A. Pendahuluan
Al-Qur'an
yang menjadi sumber ajaran Islam yang pertama ini,[1]
memiliki keunikan yang sangat mengesankan dan mengagumkan. Dikaji dari berbagai sudut pandang dan
metodologi yang beragam, bukannya habis, akan tetapi justru bertambah
mengagumkan. Kitab al-Qur'an yang
diturunkan oleh Allah dalam jangka waktu 23
Tahun ini, [2] berisi tentang berbagai petunjuk dan
peraturan-peraturan yang disyariatkan karena beberapa sebab dan hikmah yang
bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan.[3] Susunan ayat-ayat dan suratnya sangat tertib,
sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain
dan antara surat yang satu dengan surat yang lain.[4]
Oleh
karena, itu muncul sebuah cabang ilmu yang khusus membahas tentang
persesuaian-persesuaian itu, atau yang menurut ulama tafsir digolongkan salah
satu ilmu al-Qur'an yang disebut sebagai ilmu munasabah. Pengetahuan tentang munasabah atau karelasi
antara ayat dengan ayat surat dengan surat mempunyai arti
penting dalam memahami makna al-Qur'an serta membantu dalam proses menta’wilkan
dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu
sebagian ulama mencurahkan perhatian untuk menulis kitab mengenai masalah itu.[5]
Ilmu munasabah dapat juga berperan menggantikan
ilmu asbab an-Nuzul, apabila seseorang tidak mengetahui sebab turunnya suatu
ayat, tetapi seseorang bisa mengetahui dengan adanya korelasi ayat satu dengan
ayat yang lain.[6]
Untuk mengetahui dengan jelas segi
persesuaian di antara ayat-ayat, pembaca
al- Qur'an hanya diharuskan bersandar pada rasa etikanya, dan kadang
harus bersandar pula pada fitrah logikanya.[7]
B. Pengertian Munasabah
Munasabah dalam pengertian
bahasa adalah, sesuai, mendekati dan menyererupai.[8] Dalam pengertian istilah ada beberapa
pendapat, menurut Manna al-Qathan, munasabah adalah segi-segi hubungan antara
satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat yang lain,
atau antar surat dengan surat yang lain.[9] H Hasbi membatasi pengertian munasah kepada
ayat-ayat atau antar ayat saja.[10] Az-Zarkasi dan as-Suyuti merumuskan yang
dimaksud dengan munasah ialah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat .[11]
Menurut penulis, definisi
yang disebutkan tersebut sesuai dengan aspek kajian yang terdapat pada
munasabah, yaitu pembahasan yang mencakup pada ayat satu dengan ayat lain,
maupun surat satu dengan surat yang lain. Akan tetapi, penulis kurang
setuju dengan pendapat yang yang dilontarkan oleh Hasbi as-Shiddiqy dalam
mendefinisikan munasabah yang hanya dibatasi antar surat, padahal jika
munasabah dibatasi hanya pada ayat ke ayat,[12]
akan membentuk satu pemahaman bahwa antara surat satu dengan surat yang lain
itu tidak ada hubungannya, hal ini akan
menjadikan al-Qur’an itu kurang sempurna, karena di antara surat satu
dengan yang lain tidak saling berhubungan dan berkaitan.
C.. Sejarah
Timbul dan Perkembangan Pengetahuan Munasabah
Menurut as-Syarbani, orang pertama
yang menampakkan munasabah dalam menafsirkan al-Qur'an ialah Abu bakar
an-Naisaburi (wafat tahun 324 H).[13] namun kitab an-Naisaburi yang dimaksud sukar
dijumpai sekarang, sebagaimana sebagaimana yang telahdinyatakan oleh
adz-Dzahabi.[14]
Besarnya perhatian Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan
as-Suyuti sebagai berikut: “Setiap kali an-Naisaburi duduk di atas kursi,
apabila al-Qur'an dibacakan kepadanya, beliau berkata, “mengapa ayat ini
diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat
ini di samping surat
ini?” Beliau mengkritik para ulama Bagdad
lantaran mereka tidak mengetahui.[15]
Tindakan Naisaburi merupakan kejutan
dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu.
Beliau mempunya kemampuan menyingkap persesuaian, baik antar ayat
ataupun antar surat ,
terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang
dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas,
beliau dipandang sebagai penggagas ilmu munasah.[16]
Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari
ilmu-ilmu al-Qur'an. Ulama-ulama yang
datang kemudian menyusun pembahasan munasah secara khusus. Di antara kitab yang khusus membicarakan
munasabah ialah al-Burhan fi Munasah tartib al-Qur'an karya ahmad Ibn
Ibrahim al-Andalusi (wafat 807 H)
Menurut pengarang Hasbi, penulis membahas dengan baik masalah munasabah
ialah Burhanudin al-Biqa’i dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati
Wa Suwar.[17]
As-Syuyuti membahas tema munasabah
dalam al-Itqan dengan tapik Fi Munasabatil ayati sebelum membahas
tentang ayat-ayat mutasyabihat.
Az-Zarkasyi membahas soal munasabah dalam al-Burhan berjudul
ma’rifatul Munasabat bainal ayati sesudah membahas sababun nuzul. Subhi Shalih dan Manna al-Qathan memasukkan
pembahasan munasah dalam bagian ilmu asbabun Nuzul, tidak dalam suatau
pasal tersendiri.
D. Macam-Macam Munasabah
Munasabah bila ditinjau
dari berbagai segi, itu ada berberapa macam, di antaranya:
a. Macam-macam sifat munasabah
Ditinjau dari segi sifat,
munasabah itu ada dua macam, yaitu :
Pertama, Dhaahirul
irtibath (persesuaian yang nyata atau persesuaian yang tampak jelas), yaitu
persesuaian atau persambungan pada ayat al-Qur'an yang amat kuat dan erat
sekali. Sehingga yang satu tidak bisa
menjadi kalimat yang sempurna, apabila dipisahkan dari kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan
sesuatu materi, kadang-kadang ayat satu itu berupa penguat, penafsir,
penyambung, penjelasan, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain,
sehingg semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1
surat al-Isra’:
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Artinya:
“Maha Suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil
Haram ke Masjidil Aqsa.”
Ayat tersebut menerangkan
isra’ Nabi Muhammad saw. Selanjutnya,
ayat 2 surat
al-Isra’ yang berbunyi:
وَءَاتَيْنَا
مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
Artinya:
“Dan Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan Kitab Taurat itu
menjadi petunjuk bagi Bani Israil.”
Ayat tersebut menjelaskan
diturunkannya Kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persesuaiannya antara kedua
ayat tersebut ialah tampak jelas, yaitu kedua-duanya diutus oleh Allah, dan
keduanya diisra’kan. Nabi Muhammad dari
Masjidil haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir ke Madyan.
Kedua, Khafiyu
al-Irtibath (persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya persesuaian antara
ayat yang satu dengan ayat yang lain, sehinga tidak nampak adanya hubungan
antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat itu berdiri sendiri,
baik ayat yang satu diathafkan kepada ayat yang lain, atau karena yang satu
bertentangan dengan yang lainnya. Contohnya, seperti hubungan antara ayaat 189
surah Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadah) haji “
Ayat tersebut menerangkan
bulan tsabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal
ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surah
al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
Artinya:
“ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi)
janganlah kalian melampui batas.”
Ayat tersebut menerangkan
perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti
tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua
ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji,
sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam
dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka
serangan-serangan musuh itu harus
dibalas, walaupun pada musim haji.
b. Macam-macam Materi Munasabah
Ditinjau dari segi
materinya, munasabah terbagi menjadi dua macam,[18]
di antaranya:
1. Munasabah Antar Ayat
Munasabah antar ayat ini,[19]
berbentuk persambungan ayat satu dengan yang lainnya. Munasabah ini berbentuk
persambungan-persambungan, di antaranya sebagai berikut: Pertama,
diathafkankannya ayat satu dengan ayat lain, seperti surat Ali ‘Imran ayat 103 dengan ayat 102,
contoh:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya:
“dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah
bercerai berai.” (QS. 3:103)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya
bertaqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam
keadaan beragana Islam.” (QS. 3:102)
Kedua ayat ini menyuruh
perpegang teguh kepada Allah, munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan
dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (an-Nadziiraini).
Kedua, tidak
diathafkan anatara ayat satu dengan lainnya, seperti surat Ali Imran ayat 11 dengan ayat 10,
contoh:
كَدَأْبِ ءَالِ فِرْعَوْنَ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
Artinya:
“Keadaan mereka adalah sebagai keadaan kaum fir’aun dan orang-orang yang
sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat Kami.” (QS. 3:11)
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mreka
sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.”
(QS. 3:10)
Dalam kedua ayat ini tampak
adanya hubungan yang kuat, ayat 11 itu dianggap sebagai kelanjutan dari ayat ke
10.
Ketiga, digabungkannya
dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 dan 4 dari surat
al-Anfal:
كَمَا
أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
Artinya:
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal
sesungguhnya sebagaian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.”
(QS. 8:5)
أُولَئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ
وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya:
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sbenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS.
8:4)
Ayat-ayat di atas sama-sama
menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5
menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 menerangkan
kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
Keempat, dikumpulkan
dua hal yang kontradiksi (al-Mutasashddatu). Seperti dikumpulkan ayat 95 dan 94
surat
al-At’raf:
ثُمَّ
بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّى عَفَوْا وَقَالُوا قَدْ مَسَّ
ءَابَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ
Artinya:
“Kemudian Kami ganti kesusuhan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta
mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kami
pun telah merasakan penderitaan dan kesenangan.” (QS. 7:95)
وَمَا
أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ
Artinya:
“Kami tidaklah mengutus seseorang Nabi pun kepada suatau negeri, (lalu
penduduknya mendustakan nabi itu) ,elainkan kami timpakan kepada penduduknya
kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (QS.
7:94)
Ayat 94 tersebut
menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi
ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
Kelima,
dipindahkannya satu pembicaraan, sebagaimana ayat 55 dan 54 dari surat Shaad:
هَذَا
وَإِنَّ لِلطَّاغِينَ لَشَرَّ مَآبٍ
Artinya:
“beginilah (keadaan mereka), sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka,
benar-benar (disediakan) tempat kembali yang beruk.” (QS. 38:55)
Dari membicarakan nasib
orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk
sekali, dialihkan membicarakan rezeki dari para ahli surga, sebagaimana ayat di
bawah ini :
إِنَّ
هَذَا لَرِزْقُنَا مَا لَهُ مِنْ نَفَادٍ
Artinya:
“Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dri Kami tiada habis-habisnya.”
(QS. 38:54)
2. Munasabah Antar Surat
Munasabah antar surat ini, terbagi
menjadi beberapa bagian, di antaranya:
Pertama, munasabah
antar surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.[20] Contohnya, seperti surat
al-Baqarah dan surat
al-Fatehah, keduanya sama-sama menerangkan tiga hal kandungan al-Qur'an, di
antaranya masalah aqidah, ibadah, muamalah, kisah, dan janji serta ancaman. Di
dalam surat al-Fatihah dijelaskan secara rinci,
sedangkan di dalam surat
al-Baqarah diterangkan secara panjang lebar.
Kedua, persesuaian
antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya.[21]
Contohnya, seperti awalan surat
al-An’am ayat 1 yang berbunyi:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.” (QS. 6:1)
Awalan surat
al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat
al-Maidah yang berbunyi:
لِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Artinya:
“Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 5:120)
Ketiga, persesuaian
antara pembukaan dan akhiran suatu surat .[22]
Contohnya, seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah:
الم.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Alif, Laam, Miim. Kitab (al-Qur'an) ini
tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS.
2:1-2)
Awal surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan
akhirannya yang memerintahkan supaya berdo’ayat agar tidak disiksa oleh Allah,
bila lupa atau bersalah:
وَاعْفُ
عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى
الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya:
“Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami, Engkau penolong kami,
maka tolonglah kami terhadap kaum-kaum yang kafir.” (QS. 2:286)
Menurut as-Suyuthi,
Munasabah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama, tandhir, yakni hubungan
yang mencerminkan perbandingan.
Misalnya, surat
al-Anfal ayat 5 dengan ayat 4,
كَمَا
أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ
Artinya: “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari
rumahmu.”(QS. 8:5),
mengiringi ayat sebelumnya,
أُولَئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
Artinya:
“Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. 8:4).
Kedua, mudhaddah, yakni hubungan yang mencerminkan
pertentangan. Misalnya,”…
أُولَئِكَ
عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Mereka itulah mendapat petunjuk dari
Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS, 2:5). Dengan ayat
berikutnya,
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا
يُؤْمِنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringgatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka
tidak akan beriman.”(QS, 2:6)
Ketiga, istithrad, yakni hubungan yang mencerminkan kaitan suatu
persoalan denga persoalan lain.
Misalnya dalam ayat,
يَابَنِي ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا
عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ
خَيْرٌ
Artinya:
“Hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan
pakaian taqwa itulah yang lebih baik.” (QS. 7:26)
Menurut penulis, persesuaian pada
al-Qur'an baik dari ayat ke ayat, maupun surat ke surat tidak semuanya menyatu
atau menyerupai kandungannya, sebab al-Qur'an diturunkan memiliki tema-tema
tersendiri, ataupun bentuk sabab an-Nuzul serta situasi dan kondisi yang
berbeda, oleh karena itu tidak mungkin semuanya memiliki korelasi. Andaikata dari ayat satu dengan ayat lainnya
dipaksa untuk diserupakan walaupun tidak cocok maknanya, apakah itu justru
tidak akan merusak kandungan al-Qur’an itu sendiri.
Pengetahuan mengenai karelasi dan
hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah
tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena ditetapkan oleh Rasul), akan tetapi
hasil ijtihad seorang mufasir. Hal ini
berarti, seorang mufasir tidak harus mencari
kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an dengan memaksakan diri.
‘Izzudin ‘Abd Salam menuturkan,
bahwa ilmu munasabah itu baik sekali, kketika menghubungkan kalimat satu dengan
kalimat yang lain, akan tetapi harus betul-betul tepat pada hal-hal yang
berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya.[23]
E. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Munasabah
1.
Mengetahui persambungan antara ayat
dengan ayat, surat dengan surat , sehingga memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap al-Qur'an dan akan memperkuat keyakiana terhadap kewahyuan
dan kemu’jizatannya.
2.
Dapat mengetahui mutu dan kualitas bahasa
al-Qur'an yang jauh dari pertentangan-pertentangan, baik antara ayat satu dengan ayat lainnya, maupun surat
satu dengan surat
lainnya.
3.
Sangat membantu di dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, karena dengan mengetahui hubungan antar ayat, akan
mempermudah dalam memahami isi kandungannya dan pengistimbatan hukum-hukum di
dalamnya.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Adh-Dhahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Cairo : Maktabah Wahbah, 2000, cet.
ke-7
Al-Husni,
Muhammad bin ‘Ali al-Malaki, Zubdah
al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur'an, Mesir:
Dar asy-Syuruq, cet. ke-2
Al-Qathan, Manna, Mabahis fi
‘Ulum al-Qur'an, t.tp., tp.,
t.th., cet. ke-3
Ash-Shalih, Shubhi, Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur'an, Bairut : Dar al-‘Ilmu lil Malayin, 1988,
cet. ke-17
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu al-Qur'an, Jakarta : Bulan Bintang, 1992,
cet. ke-14
As-Suyuthi, Jalalluddin, al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Fikr,
t.th., t.cet.
As-Suyuthi, Jalalluddin, at-Tahbir
fi ‘Ulum ayat-Tafsir, Cairo : Dar al-Manar,
1986, t.cet.
Az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adhim,
Manahi al-‘Urfan fi ‘Ulum al-Qur'an, Bairut : Dar al-Fikr, cet. ke-3
Az-Zarkasyi, al-Burhan fi
Ulum al-Qur’an, Cairo :
Dar al-Ihya al-Kutub, 1957, t.cet.
Chirzin, Muhammad, al-Qur'an dan ‘Ulumul Qur'an, Yogyakarta :
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, cet. ke-1
Djalal, Abdul, Ulumul Qur'an, Surabaya : Dunia Ilmu,
2000, cet. ke-2
Khalaf, ‘Abd al-Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo : Dar al-Kuwaitiyyah, 1968,
cet. ke-8
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar
‘Ulumul Qur'an, Surabaya :
Bina Ilmu, 1993, cet. ke-4
[1]‘Abd
al-Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fikh, (Cairor: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1968),cet. ke-8,h.21
[2]
Muhammad ‘Abd al’Adhim az-Zarqani, Manahil
al’Urfan, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988), t.cet., Jilid 1, h. 51
[3]
Abdul Djalal, Ulummul Qur'an, (Surabata:
Dunia Ilmu, 2000), cet. ke-2,
h. 153
[4]
Manna Khalil al-Qathan, Mabahis fi ‘Ulum
al-Qur'an, (t.tp., tp., t.th.), h. 97
[5] Ibid.
[6]
Masfjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul
Qur'an, (Surabaya: Bina Ilmu,
1993), cet. ke-4,
h. 167
[7]
Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum
l-Qur'an, (Bairut: Dar ‘Ilm Lilmalayyin, 1977), cet. ke-10, h. 151
[8]
Jalaluddin as-Suyuti, al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar
al-Fikr, t.th.), t.cet.,
h. 108; Manna al-Qathan, op.cit., h. 98
[9]
Manna’ Khalil al-Qathan, Ibid.
[10]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang,
1992), cet. Ke-14, h. 106
[11]
Az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
(Cairo: Dar al-Ihya
al-Kutub, 1957), t.cet.,
h. 35; Jalaluddin as-Suyuti, loc. cit.
[12]
Pembatasan pada definisi yang dilontarkan oleh Hasbi tersebut, bertolak belakang
dengan karyanya, yaitu tafsir an-Nur. Di
dalam tafsir an-Nur beliau mempergunakan munasabah tidak hanya pada antar ayat
saja, akan tetapi juga pada antar surat .
[13] Ibid
[14]
Muhammad Husain adh-Dhahabi, Tafsir
wa al-Mufassirun, Cairo :
Maktabah Wahbah, 2000, cet. ke-7
[15]
As-Suyuti, loc. cit.
[16]
Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan
‘Ulumul Qur'an, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998,
cet. ke-1
[17]
Hasbi ash-Shiddieqy, loc. cit.
[18]
Abdul Djalal, op. cit., h.158
[19]
Munasabah antar ayat ini, sebebagaimana as-Suyuthi menyebutkan sebagai berikut
: Pertama Mura’atan nadhir (hubungan yang mencerminkan keterkaitan)
contoh, surat
ar-Rahman ayat 5:
الشَّمْسُ
وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ ; Kedua,
Tasyabuhul athraf (hubungan antara awal dan akhir ayat, contoh, surat al-An’am ayat 103: لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ
وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
; Ketiga, musyakalah (persamaan)
contoh: surat al-Baqarah ayat 14 dan 15: إِنَّمَا
نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ , اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ , وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ ;
Lihat, as-Suyuthi, at-Tahbir fi ‘Ulum at-Tafsir, (Cairo:
Dar al-Manar, 1982), t.cet.,
h. 289-290
[20]
Manna al-Qathan, op. cit., h. 99
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23]
As-Suyuthi, loc. cit.
[24] Abdul
Dlalal, op. cit., h. 165
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun