
komputer. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik dan mengukur
reaksi urat saraf reflektif pada masing organ tubuh responden . Seperti
diketahui: bahwa tubuh manusia diliputi medan elektronmagnetik, berupa bias
cahaya yang tidak terlihat. Medan cahaya ini sekarang dapat dipotret secara
elektrik dengan Kirlian photography.[8]
Dalam
penelitian dilakukan 210 kali eksperimen kepada lima responden. Para responden
(dalam keadaan santai dan mata tertutup) diminta mendengarkan Al-Qur’an
sebanyak 85 kali eksperimen, bacaan teks berbahasa Arab sebanyak 85 kali
eksperimen, dan pada 40 kali eksperimen berikutnya tidak mendengarkan bacaan
apapun. Dalam mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan bacaan teks berbahasa arab
responden dilantunkan dengan kesamaan instrumen dari aspek lafal, tatanan
pengucapan dan melodi, sehingga responden tidak bisa membedakan keduanya,
karena memang responden tidak bisa berbahasa arab. Hasil penelitian tersebut adalah: menunjukan
hasil positif bahwa mendegarkan bacaan ayat suci Al-Qur’an memiliki pengaruh
yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini
tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat
berbasis komputer.[9]
Adapun
pengaruh yang terjadi adalah, adanya perubahan-perubahan arus listrik di otot,
perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada
sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan
tersebut menunjukan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf
reflektif yang mengakibatkan terjadinya pelonggaran pembulu nadi dan penambahan
kadar darah dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan
frekwensi detak jantung. Diketahui bahwa stres berpotensi menurunkan imunitas
( daya kekebalan) tubuh. Meningkatnya stres akan menyebabkan penyempitan dan
pengerasan pembuluh nadi (arteriosclerosis), sehingga kadar darah yang
mengalir dipembulu nadi kulit pun akan turun, begitu juga tingkat suhu kulit,
sementara detak jantung akan semakin cepat.[10]
Dengan adanya
hasil eksperimen komperatif tersebut, kesimpulan awal dapat diperoleh: bahwa
mendengarkan ayat suci Al-Qur’an mempunyai dampak positif yang signifikan
terhadap perubahan fisiologi dan psikologi manusia. Dengan demikian kemajuan
ilmu telah mengungkapkan: bahwa Al-Qur’an diturunkan memiliki kebermanfaatan
untuk kepentingan manusia, walaupun hanya sekedar mendegarkannya. Kemajuan
tehnologi telah mendeteksi secara akurat: bahwa mendegarkan ayat-ayat Al-Qur’an
dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan organ tubuh, serta memberikan
aura positif pada tubuh manusia.
Terbayang oleh
fikiran kita apabila seorang muslim gemar membaca, menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai Al-Qur’an, maka sangat dimungkinkan akan terpancar aura positif
pada tubuhnya dan memberikan bias pada alam sekitarnya. Oleh karena itu
wajarlah apabila kita dapati: bahwa orang-orang yang saleh memiliki wajah yang
bersinar dan teduh, karena didalam tubuhnya telah tersusun medan
elektromagnetik sesuai fungsinya, serta diiringi terpancarnya aura positif:
ketenangan, kesejukan dan kedamaian. Sangat tepat apabila Rasulullah Muhammad
SAW menyuruh kita: untuk senantiasa bersosialisasi dengan orang-orang saleh,
agar aura positif pada diri orang saleh terpancar kedalam tubuh kita, serta
dapat memberikan ketentraman dan ketenangan.
B. Teori Psikologi
Apa itu
psikologi, pendefinisian istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan memberikan
jawabannya di antaranya. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari
Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos
yang berarti "ilmu". jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu
jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-geiala kejiwaan.[11]
Untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama
ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi
diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian
kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an
Introduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind
(pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi
behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia.[12]
Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi
sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama.
W.A Gerungan adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang tidak
sependapat. Menurutnya,[13]
1.
Ilmu
jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang dikenal
tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artinya yang luas dan
telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi merupakan istilah ilmu
pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan
untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
2.
Ilmu
jiwa kami gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu
jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala
khayalan dan spekulasi mengobati jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan
mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang
memenuhi syarat-syaratnya seperti yang disepakati para sarjana psikologi pada
zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada umumnya,
sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut
norma-norma ilmiah modern.
Dari
kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa saja yang disebut ilmu
jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang disebut psikologi itu juga
termasuk ilmu jiwa.
Tampaknya,
para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan
psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang
dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah,
jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pemah berujar, "My mind
is incapable of conceiving such a thing as a soul" (Pikiran saya tidak
mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung
arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Jadi, amat sukar
untuk mengenai jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara
yang dapat dilakukan adalah mengobservasi perilakunya, meskipun
perilaku bukan merupakan percerminan jiwa secara keseluruhan.. Plato dapat
disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini.[14] la mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga sedemikian
rupa sehingga orang memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme
jiwa-raga.
Dalam teorinya tentang "Pengingatan-Kembali",
Plato mengapungkan. dua proposisi.[15]
Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi
daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah
pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi,
yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih
pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh
mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak
juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai
pendapat yang berbeda dengannya. la melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa.
Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda,
walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualistis. Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan
Eropa Barat, tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene
Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan "Cogito Ergo
Sum" (saya berpikir, karena itu saya ada).
Konsep-konsep difinisi, metodologi
dan pendekatan-pendekatan dalam Psikologi yang telah dirumuskan para ahli bukanlah
capaian final. Selalu terkandung cacat-cacat dalam setiap rumusan suatu ilmu,
tidak terkecuali Psikologi. Secara sederhana saja dapat dikatakan bahwa karena
teori-teori atau aliran-aliran Psikologi lahir dari peradaban Barat, maka
kerangka pikir (mode of thought) dan rumusan Psikologi itu pun tak
terlepas dari mode of thought masyarakat Barat. Karenanya, sangat
mungkin ia mengandung bias-bias ketika kita memakaianya untuk menganalisis atau
menerapkannya pada budaya atau masyarakat yang berbeda.[16]
Selanjutnya, untuk akhir-akhir ini umat manusia
diperkenalkan kajian teori psikologi modern, yang yang bernama Behaviorisme, Psikoanalisa, Humanistik dan
psikologi yang termuda bernama Transpersonal.
Behaviorisme[17]
(Aliran Perilaku) yang disponsori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), mendasarkan
diri pada konsep stimulus respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan
pada dasamya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang
berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitamya. Lingkungan
yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan yang baik akan
menghasilkan manusia yang baik. Pandangan semacam ini memberi penekanan yang
sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan
kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Pandangan ini
beranggapan bahwa apa pun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan
adalah lingkungannya.[18]
Aliran Psikoanalisa,
Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1893), berpandangan
manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan dan
memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya adalah komponen yang
alami pada manusia sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya
interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.[19]
Psikologi Humanistik Aliran yang dipelopori Abraham H.
Maslow (1908-1970) dan Carl Ransom Rogers (1902-1987) ini mempunyai pandangan
bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak
terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif,
mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan
antar manusia. Akan tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, akan kita temui begitu
banyak kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimisti
terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[20]
Transpersonal merupakan salah satu aliran psikologi
dipelopori oleh Anthony Sutich. Menurut Marylin
Ferguson dalam buku The Aquarian Conspiracy mengatakan bahwa,
Transpersonal lahir dan tumbuh berkembang di tengah-tengah gejolak politik,
budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960 dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak
perempuan, kaum homseksual dan lesbian, hal ini melanda daerah Amerika dan
Eropa. Psikologi Transpersonal cukup
berbeda dengan psikologi-psikologi yang lain, pola pandangan aliran ini memuat
ide-ide yaitu; potensi-potensi luhur (the highest potentials) fenomena
kesadaran (states of consciousness)
manusia, yang meliputi demensi kesatuan mistik, daya-daya batin, meditasi.
Intinya aliran ini berusaha menyatukan teori psikologi dan spiritualitas.[21]
Dari berbagai tinjauan secara
definisi dan sekilas beberapa uraian aliran-aliran psikologi yang dikembangkan
oleh para psikolog, secara garis besar memiliki berbagai bentuk dan obyek
kajian, terfokus pada kajian terhadap manusia.
Baik secara individu, maupun kelompok masyarakat.
Sedangkan teori psikologi dalam ranah islam yaitu, secara
etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam,
istilah jiwa memiliki padanan dengan kata nafs, meski ada juga yang
menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih
populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian,
psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs
atau ilmu al ruh.[22]
Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur
psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan
dengan istilah-istilah psikologi kontemporer seperti soul atau psyche.
Hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani
dan ruhani, sedangkan soul dan psyche hanya berkaitan dengan
aspek psikis manusia.[23]
Sebagai sebuah
disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18
M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam kehidupan primitive umat
manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah
jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda
dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan
seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.[24]
Meskipun
kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian
tentang jiwa tersebut selanjutnya “menghilang” bersama dengan runtuhnya
peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung
sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya
orisinil yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran
Yunani diangkat dan diperkaya. Namun
begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs)
oleh Islam para Ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran
Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al
Qur’an yang menyebut kata nafs tidak kurang dari 300 kali. Demikian pula
dalam hadits, kata nafs banyak sekali di sebut. [25]
Dalam
perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia,
kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang kita kenal saat ini,
tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat
yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs
yang sehat (nafs al muthma’innah).[26]
Terlepas dari
itu semua, ilmu psikologi seharusnya dilihat sebagai upaya manusia untuk
membuka rahasia sunnatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsaniyah)
dalam arti menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi, dan hukum-hukum di
seputar kejiwaan manusia.
Berangkat dari
asumsi di atas, kiranya “PR” yang perlu dikerjakan adalah menjadikan psikologi
agar dapat digunakan untuk menerangkan berbagai problem yang dihadapi oleh kaum
Muslimin dalam kehidupan kesehariannya, melakukan telaah kritis terhadap
konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dipandang menyimpang dari ajaran
Islam, kemudian menawarkan konsep alternatif tentang psikologi yang lebih
sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat disebut Psikologi Islami atau
Psikologi Islam, meskipun sampai sejauh ini belum ada kesepakatan
tentang penyebutan nama, apakah menggunakan nama Psikologi Islami atau
Psikologi Islam.
Dari kenyataan
tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Psikologi Islam seperti halnya Sosiologi
Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains.
“Kebaruan” ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs, atau jiwa belum
dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang
berbeda.[27]
Perbedaan yang lain adalah dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekatinya.
Psikologi Barat semata-mata menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan
dan mengungkapakan asas-asas kejiwaan, sementara Psikologi Islam mendekatinya
dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus.[28] Walaupun demikian, sebagai ilmu yang masih
dalam proses pembangunan, jika ingin menghasilkan suatu pendekatan baru dalam
khasanah Psikologi Islam, maka langkah yang paling tepat bukan memulainya dari
nol, melainkan dimulai dari penemuan dan teori psikologi Barat kontemporer.
Berangkat dari
asumsi demikian, kiranya ada dua model pendekatan, Pertama, psikologi
sebagai pisau analisis dalam menghadapi masalah-masalah yang berkembang di
kalangan Umat Islam. Kedua, Islam dijadikan sebagai alat untuk menilai
konsep-konsep psikologi Barat kontemporer.[29]
Diatas itu
semua, semangat pengembangan Psikologi Islam hendaknya tetap mengacu pada
beberapa hal, diantaranya:
1.
Psikologi Islami adalah merupakan ilmu
yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang
bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari
sumber-sumber formal Islam (al Qur’an dan Hadits), akal, indera dan intuisi.
2.
Psikologi Islami adalah konsep psikologi
modern yang telah melalui proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan
Islam.
3.
Psikologi Islami adalah perspektif Islam
terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan Islam.
4.
Psikologi Islami ialah ilmu tentang
manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan
bersandarkan pada sumber formal (al Qur’an dan Hadits) yang dibangun dengan
memenuhi syarat-syarat ilmiah.
5.
Psikologi Islam merupakan corak psikologi
yang berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan
dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri
sendiri, lingkungan sekitar dan alam kerohanian dengan tujuan meningkatkan
kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.[30]
Dengan
demikian, jika psikologi mempunyai tugas mencakup, menguraikan, memprediksi dan
mengendalikan tingkah laku manusia, maka psikologi Islam masih memiliki tugas
tambahan, yaitu pengembangan psikologi Islam. Dalam hal ini psikologi Islam
harus menempatkan agama sebagai pijakan ilmu.
Selain itu,
psikologi Islam juga harus mampu merumuskan asas-asas kejiwaan dari al Qur’an
dan Hadits, yaitu yang berkaitan dengan karakter manusia sebagaimana yang telah
banyak disebutkan dalam al Qur’an, seperti dlaif (lemah), jahl (bodoh),
halu’ (terburu-buru), zhulm (sewenang-wenang), kaffar (banyak
menentang), kanud (tindak pandai berterimakasih), ghalidl al qalbi (keras
dan kasar hati), qalbun salim (hati yang bersih), fi qulubihim maridl
(penyakit hati), lahiyah al qulub (hati yang lalai), ru’fah wa
rahmah (cinta dan kasih saying) dan lain-lain.[31]
Psikologi
Islami juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan umat Islam
yang disinyalir memiliki pijakan psikologis. Dalam bidang konseling misalnya,
meski para Ulama’ tidak mengenal teori Bimbingan dan Konseling modern, tetapi
terapi psikologi bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai. Boleh jadi
paradigma yang digunakan oleh para kiai tersebut berbeda dengan paradigma
psikologi modern, melainkan paradigma tasawuf dan akhlak, tetapi tidak bisa
dibantah bahwa tujuan tausiyah para kiai tersebut adalah memberikan solusi
atas problem-problem psikologi yang dihadapi.
Jadi, jika
ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi yaitu, fisik-biologi,
kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi Islami di samping
tiga dimensi tersebut juga mencakup dimensi keruhanian, dimensi spiritual,
suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh psikologi Barat karena perbedaan
pijakan.[32]
C. Manusia Menurut Psikologi Islam
Dalam al-Qur'an, ada tiga kata
yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu insan, basyar dan
bani adam. Kata “Insan”
diambil dari asal kata “Uns” yang mempunyai arti jinak, tidak liar,
senang hati, dan tampak atau terlihat (Q.S At-Tin, 95:4). Kesempurnaan manusia
dapat dilihat pada asal kata “Ins” yang berarti seorang manusia, sedang “Insani”
berarti dua orang manusia. Dari kata “Insan” tersirat makna bahwa
manusia mempunyai dua unsur kemanusiaannya, yakni aspek lahiriyah dan aspek
bathiniyah (Q.S Adz-Dzariyat, 51:56). Sedangkan kata-kata Ins dan Unas,
menunjukkan makna bahwa sifat dasar manusia adalah fitri yang terpancar
dari alam rohaninya, yaitu gemar bersahabat, ramah, lemah-lembut, dan sopan
santun serta taat kepada allah swt (Q.S Al-A’rof, 7:172).
Sedangkan Basyar,
berasal dari makna kulit luar yang dapat dilihat dengan mata kasar, bersifat
indah dan cantik, dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia, dan gembira bagi
siapa saja yang melihatnya (Q.S Ali Imran, 3:7). Sementara kata “Bani
Adam”, ialah anak adam atauputra Nabi Adam as (Al-A’raf, 7:27).[33]
Istilah yang mirip dan memiliki
pengertian yang sama dengan Bani Adam adalah Dzurriyat Adam. Adam
digambarkan daam Al-Qur’an sebagai makhluk manusia yang pertama kali. Di
sampingnya terdapat seorang perempuan yang diciptakan Allah untuk hidup
berdampingan dengan adam, yakni Hawa namanya. Dari pernikahan adam dan Hawa
lahirlah bangsa manusia. Maka, semua manusia adalah bani adam atau keturunan
Adam.[34]
Abdurrahman An-Nahlawi,
mengatakan bahwa manusia menurut pandangan Islam meliputi : [1] Manusia sebagai
makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam
kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau
makhluk lainnya (Q.S Al-Isro: 70 dan Al-Hajj : 65). [2] Manusia sebagai makhluk
istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia
adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau
kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan
dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu
memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah
menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan,
mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan (Q.S
As-Syam: 7-10). [3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah
melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat Al-Alaq : 3 dan
5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan,
pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu
bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", “afala
tata fakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang
menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar. Al-Qur'an menggambarkan
manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta
sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan
sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap
dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit
dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun
kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang
kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan
psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.[35]
Selain itu, Al-Qur'an juga
menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia
dinyatakan luar biasa keji dan juga bodoh. Al-Qur'an mencela manusia disebabkan
kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi
dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka
tidak mau melihat kebelakang (al-'aqiba), tidak mau memahami atau tidak
mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi
dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan
Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan
dan binatang buas.[36]
Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya,
dan dipukullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh.
Selanjutnya dalam firman Allah
: QS. At-Tiin (95) : 5-6 :
Kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Selain itu, Al-Qur'an
juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata,
potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah.
Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf: 179 sebagai berikut
:
Dan
Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.
Untuk itu, manusia yang
diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi
yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada
Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka
manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di
muka bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya.
Agama
adalah sandaran utama yang seharusnya dipakai untuk membangun paradigma baru
ilmu pengetahuan. Salah satu kesalahan yang dilakukan oleh perumus konsep
manusia adalah mereka membangun konsep manusia secara spekulatif. Mereka
merumuskan apa dan siapa manusia didasarkan pada pandangan yang sangat
subyektif dan tidak disandarkan pada pegangan yang benar-benar bisa dipercaya.
Agar konsep manusia yang dibangun bukan semata-mata merupakan konsep yang spekulatif,
maka mesti bertanya kepada Dzat yang mencipta dan mengerti manusia, yakni Allah
swt. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata, benar dan
sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an adalah sumber yang layak dijadikan acuan utama
dan tak pantas dilupakan.[37]
Selama
ini kepribadian atau personality, kita ketahui dalam wacana psikologi
modern, atau psikologi Barat atau disebut juga psikologi kontemporer. Keempat
mazhab psikologi, eksistensialis, behaviorisme, dan psikoanalisa serta
psikologi humanistik menjelaskan teori kepribadian yang berbeda satu sama lain.
Kendati berbeda pandangan, namun mereka sama-sama mengandalkan panca-indra
untuk mengamati, mengevaluasi, dan menentukan tipe kepribadian seseorang.
Beberapa
psikolog berpendapat (ilmu tentang jiwa) ternyata tidaklah benar-benar ilmu
yang berbicara tentang jiwa bahkan cenderung menafikan pembicaraan jiwa.
Menurut mereka jiwa adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dibuktikan
dengan data empiris, sekali pun mereka tahu ada sumber kekuatan dibalik yang
nampak melalui perilaku atau perbuatan seseorang. Sebagai contoh kita melihat
seseorang yang berulang kali makan. Lalu kita dapat menyatakan dia sangat lapar
karena dia makan. Padahal mungkin belum tentu dia lapar, siapa tahu dia sedang
stress atau memang hobinya makan. Contoh lain kita melihat seseorang yang tidak
tersenyum kepada kita ketika berjumpa, lalu mungkin kita akan katakan dia
sombong, pemurung, tidak ramah atau sudah lupa kepada kita. Padahal siapa tahu
dia sedang sakit gigi, tidak sehat, banyak pikiran, sedang gundah dan
lain-lain.
Dalam
terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan
penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran
disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam
sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu,
padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat
tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang
disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs
amara bissu’ dalam surat (Yusuf: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum
dirahmati Allah SWT:
Dan aku tidak membebaskan nafsku,
sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang
dirahmati oleh Rabb-ku.
Hawa
merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan
dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih
abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan
jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada
aspek-aspek material (Ali Imran: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang
wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah,
udara, api).
Nafs
manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang
berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds.
Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang
nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut.
Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh
kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari
segala yang maujud di alam syahadah ini, maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah
atau mi’raj ruhani.[38]
Menurut
al-Ghazali, pada diri manusia terkumpul sekaligus empat dimensi kejiwaan,
yaitu: dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (an-natiyyah),
dimensi hewani (al-hayawaniyyun), dan dimensi insani (al-insaniyyah).
Dimensi
tetumbuhan memiliki fungsi nutrisi (al-qhaadiyyah), fungsi pertumbuhan (an-naamiyyah),
dan fungsi reproduksi(al-muwallidah). Sedangkan pad dimensi hewani ada
dua fungsi yaitu: motivasi (al-muharrikah) dan persepsi (al-mudrikah).
Semua itu disebut al-Ghazali sebagai “pasukan hati” (junud al-qalb) yang
jenisnya sangat beragam dan jumlahnya pun tak diketahui dengan pasti. Fungsi
motivasi misalnya terdiri dari dua daya, yaitu daya pembangkit dan pendorong (syahwat
dan kemarahan), serta penggerak tubuh dan aktifitas (daya dan kekuatan).
Keduanya mencerminkan kemauan dan kemampuan. Sedangkan persepsi adalah
kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu yang pada taraf pertama biasanya
diperoleh melalui proses penginderaan.[39]
C. Issu Glabalisasi
dan Psikologi
Sebagai konsep, globalisasi mungkin telah menggantikan
universalisasi. Dokter jiwa yang
biasanya mengadopsi suatu pandangan universalis di dalam perasaan yang
mendasari manusia fisiologis dan sampai taraf tertentu psikologis yang bersifat
universal, sedangkan ahli antropologi membantah untuk suatu relativis posisi.
Relativis takut liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan memutar ruang
individu mereka ke dalam kesatuan yang lebih homogen. Suatu pandangan
globalisasi yang umum adalah bahwa masyarakat didorong kearah berbagai hal yang
tak dapat dikendalikan dan bergeser ke status ke korporasi multinasional.
Terdengar issu perdagangan bebas dan gerak bebas ekonomi semakin tak
terkendali. [40]
Bagaimana peran media di dalam cara menggambarkan
kemiskinan, kelaparan dan bencana alami di dalam berbagai fariabel negeri. Globalisasi sedang mendobrak dan memerinci
batasan-batasan alami, kita dapat menngunjungi dari satu kultur ke lain melalui
televisi, internet, bioskop dan buku-buku. Dengan pergerakan ini menaikkan harapan dan cita-cita. Orang pindah
ekonomi tidak mengalami penghalang apapun dan menikmati suatu kultur perusahaan
multinasional di mana mereka dapat mempunyai makanan Cina di Paris, makanan
Perancis di dalam India dan orang India menyamak kulit Hong Kong.[41]
Pengembaraan wisatawan dan ekonomi yang belakangan menghasilkan pendapatan.
Globalisasi sedang memutar mereka yang adalah lemah dan miskin tanpa ketentuan
dan tak berpendidikan diseret ke dalam kehidupan gelandangan. Siapun diijinkan
untuk tetap berada di tempat maupun untuk mencari-cari suatu lebih baik
menempatkan untuk menjadi segala bentuk karakter.
Globalisasi sebagai intensifikasi interconnection global,
mengusulkan suatu dunia penuh dengan pergerakan dan campuran, kontak dan
pertalian, dan interaksi budaya saling menukar. Teknologi komunikasi dan
pengangkutan semakin banyak dan cepat. Biaya produksi dan memaksimalkan laba
telah memimpin korporasi multinasional untuk bergeser ke dalam produksi yang
lebih jauh. Biaya Manusia bukanlah suatu pertimbangan di dalam akuntansi.
Bagaimanapun, globalisasi dapat bermanfaat bagi individu, dengan membiarkan
mereka untuk ikut serta, kultur imigran bisa meningkatkan cita-cita mereka.
Dengan saling behubungan yang kompleks, tidak hanya dapat menyilang, menarik ke
dalam tempat jaringan yang hegemony keuangan, tetapi juga orang-orang bergerak
ke lintas batasan-batasan nasional, memutar wilayah pribadi ke dalam ruang
publik[42],
dan berjuang keras untuk mengatasi permasalahan satu sama lain, di mana kultur
berselisih. Arus ibukota yang cepat, orang-orang, barang-barang, gambaran dan
ideologi dunia bekerja sama di dalam suatu jaringan yang ketat, kadang-kadang boleh mencekik
individu untuk membebaskan diri dari permasalahan yang komplek. Saling
behubungan ini dapat ditelusur balik ke dalam Kolonialisme mengenai Eropa, yang
memulai proses dari homogenisasi budaya ke seberang batasan-batasan geografis.
Konseptual globalisasi
menurut Harvey (1999) yang terutama sebagai tekanan ruang dan waktu seseorang
hanya dapat mempertimbangkan tentang dampak dari tekanan sosial dan jiwa
perorangan. Tekanan ini tidak terjadi
karena suatu selalu berlanjut tetapi secara singkat. Pertemuan sosial mungkin
segera dan secara langsung, atau komunikasi ke seberang ruang dan waktu.
Globalisasi begitu memimpin ke arah angka-angka orang-orang semakin banyak
tertinggal di dalam keadaan di mana institusi mereka dibunuh, praktek lokal berhubungan dengan sosial
globalis mengorganisir aspek yang utama dari kehidupan sehari-hari,[43]
sehingga memproduksi suatu perselisihan yang mengasingkan kedua-duanya individu
dari tempat dan ruang global.[44]
Dari perspektif psikiater
budaya, kultur mempengaruhi gejala dan idiom yang menyusahkan, model individu
bersifat menjelaskan karakter. Identitas
kesukuan mempunyai suatu peran di dalam individu yang mengagumi diri sendiri
dan mempengaruhi terhadap sosial. Konsekwensi konteks pendukung pluralisme
multikultural masyarakat yang baru, untuk kesejahteraan dan kesehatan
psikologis individu sebagian besar tak dikenal. Dokter jiwa budaya melanjutkan
untuk belajar sistem identitas yang
diancam oleh proses globalisasi.
Kita sudah masuk dunia baru globalisasi yang menantang.
globalisasi mungkin adalah digambarkan sebagai suatu proses di mana
batasan-batasan yang tradisional yang memisahkan individu dan masyarakat secara
berangsur-angsur dan terus meningkat. Proses ini sedang mengubah sifat alami
interaksi manusia di dalam lapisan banyak orang, baik dari aspek ekonomi,
politis, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. globalisasi sedang mengubah
jalan hidup, ruang dan waktu tanpa batas.[45].
Pendekatan ideologis dan filosofis memandang tentang dampak
globalisasi pada individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga, globalisasi jelas
mempunyai efek negatif dan positif serta kemungkinan menciptakan pecundang dan
pemenang. Masyarakat berubah dengan cepat melalui urbanisasi, acculturasi,
modernisasi, sosial, politik dan perubahan budaya. Di dalam negara-negara orang
banyak dimakan karat oleh disintegrasi ekonomi, distribusi yang berbeda,
kekayaan kolektif, gangguan sosial, penindasan politis, imigrasi dan bahkan
perang. Berjuta-juta orang masih kekurangan makanan, air, pendidikan dan
pelayanan kesehatan secara mendasar. Kekuatan ekonomi global sudah memperlemah
masyarakat dan negara-negara lemah dan miskin pada status yang ekonomi. Mata rantai yang kompleks antar globalisasi, kesehatan, sosial dan
kesejahteraan serta kesehatan mental sangat perlu untuk diselidiki.[46]
Pengaruh globalisasi pada
psikologis cukup signifikan, sebagaimana pengujian yang dilakukan oleh beberapa
pakar. Terjadinya globalisasi diberbagai daerah dunia, yang kemudian
konsekwensi globalisasi cukup berpengaruh pada psikologis, uraian globalisasi
terfokus pada isu identitas. Yang secara rinci mereka berargumentasi bahwa
kebanyakan orang-orang di seluruh dunia berkembang dari suatu kombinasi kultur
dan identitas yang yang berbeda, dari kultur lokal bersinggungan dengan suatu
identitas kultur yang global. Identitas
yang berbeda itulah melahirkan kebingungan dan meningkatnya emosi antar publik.
Kultur barat sebagai hasil globalisasi
menjadikan identitas mereka terpelihara yang selanjutnya terus meningkat
luas.[47]
Globalisasi telah tumbuh
dan hidup berabad-abad sebagai proses perubahan, dimana kultur saling
mempengaruhi satu sama lain dan menjadi lebih mirip, hal ini terjadi melalui
perdagangan, imigrasi, pertukaran informasi
dan munculnya berbagai gagasan-gagasan baru.
Bagaimanapun juga di dalam dekade terbaru, derajat dan tingkat
intensitas koneksi antar kultur yang berbeda dunia sudah mempercepat kemajuan
berbagai sektor secara dramatis, oleh karena itu kemajuan dalam telekomunikasi
mengalami suatu peningkatan cepat dan saling ketergantungan misalnya keuangan
dan ekonomi di seluruh dunia. Globalisasi meliputi suatu isu dan gejala yang
memiliki cakupan luas. Di dalam perkembangan buku-buku terbaru pada topik atas, sebagian besar mereka telah
terfokus pada ekonomi, didalam buku-buku tentang globalisasi juga telah
menunjukan adanya isu-isu lain, globalisasi telah banyak mempengaruhu kehidupan
orang-orang kota dan pada praktek budaya. Globalisasi menurut beberapa riset
mempunyai implikasi psikologi terhadap masyarakat (publik), tetapi sampai
sekarang implikasi ini belum secara menyeluruh dapat diuraikan. Akan tetapi
secara langsung kontribusi psikologi untuk suatu pemahaman globalisasi telah
diakui. Sejalan dengan pergeseran budaya
dan identitas masyarakat.[48]
Lingkungan sosial dihubungkan dengan resiko sakit ingatan,
sukar untuk meramalkan dampak globalisasi pada secara umum. Bagaimanapun juga,
kekacauan mental tidak bisa lagi di hindari dari konteks yang global yang membingkai
hidup kita. Menurut Kirmayer & Minas (2000), globalisasi mempengaruhi
psikiatri di dalam tiga jalan utama. Di
antranya :[49]
1.
Melalui
efek pada format individu dan identitas kolektif
2.
Melalui
dampak dari ketidaksamaan ekonomi terhadap kesehatan mental
3.
Melalui
bentuk ketidak perdulian dari pengetahuan psikiatris sendiri
4.
Melalui
mass media dan telekomunikasi elektronik, kultur local dan kesukuan di seluruh
bumi.[50]
Harpham et Al, 1988
and Kleinman ( 1991), urbanisasi adalah
peningkatan yang relatif yang berkenaan dengan populasi kota sebagai proporsi
total, dan setelah diamati, urbanisasi telah mendorong suatu peningkatan
gangguan perilaku terutama apabila dihubungkan dengan keluarga, mencakup
kekerasan ke pasangan, anak-anak, dan
berbagai kekacauan di tingkat masyarakat.
Urbanisasi secara jangka panjang akan bereimplikasi pada kekacauan
mental, di mana berbagai kesulitan dan peristiwa hidup sebagai salah-satu
faktor penyebabnya. Kesulitan hidup yang kronis seperti lingkungan miskin,
kekerasan dan kecelakaan, kompetisi sosial, konflik kelas, pemondokan.[51]
Marsella berkenaan dengan kehidupan global mengusulkan
untuk menghadirkan suatu laboratorium alami untuk belajar tentang kekacauan
mental tradisional seperti tekanan, penyakit jiwa dan sakit saraf, terutama tentang tekanan yang berhubungan
dengan permasalahan memondokkan, pekerjaan, perkawinan, anak terlantar,
keamanan dan berbagai kesulitan lain berkenaan dengan kehidupan kota di dalam
interaksi bersama dengan sumber daya yang tersedia untuk pelatihan atau
resolusi mereka menyediakan pemahaman yang terbaik tentang faktor penentu
psychopathological kekacauan di dalam populasi.
Peneliti lain[52]
menekankan pada mata rantai antara kesehatan mental dan kemiskinan, perbedaan
ekonomi dan underdevelopment, kondisi kerja dan rasa lapar kronis, kebebasan
dan diskriminasi jenis kelamin, pelanggaran hak azasi manusia dan pendidikan
yang terbatas, semua itu patut untuk
dipikirkan sebabbisa memperlemah dan membinasakan individu dan antara
kedua-duanya dan sosial bisa bertindak sebagai penyangga atau bantalan melawan
terhadap permasalahan kesehatan mental.[53]
Sakit ingatan dan permasalahan kesehatan mental meliputi 8%
dari setiap tahun, karena orang dewasa yang tua 15-44 tahun tinggal di demographically, penyakit neuropsychiatric
12% adalah beban penyakit yang global. Kebanyakan peneliti menggaris bawahi
kemungkinan itu yang banyaknya orang dengan sakit ingatan utama dan beban
permasalahan kesehatan mental bermasyarakat, akan menjadi terus meningkat
setiap tahun ke tahun sebagai dampak
globalisasi.[54]
Tekanan dapat bertindak
sebagai suatu paradigma di dalam diskusi dampak globalisasi, dalam hal
kelaziman kekacauan mental, tekanan juga dapat terjadi sebagai peristiwa
tunggal dalam seumur hidup. Latar belakang
budaya mungkin ikut menentukan apakah tekanan akan jadi pengalaman, dan
ternyata dinyatakan oleh psikologis dan terminologi emosional, atau fisik
terminology tekanan dapat berpengaruh terhadap fisik.[55]
Tekanan adalah suatu
kekacauan yang sangat lazim. Tentu saja,
pengalaman dari suasana hati dysphoric yang kini dianggap sebagai suatu
peristiwa universal, walaupun corak klinis
boleh berbeda dengan kultur. Organisasi Kesehatan Dunia (OKD) meramalkan
bahwa di dalam tahun 2020 tekanan akan terjadi di seluruh dunia, di dalam
negara berkembang tekanan diproyeksikan sebagai penyebab beban penyakit.[56]
Dari perspektif ini, kita meninjau ulang riset terbaru ke dalam variasi budaya
di dalam epidemiologi, hasil diagnosa perawatan dan presentasi tekanan klinis,
dan bagaimana globalisasi akan mempengaruhi idiom kesulitan.[57]
Tekanan Epidemiologi
belajar pada permasalahan psikologis di dalam
pelayanan kesehatan umum Suatu
studi besar oleh Organisasi Kesehatan Dunia, secara umum arus adalah paling menekan perasaan. Tekanan adalah kekacauan suatu yang cukup
berpengaruh terhadap mental.[58]
Globalisasi mungkin untuk
meningkatkan ketidaksamaan sosial dengan memperburuk perbedaan di dalam akses
dan distribusi sumber daya. Persaud & Lusane (2000) menyarankan teknis
proses ekonomi dihubungkan dengan diskriminasi sosial, seperti faktor sosial
mungkin meningkatkan resiko perang saudara dan kekerasan kolektif. Lebih lanjut faktor timbulnya serangan
teroris, ekspose ke unsur berbahaya dan tersebar penyakit drug-resistant
sebagai efek meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional mempunyai
suatu dampak pada kesehatan mental yang tidak bisa di diremehkan.[59]
Teori somatisasi[60]
lebih awal mengusulkan itu, yaitu padanan tekanan budaya, yang secara khas
terjadi kultur non-Western. Sekarang tumbuh bukti adanya gejala somatic,
yaitu mempresentasikan secara umum corak tekanan seluruh dunia itu. Tekanan di
dalam terminologi berkenaan dengan metafora somatic. Simon menggunakan
data dari orang yang belajar pada permasalahan psikologis di dalam pelayanan kesehatan umum, menguji hubungan
antara tekanan dan gejala somatic. Bagaimanapun juga somatisasi telah
digambarkan sebagai gejala somatic secara medis, frekwensi gejala
somatic tergantung pada bagaimana somatisasi digambarkan. Somatisasi adalah suatu konsep yang mencerminkan
dualisme yang tidak bisa dipisahkan di dalam Biomedical di dalam praktek barat,
sedangkan kebanyakan dari tradisi obat dan
kedokteran yang besar seperti Cina suatu pembedaan jelas antara mental
dan phisik tidak terjadi.[61]
Orang-orang dari kultur
tradisional tidak membedakan emosi lekas marah dan tekanan sebab mereka
cenderung untuk di dalam menyatakan kesulitan di dalam terminologi somatic atau
mereka mengorganisir konsep dysphoria dalam cara-cara yang berbeda dari
orang-orang barat. Sebagai contoh orang-orang Cina yang mempunyai tingkat
tekanan dan cenderung untuk menyangkal tekanan dan somatically.[62]
Di dalam suatu tinjauan ulang literatur menunjukan kepada satu set saling
behubungan dan saling berpengaruh. Negeri China telah mendiagnose neurasthenia,
konsep neurasthenia diuraikan oleh Cina sebagai shenjing shuairuo
dan itu meliputi somatic, teori dan gejala emosional sebagai tambahan
terhadap apapun secara menekan gejala perasaan. [63]
Konsep ini sesuai dengan epistemologi yang menjadi penyebab penyakit
tradisional atas dasar kepincangan atau kejanggalan dari ketidak seimbangan dan
organ bagian badan chi yang sangat penting. [64]
Imigran Korea di AS menyatakan bahwa rasa sakit yang tiba-tiba
setelah doselidiki merupakan emosi yang secara simbolis atau secara fisik itu
merupakan tekanan. fisik secara terminologi bukan emosional maupun jasmani,
tetapi di suatu tempat diantara keduanya. Dysphoria telah dinyatakan
sebagai gejala holistic (kemurungan jiwa telah diserap ke dalam badan).
Kedokteran Korea tradisional membagi fungsi simbolis pada masing-masing organ
bagian badan, paru-paru dihubungkan dengan keraguan, duka cita dan roh, hati
dan marah, ginjal untuk takut.[65]
Bhui meninjau ulang
literatur itu pada kekacauan mental umum antara orang India dan orang-orang
Pakistan, mengacu pada kotak somatisasi yang hitam. Ia melaporkan bahwa
Pasien yang mengunjungi dokter umum, mereka lebih sering mempunyai tekanan
perasaan dan tekanan gagasan. Sakit adalah gejala pisik yang paling umum, akan
tetapi proses penyembuan melalui mental itu sangat membantu penyembuan fisik.
Untuk mencegah dan
mengantisipasi berbagai konflik yang timbul dari efek berbaurnya manusia ini,
al-Qur’an memberikan isyarat dalam suarat al-Hujurat :
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Hujurat :11)
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (Q.S. al-Hujurat :12)
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. al-Hujurat :13)
Dari ayat di atas menggambarkan bahwa, apabila suatu
saat terjadi konflik di antara dua pihak tidak sepatutnya ikut-ikutan atau
memihak kepada salah satu pihak. Kewajiban muslim adalah mendamaikan keduanya
dengan semampunya. Bila dalam menyelesaikan suatu konflik dari efek globalisasi
idealnya dilakukan secara personal. Bila tidak mampu, bekerjasama dengan minta
bantuan yang lain untuk mendamaikannya.
Bila hal itu lakukan dengan ikhlas, selain akan di sayang sesama, Allah pun
akan menyayangi. Surah Al Hujuraat ayat 13 merupakan penjelasan lebih lanjut
ayat 10 diatas. Allah mengingatkan bahwa kita diciptakan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa. Di dunia ini ada berapa bangsa dan suku yang mempunyai adat
dan tradisi yang berbeda-beda serta kondisinya
pun tidak sama. Ada yang kaya, miskin,
berkulit dan berbahasa macam-macam. Kita
tdk boleh merasa lebih atau paling tinggi diri yang lain sehinga menjadi takabur. Tidak boleh pula
merasa rendah diri sehingga minder. Derajat manusia di hadapan Allah swt. tidak
di tentukan oleh keelokan tubuh, kebangsawanan, kekayaan, atau kedudukan dan tidak
pula oleh warna kulit, suku atau kebangsaan semuanya sama saja. Hanya yangg
paling bertakwalah yangg paling mulia disisi Allah swt. Manusia berbeda-beda,
baik dari kondisi sosial-ekonomi atau kesukubangsaan, hal itu agar kita saling
mengenal. Dari situ kita akan saling menghormati dan menyayangi.
F. Al-Qur’an Sebagai Solusi Permasalahan
Al-Qur’an
mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara
kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada
godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia
tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan
dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek
material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik,
yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya. Disamping itu, Al-Qur’an juga mengisyaratkan
bahwa manusia berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif
manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.[66]
Potensi
positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an. Di antaranya
ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin ayat
5 (manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya) dan Surah
al-Isra’ ayat 70 (manusia dimuliakan
oleh Allah dibandingkan dengan kebanyakan makhlik-makhluk yang lain). Di
samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan memberikan cap
negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta
mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim : 34), manusia sangat banyak membantah (Q.S.
al-Kahfi : 54), dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij:
19). [67]
Pada
hakekadnya, potensi manusia yang saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh
perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu’ (jiwa
yang selalu menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf ayat 53; nafsu
lawwamah (jiwa yang amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah ayat 1-2; dan nafsu
muthma’innah (jiwa yang tenteram), lihat Surah al-Fajr ayat 27-30.[68]
Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang berbeda
yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan psikologis antara
aspek material dan aspek spiritual. [69]
Membicarakan tentang
berbagai permasalahan tentang psikologi manusia, tentu banyak hal yang harus
diselesaikan, terutama memperbaiki mental manusia yang kian bergejolak dan
tidak terarah. Melihat kondisi ini perlu
ada solusi, agar manusia bisa tetap survive dalam melaksanakan proses
kehidupannya. Dalam hal ini, Prof Darwis
memberikan konsep dan beberapa solusi tentang pentingnya kesehatan mental bagi manusia
dalam menangkal problem kehidupan.
Adapun rincian konsep sehat
mental dalam mengatasi permasalahan dari dampak glabalisasi tersebut, sebagai
berikut : [70]
1.
Memiliki
Iman yang Menjadi Landasan Semua Sikap
dan Tingkah Laku
Di antara problematika
dalam kehidupan modern saat ini adalah masalah sosial, budaya dan ekonomi yang
sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya. Berbicara
tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran
dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk
(pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik
sesama orang Islam maupun orang Islam dengan non-Islam.
Ketika manusia beraktifitas dalam setiap kesempatan tentu memiliki
tujuan-tujuan yang berbeda. Dalam
pelaksanaan inilah perlu prinsip dan landasan hidup yang kuat, agar semua
aktifitas yang dilakukan oleh manusia (khususnya mu’min) dapat mengontrol diri
dari hal-hal yang akan berakibat pada kerugian diri sendiri.
Manusia
dalam menjalani proses kehidupan ini butuh iman sebagai landasan pokok, agar
manusia tidak terkontaminasi sifat dan karakter binatang. Sebab, hanya dengan keimanan manusia akan
mampu kontrol sikap dan tingkah laku, agar tetap memiliki martaba yang
mulya. Orang-orang yang beriman kepada Allah swt
dengan kesungguhan hati dengan tak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya, maka
Allah akan memberikan kemuliaan kepada mereka baik didunia maupun
diakhirat. Adapun kemuliaan didunia itu
meliputi :[71]
a)
Hatinya tenang, tidak goyah atau terombang ambing oleh ajakan nafsu
jahat atau orang yang akan menyesatkan. Allah berfirman dalam al-Qur’an di
dalam surat ar-Ra’d ayat 28 :
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم
بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
Orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
b)
Orang yang berimman akan selalu mendapat bimbingan dari alahh swt, oleh
karena itu apa yang dilakukannya adalah perbuatran-perbuatan baik dan terpuji
c)
Orang yang beriman meiliki sikap dan jiwa sosial, menyayangi anak yatim,
menyantuni fakir miskin, dan mengahrgai sesama orang lain
d)
Orang yang beriman akan selalu melakukan amalan-amalan saleh, rendah
hati, kasih sayang terhadap sesame manusia, bahkan terhadapsemua makhluk
ciptaan Tuhan, baik hewan atau tumbuh-tumbuhan
e)
Allah akan memasukkan orang yang berimanb kedalam surga sebagai
rahmatnya dana pahala atas ketaatan serta kepatuhannya selama hidup didunia
firman Allah swt dalam surat Al Maidah ayat 9 :
وَعَدَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ
وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٩﴾
Allah Telah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.
2.
Mampu
Membebaskan dirinya dari Penyakit-penyakit Hati
Di
era modern saat ini, banyak dijumpai berbagai persaingan di semua sektor
kehidupan manusia, tanpa terkecuali.
Kondisi ini mudah memicu persaingan yang tidak sehat, berbagai
persaingan yang terjadi menimbulkan dampak psikologi yang negatif, tumbuhnya
penyakit-penyakit hati yang di antaranya adalah iri dan dengki dikalangan
pekerja atau pegawai. Hal ini jika tidak
segera diatasi, akan menimbulkan gejolak dan konflik yang berkepanjangan.
Penyakit
hati yang mengkronis akan memiliki dampak yang membahasakan umat manusia. Minimal ada tiga akibat yang
ditimbulkan oleh orang yang mempunyai penyakit hati. Pertama, kerugian terhadap
diri sendiri. Orang yang terkena virus penyakit hati, jelas tidak akan pernah
merasakan ketenangan dan kenikmatan dalam hidup,walau pun jabatan dan hartanya
berlimpah, tetapi harta dan jabatan tersebut tidak akan pernah mendatangkan
berkah dan manfaat baginya, karena kerja sibuk dengan mencar-cari dan
memikirkan kesalahan orang lain, yang tidak mempunyai kesudahan.
Dalam hal ini Allah
memberikan isyarat di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 12 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
3.
Mampu
Beradaptasi terhadap Kenyataan (Kesuksesan dan Kegagalan)
Di
era globalisasi saat ini, setiap individu manusia selalu dituntut untuk berubah
dan berkembang serta meningkatkan taraf hidup yang memiliki standar tertentu.
Kondisi ini membuat manusia mudah lelah dan tertekan, sebab situasi yang
demikian itu akan terjadi berbagai persaingan yang memicu manusia harus
memiliki kesuksesan tertentu, bahkan sampai menembus batas-batas ukuran yang
sewajarnya. Ketika manusia ingin
mencapai taraf hidup tertentu, hal biasa akan menjumpai namanya keberhasilan
dan kegagalan. Untuk itu, ketika manusia menemuai suatu kegagalan harus
diantisipasi dari dini, supaya tidak merasa tertekan dan merasa ketinggalan
dari yang lain. Padahal, suatu hal yang wajar jika setiap manusia bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu akan merasakan namanya kegagalan, akan tetapi tidak
semua individu menerima suatu kegagalan, bahkan ada sebagain manusia yang
ketika menemui suatu kegagalan menempuh jalan syaitan (menghaalkan segala cara
dan bunuh diri).
Idealnya,
setiap individu di era modern saat ini yang dipenuhi dengan ambisi dan
persaingan, memiliki kontrol diri untuk dijadikan obat mujarap dalam
melaksanakan kegiatan apapun. Jika
seseorang berhasil dalam karir alangkah baiknya jika ia bersyukur dan mencatat
proses keberhasilannya. Jika ia menemui
kegagalan, alangkah baiknya kalau ia instropeksi diri dan tidak bersedih yang
berkepanjangan. Sebab, kesedihan, sumpah
serapah, menyalahkan orang lain, marah dan dendam tidak akan merubah kondisi,
bahkan akan membuat diri seseorang akan lebih tertekan dan stres.
Segala
situasi dan kondisi yang menimpa manusia di jagat ini merupakan sunatullah, hal
ini sudah Allah gambarkan di dalam surat al-Baqarah ayat 155-157 :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم
مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ﴿١٥٦﴾ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن
رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ ﴿١٥٧﴾
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji`uun"(sesunggungnya kami milik Allah dan kepada Allah akan kembali)
157. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
4.
Mampu
Memperoleh Kepuasan dari Upaya Perjuangan Hidupnya
Di
zaman sekarang ini, tingkat kebutuhan hidup semakin tinggi. Hal ini mamaksa manusia untuk senantiasa
bekerja keras dalam memperoleh hajat hidupnya.
Dalam memperjuangkan hidup, masyarakat di era modern saat ini berupaya
semaksimal mungkin dengan melalui berbagai cara dan bidang garapan. Bahkan, sebagian masyarakat walau sudah
tergolong tinggi status sosial dan ekonominya tetap tidak pernah puas dengan
apa yang ia miliki. Kenyataan ini
membuat masyarakat sakit jiwa, sebab tidak pernah merasa puas dan cukup dari
apa yang ia dapatkan dan miliki. [72]
Kepuasan
hidup seseorang memeng berbeda, akan tetapi melihat hal ini al-Qur’an
memberikan renungan, agar manusia lebih menerima atau puas dengan apa yang ada
pada diri masing-masing, tidak boleh saling iri hati dengan sesuatu milik orang
lain yang bukan haknya. Dengan menerima
yang ada pada diri kita dari hasil kerja keras, akan membawa pada ketenangan
jiwa. Lebih lanjut Allah menegaskan di
dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 32 :
وَلاَ
تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Allah memberikan karunianya kepada manusia dalam bentuk yang berbeda dan
dengan bobot yang tidak sama, hal itu merupakan ketentuan Allah. Hal ini sudah Allah sampaikan dalam surat
al-Isra’ ayat 30 :
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ
الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً
﴿٣٠﴾
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang
Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Walaupun manusia tidak mendapat giliran karunia berupa materi yang
banyak tentu harus menerima, sebab sebagaimana ayat di atas, semua adalah
ketentuan Allah. Kehidupan dunia beserta
isinya adalah fatamorgana yang akan cepat hilang. Oleh karena itu Allah memberikan penekanan
kepada umat manusia (mukmin) untuk lebih mengedepankan kehidupan
akhiratnya. Lebih lanjut Allah
berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 21 :
انظُرْ
كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ
وَأَكْبَرُ تَفْضِيلاً ﴿٢١﴾
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka
atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya
dan lebih besar keutamaannya.
5.
Lebih
Senang Memberi daripada Menerima
Di
era modern saat ini masih banyak manusia yang berkarakter miskin (merasa
miskin), padahal hidupnya sudah bergelimang materi. Mereka menumpuk-numpuk harta dan materi
lainnya dan enggan berbagi kepada orang lain yang membutuhkan. Karakter yang demikian inilah, yang membuat
manusia tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan, sehingga
perasaan mereka ini berdampak pada minus
nilai-nilai sosial, enggan memberi pada orang lain dan merasa fakir yang
berkesinambungan.
Pergolakan
ekonomi global yang tajam juga ikut andil dalam menciptakan karakter miskin
pada individu manusia, sebab mereka bersaing antara satu dengan yang lain
terhadap apa yang mereka dimiliki,
akhirnya mereka terjebak pada demensi kemiskinan jiwa yang kronis dan mengakar
bahkan kadang ditularkan pada generasi selanjutnya.
Untuk
mencapai ketengangan batin di era sekarang ini, al-Qur’an menawarkan solusi, di
antaranya dengan berbagai (memberikan sesuatu) pada orang lain yang lebih
membutuhkan, sebab memberi (sedekah) memiliki manfaat yang langsung diraasakan
di dunia. Hal ini Allah isyaratkan di
dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 174 :
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٢٧٤﴾
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang
hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
Dan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 114 :
لاَّ خَيْرَ
فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ
إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ
فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿١١٤﴾
Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Nabi Muhammad juga
S.A.W. bersabda: "Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air
memadamkan api." (HR Tirmidzi) "Sesungguhnya
sedekah itu akan memadamkan murka Tuhan dan mencegah pelakunya dari kematian
yang buruk" (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) “Naungan bagi
seorang mukmin pada hari kiamat adalah sedekahnya.” (HR. Ahmad)[73]
6.
Mampu
Menjalin Hubungan dengan Orang Lain dan
Saling Menguntungkan
Dalam kehidupan
sehari-hari sebagai manusia kita tidak lepas untuk saling berhubungan dengan
satu sama lain. Hubungan tersebut tidak hanya yang berupa hubungan yang
menguntungkan namun ada juga hubungan yang cenderung memberi ketidaknyamanan
seperti perselisihan atau konflik. Konflik sendiri didefinisikan sebagai
kondisi ketidaksesuaian, perselisihan, dan pergeseran yang terjadi ketika
tindakan atau nilai dari seseorang tidak diterima oleh orang lain, dan terdapat
adanya ketahanan dari orang lain
Hubungan yang baik
adalah hubungan yang saling menguntungkan. Saya yakin anda tidak suka di
rugikan demikian sebaliknya orang lain juga tidak suka kita rugikan. Dari
itulah salah satu dasar pergaulan sehat yang lain adalah simbiosis
mutualisme. Jangan sampai kita berpikir untuk merugikan orang lain,
berpikir saja kita tidak di berbolehkan apalagi kita melakukannya. Ketika
seseorang hidup dengan penuh rasa respek dan saling menguntungkan maka hubungan
yang harmonis akan lebih mudah terjalin antara.
Manusia di lahirkan
dengan berbagai macam perbedaan, baik itu dari segi fisik, psikologis, ras,
suku, budaya dan lain-lain. Setiap manusia itu memiliki keunikan tersendiri,
karena hal inilah kita harus memahami perbedaan tersebut. Apa yang kita rasa
cocok untuk diri kita belum tentu cocok untuk orang lain, apa yang kita pikir
benar belum tentu juga benar menurut orang lain, apa yang kita rasa baik buat
diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Sadarilah hal ini dengan baik,
supaya kita bisa menjalin hubungan yang lebih sehat dan kondusif. [74]
Satu kata yang selalu
saya ingat jika kita ingin di harga dan di hormati orang lain, maka kita harus
lebih dulu bisa menghargai dan menghormati orang lain. Mengahargai dan
menghormati orang lain ini bisa di lakukan dengan banyak hal seperti menghargai
dan menghormati pendapat orang lain, menghargai dan menghormati cara beribadah
orang lain, menghargai dan menghormati adat istiadat orang lain, menghargai dan
menghormati cara berpikir orang lain dan sebagainya. Hal ini penting di lakukan
untuk membangn sebuah hubungan yang positif dengan orang lain. Allah menjelaskan di dalam al-Qur’an surat
al-Hujurat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
7.
Bebas
dari Kecemasan atau Ketegangan
Tekanan hidup dari arus
globalisasi membuat masalah yang tidak pernah berakhir, selalu datang dan hadir
silih berganti. Mulai dari problem keluarga, anak-anak, keuangan, pekerjaan,
kesehatan, lingkungan dan masih banyak yang lain. Jika kita tidak dapat
mengatasi masalah-masalah ini, pasti akan muncul ketegangan dan kecemasan.
Sampai batas tertentu ketegangan dan kecemasan ini baik, karena akan memberikan
dorongan yang positif, namun bila ketegangan dan kecemasan ini sudah sangat
berlebihan dan terus menerus, akan mengganggu memori dan efisiensi diri kita dalam
segala hal. Dampaknya pikiran akan membentuk penghabat. Hubungan pikiran sadar
dan bawah sadar akan terputus, sehingga kita tidak dapat mengakses informasi
yang kita butuhkan dari bawah sadar. Dan kejernihan pikiran kita akan
terganggu. Sebaliknya emosi negatif dan amarah akan senantiasa muncul
meluap-luap mencari sasaran.
Untuk menghindari dampak
negatif dari kecemasan dan ketegangan, al-Qur’an berpesan kepada manusia
sebagaimana Allah sampaikan dalam surat Fushshilat ayat 30 :
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih;
dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu".
8.
Mampu
Mengarahkan Permasalahan Menjadi Penyelesaian Konstruktif
Manusia diciptakan untuk
melengkapi kehidupan di dunia, dan di dalam dunia ini merupakan tempat
kehidupan manusia yang dilengkapi dengan yang namanya masalah. tidak ada satu
orangpun yang lahir kedunia ini tanpa mengalami yang namanya masalah dan memang
pada kodratnya masalah juga dilahirkan dengan adanya kelahiran manusia itu
sendiri, apalagi di era globalisasi saat ini.
Hampir setiap manusia setiap harinya menjumpai permasalahan.
Hidup
di era globalisasi saat ini, hampir secara keseluruhan manusia ingin memiliki
taraf hidup yang tinggi, status sosial di atas rata-rata dan lingkungan
keluarga yang berkecukupan materi (kemewahan).
Dalam melaksanakan aktifitas tentu akan menemui berbagai permasalahan,
baik yang bersumber dari intern maupun ekstern.
Masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia, bahkan dalam istilah
umum dikatakan bahwa, orang hidup pasti memiliki masalah, jika tidak mau
memiliki masalah tidak usah hidup.
Setiap masalah itu ada sulusinya tetapi karena setiap saat kita
menghadapi masalah atau mendengar kalau kita sedang dalam masalah maka tanpa
sadar kita selalu merasa panik dan rasa panik itu juga dengan sendirinya
langsung merasuki alam bawah sadar kita sehingga pikiran seseorang ikut-ikutan
terpengaruh oleh rasa panik itu dan akhirnya masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan
dengan waktu yang singkat akhirnya harus memakan waktu yang lama dan lebih
parahnya lagi dapat membawa masalah yang baru lagi.
Masalah bukanlah sesuatu
yang menakutkan, menjengkelkan atau mematikan. Karena pada dasarnya masalah itu
adalah suatu proses pendewasaan seseorang. Masalah itu mudah atau rumit hanya
sebuah anggapan saja. Wajar sekali manusia yang hidup itu memiliki berbagai
macam anggapan, termasuk anggapan akan sesuatu yang telah, sedang dan akan
terjadi. Anggapan ini biasanya muncul karena adanya ketidak seimbangan
keinginan dan kenyataan yang harus dihadapi. Dan biasanya berujung pada sebuah
anggapan negative yang bisa merusak pola pemikiran seseorang.
Selanjutnya, masalah dan
berbagai bentuk konflik pada hakekadnya proses hidup yang harus dilalui setiap
manusia. Setiap permasalahan yang hadir
dalam kehidupan manusia merupakan ujian dari Tuhan dan setiap orang pasti kuat
menjalaninya. Dalam hal ini Allah menuturkan
dalam surat al-Baqarah ayat 286:
لاَ يُكَلِّفُ
اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ
تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا
رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ
لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
﴿٢٨٦﴾
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir".
9.
Memiliki
Rasa Setia Kawan terhadap Sesama
Umat manusia itu adalah bersaudara, selama kita tinggal satu atap,
hidup di bawah langit yang sama, menghirup udara yang sama kita harus bisa
hidup berdampingan, toh kita sama-sama ciptaan Tuhan. Bahkan, jika kita
mengingat bahwa kita ciptaan Tuhan, kita pun harus menghargai hak hidup makhluk
lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Jika saja di muka bumi ini terjalin
perasaan setia kawan yang erat, bukan tidak mungkin akan terjalin rasa
persaudaraan yang kuat. Bahkan jika rasa cinta kasih terhadap sesama
terpupuk dengan subur, jangan akan terhadap sesama manusia, sesama makhluk
lainnya pun akan berlaku sama. Pada akhirnya bumi ini tidak akan sekarat seperti
sekarang ini. Kedengarannya memang gombal, melangkolis, atau lebay. tapi, mau
diakui atau tidak itulah kenyataannya. Itulah kunci sukses perdamaian dan
ketenangan dunia.
Memiliki dan
mengamalkan perilaku setia kawan pasti akan terjalin sikap saling peduli
satu sama lain. Rasa peduli muncul karena rasa empati dalam diri. Sedangkan
rasa empati merupakan bentuk dari kasih sayang. Rasa kasih sayang
selalu ada dalam diri manusia, merupakan software dari Tuhan yang
diinstal dalam hati dan dijalankan bersama nurani. Orang bilang antara
cinta dan benci dibatasi dengan batasan yang sangat tipis, sehingga bisa jadi
yang dicintai malah menjadi yang paling dibenci, begitupun sebaliknya. Akan
tetapi, rasa cinta itu tetap dijaga dan dipelihara, bukan hanya rasa setia
kawan saja yang akan muncul, namun juga akhlak terpuji lainnyapun akan
terwujud. Intinya setiap manusia jika ingin terbebas dari penyakit hati yang
memeliki ketenangan hidup, harus saling bantu membantu dan tolong menolong
antar sesama. Dalam hal ini Allah menegaskan di dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 148 :
وَلِكُلٍّ
وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ
يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾
Dan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
Selanjutnya, dalam urusan konflik masyarakat, agar manusia
tetap menjaga tali persahabatan dan memagang erat sifat setia kawan. Sebagaimana Allah berfirman pada suarat
al-Maidah ayat :
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن
لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
Dan Kami telah turunkan
kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
F. Penutup
Globalisasi nampaknya akan
menjadi salah satu kekuatan yang dominan di dalam pengembangan psikologis orang-orang abad 21
itu. Kultur bisa dan dapat dipengaruhi satu sama lain melalui perdagangan,
migrasi, dan perang. Berbagai kultur akan menyatu dansaling berkompetisi untuk
mempertahankan identitas mereka masing-masing. Issu krisis akan semakin
terdengar walaupun lapangan kerja semakin banyak, menebabkan hidupnya penyakit
jiwa yang mengkronis pada diri publik.
Sebagai konsekwensi
globalisasi, menciptakan tantangan baru pada setiap identitas, yang selanjutnya
berimplikasi dan mengubah terhadap system tradisional, dan beranjak ke era baru
yang asing bagi mereka, sehingga mereka rentan terhadap penyakit jiwa, sebab persinggungan kultur dan
identitas mempuat publik yang asing tersebut menjadi gagu di dalam segala hal,
khususnya berbagai kemajuan yang sangat global.
Eksistensi
psikologi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia era baru tekait berbagai
permasalahan yang timbul akibat globalisasi, konflik keluarga, kultur, budaya,
ekonomi, sosial, pertemuan kultur yang berbeda dan persaingan menjadi salah
satu penyebab menyebarnya virus jiwa yang akan mempengarui struktur manusia
yang universal. Berbagai cara digunakan
oleh publik peneliti untuk menyelesaikan permasalahan mental yang terganngu
akibat dari konflik global.
Manuasia
dalam mengatasi persoalan dan issu yang terjadi di lingkungannya perlu tuntunan
dan solusi jitu. Dal hal ini al-Qur’an
adalah suatu pedoman hidup dan solusi dalam mengatasi semua problem kejiwaan
manusia. Sebab, terjadinya berbagai tekanan
kejiwaan diawali oleh komposisi manusia yang tidak memiliki keyakinan dan
kesabaran. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan kebahagian dan ketenangan hidup perlu pembinaan spiritual melalui
pendekatan agama dan al-Qur’an. Sebagaimana isyarat al-Qur’an dalam surat
al-Isra’ayat 111 :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ
مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ
خَسَاراً ﴿٨٢﴾
Dan Kami
turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian.
Dan
surat Fussilat ayat 54 :
…هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء ……………
﴿٤٤﴾
…..Al
Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar ……..
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hanafi, Psikologi
Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992
Albert Bandura, The
ChangingFace of Pyichology at the
Dawning of a Alobalization Era. 2011. Jurnal Vol.547
Alex Sobur, Psikologi
Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003
Bauman Z, Globbalization; The Human
Consequences, 1998, Vol. 421
Dawam Raharjo, Intelektual,
Intelgensi, dan Perilaku Politik, Bandung :Al-Mizan, 1996
Desjarlais, R., Eisenberg,
K.J., World Mental Health, 1995. Jurnal Vol. 321
Dinesh Bhugra and Anastasia
Mastrogianni, Globalisation and mental disorders. 2010. Jurnal
Vol.557.
Djamaludin Ancok dan Fuad
Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,
1994
EnthinHervina, tempo; Lebih lanjut lihat, Mulyadhi
Kartanegara, Psikologi Islam, Diktat. 2015
J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi
(terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada,
Cet., ke-7
Jeffrey Jense, The
Pyichology of Globalization, 2002, Jurnal Vol.579
Kirmayer &
Young, A, Culture and Samatization,
2008, Jurnal Vol. 673
Kirmayer, L.J.,
& Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2009, Vol. 451
Kunit, S.J., Globalization
State and the Health of Indigenous Peaples, 2011, Vol. 90
Loren Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3
MariaT, Dkk, The
Psychology of Workingand Globalisation; a New Perspektiffor a New Era,
2008
Muhammad
Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat
Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993
Murray,
C.J.L. & Lopez, A.D., Alternative
Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349
Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan
Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang,
2002, Cet., ke-3
Sartorius, N.,
Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty,
1996, 13; Zhang et Al, 1998)
Soerjono Soekanto, Sosiologi
“Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19
Zhang, W.X.,
Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental
Disordes in 7 Areas of China, 2008
Ancok, Jamaluddin, Psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia
Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000
Mujib,
Abdul, et.al., Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Adz-Dzaky, Hamdani
Bakran, Konseling
dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2006.
Ancok, Djamaludin
& Fuat Nashori Suroso, Psikologi
Islami: Solusi Islam Atas Problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Bastaman, Hanna
Djumhana, Integrasi
Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Yayasan Insan
Kamil, bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2005.
Jamaluddin
T, Zamzam A. & Tri Boedi Hermawan, “Struktur Insan dalam Al-Qur’an: Apa yang Tersentuh Oleh
Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)”, http://suluk.blogsome.com/2005/6/21/struktur-insan-dalam-al-quran-apa-yang-tersentuh-oleh-psikologi-analitik-dan-status-kecerdasan-spiritual-sq/.
Nashori, Fuad, Potensi-Potensi
Manusia (Seri Psikologi Islami), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nawawi, Rif'at
Syauqi, “Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an”, dalam Rendra K
(Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2000.
Sanaky, Hujair
AH., “Konsep Manusia Berkualitas Menurut Al-Qur'an dan Upaya
Pendidikan“,http://www.sanaky.com/materi/konsep_manusia_berkualitas_menurut_al.pdf
Muhammad Izzudin, at-Ta’silu
al-Islami li Dirosat an-Nafsiyyah (Risalah Doktor), Kairo: Daar
as-Salam, 2002
Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
[1] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi,
diterjemahkan olehWidjaja Kusuma dari judul Introduction to Psychology.
Batam : Interaksara, t.thal. hal. 15
[2]
Alex Sobur, Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia, 2003,
hal. 18
[3]
Alex Sobur, Psikologi Umu., Bandung : Pustaka Setia, 2003,
hal. 19
[4]
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology at the Dawning of a Alobalization Era,
hal.12
[5]
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology at the Dawning of a Alobalization Era,
hal.12
[6] Albert
Bandura, The ChangingFace of Pyichology
at the Dawning of a Alobalization Era, hal.12
[7] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[8] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[9] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[10] http://m.aslamiyahal.abatasa.co.id/post/detail/11016/pengaruh-Al-Qur’an
[11]
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, hal. 19
[12]
Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta
: Reneka Cipta, 1992, hal.4
[13] Alex
Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, hal. 20
[14] Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku
Politik, Rahardjo, Bandung
:Al-Mizan, 1996, hal. 261
[15] Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr
terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993, hal. 27-28
[16] DjamaludinAncok
danFuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 1994., hal. 65
[17]
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet., ke-3, hal. 122
[18] [18] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 1994, hal. 66; Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan
Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3.,
hal. 107-117
[19] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,
1994., hal. 67; Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang,
2002, Cet., ke-3., hal. hal.151-155
[20] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,
1994., hal.69; Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang,
2002, Cet., ke-3., hal. 174-178; Loren, 295-296
[21]
EnthinHervina, tempo; Lebih lanjut
lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, hal.4-16
[22] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 3
[23] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 5
[24]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 261
[25]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 262
[26]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 262
[27]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 261
[28]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 265
[29] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 12
[30] A
Jamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994, hal. 144 - 170
[31]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 267
[32]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al
Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 268
[33]
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2006. hal. 13-15.
[34]
Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia (Seri Psikologi Islami),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. hal. 19-20.
[35]
Rif'at Syauqi Nawawi, “Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an”, dalam
Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2000, hal. 11
[36]Hujair
AHAL. Sanaky, “Konsep Manusia Berkualitas Menurut Al-Qur'an dan Upaya Pendidikan “,http://www.sanaky.com/materi/konsep_manusia_berkualitas_menurut_al.pdf.
[37]
Djamaludin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi
Islam Atas Problem Psikologi,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. hal.
155
[38] Zamzam A. Jamaluddin T &Tri Boedi Hermawan, “Struktur Insan dalam Al-Qur’an: Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status
Kecerdasan Spiritual (SQ)”, http://suluk.
blogsome.com/2005/6/21/struktur-insan-dalam-al-quran-apa-yang-tersentuh-oleh-psikologi-analiti
k- dan - status-kecerdasan-spiritual-sq/.
[39]
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 79-80.
[40]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.10
[41] Bauman Z, Globbalization;
The Human Consequences, 1998, vol. 421., hal. 9
[42] Publik adalah orang banyak atau umum, dan orang yang datang
mengunjungi atau menonton dan merasa puas dengan pertunjukan itu.[42]
Publik pada umumnyalebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan.
Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti
misalnya pcmbicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film dan lain
sebagainya. Alat-alat pcnghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik
mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih bcsar. Akan tetapi karena
jumlahnya yang sangat bcsar, maka tak ada pusat perhatian yang tajam dan karena
itu kesatuan juga tak ada. Sctiap aksi publik diprakarsai oleh keinginan
individual (misalnya pcmungutan suara dalam pemilihan umum), dan temyata
individu-individu dalam suatu publik masih mempunyai kesadaran akan kedudukan
sosial yang scsungguhnya dan juga masih lebih mementingkan
kepentingan-kepcntingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan.
Dengan demikian, tingkah-laku pribadi kelakuan publik didasarkan pada
tingkah-laku atau perilaku individu. Untuk memudahkan mengumpulkan publik
tersebut, digunakan cara-cara dcngan menggandengkan nilai-nilai sosial atau
tradisi masyarakat bcrsangkutan, atau dengan menyiarkan
pemberitaan-pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya.
Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja
Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19, hal.161-162
[43]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.11
[44]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.11
[45] Kunit, S.J., Globalization
State and
the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90, hal. 65
[46]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.10
[47] Jeffrey Jense, The Pyichology of Globalization, 2002, vol.57, hal.774
[48] Jeffrey Jense, The Pyichology of Globalization, 2002, vol.57, hal.774
[49] Kirmayer, L.J., &
Minas, I.HAL., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45.,
hal.17
[50]
Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental
disorders, hal.12
[51] MariaT, Dkk, The Psychology of Workingand
Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008, 8 ; 5-18,
hal.15
[52]
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, hal.
30
[53]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.11
[54]
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, hal.
30
[55] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World
Mental Health, 1995, hal. 33
[56] Murray , C.J.L. &
Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020,
1997, Vol. 349, hal.19
[57]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal.14
[58]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal. 14
[59]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal. 12
[60] Somatisasi
menurut Kamus Psikologi adalah mempertalikan semua penyakit mental dengan
organic; J.P.Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta
: PT Grafindo Persada, cet., ke-7, hal.
474
[61] Kirmayer & Young, A, Culture and Samatization, 1998, 67
[62] Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression
Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
[63] Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological
Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China , 1998, 22
[64]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h 14
[65]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
hal. 15
[66]
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
hlm. 378
[67]
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
hlm. 379
[68]
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm.
373-374
[69]
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 377
[70]
Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media
Kreatif, 2015. hal. 65-79
[71]
Muhammad Izzudin, at-Ta’silu al-Islami li Dirosat an-Nafsiyyah (Risalah
Doktor), Kairo: Daar as-Salam, 2002
[72]
Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media
Kreatif, 2015. hal. 65-79
[73]
CD Maktabah syamillah dan Terjemahnya. 2010
[74]
Darwis Hude, Logika al-Qur’an, Jakarta : PT Nagakusuma Media
Kreatif, 2015. hal. 65-79
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun