8 Feb 2016

SIFAT-SIFAT DAN KEADILAN TUHAN

A.  Pendahuluan
            Berbicara tentang sifat Tuhan, aliran-aliran kalam beragam sudut pandang mereka.  Persoalan yang mereka timbulkan bersumber akal (rasio) mereka masing-masing.  Pertentangan faham di antara mereka dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak.  Jika Tuhan mempunai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.  Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak.[1]   
            Pembahasan tentang keadilan Tuhan berkaitan erat dengan dengan perbuatan atau kehendak Tuhan, karena perbuatan Tuhan akan dilihat dari segi, adil ataukah tidak kebijakannya dalam memelihara alam ini, baik alam dunia maupun alam akhirat.  Faham keadilan Tuhan juga berkaitan dengan faham kebebasan dan famam sebaliknya, yaitu kekuasan mutlak Tuhan .[2]
                       

B.  Pendapat Aliran-aliran Kalam Tentang Sifat-sifat Tuhan

            Menurut Mu'tazilah,[3] Tuhan tidak memiliki sifat karena apabila Ia mempunyai sifat dan sifat tersebut bersifat qadim, itu berarti Tuhan tidak Esa lagi.  Sehingga Tuhan bukan satu akan tetapi banyak.[4]
            Sedangkan tentang sifat Tuhan Asy'ariah berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan tidak mungkin mengetahui  dengan zat-Nya,[5] sebab apabila Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, ini berarti zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan.  Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi Ia adalah yang mengetahui (‘alam).  Tuhan mengetahui dengan pengetahuannya, bukanlah zat-Nya.[6]
            Aliran Syi’ah mengatakan, Tuhan tidaklah selalu bersifat mendengar (sami’), tahu (‘alim), ataupun melihat (basyir) sampai tiba saat terciptanya sifat-sifat itu bagi dirinya.  Menurut Syi’ah yang lain Tuhan memiliki sifat-sifat itu.[7]
            Selanjutnya, Murji’ah dan Kawarij beranggapan bahwa Tuhan yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan sendirinya, bukan karena pengetahuannya, kekuasaanya dan keperihidupan-Nya.  Bahkan terdapatnya pengetahuan pada Tuhan dalam arti Tuhan itu bersifat tahu, terdapatnya kekuasaan dalam arti Tuhan itu bersifat kuasa, tetapi terdapatnya perikehidupannya (hayat) tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada Allah itu terdapat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada Tuhan itu terdapat kekuatan (quwwat) dan pengetahuan (‘ilm), karena yang layak padanya pun hanyalah hal itu semata.[8]
            Kaum Maturudi dari golongan bukhara menuturkan, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak kekal, mereka menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dengan esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.[9] Golongan samarkand berpendapat bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi pula tidal lain dari Tuhan.[10] 
Tentang Anthropomorphisme, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat imateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.  Kaum Mu'tazilah yang  berpegang pada kekuatan akal Ayat-ayat al-Qur'an yang  menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interprestasi lain kekuasaan,  dengan demikian kata al-‘arsy, tahta kerajaan, diberi interprestasi kakuasaan, al-‘Ain, mata, diartikan pengetahuan al-Wajh muka, ialah esensi dan al-yad tangan, adalah kekuasaan.[11] Tuhan itu sama sekali tidak memiliki sifat-sifat jasmani.  Oleh karena itu wajib menolak Tuhan berjism.  Yang dimaksud di sini ialah sesuatu yang  memiliki panjang, lebar dan dalam yang tersusun dari delapan juz (bagian).[12]
            Kaum Asy'ariah dan juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang samad sifat-sifat jasmani manusia.  Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagai di sebut dalam al-Qur'an mempunyai mata, muka, tangan dan lain sebagainya, tetapi muka, mata, tangan dan sebagainya tidak sama dengan yang ada pada manusia,.mereka berpendapat bahwa kata-kata itu tidak boleh diberi interprestasi lain.  Sebagaimana kata Asy’ari, Tuhan mempunyai dua tangan akan tetapi tidak boleh diartikan rahmat atau kekuasaan Tuhan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat yang  tidak sama dengan hayat manusia, dan mempunai dua tangan,tetapi tangan yang tidak seperti manusia. Tentu timbul peertanyaan, jika tidak sama dengan yang  ada pada manusia, maka bagaimana sifat-sifat tangan, mata, muka dan sebagainya itu ?  Jawab Asy’ari :  “Tuhan mempunyai mata dan tanan yang tak dapat diberikan gambaran atau definisi.[13]
            Maturudi dari golongan Bukhara dalam hal ini tidak sependapat dengan Asy'ariah.  Tangan Tuhan yaitu sifat dan bukan dari anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat yang  lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan.  Adapun golongan samarkand sependapat dengan Mu'tazilah.[14]
            Golongan Syiah Rafidah perpendapat, bahwa Tuhan itu berjism dan bisa di indera.[15]
            Dalam hal melihat Tuhan, golongan Mu'tazilah menolak terhadap kemungkinan manusia dapat melihat Tuhan dengan mata kepala, juga merupakan manisfestasi dari paham mereka tentang jism.  Kalau Tuhan bukan merupakan suatu jism atau tidak memiliki materi karena ia bukan materi (imateri). Maka tidak mungkin ia dapat di lihat dengan mata kepala manusia.  Kalau Tuhan dapat dilihat tentu akan bisa dilihat di alam ini, bukan di akhirat saja.[16]  Logika mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat imateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Sebagai argumen, ‘Abd al-Jabar mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat.[17]  Kenyataan ini membuktikan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan.[18]             Kalau Asy'ariah sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan akan dapt dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.  Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajasum atau anthropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat jasmani manusia yang  ada dalam alam materi ini.  Tuhan berkuasa mutlak dan dapat mengadakanapa saja.  Sebaliknya akal manusia lemah dan tak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan.  Apa saja, sungguhpun itu bertentangan dengan pendapat akal manusia, dapat dibuat dan diciptakan Tuhan.  Melihat Tuhan yang bersifat imateri dengan mata kepala, dengan demikian, tidaklah mustahil.  Manusia akan dapat melihat Tuhan.[19]
Mengenai sabda Tuhan Mu'tazilah berpendapat, Dengan keinginan yang  besar untuk mensucikan Tuhan dari hal-hal yang  tidak layak dan berpegang pada prinsip “Tuhan ada yang  kekal kecuali Allah”, golongan Mu'tazilah menolak paham bahwa al-Qur'an adalah kekal.  Menurut mereka al-Qur'an atau kalam Tuhan adalah ciptaannya, oleh karena itu al-Qur'an adalah baharu.[20]
            Mengenai sabda Tuhan atau kalam Allah atau tegasnya al-Qur'an persoalannya dalam teologi ialah:  Kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal. Kaum Mu'tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan.  Dengan demikian al-Qur'an bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan.  Argumen mereka, al-Qur'an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain pula.  Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat qadim, yaitu tak bermula, karena yang tak bermula tak mendahului oleh apapun.[21]
            Kaum Asy'ariah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagian sifat Tuhan mestilah kekal.  Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bisa bersifat kekal (qadim), mereka memberi definisi lain tentang sabda Tuhan.  Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun.  Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf atau suara. Sabda yang tersusun disebut sabda dalam arti kiasan.  Sabda yang sebenarnya ialah apa yang  terletak dibalik yang tersusun itu. Sabda yang  tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang  dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan.  Dan yang dimaksud al-Qur'an bukanlah apa yang tersusun dari huru-huruf, kata-kata dan surat-surat, tetapi arti atau makna abstrak itu.  Dalam arti inilah al-Qur'an menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal. [22]
            Kaum Maturudi dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy'ariah, bahwa Tuhan atau al-Qur'an adalah kekal.  Al-Qur'an, kata Maturudi adalah sifat kekal dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak bahasa Arab, ataupun Syriak, tetapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.[23]
             
C.  Pendapat Aliran-aliran Kalam Tentang Keadilan Tuhan
Semua orang percaya pada keadilan Tuhan.  Tetapi aliran-aliran kalam seperti biasanya, ada beberapa pendapat yang kontroversi di antara mereka.  Persoalan ini ditimbulkan oleh beberapa hal berkaitan dengan kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan.     
Menurut Mu'tazilah, kekuasaan mutlak Tuhan dibatasi pula oleh  sifat keadilan Tuhan.  Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat norma-norma keadilan, jika dilanggar menjadikan Tuhan bersifat tidak adil bahkan dhalim.[24]
Dalam hal ini, Tuhan harus menepati janji-janjinya pada manusia, berkewajiban mengirimkan rasul-rasu-Nya untuk memberi petuntuk pada manusia, Tuhan juga harus memberi rizki kepada manusia dan sebagainya.  Jika hal itu tidak dilakukan oleh Tuhan, berarti Tuhan tidak adil.[25]  Yang intinya, Tuhan harus berbuat baik dan terbaik untuk kebaikan manusia.[26]
Karena Tuhan maha bijaksana dan maha adil, antaranya tidak mengerjakan sesuatu kecuali ada tujuanya, maka Ia tidak lain hanya menghendaki kebijakan manusia, kalau kata kita melihat bermacam-macamnya keburukan dalam dunia ini dan kita tidak bisa mengetahui tujuannya (gunanya), maka tidak berarti bahwa Tuhan menghendaki keburukan-keburukan itu sendiri.  Satu-satunya tafsiran ialah bahwa akal manusia tidak sanggup mengetahui sebab dan tujuan-tujuannya.[27]
Makna adil adil di sini ialah, Tuhan selalu melakukan perbuatan yang tebaik dan tidak melakukan sesuatau yang buruk.  Tuhan juga tidak akan meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakannya.  Apabila terjadi sesuatu di alam ini tampaknya hal yang tidak baik, tentu dibalik kejadian tersebut ada hikmah yang baik pula, sebab Tuhan tidak menghendaki yang buruk.[28]
Asy'ariah berpendapat, keadilan Tuhan tidak bisa dilihat dari segi perbuatan Tuhan tehadap manusia, atau dalam kata lain Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia.[29]
Aliran Asy'ariyyah mengatakan bahwa kehendak Tuhan mutlak, karena hanya Ia sendiri yang menguasai alam ini dan bisa berbuat sekehendaknya.  Berhubungan dengan itu, perbuatan-perbuatan Tuhan yang kelihatannya menyimpang dari ketentuan akal, tidak bisa dikatakan buruk atau dhalim, seperti memberi pahala orang yang jahat atau menyiksa orang baik.  Dengan kata lain, perbuatan Tuhan tidak bisa dipersamakan dengan perbuatan manusia.[30]
Bagi Asy'ariah, Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia.  Karena hal ini bertentangan dengan faham kukuasaan mutlak Tuhan yang mereka anut.[31]  Dalam hal ini, kaum Maturudi golongan bukhara sefaham.[32]
Golongan Samarkand, memberi batasan kepada kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan, akan tetapi hampir sefaham dengan aliran Mu'tazilah,  yaitu faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, misalnya, kewajiban menepati janji, pemberikan upah dan pemberian hukuman.[33]

D.  Penutup

            Perbedaan faham semua aliran teologi  bersumber pada perbedaan mereka dalam menginterprestasikan setiap wahyu Tuhan. Hal ini senada dengan kajian fiqih, dari perbedaan interprestasi setiap Qur'an dan hadis, melahirkan berbagai madhab fiqih. [34]
            Pada hakekadnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi masih dalam Islam. Dengan demikian tiap orang bebas memilih salah satu dari aliran-aliran tersebut.  Hal ini serupa dengan kebebasan orang Islam dalam memilih madhab fiqh.[35]


DAFTAR PUSTAKA




Abd al-Jabar Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah,  Kairo:  Maktab Wahbah, 1965,  t.cet.
Ahmad Amin,  Dhuha al-Islam,  Kairo:  Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964, t.cet. 
Al-Asy’ari,  Maqaalaat al-Islamiyyin wa Ihhttilaaf (tejemah),  Bandung:  Pustaka Setia,  1998,  cet. ke-1

Hanafi,  Teologi Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,  2003),  cet. ke-8

Harun Nasution,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan,  Jakarta: UI-Pres,  1986,  cet. ke-5

          ,  Islam Ditinjau Dari Aspeknya,  Jakarta: UI-Pres,  1986,  cet. ke-6,  Jilid 2

Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,  Sejarah Pemikiran Ilmu Kalam,  Jakarta:  Pustaka Antara,  1996,  cet. ke-1




[1] Harun Nasution,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan,  (Jakarta: UI-Pres,  1986),  cet. ke-5,  h. 135
[2] Ibid.,  h. 123
[3] Golongan Mu'tazilah terbagi menjadi dua, yaitu aliran Basrah dan aliran Bagdad.  Lihat Ahmad Amin,  Duha Islam,  h. 96.  Aliran Basrah pemuka-pemukanya yaitu, Wasil bin Atha’, Amr Ibn Ubaid, Abu huzail al-Allaf, al-Nazzam, al-Jahiz dan Al-Juba’i.  Sedangkan aliran Bagdad di antaranya, Bisyr Ibn al-Mu'tazilah’tammar, Abu Nusa al-Murdar, Sumamah Ibn al-Asyras dan Ahmad Abi Du’ad.  Lihat, LSIK,  Sejarah Pemikiran Dalam Islam,  (Jakarta: Pustaka Antara,  1996),  cet. ke-1,  h. 56
[4] Ahmad Amin,  Duha al-Islam,  (Kairo:  Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964), t.cet.  h. 23
[5] Harun Nasution,  Islam Ditinjau Dari Aspeknya,  (Jakarta: UI-Pres,  1986),  cet. ke-6,  Jilid 2,  h. 40
[6] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 69;  Lihat, Hanafi,  Teologi Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,  2003),  cet. ke-8,  h. 133
[7] Lihat, al-Asy’ari,  Maqaalaat al-Islamiyyin wa Ihhttilaaf (tejemah),  Bandung:  Pustaka Setia,  1998),  cet. ke-1,  h. 96-99 dan 134-135 
[8] Lihat, Ibid.,   h. 229 
[9] Hanafi,  Teologi Islam,  (Jakarta:  Pustaka al-Husna,  2003),  cet. ke-8,  h. 89
[10] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 69;  Lihat, Hanafi,  Teologi Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,  2003),  cet. ke-8,  h. 137
[11] Ibid.
[12] Abd al-Jabar Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah,  (Kairo:  Maktab Wahbah, 1965), t.cet.,  h. 196
[13] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 138
[14] Ibid., 138-139
[15] Hanafi,  Teologi Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,  2003),  cet. ke-8,  h. 90
[16] Abd al-Jabar Ibn Ahmad, loc. cit., h. 252;  Lihat,  al-Asy’ari,  loc. cit.,  h. 221-222
[17] Abd al-Jabar Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah,  (Kairo:  Maktab Wahbah, 1965), 253
[18] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 139
[19] Ibid.;  Lihat,  al-Asy’ari,  op. cit.,  h. 286-287 
[20] LSIK,  op. cit.,  h. 70
[21] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 139;
[22] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 144
[23] Ibid.,  h. 146
[24] Ibid.,  h. 119
[25] Harun Nasution,  Ibid.,  h. 128 dan 132-133
[26] Ahmad Hanafi,  op. cit.,  h. 142
[27] Ibid.,  h. 143
[28] LSIK,  op. cit.,  h. 71
[29] Lihat, al-Asy’ari,  op. cit.,  h.251
[30] Ahmad Hanafi,  op. cit.,  h. 141
[31] Harun Nasution,  op. cit.,  h. 128
[32] Ibid.,  h. 128
[33] Ibid.,  h. 128
[34] Ibid.,  150;  Lihat, Ahmad Hanafi,  op. cit.,  h. 94
[35] Ibid.,  h. 152

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun