A. Pendahuluan
Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an. Kitab
suci al-Qur’an menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan
umat ini. Ilmu yang ada di dalam al-Qur’an ibarat lautan yang amat luas, dalam
dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna
dan usang di telan masa dan waktu. Maka,
untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur’an diperlukan
tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar dan
penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu dibutuhkan
pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur’an tersebut.
Pemahaman al-Qur’an bagi seorang mukmin
merupakan suatu hal yang penting dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya dengan tujuan agar manusia secara keseluruhan dan muslim
khususnya akan menjadi manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Kitab suci al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut
seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam
segala aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang digunakannya.
Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami al-Qur’an secara utuh dan
menyeluruh.
Al-Qur’an adalah
konsep hidup umat islam dan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan, yang merupakan
bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia yang
mengimaninya kapan dan di mana saja ia berada.
al-Qur’an memiliki berbagai macam keistemewaan yang tidak ada di dalam
kitab lainnya. Keistimewaan al-Qur’an di antaranya, susunan bahasanya yang unik
mempesona, lafadnya mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun
yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan
berbeda-beda akibat berbagai faktor, di antaranya faktor metode kajiannya.
Setiap ayat dari
seluruh ayat di dalam al-Qur’an memiliki redaksi-redaksi unik dan penuh makna
filosofis, baik yang diucapkan atau ditulis, makna dan kandungannya tidak dapat
dipahami secara pasti. Sehingga banyak di antara para mufasir berusaha
menampilkan makna dan kandungan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing
(mufasir). Ada yang memahami secara
tekstual dan kontekstual. Walaupun para
mufasir berusaha mengungkap makna ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an, akan tetapi tetap tidak mampu mewakili isi
kandungan al-Qur’an. Keragaman gaya
penafsiran para mufasir inilah yang
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Rasulullah Saw adalah orang yang diberi wewenang oleh Allah SWT. untuk
menafsirkan, menjelaskan dan menguraikan kandungan al-Qur’an. Dari fakta
tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan para masyarakat akan penjelasan al-Qur’an
terpenuhi semasa hidup Rasulullah Saw., hal ini dikarenakan seluruh
permasalahan yang muncul yang berhubungan al-Qur’an langsung mereka tanyakan
kepada baginda Rasulullah Saw.
Zaman setelah meninggalnya Rasulullah Saw dapat dikatakan merupakan zaman
transisi dari kepemimpinan seseorang yang mendapat bimbingan langsung dari
Allah SWT kepada seorang manusia biasa. Pada zaman inilah kemudian muncul dan
berkembang beberapa metode penafsiran al-Qur’an. Metode-metode ini
dikembangkan, tentu saja dengan maksud untuk menjawab persoalan-persoalan yang
muncul di kalangan umat muslimin.
Para sahabat Nabi dalam
hal penafsiran di dalam memahami makna
al-Qur’an, belum mampu menampilkan makna yang sebenarnya. Walaupun secara umum, para sahabat Nabi
menyaksikan proses turunnya wahyu, mengetahui kontek sababiyahnya, dan memiliki
pemahamami struktur bahasa asli (Arab) dan arti kosakatanya, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengan atau mereka baca itu.[1]
Menurut beberapa
pendapat menyatakan bahwa, mufasir di era sahabat yang memiliki otoritas
pemahaman tafsir adalah Ibnu Abbas. Akan
tetapi, walaupun Ibn ‘Abbas dinilai
sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman
Allah menyatakan bahwa, tafsir terdiri dari empat bagian, yaitu :
1. Tafsir yang
dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka
2. Tafsir yang
tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya
3. Tafsir yang
tidak diketahui kecuali oleh ulama
4. Tafsir yang
tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2]
Dari pembagian ini maka ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu :[3]
1. Menyangkut
Materi Ayat-ayat
Dilihat dari sudut
materi ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah
atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini
mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain :
a.
Ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau
pengertiannya oleh seseorang, seperti : ya-sin, alif lam mim, dan
sebagainya.
b.
Ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya,
atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami
maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan
sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal
manusia.
2.
Menyangkut Syarat-syarat Penafsiran
Dari segi syarat
penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan
banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya
b.
Pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah
turunnya, hadits-hadits Nabi, dan Ushul Fiqh
c.
Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan
d.
Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi
bahasan ayat.
Bagi mereka yang
tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dibenarkan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Untuk itu ada dua hal yang sangat penting untuk digarisbawahi, yaitu:[4]
1. Menafsirkan
berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat al-Qur’an.
Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang
untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan
pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
2.
Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam
penafsiran antara lain adalah:
a.
Subjektivitas mufasir
b.
Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah
c.
Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat
d.
Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat
e.
Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan
atar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat
f.
Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan
ditujukan.
Melihat begitu
mendalam dan sistematisnya dalam memahami al-Qur’an dengan adanya berbagai
persyaratan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas, maka
tidaklah mengherankan bila al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menempati
posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga merupakan ispirator dan pemandu gerakan-gerakan umat
Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[5]
Jika demikian itu
halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui
penafsiran-penafsiran sebagaimana dijelaskan diatas, mempunyai peranan yang
sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu
dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Itu juga
dikarenakan banyak sekali metode penafsiran yang digunakan oleh seorang
mufasirin dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
B. Bentuk Penafsiran al-Qur’an
Yang dimaksud
dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’ (macam atau jenis)
penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk
penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat),
al-ra’y (pemikiran) dan isyari
1.
Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir
bi al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah
kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang
masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir
al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi studi al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di
dalam pemahaman teks al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai
penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode
tafsir riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik al-Qur’an
klasik, merupakan suatu proses penafsiran al-Qur’an yang menggunakan data
riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses
penafsiran al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir
riwayat. al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir
yang diberikan oleh ayat al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[6] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi,
memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak
menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya
kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan
metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.[7] Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain
tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang
bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau perkataan sahabat.[8] Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material
tafsir dan bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir
riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal
yang dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap
sebagai hujjah.[9]
Dari segi material, menafsirkan al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan
menafsirkan antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat.
Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat lain
dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari
penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat
dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an, tentu ini secara metodologis
tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama
ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa
didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya “mengacu pada
hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi
dan atau dalam bentuk asbab al-nuzulsebagai satu-satunya sember
data otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam
pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data
riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat
mempunyai asbab al-nuzul. [10]
Adapun contoh tafsir bilma’tsur antara
Qur’an dengan al-Qur’an sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ
بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا
يُرِيدُ ﴿١﴾
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah: 1)
Ayat tersebut ditafsirkan dengan ayat
selanjutnya, yaitu :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ
بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن
دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 3)
Adapun contoh penafsiran al-Qur’an dengan riwayat (hadis Nabi)
sebagai berikut:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ
وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
Artinya
: (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS. Al-Fatihah : 7)
Lafad (الضَّالِّينَ ) diartikan atau ditafsirkan oleh
Nabi saw. Dengan Yahudi dan Nasrani.
2.
Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Al-Ra’yu secara etimologi berarti keyakinan, qiyas dan ijtihad.
Sedangkan menurut ’ulama tafsir, metode ini dinamakan dengan tafsir ra’yu atau
tafsir dengan akal (ma’qul), adalah karena penafsiran kitab Allah
bertitik tolak dari pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang
dinukilkan dari sahabat atau Tabi’in. Namun yang dimaksud ra’yu disini adalah
ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan
tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami
tafsir Al Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu disini bukanlah
menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi
mengatakan ”barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya
(yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia
adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela.[11]
Terdapat banyak perdebatan
(pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan al Qur’an dengan
pendekatan al-Ra’yu (akal). Diantara sekian banyak ’ulama yang ada,
mayoritas ’ulama enggan menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan al Ra’yu.
Karena hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Daud dari
Jundab, yang artinya : barang siapa yang menafsirkan Al Qur’an dengan
Ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.
Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat,
namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan
ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang
bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah
pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya,
keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta
kaedah-kaedah yang mu;tabarah(diakui sah secara bersama). [12]
Dari perdebatan yang ada, tidak berarti
pendekatan tafsir Al Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat
dikalangan ’ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan
pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah
yang ketat.
Diantara syarat-syaratnya
adalah :
1.
Menguasai
Bahasa Arab dan cabang-cabangnya
2.
Menguasai
Ilmu-ilmu Al Qur’an
3.
Berakidah
yang baik dan benar
4.
Mengetahui
prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan
dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[13]
Dengan demikian
jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang
adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui
riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau
ijtihad).
Adapun contoh
dari tafsir ayat al Qur’an dengan pendekatan ra’yu adalah pada Q.S. al Isra :
72
وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى
فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢﴾
Artinya :
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
Kalau memahami
ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam
memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa setiap orang yang buta
adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud
dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta
hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al
Hajj : 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ
فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى
الْأَبْصَارُ وَلَكِن
تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴿٤٦﴾
Artinya :
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj :46)
Pada ayat ini
dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta
ialah buta hati.
Terkait dengan
tafsir al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya
kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah ruang lingkup yang luas
dan dapat menampung berbagai ide yang ada.
Hal terpenting
dari pendekatan dengan ra’yu ini adalah, apabila kita hendak
menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat al Qur’an yang lebih luas dan
mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain
kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
3.
Bentuk Isyarat (Isyari)
Isyarah secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat. Sedangkan tafsir
al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat al-Qur’an al-Karim tidak
seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh
orang yang berilmu dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna
zahir ayat–ayat al-Qur’an dari beberapa sisi syarhis (yang masyru’).[14]
Adapun isyarah menurut istilah adalah apa yang ditetapkan (sesuatu yang bisa
ditetapkan/dipahami, diambil) dari suatu perkataan hanya dari mengira-ngira
tanpa harus meletakkannya dalam konteksnya (sesuatu yang ditetapkan hanya dari
bentuk kalimat tanpa dalam konteksnya). [15] Menurut al-Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal
yang saling bergandeng, isyarat banyak menolong lafal (dalam memahaminya), dan
tafsiran (terjemahan) lafal yang bagus bila mengindahkan isyaratnya, banyak
isyarat yang menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan.[16] Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha
mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan
suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang
dimaksud.[17]
Penafsiran al-Qur’anyang berlainan menurut zahir ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau
hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi
luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)”. [18] Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah
suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang
tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh
setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh
Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai
pemahaman dan pengertian dari Allah SWT.
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi
dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari
al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’
bila memiliki lima syarat yaitu :
1)
Tidak
menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat
al-Qur’an.
2)
Mufassirnya
tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan
makna tersurat.
3)
Tidak
menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4)
Tidak
bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5)
Serta
adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir
al-‘isyari al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu
dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.[19]
Ada beberapa contoh kitab
tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain; Garaib al-Qur’an
wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi
Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur’an
karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).[20]
Adapun
syarat-syarat tafsir isyari adalah diantaranya:
1) Tidak bertentangan dengan
makna (zhahir) ayat
2) Maknanya sendiri shahih
3) Pada lafazd yang
ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut
4) Antara makna isyari dengan
makna ayat terdapat hubungan yang erat.[21]
Apabila keempat syarat ini dipenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsir
isyari) merupakan istinbat yang baik dan dapat diterima. Dan apabila syarat di
atas tidak dipenuhi, maka tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang juga
berarti merupakan tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra’yu semata, yang hal ini
adalah dilarang
C.
Metodologi Penafsiran
Yang dimaksud
dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat al-Qur’an
sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang
dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut
dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem
semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks
yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks
itu muncul.[22]
Jika ditelusuri
perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan
bahwa dalam garis besarnya penafsiran al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara
(metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu:
1. Ijmaliy (global),
2. Tahliliy (analistis),
3. Muqaran (perbandingan
Untuk lebih
jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci,
yaitu :[24]
1.
Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud
dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda
tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna
global.[25] Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak
terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya
seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.[26]
Kitab tafsir yang
tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab
Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj
al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Adapun, ciri-ciri metode
ijmali adalah, dalam metode ijmali seorang mufasir langsung
menafsirkan al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di
dalam Metode analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga
mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di
dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat
serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti
disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan
umum sehingga seakan-akan kita masih membaca al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
2. Metode
Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud
dengan metode tahliliy (analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[27]
Kalau kita lihat
dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang
jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk
tafsir, yaitu :[28] Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi,
Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir
al-Adabi al-Ijtima’i.
Metode tafsir Tahlili ini
sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Namun,
sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan kesemua hal
tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy,
Al-Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang
menemukakan secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy,
Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang
mengambil pertengahan (musawah), seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh
Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dll. Semua ulama di atas sekalipun mereka
sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tahlili,
akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda. [29]
Adapun ciri-ciri
metode tahlili adalah, pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang
menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka
berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana.
Dalam penafsiran tersebut, al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi
surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul
dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang
mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
atau ra’y (pemikiran). Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode tafsir ini, antara lain: [30]
1.
Jami’
al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan
Imam Ibn Jarir Al-Thabary
2.
Ma’alim
al-Tanzil yang dikenal dengan Al-Tafsir
al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy
3.
Madarik
al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan
Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
4.
Anwar
al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan
Al-Ustadz Al-Baydlawy
5.
Tafsir
Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam
Al-Tustury
6.
Haqaiq
al-Tafsir, karangan Al-‘Allamah
Al-Sulamy (w. 421 H)
7.
Ahkam
Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w.
370 H)
8.
Al-Jami’
li Al-Qurthuby (w. 671 H)
9.
Mafatih
al-Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi
(w. 606)
10. At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an
al-Karim, karya Hanafi Ahmad
11. Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
12. Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
13. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
Dan masih banyak lagi
contoh kitab yang berdasarkan atau yang menggunakan metode tafsir tahlili ini.
3.
Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian
metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a. Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi
satu kasus yang sama
b.
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW.,
yang pada lahirnya terlihat bertentangan
c.
Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam
menafsirkan al-Qur’an
Jadi dilihat dari
pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir. [31]
1. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an
Mufasir
membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga)
sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat al-Qur’an, sebagai
berikut:[32]
a.
Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
…قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ
الْهُدَى…… ﴿١٢٠﴾
“Katakanlah Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
…قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ
الْهُدَىَ …… ﴿٧١﴾
“Katakanlah sesungguhnya petunjuk
(yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
b.
Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
… سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿٦﴾
“Sama saja bagi mereka apakah
kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan
kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
وَسَوَاء عَلَيْهِمْ
أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿١٠﴾
“Sama saja bagi mereka apakah
kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
c.
Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
… يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ ….﴿١٢٩﴾
“...yang membaca kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah
serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
… يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ …. ﴿٢﴾
“...yang membaca ayat-ayatNya
kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an)
dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
d. Perbedaan nakirah (indefinite
noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
… فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٣٦﴾
“...mohonkanlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fushshilat : 36)
... فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٠٠﴾
“...mohonkanlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf
: 200)
e. Perbedaan bentuk
jamak dan tunggal, seperti :
… لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً
مَّعْدُودَةً …. ﴿٨٠﴾
“...Kami sekali-kali tidak
akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah
: 80)
… لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً
مَّعْدُودَاتٍ …. ﴿٢٤﴾
“...Kami sekali-kali tidak
akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat
dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
f. Perbedaan
penggunaan huruf kata depan, seperti :
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُواْ
هَـذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُواْ …. ﴿٥٨﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah :
58)
وَإِذْ قِيلَ لَهُمُ
اسْكُنُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُواْ …. ﴿١٦١﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
g. Perbedaan
penggunaan kosa kata, seperti :
... قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا …. ﴿١٧٠﴾
“Mereka berkata : Tidak,
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
… قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا
عَلَيْهِ آبَاءنَا …. ﴿٢١﴾
“Mereka berkata : Tidak,
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan)
nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
h. Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf
lain), seperti :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَن يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
﴿٤﴾
“Yang demikian ini adalah
karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr
: 4)
Dalam mengadakan
perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh
beberapa langkah :
1. Menginventarisasi
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama
atau yang sama dalam kasus berbeda,
2. Mengelompokkan
ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya,
3. Meneliti setiap
kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan
ayat bersangkutan,
4. Melakukan
perbandingan.
2. Membandingkan Ayat dengan Hadits
Mufasir
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan
bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya.
Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits
riwayat Tirmidzi dibawah ini :
… ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ ﴿٣٢﴾
“Masuklah kamu ke dalam surga
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
عن
أبي هريرة، قال: سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول: «لن يدخل أحدا عمله الجنة» قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟
قال: " لا، ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله بفضل ورحمة...
Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata : Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda : “ Tak
seorang pun diantara Kalian yang Amalnya akan memasukkannya ke Syurga” Para
Sahabat bertanya : “ Demikan juga Engkau wahai Rosulullah? “ Nabi menjawab : “
Tidak juga aku, Kecuali Allah melimpahkan Rahmat dan Kemurahannya padaku (maka
Aku masuk syurga)[33]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ مِنْهُ
بِرَحْمَةٍ وَفَضْلٍ..
Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata : Rosulullah
SAW bersabda : “ Salah seorang diantara kalian tidak akan masuk surga
dengan amalannya” Para Sahabat bertanya : Demikian juga Anda wahai
Rosulullah? Nabi menjawab: “ Tidak juga aku, Kecuali Allah melimpahkan
Rahmat dan Kemurahannya padaku (maka Aku masuk syurga)[34]
Antara ayat al-Qur’an dan
hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan
pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara[35]
:
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak
masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan
tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan
manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain,
posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya.
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada
ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada
ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
3. Membandingkan Pendapat Para Mufasir.
Mufasir
membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir
al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir
bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat
diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2)
membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3)
memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas
sahih.
Sedang dalam hal
perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha
mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan
adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan
yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan
karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat
dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang
ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu
tidak dapat disebut “metode muqarrin”.
4.
Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud
dengan metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan,
dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya.
Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil
atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu
berasal dari al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Adapun yang
menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik
pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut
metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si
tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang
lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang
diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak
terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y
al-Mahdh).
Sementara itu
Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar,
dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah
tersebut adalah :
a.
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
b.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut
c.
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya
d.
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing
e.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line)
f.
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan
g.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus),
mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. [36]
D. Macam-macam
Corak Tafsir
Corak penafsiran dalam
literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu al-laun yang arti dasarnya warna.[37]
Corak penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau sifat khusus
yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[38]
Tafsir al-Qur`an sebagai usaha
untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami
perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur`an adalah hal yang
tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir,
di antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi
yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah,
yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadis,
ayat dengan kisah Israiliyyat), kedua, teknik
penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan
(misalnya; fiqhî, falsafî, sufi dan lain-lain).[39]
Quraish Shihab, mengatakan
bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain: corak sastra
bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih
atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya.[40]
Sedangkan corak penafsiran yang
relatif digunakan para
Mufasir dalam menafsirkan al-Qur`an, walaupun seiring perkembangan ilmu
pengetahuan yang menyebabkan timbulnya corak-corak baru dalam ruang lingkup
penafsiran al-Qur`an, diantaranya
adalah:
1. Tafsir Sufi
Tafsir bercorak sufi ialah
tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang
tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[41]
Sedangkan tasawuf sendiri
dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a. Tasawuf teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas
hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir
ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan
mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf
mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti
cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya dengan
penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu
dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama
sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang
dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang
ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa
tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah
sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum
mendalam mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang
dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin
hamba-Nya yang dikehendaki”.
b. Tasawuf praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh
praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup, mereka bersikap
zuhud di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di
akhirat.
Dari pembagian kelompok
tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang
yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang
dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti
fiqih, hadis dan tafsir.
Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf,
mahabbah, ma’rifah, dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi
lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti
halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.[42]
Perkembangan pemikiran Islam,
khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan
corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam
ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya
al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran
ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam
yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin. [43]
Dalam perjalanannya, tafsir
ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.
Tafsir Sûfî Isyârî, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam
bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat
diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang
batini dengan kenyataan lahiriah.
b. Tafsir Sûfî
Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang
diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî
tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah
rûhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi
hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir
sufi yang diterima yaitu :
a.
Tidak menafikan penafsiran lahiriah
b.
Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
c.
Tidak bertentangan dengan hukum dan akal
d.
Ada kesadaran bahwa Tafsir Isyârî itu bukan satu-satunya
yang di maksud al-Qur`an.
Salah satu contoh karya yang
menampilkan corak tafsir sufi adalah:
a.
Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H)
b.
Haqâ’iq al-Tafsīr, karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H)
c.
Lathâ’if al-Isyârah, karya al-Qusyairi
2.
Corak Fiqhi
Tafsir bercorak fiqhî
ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan
kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[45]
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi
ketentuan perundang-undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.[46]
Bersamaan dengan lahirnya
corak tafsir bil ma’tsûr, corak tafsir fiqhî juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui
penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini
terjadi lantaran kebanyakan masalah yang
muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai
pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di
sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur`an bisa muncul dengan cara
melakukan penafsiran terhadapnya.
Pada awal Islam, ketika
menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah
mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian
memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk
penafsiran bi al-ma’tsûr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam
dapat pula disebut dengan tafsir fiqhî. Oleh karena itu, boleh dikatakan
pula bahwa tafsir fiqhî muncul dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya ijtihad, yang hasilnya
tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara
tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum
Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab,
beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan
hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam
madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran
al-Qur`an dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para
imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di
dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu
yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi.[47]
Faktor yang cukup mencolok
berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhî adalah karya-karya yang
menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhî
sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para
pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis
dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.[48][12]
Di antara kitab-kitab yang
tergolong tafsir fiqhî adalah, Ahkâm al-Qur`an, karya
al-Jassâs (w. 370 H); Ahkâm al-Qur`an, karya Ibn al-‘Arabî
(w. 543 H); dan Al-Jâmi‘ li
ahkâm al-Qur`an, karya al-Qurtubî (w. 671 H).[49]
3.
Corak Falsafî
Tafsir bercorak falsafî
ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[50] Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya
yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode
pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî berusaha menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafî,
seperti tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi
sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti tafsir yang dilakukan
al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini di
tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran
dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi
sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang
begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi
positif dan negatif, demikian juga tafsir
falsafî yang cenderung
hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka
metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu,
tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna
yang tersembunyi, yang diangkat dari
teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan
budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak
terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya
tafsir falsafî ideal, sebuah konsep tafsir falsafî yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan
interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga
memberikan perhatian pada
realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks
al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana
ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis
dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.[51]
Ada beberapa kitab tafsir falsafi
seperti, Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat,
karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ
(w. 370 H).[52]
4.
Corak ‘Ilmî
Tafsir bercorak ‘ilmî
adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada
kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu dalam al-Qur`an.[53]
Adapun definisi tafsir
bercorak ‘ilmî secara istilah menurut beberapa ulama di antaranya:
a.
Menurut Husayn Al-Dzahabî,
tafsir yang bercorak ‘Ilmî dalah
tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan
al-Qur`an.[54]
b.
Pendapat dari ‘Abd Al-Majîd ‘Abd As-Salâm Al-Mahrasî juga memberikan
batasan sama terhadap tafsir bi al-Ilmî, yaitu: tafsir yang
mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat
dalam al-Qur`an yaitu mengenai beberapa
pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam
menggali berbagai problem ilmu pengetahuan.[55]
c.
Pendapat dari Yusuf al-Qardhawî seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir
Muhammad, tafsir yang bercorak ‘Ilmî adalah penafsiran yang menggunakan
perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan
sasaran untuk menjelaskan sasaran dan makna al-Qur`an.[56]
Kajian tafsir ini adalah untuk
memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan yang melahirkan penafsiran bi
al-‘Ilmî adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya adalah sebuah seruan
ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan
prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam
semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Qur`an ditutup
dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini
bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan: “bagi kaum yang
memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan: “Bagi kaum yang berfikir”.
Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan
menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran
khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap
tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan, pada abad ke-20
perkembangan tafsir bi al-ilmî semakin meluas dan semakin diminati oleh
berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat
al-Qur`an melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah
untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk
meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur`an.[57]
Meluasnya minat terhadap corak
tafsir bi al-‘Ilmî dikarenakan umat Islam merasa tertinggal dari pada
Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit
pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan
timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan
berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Qur`an.[58]
Al-Qur `an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable)
dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur`an biasanya juga
dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur,
bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat
berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir
untuk memahami al-Qur`an sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu teks al-Qur`an, namun hasil penafsirannya
akan berbeda satu sama lain.
Quraish Shihab menjelaskan
bahwa berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur`an sesuai
dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan
pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan,
mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur
dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Qur`an tanpa mempercayai hipotesis
atau pantangan.[59]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini
dapat diterima dan dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat
al-Qur`an dan tidak memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap makna-makna
ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai dengan
ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya selama
tidak dilarang oleh ‘aql dan naql dan harus tetap berada pada
lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat tanpa
melakukan pengurangan atau penambahan.[60]
Beberapa contoh karya tafsir
al-‘ilmi ini adalah:
a.
Tafsir al-Kabîr / Mafâtih Al-Ghâib (Fakhruddin Al-Râzi)
b.
Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur`an al-Karîm (Thanthawî Jauhari)
c.
Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
Jadi, corak dan keberagaman
penafsiran al-Qur`an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang
digali dari al-Qur`an. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis dalam
melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden
interest di balik penafsirannya?, Apakah penafsirannya disertai dengan
argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita
tidak mengikutinya.[61]
5.
Corak Adabî Ijtimâ’î (Sosial Masyarakat)
Tafsir ini adalah tafsir yang
memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini
lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan
kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha
memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an
yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi,
dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu
dan hanya sebatas kebutuhan.[62]
Metode Adabî Ijtimâ’î dalam segi keindahan (balâghah) bahasa dan
kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum
alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran
Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat,
serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah
yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah
Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan
kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan
dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang
kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti
lenyap.
Unsur yang membentuk
masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan atau interaksi sosial.
Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi
manusia dalam interaksi sosial, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh
al-Qur`an. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan
(interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan
sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu
membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya,
hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu: pertama hubungan fungsional,
hubungan ini adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan. Sedangkan
yang kedua adalah hubungan persaudaraan
yang diikat kesamaan agama. ini adalah hubungan antara manusia dengan
sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan
berbagai bidang kehidupan sosial lainnya. Dan pada
hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufasir,
dan tentang bagaimana mereka memahami al-Qur`an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita
tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia.
Kesimpulannya adalah menjelaskan al-Qur`an kepada masyarakat luas dengan
maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama yang professional. Masyarakat
awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir
tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting
yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yakin, bahwa mereka
seharusnya membiarkan al-Qur`an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan
malah diperumit dengan
penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan yang ada.[63]
Nuansa sosial kemasyarakatan
yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat
al-Qur`an dari:
a.
Segi ketelitian redaksinya,
b. Kemudian menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan
tujuan-tujuan al-Qur`an yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran,
dan
c.
Penafsiran ayat dikaitkan dengan Sunnatullah yang berlaku dalam
masyarakat.
Tafsir sosial kemasyarakatan
ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan
al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu
maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk dalam
kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir
Corak Adabî Ijtimâ’î menginginkan
penafsiran al-Qur`an kontemporer adalah
upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan
problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an dan
Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi
oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam
bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari
adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.[64]
Tokoh utama corak adabî
ijtimâ’î ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,
dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun.[65]
6. Corak
Lughawi (Bahasa)
Tafsir lughawi adalah tafsir
yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa
harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala
seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad
Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi,
balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di
sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
Intinya bahwa, tafsir bercorak
Lughawî adalah sebuah tafsir yang
cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat,
Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam
ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan
segi-segi kemu’jizatannya.[66]
Sebelum menjelaskan
jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi
dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua
kelompok besar yaitu:[67]
a)
Tafsir lughawi yang murni atau lebih
banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an
al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi
dan al-Mahally, dan lainnya.
b)
Tafsir lughawi yang pembahasannya
campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan sejenisnya,
seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih
al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal
hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish
Shihab.
Tafsir
lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis.
Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula
yang membahas linguistik dengan mengkelaborasikan bersama corak-corak yang
lain.
Untuk
lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan
sebagai berikut:[68]
a) Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya
pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan
fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
b) Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir
lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata
seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr
dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
c) Tafsir Munasabah yaitu
tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau surah,
seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya
Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin
al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
d) Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung
mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab
al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali
al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w.
450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
e) Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti
kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad
bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
f) Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang
murni bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi
al-Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
g) Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih
al-Hijaiyyah,dan lainnya.
7.
Corak Balaghi dan Bayani
Corak Balaghi, yaitu jika
seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya
(Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi
tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak Bayani,
yaitu tafsir pembahasannya berkisar pada Balaghotu al Qur’an dalam
bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan
cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor)
dan semacamnya. [69]
Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu: [70]
a.
Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu
tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang
disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd
Rahim Fu’dah.
b.
Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu
tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian
dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir
al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
c.
Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu
tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya
bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry
(w. 654 H)
8.
Corak Teologi (Kalâm)
Tafsir bercorak Teologi
(Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm, atau tafsir yang
memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk
penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis
tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk
membela sudut pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih
banyak membicarakan tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan
pokok al-Qur`an. Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir
Mu’tazilah[71]
9. Corak
Haraki
Corak Haraki, yaitu tafsir yang
ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini
seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya
yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik.
Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga
mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan
sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya
untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar, mensucikan
agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir Haraki adalah
Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.[72]
Demikianlah corak diartikan oleh para
mufassir sebagai kecenderungan atau spesifik seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi
oleh pendidikan, lingkungan dan akidahnya (keyakinannya). Diantara macam-macam
corak tafsir yaitu; corak Lughawi, corak ‘Ilmi, corak Fiqhi, corak Falsafi,
corak Shufi, corak Adabi Ijtima’i, corak Balaghi dan Bayani, serta corak
Haraki. Intinya, corak tafsir sangat beraneka ragam, para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah atau model corat tafsir.
E. Analisis
Yang paling
populer dari keempat metode penafsiran yang disebutkan di atas, menurut M.
Quraish Shihab adalah metode tahliliy, dan metode maudhu’i. Namun
begitu dari beberapa tokoh analis Islam, kedua metode tersebut disamping
mempunyai kelebihan disatu sisi, pada sisi yang lain mempunyai
kelemahan-kelemahan. [73]
Metode tahlili
atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy. [74]
Walaupun sangat luas karena
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi namun tidak menyelesaikan
satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi,
menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy itu,
tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional
bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur’an.[75]
Terlepas dari bernar tidaknya pendapat Malik tersebut, namun yang jelas
kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak
percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi
mukjizat di mana terkadang di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan),
sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia
telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara
tentang keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu dimulai dengan kalimat ﺇﻧﻜﻨﺘﻢ ﻓﻰ ﺭﻴﺐ atau ﺇﻧﻜﻨﺘﻢ ﺻﺪﻗﻴﻦ .
Kalau tujuan
penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di
atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk
masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi
merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan
metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan
Baqir Al-Shadr, Ulama’ Syi’ah Irak itu yang menilai bahwa, metode tahliliy telah
menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan
umat Islam.[76] Dapat
ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode tahliliy tidak
jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran
pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode
ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain
yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan
yang masih perlu dicari penyebabnya, apakah pada diri kita atau metode
mereka yang bahasa-bahasanya dirasakan
sebagai “mengikat” generasi berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran
persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga
uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur’an
untuk waktu dan tempat. [77]
Sedang
metode maudhu’i yang mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat
al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik
yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa
keistemewaan metode maudhu’i antara lain :
1. Menghindari
problem atau kelemahan metode lain
2. Menafsirkan ayat
dengan ayat atau dengan hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
3. Kesimpulan yang
dihasilkan mudah dipahami
4. Metode ini
memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Qur’an.
Ia sekaligus dapat
dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat. Disamping
itu ketika metode maudhu’i disandingkan dengan metode-metode
lain, maka akan muncul perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain:
1. Perbedaan
Metode Maudhu’iy dengan Metode Analisis
Metode Maudhu’iy
|
Metode Analisis
|
Mufasir
dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushhaf, tetapi
lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian.
Mufasir
tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi
hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.
Mufasir
dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebabnuzul,
munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam
batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.
Mufasir
berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok
bahasannya.
|
Mufasir
memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mushhaf.
Mufasir
berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam
setiap ayat
Sebaliknya.
Mufasir
biasanya hanya mengamukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri,
sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang
ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain
surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
|
2.
Perbedaan Metode Maudhu’i dengan Metode Komparasi
Contoh perbedan
antara metode maudhu’i dengan metode komparasi, adalah yang khusus
membandingkan antara ayat dengan ayat seperti ayat :
Metode Maudhu’i
|
Metode Komparasi
|
Mufasir
disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,
ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya
selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
|
Mufasir
biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut
atau perbedaan kasus atau masalah. Seperti
misal al-Khatib Al-Iskafi dalam
kitabnya Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil, (tidak mengarahkan
pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang
dibandingkan)
|
F. Penutup
Penafsiran ayat-aya al Qur'an yang dilakukan
sejak zaman Rasulullah SAW, mengalami berbagai perkembangan dalam bidang
metodologi. Pada awalnya, penafasiran al Qur'an dilakukan dengan metode
riwayat, atau yang kerap dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Selanjutnya metode
ini mengalami perkembangan, hingga metode yang menggunakan logika, atau yang
kerap dikenal dengan tafsir bil ra’yi. Metode ini menggunakan logika dalam menafsirkan
ayat, disamping juga menggunakan riwayat yang ada.
Perkembangan selanjutnya, adalah metode
penafsiran penalaran, dimana kitab-kitab tafsir diklasifikasikan kepada salah
satu metode penafsiran baik ijmali, tahlili, muqarin, maupun maudhu’i, serta bercorak,
ilmi, fiqhi, Falsafi, lughawi, adabul ijtima’i, balaghi dan bayani serta
haraki. Model penafsiran yang ada berusaha untuk mengungkapkan kandungan makna
yang tersirat di di dalam al Qur'an dengan berbagai keistimewaan dan
keterbatasannya, berbagai metode ini dapat membantu orang baik itu awam maupun
intelektual untuk menggali makna yang tersirat. Namun terlepas dari
keistimewaan dan keterbatasannya, kedua metode tafsir ini telah menjadi
khazanah bagi umat Islam, terkhusus ahli tafsir dalam usaha menafsirkan
ayat-ayat Al Qur'an. Yang paling populer dari
keempat metode penafsiran, menurut M. Quraish Shihab adalah : metode tahliliy (analistis), dan
metode maudhu’i (tematik) namun disamping populer menurut
para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki
kelebihan.
Metode penafsiran di atas, pada dasarnya adalah
usaha untuk menjelaskan ayat serta hikmat yang tersirat di dalam suatu ayat al-Qur'an.
perbedaan bentuk yang banyak, adalah sebagai bentuk kekayaan khazanah dalam bidang
tafsir ini. Kesemuanya memiliki kesempurnaan dan keterbatasan, sehingga
kesemuanya dapat saling membantu dan juga menutupi satu dengan lainnya.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia
serta tantangan-tantangan yang kita hadapi semakin konpleks maka pengembangan
metodoologi tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa kita pungkiri.
Sebuah metode boleh jadi akan terasa usang sehingga memerlukan
pembaharuan-pembaharuan yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjawab
tantangan permasalahan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hayy
Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo
: Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997, cet. II
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
Bandung: Buah Batu, 2011. t.cet. c
Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika
Menafsirkan al-Quran, Semarang: Toha Putra, 1993. Cet. II
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir,
Berinteraksi dengan Al-Quran versi Imam Al-Ghazali, Bandung: Citapusaka
Media, 2007.
Ali
Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran,
Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975. t.cet.
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1994.
Bard Al-Din
Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut
: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001. t.cet.
CD. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta
: Balai Pustaka. 1989.
Hasan
Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Fikr al-Dini, Mesir
: Madbuliy, 1989. t.cet.
Hassan
Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar
Baru – Van Hoeve. t.t., t.cet.
Islah Gus Mian, Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga
Ideologi, Yogyakarta, Lkis, 2003.
Izzan Ahmad. Metodologi Ilmu
Tafsir. Bandung:
TAFAKUR, 2011.
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi
‘ulum Al-Quran, Beirut: Dar al-fikr, 1999.
M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, Mizan, Bandung, 1994.
Malik bin
Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan
kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah
Al-Qur’aniyah, Lebanon : Daar Al-Fikr, , t.t. t.cet.
Manna’ Khalil al-Qattan, Mubahist fi
Ulumil Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS, Jakarta: Pustaka Lintera
AntarNusa, 1992.
Muhammad ‘Abd
al-Azhim al-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Bairut : Daar al-Fikr, 1988. t.cet.
Muhammad Ali
Al-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut
: ‘Alim al-Kutub, 1985. cet. I.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Muhammad Baqir
Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi
Al-Qur’an Al-Karim, Beirut, Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, 1980. t.cet.
Muhammad Husain
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo,
Maktabah Wahbah, 2000. t.cet.
Muhammad, A. Mufakhir. Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh:
Yayasan PeNA, 2004.
Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah
dan Perkembangan Ilmu Tafsir, Jakarta: Pustaka Amani, 1987.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran
Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nasharuddin
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
Nasharuddin
Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an , Yogyakarta: Glaguh UHIV, 1998.
Quraish
Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1999.
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Suryadilaga, Muhammad Al-Fâtih
dkk. Metodologi Ilmu Tafsir.
Yogyakarta:TERAS, 2010.
Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul
Tafsir wa Qawa’iduhu, Damaskus, Daar an-Nafais, 1994. t.cet. cet.
Thameem Ushama, Methodologies of the
Qur’anic Exegesis (tarjamah) Jakarta:Radar Jaya, 2000, cet. I
[1] Husain adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun
(Kairo : Maktabah Wahbah, 2000)
Cet. III Jilid I, hal. 59
[2] Al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an (Bairut:
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001) t.cet. Jilid II. hal. 164
[3] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyaraka (Bandung Mizan, ,
1994) hal. 78 – 79
[4] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat
(Bandung Mizan, 1994) hal. 79
[5] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr
Al-Diniy ( Mesir : Madbuliy, 1989) t.cet. hal. 77
[9] Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan (Taheran
: Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975)
t.cet. hal. 103
[10] Islah Gus Mian, Khazanah
Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta, Lkis, 2003) hal. 198
[11] Ash-Shabuni,
Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an (Bairut: ‘Alim al-Kutub, 1987)
t.cet. hal. 248
[12] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir (Yogyakarta,
PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000) hal.
57 – 58
[13] Ash-Shabuni,
Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an (Bairut : ‘Alim al-Kutub, 1987)
t.cet. hal. 249
[14] Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hal. 97
[15] Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Tafsir (Jakarta: Pustaka Amani, 1987) hal. 78
[16] Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu
(Damaskus, Dar an-Nafais, 1994) t.cet.
hal. 207
[17] Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan
Alquran versi Imam Al-Ghazali, (Bandung: Citapusaka Media, 2007) hal. 190
[18] Ash-Shabuni,
Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an (Bairut : ‘Alim al-Kutub, 1987)
t.cet. hal. 241
[19] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Buah
Batu, 2011) hal. 88
[20] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Buah
Batu, 2011) hal. 89
[21] Al-Qattan, Mubahist fi Ulumil Qur’an, Terj.
Mudzakir AS (Jakarta: Pustaka Lintera Antar Nusa, 1992) hal. 496
[22] Islah Gus Mian, Khazanah
Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta, Lkis, 2003) hal. 196
[23] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i (Kairo :
Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997) cet. II.
hal. 23
[24] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir ( Yogyakarta,
PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000. hal. 67-77
[25] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i (Kairo :
Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997) cet. II.
hal. 43 – 44
[26] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i (Kairo :
Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997) cet. II.
hal. 67
[28] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i (Kairo :
Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997) cet. II.
hal. 49
[29] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1994
) hal. 41-42
[30] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1994
) hal. 48-68
[32] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Bairut : Daar all Kutub ‘Ilmiyah, 2001)
t.cet. Jilid. I, hal. 147 – 169
[35] Al-Zarkasyi, al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001) t.cet.
Jilid IV. hal. 261
[36] Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, (Kairo :
Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1997) cet. II.
hal. 114-115
[37]
Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: TAFAKUR, 2011) hal. 199
[38] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode
Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi
Warna, 2005) hal. 69
[41]Kholid, Kuliah
Madzâhib al-Tafsir (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin,
2003) hal. 56
[67]
Farmawi, hal. 92)
[68] Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn,
Juz III, hal.10
[72] Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis
(tarjamah) (Jakarta:Radar Jaya, 2000) cet. I, hal. 75
[74] Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi
Al-Qur’an Al-Karim ( Beirut : Daar al-Ta’ruf lil
Matbu’at, 1980) t.cet. hal. 10
[75] Malik bin Nabi, Le
Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr.
Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, (Lebanon
: Dar Al-Fikr, t.th.) t.cet. hal. 58
[76] Al-Shadr, Al-Tafsir
Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut :
Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, 1980) t.cet. hal.12
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun