6 Feb 2016

KERAGAMAN PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Tinjauan Aspek Bentuk, Metode dan Corak Tafsir)


A. Pendahuluan
Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an. Kitab suci al-Qur’an menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini. Ilmu yang ada di dalam al-Qur’an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan usang di telan masa dan waktu.  Maka, untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur’an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur’an tersebut.
Pemahaman al-Qur’an bagi seorang mukmin merupakan suatu hal yang penting dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya dengan tujuan agar manusia secara keseluruhan dan muslim khususnya akan menjadi manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Kitab suci al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang digunakannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh.
Al-Qur’an adalah konsep hidup umat islam dan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan, yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia yang mengimaninya kapan dan di mana saja ia berada.  al-Qur’an memiliki berbagai macam keistemewaan yang tidak ada di dalam kitab lainnya. Keistimewaan al-Qur’an di antaranya, susunan bahasanya yang unik mempesona, lafadnya mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor, di antaranya faktor metode kajiannya.
Setiap ayat dari seluruh ayat di dalam al-Qur’an memiliki redaksi-redaksi unik dan penuh makna filosofis, baik yang diucapkan atau ditulis, makna dan kandungannya tidak dapat dipahami secara pasti. Sehingga banyak di antara para mufasir berusaha menampilkan makna dan kandungan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing (mufasir).  Ada yang memahami secara tekstual dan kontekstual.  Walaupun para mufasir berusaha mengungkap makna ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an,  akan tetapi tetap tidak mampu mewakili isi kandungan al-Qur’an.  Keragaman gaya penafsiran para mufasir  inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
            Rasulullah Saw adalah orang yang diberi wewenang oleh Allah SWT. untuk menafsirkan, menjelaskan dan menguraikan kandungan al-Qur’an. Dari fakta tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan para masyarakat akan penjelasan al-Qur’an terpenuhi semasa hidup Rasulullah Saw., hal ini dikarenakan seluruh permasalahan yang muncul yang berhubungan al-Qur’an langsung mereka tanyakan kepada baginda Rasulullah Saw.
            Zaman setelah meninggalnya Rasulullah Saw dapat dikatakan merupakan zaman transisi dari kepemimpinan seseorang yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT kepada seorang manusia biasa. Pada zaman inilah kemudian muncul dan berkembang beberapa metode penafsiran al-Qur’an. Metode-metode ini dikembangkan, tentu saja dengan maksud untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul di kalangan umat muslimin.
Para sahabat Nabi dalam hal penafsiran  di dalam memahami makna al-Qur’an, belum mampu menampilkan makna yang sebenarnya.  Walaupun secara umum, para sahabat Nabi menyaksikan proses turunnya wahyu, mengetahui kontek sababiyahnya, dan memiliki pemahamami struktur bahasa asli (Arab) dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengan atau mereka baca itu.[1]
Menurut beberapa pendapat menyatakan bahwa, mufasir di era sahabat yang memiliki otoritas pemahaman tafsir adalah Ibnu Abbas.  Akan tetapi, walaupun  Ibn ‘Abbas dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah menyatakan bahwa, tafsir terdiri dari empat bagian, yaitu :
1.      Tafsir  yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka
2.      Tafsir yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya
3.      Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh ulama
4.      Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2] 
Dari pembagian ini maka ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu :[3]
1.      Menyangkut Materi Ayat-ayat
Dilihat dari sudut materi ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain :
a.       Ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti : ya-sin, alif lam mim, dan sebagainya.
b.      Ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
2.      Menyangkut Syarat-syarat Penafsiran
Dari segi syarat penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya
b.      Pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah turunnya, hadits-hadits Nabi, dan Ushul Fiqh
c.       Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan
d.      Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dibenarkan untuk menafsirkan al-Qur’an. Untuk itu ada dua hal yang sangat penting untuk digarisbawahi, yaitu:[4]
1.      Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
2.      Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
a.       Subjektivitas mufasir
b.      Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah
c.       Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat
d.      Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat
e.       Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan atar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat
f.       Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Melihat begitu mendalam dan sistematisnya dalam memahami al-Qur’an dengan adanya berbagai persyaratan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan bila al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan ispirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[5]
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran sebagaimana dijelaskan diatas, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Itu juga dikarenakan banyak sekali metode penafsiran yang digunakan oleh seorang mufasirin dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

B. Bentuk Penafsiran al-Qur’an
Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’ (macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat), al-ra’y (pemikiran) dan isyari
1.      Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi studi al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[6] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.[7]  Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau perkataan sahabat.[8]  Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.[9]
Dari segi material, menafsirkan al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an, tentu ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya “mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzulsebagai satu-satunya sember data otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul. [10]
            Adapun contoh tafsir bilma’tsur antara Qur’an dengan al-Qur’an sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴿١﴾
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah: 1)

Ayat tersebut ditafsirkan dengan ayat selanjutnya, yaitu :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 3)
      Adapun contoh penafsiran al-Qur’an dengan riwayat (hadis Nabi) sebagai berikut: 
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
            Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah : 7)
       Lafad (الضَّالِّينَ ) diartikan atau ditafsirkan oleh Nabi saw. Dengan Yahudi dan Nasrani.
2.    Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Al-Ra’yu secara etimologi berarti keyakinan, qiyas dan ijtihad. Sedangkan menurut ’ulama tafsir, metode ini dinamakan dengan tafsir ra’yu atau tafsir dengan akal (ma’qul), adalah karena penafsiran kitab Allah bertitik tolak dari pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan dari sahabat atau Tabi’in. Namun yang dimaksud ra’yu disini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu disini bukanlah menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan ”barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela.[11]
Terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan al Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu­ (akal). Diantara sekian banyak ’ulama yang ada, mayoritas ’ulama enggan menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan al Ra’yu. Karena hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Daud dari Jundab, yang artinya : barang siapa yang menafsirkan Al Qur’an dengan Ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.
Meskipun tafsir bi al-ra’y  berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu;tabarah(diakui sah secara bersama). [12]
 Dari perdebatan yang ada, tidak berarti pendekatan tafsir Al Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat dikalangan ’ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat.
Diantara syarat-syaratnya adalah :
1.      Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya
2.      Menguasai Ilmu-ilmu Al Qur’an
3.      Berakidah yang baik dan benar
4.      Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[13]
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan  bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).
Adapun contoh dari tafsir ayat al Qur’an dengan pendekatan ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72
وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢﴾
Artinya : Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
   
   Kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى
 الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴿٤٦﴾
Artinya : Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj :46)

       Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati.
       Terkait dengan tafsir al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah ruang lingkup yang luas dan dapat menampung berbagai ide yang ada.
       Hal terpenting dari pendekatan dengan ra’yu ini adalah, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat al Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.

3.      Bentuk Isyarat (Isyari)
            Isyarah secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat. Sedangkan tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat al-Qur’an al-Karim tidak seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh orang yang berilmu dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna zahir ayat–ayat al-Qur’an dari beberapa sisi syarhis (yang masyru’).[14]
            Adapun isyarah menurut istilah adalah apa yang ditetapkan (sesuatu yang bisa ditetapkan/dipahami, diambil) dari suatu perkataan hanya dari mengira-ngira tanpa harus meletakkannya dalam konteksnya (sesuatu yang ditetapkan hanya dari bentuk kalimat tanpa dalam konteksnya). [15] Menurut al-Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal yang saling bergandeng, isyarat banyak menolong lafal (dalam memahaminya), dan tafsiran (terjemahan) lafal yang bagus bila mengindahkan isyaratnya, banyak isyarat yang menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan.[16] Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.[17]
            Penafsiran al-Qur’anyang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)”. [18]  Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah SWT.
            Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu :
1)      Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an.
2)      Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat.
3)      Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4)      Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5)      Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud  bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.[19]
Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain; Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).[20]
            Adapun syarat-syarat tafsir isyari adalah diantaranya:
1)    Tidak bertentangan dengan makna (zhahir) ayat
2)    Maknanya sendiri shahih
3)    Pada lafazd yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut
4)    Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.[21]
            Apabila keempat syarat ini dipenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsir isyari) merupakan istinbat yang baik dan dapat diterima. Dan apabila syarat di atas tidak dipenuhi, maka tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang juga berarti merupakan tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra’yu semata, yang hal ini adalah dilarang

C.    Metodologi Penafsiran
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul.[22]
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu: 
1.    Ijmaliy (global),
2.    Tahliliy (analistis),
3.    Muqaran (perbandingan
4.    Maudhu’i (tematik).[23] 
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu :[24]
1.      Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[25] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[26]
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Adapun, ciri-ciri metode ijmali adalah, dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.

2.      Metode Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud dengan metode tahliliy (analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[27]
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu :[28]  Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Metode tafsir Tahlili ini sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan (musawah), seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dll. Semua ulama di atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda. [29]
Adapun ciri-ciri metode tahlili adalah, pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur  (riwayat) atau ra’y  (pemikiran).  Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini, antara lain: [30]
1.      Jami’ al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary
2.      Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan  Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy
3.      Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
4.      Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy
5.      Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam Al-Tustury
6.      Haqaiq al-Tafsir, karangan Al-‘Allamah Al-Sulamy (w. 421 H)
7.      Ahkam Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w. 370 H)
8.      Al-Jami’ li Al-Qurthuby (w. 671 H)
9.      Mafatih al-Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi (w. 606)
10.  At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad
11.  Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
12.  Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
13.  Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
Dan masih banyak lagi contoh kitab yang berdasarkan atau yang menggunakan metode tafsir tahlili ini.

3.      Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a.       Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama
b.      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW., yang pada lahirnya terlihat bertentangan
c.       Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir. [31]
1. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat al-Qur’an, sebagai berikut:[32]
a.       Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى…… ﴿١٢٠﴾
 “Katakanlah Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَىَ …… ﴿٧١﴾
“Katakanlah sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

b.      Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿٦﴾
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)

وَسَوَاء عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿١٠﴾
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

c.   Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ ….﴿١٢٩﴾
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ …. ﴿٢﴾
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

d.   Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٣٦﴾
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
... فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٠٠﴾
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

e.   Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً …. ﴿٨٠﴾
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ …. ﴿٢٤﴾
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

      f.   Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُواْ …. ﴿٥٨﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
وَإِذْ قِيلَ لَهُمُ اسْكُنُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُواْ …. ﴿١٦١﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

g.   Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
... قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا …. ﴿١٧٠﴾
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا …. ﴿٢١﴾
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

h.  Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَن يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٤﴾
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah :
1.      Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda,
2.      Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya,
3.      Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan,
4.      Melakukan perbandingan.

2.  Membandingkan Ayat dengan Hadits
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٣٢﴾
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
عن أبي هريرة، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «لن يدخل أحدا عمله الجنة» قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: " لا، ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله بفضل ورحمة...
Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “ Tak seorang pun diantara Kalian yang Amalnya akan memasukkannya ke Syurga” Para Sahabat bertanya : “ Demikan juga Engkau wahai Rosulullah? “ Nabi menjawab : “ Tidak juga aku, Kecuali Allah melimpahkan Rahmat dan Kemurahannya padaku (maka Aku masuk syurga)[33]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَفَضْلٍ..
Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata : Rosulullah SAW bersabda : “ Salah seorang diantara kalian tidak akan masuk surga dengan amalannya” Para Sahabat bertanya : Demikian juga Anda wahai Rosulullah? Nabi menjawab: “ Tidak juga aku, Kecuali Allah melimpahkan Rahmat dan Kemurahannya padaku (maka Aku masuk syurga)[34]

 Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara[35] :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya.
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.

3.  Membandingkan Pendapat Para Mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.

4.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Adapun yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
a.       Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
b.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.       Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya
d.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing
e.       Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line)
f.       Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan
g.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. [36]

D.  Macam-macam Corak Tafsir
Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu al-laun yang arti dasarnya warna.[37] Corak penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[38]
Tafsir al-Qur`an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur`an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadis, ayat  dengan  kisah Israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhî, falsafî, sufi dan lain-lain).[39]
Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain: corak sastra bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran ilmiah, corak  fiqih  atau  hukum, corak tasawuf,  dan corak sastra budaya.[40] Sedangkan corak penafsiran yang  relatif  digunakan  para  Mufasir dalam  menafsirkan  al-Qur`an, walaupun seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan timbulnya corak-corak baru dalam ruang lingkup penafsiran al-Qur`an,  diantaranya adalah:
1.    Tafsir Sufi
Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[41]
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a.       Tasawuf  teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.
b.      Tasawuf  praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup, mereka  bersikap zuhud di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di akhirat.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqih, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.[42]
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin. [43]
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.       Tafsir Sûfî Isyârî, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.
b.      Tafsir Sûfî Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah rûhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu :
a.       Tidak menafikan penafsiran lahiriah
b.      Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
c.       Tidak bertentangan dengan hukum dan akal
d.      Ada kesadaran bahwa Tafsir Isyârî itu  bukan satu-satunya yang di maksud al-Qur`an.
Salah satu contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:
a.       Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H)
b.      Haqâ’iq al-Tafsīr,  karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H)
c.       Lathâ’if al-Isyârah,  karya al-Qusyairi
d.      ‘Arâ’is al-Bayân fī Haqâ’iq al-Qur`ân,  karya al-Syirazî (w.606).[44]

2.    Corak Fiqhi
Tafsir bercorak fiqhî ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[45] Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.[46]
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsûr, corak tafsir fiqhî  juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi  lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur`an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya.
Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsûr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhî. Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhî muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad,  yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur`an dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi.[47]
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhî adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhî sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.[48][12]
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhî adalah,  Ahkâm al-Qur`an, karya al-Jassâs (w. 370 H); Ahkâm al-Qur`an,  karya Ibn al-‘Arabî (w. 543 H); dan  Al-Jâmi‘  li ahkâm al-Qur`an,  karya al-Qurtubî (w. 671 H).[49]

3.    Corak Falsafî
Tafsir bercorak falsafî ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[50] Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî  berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafî, seperti tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada  ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir  falsafî  yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna yang tersembunyi,  yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. 
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir  falsafî  ideal, sebuah konsep tafsir  falsafî yang  kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga  memberikan  perhatian  pada  realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.[51]
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).[52]
4.    Corak ‘Ilmî
Tafsir bercorak ‘ilmî adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran  pada  kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan  ayat-ayat yang berkaitan  dengan Ilmu dalam  al-Qur`an.[53]
Adapun definisi tafsir bercorak ‘ilmî secara istilah menurut beberapa ulama di antaranya:
a.       Menurut Husayn Al-Dzahabî,  tafsir  yang bercorak ‘Ilmî dalah tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur`an.[54]
b.      Pendapat dari ‘Abd Al-Majîd ‘Abd As-Salâm Al-Mahrasî juga memberikan batasan  sama terhadap tafsir bi al-Ilmî, yaitu: tafsir yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat  dalam  al-Qur`an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan.[55]
c.       Pendapat dari Yusuf al-Qardhawî seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir Muhammad, tafsir yang bercorak ‘Ilmî adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran untuk menjelaskan sasaran dan makna al-Qur`an.[56]
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan yang melahirkan penafsiran bi al-‘Ilmî adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Qur`an ditutup dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan: “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan: “Bagi kaum yang berfikir”. Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan, pada abad ke-20 perkembangan tafsir bi al-ilmî semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Qur`an melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur`an.[57]
Meluasnya minat terhadap corak tafsir bi al-‘Ilmî dikarenakan umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Qur`an.[58]
Al-Qur `an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur`an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur,  bahkan  situasi  politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk memahami  al-Qur`an sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu  teks al-Qur`an, namun hasil penafsirannya  akan berbeda satu sama lain.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Qur`an tanpa mempercayai hipotesis atau pantangan.[59]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan tidak memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai dengan ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya selama tidak dilarang oleh ‘aql dan naql dan harus tetap berada pada lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat tanpa melakukan pengurangan atau penambahan.[60]
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
a.       Tafsir al-Kabîr / Mafâtih Al-Ghâib (Fakhruddin Al-Râzi)
b.      Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur`an al-Karîm (Thanthawî  Jauhari)
c.       Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
Jadi, corak dan keberagaman penafsiran al-Qur`an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Qur`an. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden interest di balik penafsirannya?, Apakah penafsirannya disertai dengan argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita tidak mengikutinya.[61]

5.    Corak Adabî  Ijtimâ’î (Sosial Masyarakat)
Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.[62]
Metode Adabî  Ijtimâ’î dalam segi  keindahan (balâghah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan atau interaksi sosial. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi sosial, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh al-Qur`an. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu: pertama hubungan fungsional, hubungan ini adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan. Sedangkan yang  kedua adalah hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama. ini adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya. Dan  pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufasir, dan tentang bagaimana mereka memahami al-Qur`an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan al-Qur`an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama yang professional. Masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yakin, bahwa mereka seharusnya membiarkan al-Qur`an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan  penjelasan-penjelasan dan  keterangan-keterangan  yang  ada.[63]
Nuansa sosial kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur`an dari:
a.       Segi ketelitian redaksinya,
b.      Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan al-Qur`an yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan
c.       Penafsiran ayat dikaitkan dengan Sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabî  Ijtimâ’î menginginkan penafsiran  al-Qur`an kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.[64]
Tokoh utama corak  adabî ijtimâ’î  ini  adalah  Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun.[65]

6.  Corak Lughawi (Bahasa)
Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an. 
Intinya bahwa, tafsir bercorak Lughawî adalah sebuah tafsir yang  cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya.[66]
       Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:[67]
a)      Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally, dan lainnya.
b)      Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
            Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
            Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:[68]
a)      Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
b)      Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
c)      Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
d)     Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
e)      Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
f)       Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
g)      Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah,dan lainnya.
7.    Corak Balaghi dan Bayani
       Corak Balaghi, yaitu jika seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
       Sedangkan, Corak Bayani, yaitu tafsir pembahasannya berkisar pada Balaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya. [69]
Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu: [70]
a.       Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah. 
b.      Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
c.       Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)

8.     Corak Teologi (Kalâm)
Tafsir bercorak Teologi (Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur`an. Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mu’tazilah[71]

9.  Corak Haraki
       Corak Haraki, yaitu tafsir yang ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik. Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar, mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.[72]
       Demikianlah corak diartikan oleh para mufassir sebagai kecenderungan atau spesifik seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi oleh pendidikan, lingkungan dan akidahnya (keyakinannya). Diantara macam-macam corak tafsir yaitu; corak Lughawi, corak ‘Ilmi, corak Fiqhi, corak Falsafi, corak Shufi, corak Adabi Ijtima’i, corak Balaghi dan Bayani, serta corak Haraki. Intinya, corak tafsir sangat beraneka ragam, para ulama berbeda pendapat tentang jumlah atau model corat tafsir. 

E.  Analisis
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran yang disebutkan di atas, menurut M. Quraish Shihab adalah metode tahliliy, dan metode maudhu’i. Namun begitu dari beberapa tokoh analis Islam, kedua metode tersebut disamping mempunyai kelebihan disatu sisi, pada sisi yang lain mempunyai kelemahan-kelemahan. [73]
Metode tahlili  atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy. [74]  Walaupun sangat luas karena menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur’an.[75]  Terlepas dari bernar tidaknya pendapat Malik tersebut, namun yang jelas kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat di mana terkadang di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu  dimulai dengan kalimat  ﺇﻧﻜﻨﺘﻢ ﻓﻰ ﺭﻴﺐ   atau  ﺇﻧﻜﻨﺘﻢ ﺻﺪﻗﻴﻦ .
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr, Ulama’ Syi’ah Irak itu yang menilai bahwa, metode tahliliy telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[76]  Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode tahliliy tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya, apakah pada diri kita atau metode mereka  yang bahasa-bahasanya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur’an untuk waktu dan tempat. [77]
Sedang metode maudhu’i yang mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa keistemewaan metode maudhu’i antara lain :
1.    Menghindari problem atau kelemahan metode lain
2.    Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
3.    Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
4.    Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an.
Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Disamping itu ketika metode maudhu’i disandingkan dengan metode-metode lain, maka akan muncul perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain:

1.  Perbedaan Metode Maudhu’iy dengan Metode Analisis
Metode Maudhu’iy
Metode Analisis
Mufasir dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushhaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian.

Mufasir tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.

Mufasir dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebabnuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.

Mufasir berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mushhaf.




Mufasir berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat



Sebaliknya.






Mufasir biasanya hanya mengamukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.

2.  Perbedaan Metode Maudhu’i dengan Metode Komparasi
Contoh perbedan antara metode maudhu’i dengan metode komparasi, adalah yang khusus membandingkan antara ayat dengan ayat seperti ayat :

Metode Maudhu’i
Metode Komparasi
   Mufasir disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.


Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut atau perbedaan kasus atau masalah.  Seperti misal  al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil, (tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan)

F.  Penutup
Penafsiran ayat-aya al Qur'an yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, mengalami berbagai perkembangan dalam bidang metodologi. Pada awalnya, penafasiran al Qur'an dilakukan dengan metode riwayat, atau yang kerap dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Selanjutnya metode ini mengalami perkembangan, hingga metode yang menggunakan logika, atau yang kerap dikenal dengan tafsir bil ra’yi. Metode ini menggunakan logika dalam menafsirkan ayat, disamping juga menggunakan riwayat yang ada.
Perkembangan selanjutnya, adalah metode penafsiran penalaran, dimana kitab-kitab tafsir diklasifikasikan kepada salah satu metode penafsiran baik ijmali, tahlili, muqarin, maupun maudhu’i, serta bercorak, ilmi, fiqhi, Falsafi, lughawi, adabul ijtima’i, balaghi dan bayani serta haraki. Model penafsiran yang ada berusaha untuk mengungkapkan kandungan makna yang tersirat di di dalam al Qur'an dengan berbagai keistimewaan dan keterbatasannya, berbagai metode ini dapat membantu orang baik itu awam maupun intelektual untuk menggali makna yang tersirat. Namun terlepas dari keistimewaan dan keterbatasannya, kedua metode tafsir ini telah menjadi khazanah bagi umat Islam, terkhusus ahli tafsir dalam usaha menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an.  Yang paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut M. Quraish Shihab adalah : metode tahliliy (analistis)dan metode  maudhu’i  (tematik) namun disamping populer menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki kelebihan.
Metode penafsiran di atas, pada dasarnya adalah usaha untuk menjelaskan ayat serta hikmat yang tersirat di dalam suatu ayat al-Qur'an. perbedaan bentuk yang banyak, adalah sebagai bentuk kekayaan khazanah dalam bidang tafsir ini. Kesemuanya memiliki kesempurnaan dan keterbatasan, sehingga kesemuanya dapat saling membantu dan juga menutupi satu dengan lainnya.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang kita hadapi semakin konpleks maka pengembangan metodoologi tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa kita pungkiri. Sebuah metode boleh jadi akan terasa usang sehingga memerlukan pembaharuan-pembaharuan yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjawab tantangan permasalahan umat.





DAFTAR PUSTAKA



Abd al-Hayy Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i,  Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997,  cet. II
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Buah Batu, 2011. t.cet. c
Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan al-Quran, Semarang: Toha Putra, 1993. Cet. II
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Al-Quran versi Imam Al-Ghazali, Bandung: Citapusaka Media, 2007.
Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-MizanTaheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975. t.cet.
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada,1994.
Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi,  al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001. t.cet.
CD. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa IndonesiaJakarta : Balai Pustaka. 1989.
Hasan Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Fikr al-DiniMesir : Madbuliy, 1989. t.cet.
Hassan Shadily, Ensiklopedi IndonesiaJakarta : PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.,  t.cet.
Islah Gus MianKhazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Yogyakarta, Lkis, 2003.
Izzan Ahmad.  Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: TAFAKUR, 2011.
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran, Beirut: Dar al-fikr, 1999.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat,  Mizan, Bandung, 1994.
Malik bin Nabi, Le Phenomena Quraniquediterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, Lebanon : Daar Al-Fikr, , t.t.  t.cet.
Manna’ Khalil al-Qattan, Mubahist fi Ulumil Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS, Jakarta: Pustaka Lintera AntarNusa, 1992.
Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut : Daar al-Fikr, 1988. t.cet.
Muhammad Ali Al-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut : ‘Alim al-Kutub, 1985. cet. I.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut, Dar Al-Ta’ruf  lil Matbu’at, 1980. t.cet.
Muhammad Husain al-Dzahabi,  al-Tafsir wa al-MufassirunKairo, Maktabah Wahbah, 2000.  t.cet.
Muhammad, A. Mufakhir.  Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004.
Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir, Jakarta: Pustaka Amani, 1987.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu TafsirYogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
Nasharuddin BaidanMetodologi Penafsiran Al-Qur’an , Yogyakarta: Glaguh UHIV, 1998.
Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’anJakarta : Pustaka Firdaus, 1999.
Rosihon Anwar,  Ilmu Tafsir. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Suryadilaga, Muhammad  Al-Fâtih  dkk.  Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta:TERAS, 2010.
Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu, Damaskus, Daar an-Nafais, 1994. t.cet. cet.
Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis (tarjamah) Jakarta:Radar Jaya, 2000, cet. I






[1] Husain adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun  (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000)  Cet. III Jilid I, hal. 59
[2]  Al-Zarkasyi,  Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an  (Bairut Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001) t.cet. Jilid II. hal. 164
[3] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyaraka  (Bandung Mizan, , 1994)  hal. 78 – 79
[4] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat  (Bandung Mizan,  1994) hal. 79
[5] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy ( Mesir : Madbuliy, 1989) t.cet.   hal. 77
[6] Az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,  (Bairut:Dar al-Fikr,  1988), t.cethal. 12.
[7] Adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun  (Kairo, Maktabah Wahbah, 2000)  cet. III, hal. 152
[8] Ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut:  ‘Alim al-Kutub,  1987)  t.cet.  hal. 67
[9] Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan  (Taheran : Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975)  t.cet. hal. 103
[10] Islah Gus MianKhazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta, Lkis, 2003)  hal. 198
[11] Ash-Shabuni,  Muhammad,  at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an  (Bairut:  ‘Alim al-Kutub,  1987)  t.cet.  hal. 248
[12] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir  (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000)  hal. 57 – 58
[13] Ash-Shabuni,  Muhammad,  at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an  (Bairut :  ‘Alim al-Kutub,  1987)  t.cet. hal. 249
[14] Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)  hal. 97
[15] Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir (Jakarta: Pustaka Amani, 1987)  hal. 78
[16] Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu (Damaskus, Dar an-Nafais, 1994) t.cet.  hal. 207
[17] Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali, (Bandung: Citapusaka Media, 2007)  hal. 190
[18] Ash-Shabuni,  Muhammad,  at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an  (Bairut :  ‘Alim al-Kutub,  1987)  t.cet. hal. 241
[19] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Buah Batu, 2011)  hal. 88
[20] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Buah Batu, 2011)  hal. 89
[21] Al-Qattan, Mubahist fi Ulumil Qur’an, Terj. Mudzakir AS (Jakarta: Pustaka Lintera Antar Nusa, 1992)  hal. 496
[22] Islah Gus MianKhazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta, Lkis, 2003) hal. 196
[23] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i  (Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997)  cet. II. hal. 23
[24] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir ( Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000. hal. 67-77
[25] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i  (Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997)  cet. II. hal. 43 – 44
[26] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i  (Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997)  cet. II. hal. 67
[27]  Nashruddin Ba’idan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Glaguh UHIV, 1998) hal. 31
[28] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i  (Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997)  cet. II. hal. 49
[29] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir  (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada,1994 )  hal. 41-42
[30] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir  (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada,1994 )  hal. 48-68
[31] Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999. hal. 186–192
[32] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an  (Bairut : Daar all Kutub ‘Ilmiyah, 2001) t.cet. Jilid. I, hal. 147 – 169
[33] CD. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam . Shohih Bukhori No. 5673 dan Sohih Muslim Nomor 2816
[34] CD Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam. Musnad Ahmad Bab “musnad Abu hurairah” Nomor Hadits 7479
[35] Al-Zarkasyi,  al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an  (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001) t.cet. Jilid IV. hal. 261
[36] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, (Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997)  cet. II. hal. 114-115
[37] Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: TAFAKUR, 2011)  hal. 199
[38] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005) hal. 69
[39] Muhammad  Al-Fâtih  Suryadilaga dkk,  Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010) hal.  12
[40] Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an  (Bandung: Mizan. 1992)  hal. 72
[41]Kholid, Kuliah Madzâhib al-Tafsir  (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003)  hal. 56
[43] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005)  hal. 386
[44] Al Farmawî, Metode Tafsir Mawdhû’î  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hal. 18
[45] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir,  hal. 70
[46] Taufik Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’a, (Bandung: Mîzan, 1990)  hal. 24.
[47] Muhammad  Husein al-Dzahabî, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn,   h. 99
[48] Abd. Al-hay Al Farmawî,   hal. 18
[49] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005) hal. 169
[50] Muhammad  Husein al-Dzahabî, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn,   h. 419.
[52] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,.  hal. 170
[53] Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir,  hal. 69
[54] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn ,  Juz II  hal. 349
[55] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran  (Bandung: Pustaka Setia, 2004)  hal. 108
[56] Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004)  hal. 3
[57] Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi.,  h. 81
[58] Quraish Shihab.  Membumikan Al-Qur’an, hal. 53
[59] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an., hal. 57
[60] Al-Farmawî, hal. 27
[61] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hal. 59
[62]  Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz  III,. h. 214.
[64] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz III,. h. 214
[65] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,.  hal. 174
[67] Farmawi, hal. 92)
[68] Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz III,  hal.10
[69] Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 37
[70] Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz III,  hal.112
[71] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir,  hal. 70
[72] Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis (tarjamah) (Jakarta:Radar Jaya, 2000) cet. I, hal. 75
[73] Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999) hal. 81-91
[74] Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim ( Beirut : Daar al-Ta’ruf  lil  Matbu’at, 1980) t.cet.  hal. 10
[75] Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah,  (Lebanon : Dar Al-Fikr, t.th.) t.cet. hal. 58
[76] Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut : Dar Al-Ta’ruf  lil Matbu’at, 1980)  t.cet. hal.12
[77] Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999) hal. 87

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun