A.
Pendahuluan
Berbicara tentang sifat Tuhan,
aliran-aliran kalam beragam sudut pandang mereka. Persoalan yang mereka timbulkan bersumber
akal (rasio) mereka masing-masing.
Pertentangan faham di antara mereka dalam masalah ini berkisar sekitar
persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunai sifat-sifat itu mestilah
kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.
Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal
bukanlah satu, tetapi banyak.[1]
Pembahasan tentang keadilan Tuhan
berkaitan erat dengan dengan perbuatan atau kehendak Tuhan, karena perbuatan
Tuhan akan dilihat dari segi, adil ataukah tidak kebijakannya dalam memelihara
alam ini, baik alam dunia maupun alam akhirat.
Faham keadilan Tuhan juga berkaitan dengan faham kebebasan dan famam
sebaliknya, yaitu kekuasan mutlak Tuhan .[2]
B. Pendapat Aliran-aliran Kalam Tentang Sifat-sifat Tuhan
Menurut Mu'tazilah,[3]
Tuhan tidak memiliki sifat karena apabila Ia mempunyai sifat dan sifat tersebut
bersifat qadim, itu berarti Tuhan tidak Esa lagi. Sehingga Tuhan bukan satu akan tetapi banyak.[4]
Sedangkan tentang sifat Tuhan
Asy'ariah berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan tidak mungkin
mengetahui dengan zat-Nya,[5]
sebab apabila Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, ini berarti zat-Nya adalah
pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi Ia
adalah yang mengetahui (‘alam). Tuhan
mengetahui dengan pengetahuannya, bukanlah zat-Nya.[6]
Aliran Syi’ah mengatakan, Tuhan
tidaklah selalu bersifat mendengar (sami’), tahu (‘alim), ataupun melihat
(basyir) sampai tiba saat terciptanya sifat-sifat itu bagi dirinya. Menurut Syi’ah yang lain Tuhan memiliki sifat-sifat
itu.[7]
Selanjutnya, Murji’ah dan Kawarij
beranggapan bahwa Tuhan yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan
sendirinya, bukan karena pengetahuannya, kekuasaanya dan
keperihidupan-Nya. Bahkan terdapatnya
pengetahuan pada Tuhan dalam arti Tuhan itu bersifat tahu, terdapatnya kekuasaan
dalam arti Tuhan itu bersifat kuasa, tetapi terdapatnya perikehidupannya
(hayat) tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada
Allah itu terdapat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada
Tuhan itu terdapat kekuatan (quwwat) dan pengetahuan (‘ilm), karena yang layak
padanya pun hanyalah hal itu semata.[8]
Kaum Maturudi dari golongan bukhara
menuturkan, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak kekal, mereka
menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan
yang terdapat dengan esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu
sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi
sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.[9]
Golongan samarkand berpendapat bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi pula tidal
lain dari Tuhan.[10]
Tentang Anthropomorphisme,
Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat imateri, tidaklah dapat dikatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Kaum Mu'tazilah yang berpegang
pada kekuatan akal Ayat-ayat al-Qur'an yang
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi
interprestasi lain kekuasaan, dengan
demikian kata al-‘arsy, tahta kerajaan, diberi interprestasi kakuasaan,
al-‘Ain, mata, diartikan pengetahuan al-Wajh muka, ialah esensi dan al-yad
tangan, adalah kekuasaan.[11]
Tuhan itu sama sekali tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Oleh karena itu wajib menolak Tuhan
berjism. Yang dimaksud di sini ialah
sesuatu yang memiliki panjang, lebar dan
dalam yang tersusun dari delapan juz (bagian).[12]
Kaum Asy'ariah dan juga tidak
menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
yang samad sifat-sifat jasmani manusia.
Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagai di sebut
dalam al-Qur'an mempunyai mata, muka, tangan dan lain sebagainya, tetapi muka,
mata, tangan dan sebagainya tidak sama dengan yang ada pada manusia,.mereka
berpendapat bahwa kata-kata itu tidak boleh diberi interprestasi lain. Sebagaimana kata Asy’ari, Tuhan mempunyai dua
tangan akan tetapi tidak boleh diartikan rahmat atau kekuasaan Tuhan. Lebih
lanjut ia menjelaskan bahwa Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat yang tidak sama dengan hayat manusia, dan mempunai
dua tangan,tetapi tangan yang tidak seperti manusia. Tentu timbul peertanyaan,
jika tidak sama dengan yang ada pada
manusia, maka bagaimana sifat-sifat tangan, mata, muka dan sebagainya itu
? Jawab Asy’ari : “Tuhan mempunyai mata dan tanan yang tak
dapat diberikan gambaran atau definisi.[13]
Maturudi dari golongan Bukhara dalam
hal ini tidak sependapat dengan Asy'ariah.
Tangan Tuhan yaitu sifat dan bukan dari anggota badan Tuhan, yaitu sifat
sama dengan sifat-sifat yang lain seperti
pengetahuan, daya dan kemauan. Adapun
golongan samarkand sependapat dengan Mu'tazilah.[14]
Golongan Syiah Rafidah perpendapat,
bahwa Tuhan itu berjism dan bisa di indera.[15]
Dalam hal melihat Tuhan, golongan
Mu'tazilah menolak terhadap kemungkinan manusia dapat melihat Tuhan dengan mata
kepala, juga merupakan manisfestasi dari paham mereka tentang jism. Kalau Tuhan bukan merupakan suatu jism atau
tidak memiliki materi karena ia bukan materi (imateri). Maka tidak mungkin ia
dapat di lihat dengan mata kepala manusia.
Kalau Tuhan dapat dilihat tentu akan bisa dilihat di alam ini, bukan di
akhirat saja.[16] Logika mengatakan bahwa Tuhan, karena
bersifat imateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Sebagai argumen, ‘Abd
al-Jabar mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak
dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat.[17] Kenyataan ini membuktikan bahwa manusia tidak
dapat melihat Tuhan.[18]
Kalau Asy'ariah sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan akan dapt dilihat
oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajasum atau anthropomorphisme, sungguhpun
sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat jasmani manusia yang ada dalam alam materi ini. Tuhan berkuasa mutlak dan dapat mengadakanapa
saja. Sebaliknya akal manusia lemah dan
tak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan. Apa saja, sungguhpun itu bertentangan dengan
pendapat akal manusia, dapat dibuat dan diciptakan Tuhan. Melihat Tuhan yang bersifat imateri dengan
mata kepala, dengan demikian, tidaklah mustahil. Manusia akan dapat melihat Tuhan.[19]
Mengenai sabda Tuhan Mu'tazilah berpendapat, Dengan keinginan yang besar untuk mensucikan Tuhan dari hal-hal
yang tidak layak dan berpegang pada
prinsip “Tuhan ada yang kekal kecuali
Allah”, golongan Mu'tazilah menolak paham bahwa al-Qur'an adalah kekal. Menurut mereka al-Qur'an atau kalam Tuhan
adalah ciptaannya, oleh karena itu al-Qur'an adalah baharu.[20]
Mengenai sabda Tuhan atau kalam
Allah atau tegasnya al-Qur'an persoalannya dalam teologi ialah: Kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti
kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti
diciptakan dan tak bisa kekal. Kaum Mu'tazilah menyelesaikan persoalan ini
dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Qur'an bukanlah bersifat
kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Argumen mereka, al-Qur'an tersusun dari
bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan
surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat
qadim, yaitu tak bermula, karena yang tak bermula tak mendahului oleh apapun.[21]
Kaum Asy'ariah berpegang keras bahwa
sabda adalah sifat, dan sebagian sifat Tuhan mestilah kekal. Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun
tidak bisa bersifat kekal (qadim), mereka memberi definisi lain tentang sabda
Tuhan. Sabda bagi mereka adalah arti
atau makna abstrak dan tidak tersusun.
Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf atau suara. Sabda yang
tersusun disebut sabda dalam arti kiasan.
Sabda yang sebenarnya ialah apa yang
terletak dibalik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah
sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat
Tuhan. Dan yang dimaksud al-Qur'an
bukanlah apa yang tersusun dari huru-huruf, kata-kata dan surat-surat, tetapi
arti atau makna abstrak itu. Dalam arti
inilah al-Qur'an menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal. [22]
Kaum Maturudi dengan kedua
golongannya sependapat dengan kaum Asy'ariah, bahwa Tuhan atau al-Qur'an adalah
kekal. Al-Qur'an, kata Maturudi adalah
sifat kekal dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak bahasa Arab, ataupun Syriak,
tetapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.[23]
C. Pendapat Aliran-aliran Kalam Tentang Keadilan
Tuhan
Semua orang percaya pada keadilan Tuhan.
Tetapi aliran-aliran kalam seperti biasanya, ada beberapa pendapat yang
kontroversi di antara mereka. Persoalan
ini ditimbulkan oleh beberapa hal berkaitan dengan kebebasan manusia dan
kehendak mutlak Tuhan.
Menurut Mu'tazilah, kekuasaan mutlak Tuhan dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya,
Tuhan telah terikat norma-norma keadilan, jika dilanggar menjadikan Tuhan
bersifat tidak adil bahkan dhalim.[24]
Dalam hal ini, Tuhan harus menepati janji-janjinya pada manusia,
berkewajiban mengirimkan rasul-rasu-Nya untuk memberi petuntuk pada manusia,
Tuhan juga harus memberi rizki kepada manusia dan sebagainya. Jika hal itu tidak dilakukan oleh Tuhan,
berarti Tuhan tidak adil.[25] Yang intinya, Tuhan harus berbuat baik dan
terbaik untuk kebaikan manusia.[26]
Karena Tuhan maha bijaksana dan maha adil, antaranya tidak mengerjakan
sesuatu kecuali ada tujuanya, maka Ia tidak lain hanya menghendaki kebijakan
manusia, kalau kata kita melihat bermacam-macamnya keburukan dalam dunia ini
dan kita tidak bisa mengetahui tujuannya (gunanya), maka tidak berarti bahwa
Tuhan menghendaki keburukan-keburukan itu sendiri. Satu-satunya tafsiran ialah bahwa akal manusia
tidak sanggup mengetahui sebab dan tujuan-tujuannya.[27]
Makna adil adil di sini ialah, Tuhan selalu melakukan perbuatan yang
tebaik dan tidak melakukan sesuatau yang buruk.
Tuhan juga tidak akan meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakannya. Apabila terjadi sesuatu di alam ini tampaknya
hal yang tidak baik, tentu dibalik kejadian tersebut ada hikmah yang baik pula,
sebab Tuhan tidak menghendaki yang buruk.[28]
Asy'ariah berpendapat, keadilan Tuhan tidak bisa dilihat dari segi
perbuatan Tuhan tehadap manusia, atau dalam kata lain Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia.[29]
Aliran Asy'ariyyah mengatakan bahwa kehendak Tuhan mutlak, karena hanya
Ia sendiri yang menguasai alam ini dan bisa berbuat sekehendaknya. Berhubungan dengan itu, perbuatan-perbuatan
Tuhan yang kelihatannya menyimpang dari ketentuan akal, tidak bisa dikatakan
buruk atau dhalim, seperti memberi pahala orang yang jahat atau menyiksa orang
baik. Dengan kata lain, perbuatan Tuhan
tidak bisa dipersamakan dengan perbuatan manusia.[30]
Bagi Asy'ariah, Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu
terhadap manusia. Karena hal ini
bertentangan dengan faham kukuasaan mutlak Tuhan yang mereka anut.[31] Dalam hal ini, kaum Maturudi golongan bukhara
sefaham.[32]
Golongan Samarkand, memberi batasan kepada kekuasan dan kehendak mutlak
Tuhan, akan tetapi hampir sefaham dengan aliran Mu'tazilah, yaitu faham adanya kewajiban-kewajiban bagi
Tuhan, misalnya, kewajiban menepati janji, pemberikan upah dan pemberian
hukuman.[33]
D. Penutup
Perbedaan faham semua aliran
teologi bersumber pada perbedaan mereka
dalam menginterprestasikan setiap wahyu Tuhan. Hal ini senada dengan kajian
fiqih, dari perbedaan interprestasi setiap Qur'an dan hadis, melahirkan berbagai
madhab fiqih. [34]
Pada
hakekadnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi masih
dalam Islam. Dengan demikian tiap orang bebas memilih salah satu dari
aliran-aliran tersebut. Hal ini serupa
dengan kebebasan orang Islam dalam memilih madhab fiqh.[35]
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Jabar Ibn Ahmad,
Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktab Wahbah, 1965, t.cet.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964, t.cet.
Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islamiyyin wa Ihhttilaaf
(tejemah), Bandung: Pustaka Setia, 1998,
cet. ke-1
Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003),
cet. ke-8
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa
Perbandingan, Jakarta: UI-Pres, 1986,
cet. ke-5
,
Islam Ditinjau Dari Aspeknya,
Jakarta: UI-Pres, 1986, cet. ke-6,
Jilid 2
Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, Sejarah Pemikiran
Ilmu Kalam, Jakarta: Pustaka Antara, 1996,
cet. ke-1
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Pres, 1986), cet. ke-5,
h. 135
[2] Ibid., h. 123
[3]
Golongan Mu'tazilah terbagi menjadi dua, yaitu aliran Basrah dan aliran
Bagdad. Lihat Ahmad Amin, Duha Islam,
h. 96. Aliran Basrah
pemuka-pemukanya yaitu, Wasil bin Atha’, Amr Ibn Ubaid, Abu huzail al-Allaf,
al-Nazzam, al-Jahiz dan Al-Juba’i.
Sedangkan aliran Bagdad di antaranya, Bisyr Ibn al-Mu'tazilah’tammar,
Abu Nusa al-Murdar, Sumamah Ibn al-Asyras dan Ahmad Abi Du’ad. Lihat, LSIK,
Sejarah Pemikiran Dalam Islam,
(Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet. ke-1,
h. 56
[4]
Ahmad Amin, Duha al-Islam, (Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964), t.cet. h. 23
[5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Aspeknya, (Jakarta: UI-Pres, 1986),
cet. ke-6, Jilid 2, h. 40
[6]
Harun Nasution, op. cit., h. 69;
Lihat, Hanafi, Teologi
Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna
Baru, 2003), cet. ke-8,
h. 133
[7]
Lihat, al-Asy’ari, Maqaalaat
al-Islamiyyin wa Ihhttilaaf (tejemah),
Bandung: Pustaka Setia, 1998),
cet. ke-1, h. 96-99 dan
134-135
[8]
Lihat, Ibid., h. 229
[9]
Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 2003), cet. ke-8,
h. 89
[10]
Harun Nasution, op. cit., h. 69;
Lihat, Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003),
cet. ke-8, h. 137
[11] Ibid.
[12]
Abd al-Jabar Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo:
Maktab Wahbah, 1965), t.cet., h.
196
[13]
Harun Nasution, op. cit., h. 138
[14] Ibid.,
138-139
[15]
Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003),
cet. ke-8, h. 90
[16]
Abd al-Jabar Ibn Ahmad, loc. cit., h. 252;
Lihat, al-Asy’ari, loc. cit., h. 221-222
[17]
Abd al-Jabar Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo:
Maktab Wahbah, 1965), 253
[18]
Harun Nasution, op. cit., h. 139
[19] Ibid.; Lihat,
al-Asy’ari, op. cit., h. 286-287
[20]
LSIK, op. cit., h. 70
[21]
Harun Nasution, op. cit., h. 139;
[22]
Harun Nasution, op. cit., h. 144
[23] Ibid., h. 146
[24] Ibid., h. 119
[25]
Harun Nasution, Ibid., h. 128 dan 132-133
[26]
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 142
[27] Ibid., h. 143
[28]
LSIK, op. cit., h. 71
[29]
Lihat, al-Asy’ari, op. cit., h.251
[30]
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 141
[31]
Harun Nasution, op. cit., h. 128
[32] Ibid., h. 128
[33] Ibid., h. 128
[34] Ibid., 150;
Lihat, Ahmad Hanafi, op. cit., h. 94
[35] Ibid., h. 152
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun