8 Feb 2016

PEPERANGAN ANTAR SAHABAT


A.  Pendahuluan
            Nabi Muhammad saw. dengan para sahabatnya telah berhasil membangun masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat Madani, dimana pengelolaan kehidupan bernegara dilandasi prinsip-prinsip dan etos Islam.  Pada saat itu, nabi berfungsi sebagai Rasul sekaligus kepala negara.[1]
            Setelah Rasul wafat tugasnya sebagai kepala pemerintahan dilanjutkan oleh khulafa ar-rasyidin, yaitu Abu Bakar, ‘Umar, Usman dan Ali.  Ali adalah orang tedekat dengan para khalifah lainnya, misalnya pada pemerintahan Abu Bakar dia selalu bersama-sama dengan Abu Bakar dalam menjalankan pemerintahan kekahalifahan Abu Bakar, kemudian pada masa kekhalifahan Umar dia sering dimintai nasehat oleh Umar dalam segala bentuk urusan, selanjutnya pada kekhalifahan Usman Ali selalu berada di samping Usman dalam menjalankan roda pemerintahan.  Pada saat terjadi pengepungan terhadap Usman, anak-anak Ali adalah orang yang melakukan pembelaan terhadap Usman.[2]  
Tradisi kehidupan masyarakat madani yang telah di bangun Nabi bersama sahabat terus dipertahankan.  Namun pada masa khalifah Usman ibn ‘Affan terjadi perpecahan antara sesama kaum muslimin.  Ada asumsi bahwa hal ini disebabkan oleh kebijaksanaan, dan kurang tegasnya khalifah Usman di dalam menangani persoalan yang muncul dari orang-orang dekatnya.  Dan persoalan KKN yang telah menimbulkan rasa tidak puas dan dendam rakyat.  Pada mulanya rakyat tidak puas  kemudian mulai meengeluh, dan setelah keluhannya tersebut memuncak beruba dalam bentuk ketidak taatan yang berakhir dengan pengepungan rumah usman dan membunuhnya.[3]
            Persoalan terbunuhnya Usman, menyebarnya fitnah di kota Madinah dan daerah-daerah Islam lainnya, serta tentang siapa pelaku pembunuhan Usman terus berlanjut sampai zaman Ali.  Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang haus kekuasaan untuk membangun konspirasi dan menjadikannya sebagai komoditas politik, untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, dengan dalih mencari  sipa pelaku pembunuhan Usman dan menuntut ditegakkannya qishas.[4]  Dalih inilah yang menimbulkan pertentangan dan perang saudara antar para sahabat Nabi yang menyebakan pertumpahan darah ratusan ribu kaum muslimin.  Di antara sahabat yang terlibat langsung dalam pertempuran malawan khalifah Ali bin Abi Thalib itu adalah orang-orang yang termasuk sahabat dekat Nabi.  Yaitu: Aisyah, Thalhah, Zubair, ‘Amr bin ‘Ash, dan Mu’awiyyah.[5]
            Peperangan antar para sahabat Nabi pada masa Ali ini menjadi bahan fitnah dan tertawaan orang-orang non muslim dari waktu ke waktu.  Hal ini merupakan lembaran hitam dalam sejarah peradapan Islam dan meninggalkan jejak kenangan yang memilukan dalam hati sanubari umat Islam sepanjang masa.[6]
            Perdasarkan beberapa uraian di atas, berikut ini akan diuraikan kembali sejarah tentang pertentangan dan peperangan antar sahabat dan latar belakang pertentangan dan peperangannya dengan tujuan untuk menggali informasi yang benar seputar peristiwa-peristiwa tersebut supaya kesalahan yang dilakukan oleh pendahulu kita, jangan sampai terulang kembali pada generasi berikunya.

B.  Latar Belakang Terjadinya Perang Antar Sahabat

            Setelah terjadi peristiwa tragis yang menimpa khalifah Usman, Ali dipilih dan dibai’at sebagai khalifah pengganti Usman bin Affan.  Penunjukan ini mendapat ligitimasi kuat dan luas dari kalangan umat Islam, terutama dari masyarakat lapisan bawah.  Mereka secara spontan dan berbondong-bondong mendatangi dan meminta kesediaan Ali untuk ditunjuk menjadi khalifah.[7]
            Pada mulanya Ali menolak penunjukan ini karena di antara massa yang hadir tidak terdapat seorangpun  ahli syura atau ahli badr.  Padahal menurut Ali, pada saat itu, siapa yang disetujui oleh ahli syura dan ahli badr maka dialah yang paling berhak untuk menjadi khalifah.  Namun desakan dari massa tersebut semakin kuat dan mereka bersikeras agar Ali bersedia dibai’at sehingga Ali tidak punya pilihan lain kecuali menerima bai’at tersebut.[8]
            Sementara itu terdapat sekelompok kecil golongan elite (keluarga Umayyah) yang tidak menyukai Ali sehingga menentang pembai’atan Ali, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.  Di sisi lain penolakan terhadap Ali berdasarkan asumsi bahwa penyerahan kursi kekhalifaan kepada Ali berarti penyerahannya secara turun temurun (kepada kalangan Bani Hasyim).[9]
            Golongan sahabat Nabi yang terkemuka, tidak ada yang sanggup menahan gerakan pembai’atan umat terhadap Ali, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang berani menghadapi gelombang masa yang menginginkan terjadinya reformasi total di segala bidang.  Sebagian mereka mau tidak mau mesti membai’at Ali, karena mereka mendapat tekanan yang kuat dari pendukung Ali, di antara sabahat Nabi yang enggan dan terpaksa membai’at Ali tersebut antara lain Thalhah dan Zubair, kemudian diikuti oleh kaum Muhajirin lainnya.  Sebagian sahabat yang lain mengambil sikap wait and see.[10]
            Menurut imam at-Thabari, pembai’atan terhadap Ali diterima oleh semua pihak, baik dari pihak Muhajirin maupun Anshar.  Menurutnya, sahabat yang menolak Ali menjadi khalifah hanya ingin menuntut pembunuh Usman diseret dulu ke pengadilan, baru setelah itu mereka akan membai’at Ali.  Mereka itu antara lain Aisyah, Thalah, dan Zubair.[11]
            Sedangkan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan mengakui kesenioran Ali, tetapi ia secara terang-terangan menolak membai’at Ali, dengan alasan Ali harus terlebih dahulu menyerahkan pembunuh Usman untuk diqishas.  Langkah Mu’awiyyah ini (penolakan terhadap Ali) diikuti oleh semua pejabat yang diangkat pada masa Usman, kemudian diberhentikan oleh Ali.[12]
            Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pebai’atan Ali bukanlah sepenuh hati seluruh kaum muslimin, bahkan mendapat banyak pertentangan, terutama yang berasal dari keluarga Umayyah.  Merekaah yang selalu memanas-manasi kaum muslimin agar menentang pembai’atan dan mengobarkan perlawanan terhadap Ali.[13]
            Menurut Hajmy, terbunuhnya Usman dan pembai’atan Ali menjadi khalifah mengakibatkan kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan besar, yaitu :[14]
1.           Golongan Usman di bawah pimpinan Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang mendengung-dengungkan semboyan menuntut darah Usman.  Dua sahabat terkenal Zubair dan Thalhah dan istri Nabi, berpihak pada golongan Usman.
2.           Golongan Ali yang menjadi tulang punggung Bani Hasyim.  Golongan Usman yang terdiri Mu’awiyyah dengan Thalah, Zubair dan ‘Aisyah tidak berada pada satu pihak.  Msing-masing mempunyai interest yang berbeda di tangan Mu’awiyyah, sementara kelompok Thalhah, Zubair dan Aisyah menginginkan jabatan khalifah jatuh ke tangan Bani Taim, yaitu Abdullah bin Zubair.
Kebijaksanaan yang mula-mula dilakukan Ali tatkala ia menjabat khalifah adalah memecat para gubernur dan para pejabat zalim dan tidak adil yang diangkat oleh Usman dapat dilakukan setelah negara dalam keadaan stabil.  Namun, beberapa orang sahabat berpendapat lain, yaitu sebaliknya Ali menunda pemecatan terhadap para pejabat tersebut, namun usulan sahabat ini ditolak oleh Ali.  Kenyataannya, penundaan,[15]  inilah yang dijadikan oleh Thalhah, zubair dan Aisyah serta mu’awiyyah untuk menentang Ali.  Tetapi agaknya, meski mengikuti saran dari beberapa sahabat tersebut, keadaannya akan tetap sama.  Sebab yang menjadi latar belakang pertentangan tersebut bukanlah semata-mata karena Ali menunda pengusutan terhadap pembunuhan Usman.[16]
Kebijakan Ali sebagaimana telah disebutkan di atas menimbulkan pertentangan dan perlawanan yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk makar dan pemberontakan.  Banyak peperangan yang terjadi di masa Ali, di antaranya adalah Perang Jamal dan Perang Siffin yang diselesaikan dengan bentuk takhkim.

C.  Perang Jamal[17]

            Sebelum terjadi pertentangan, mula-mula Ali mengirim surat kepada Mu’awiyyah untuk membai’atnya, namun Mu’awiyyah membalasnya dengan sepucuk surat kosong.  Oleh karena itu di Madinah, Mu’awiyyah dipandang sebagai orang yang durhaka dan halal darahnya.  Mu’awiyyah sendiri telah cukup persiapan untuk menyerang Ali dengan alasan menuntut bela atas darahnya Usman, karena dialah yang lebih berhak atas itu.[18]
            Mu’awiyyah bin  Abu Sufyan, Gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai khalifah.  Dia menuntut darah Usman pada Ali.  Sedangkan, Ali bin Abi Thalib tidak menjadikan masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya yang masih sangat labil.  Oleh karenanya, orang-orang Syam tidak taat lagi pada kekhalifahan Ali dan mu’awiyyah menyatakan memisahkan diri dari kekhalifahannya.  Maka, Ali segera menetapkan untuk memeranginya.  Barangkali Ali bersama pasukan dari Kuffah, dia telah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.[19]
            Pada saat itu juga Aisyah yang disertai Zubair dan Thalhah serta kaum muslimin yang berasal dari makkah juga menuju Basrah untuk menetap di sana, mereka sampai di sana dan menguasai Basrah.  Bahkan mereka berhasil meringkus para pembunuh Usman.[20]
            Sementara itu, Thalhah, Zubair, dan Aisyah bermaksud pula menyerang Ali.  Mereka telah berangkat ke Bashrah mengatur tentara untuk melawan Ali dengan dalih yang jauh beda dengan Mu’awiyah.  Rencana Thalhah, Zubair, dan Aisyah tersebut dapat diketahui Ali melalui Amir Bashrah, yaitu Usman Ibn Hanaif.[21]  Akhirnya Ali menunda niatnya menyerang Syam dan berbelok ke Bashrah lebih dahulu karena kekuatannya lebih kecil.[22]
            Pertama-tama Ali mengusahakan supaya Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka dan mengingatkan sebagian dari mereka yang mengangkat sumpah setia dan pembai’atan kepadanya.  Perundingan hampir berhasil, namun dipecahkan oleh kelompok Saba’iyah (kelompok Abdullah bin Saba’)[23].  Maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum muslimin yang terkenal dengan Perang Jamal.[24]
            Pada perang Jamal ini pasukan Basrah kalah perang, akan tetapi Ali memperlakukan Aisyah dengan sebaik-baiknya dan mengembalikannya ke Makkah.  Ini perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum muslimin.  Pada perang ini banyak kaum muslimin yang terbunuh, sebagian sejarawan menyebutkan antara sekitar 10.000 yang terbunuh.  Maka, sejak itu Basrah masuk secara penuh dalam pemerintahan Ali dan dia pun melanjutkan perjalanan ke Basrah.[25]
Dengan adanya keterangan-keterangan yang telah terpaparkan di atas, tampak jelas bahwa Ali tidak menginginkan terjadinya peperangan, apalagi melawan dengan para sahabat Nabi atau bahkan  pada istri Nabi, yaitu Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Sebenarnya Aisyah, Thalhah, dan Zubair pun juga tidak menginginkan peperangan, pererangan itu terjadi karena masing-masing mempertahankan prinsip-prinsip dan keyakinan mereka masing-masing tentang sebuah kebenaran kebenaran dalam koridir mereka.
Karena adanya pihak ketiga yang menghasut, yaitu golongan Saba’iyyah,  betapapun Ali menghindari pertempuran melawan Aisyah, Zubair dan Thalhah. tapi peperangan itu tetap terjadi.
           
D.  Perang Siffin[26]
            Pasca perang Jamal, terjadi lagi perang Siffin.  Perang ini terjadi antara Ali dan Mu’awiyyah, delegasi yang diutus oleh Ali yaitu, Jari Ibn Abdullah al-Bajali kepada Mu’awiyyah agar membai’at Ali,[27] tetapi Mu’awiyyah menolak dengan alasan menuntut kematian Usman.[28]  Bahkan Mu’awiyyah pun sampai mengancam Ali dengan peperangan.  Oleh karena itu Ali kemudian menganggap perang tidak dapat dielakkkan lagi.  Akhirnya terjadilah peperangan antara Ali dengan Mu’awiyyah.  Ketika Ali hampir memenangkan pertempuran, kelompok Mu’awiyyah yang dipimpin oleh Amr Ibn Ash mengangkat mushaf di atas pedang sebagai isyarat damai.[29]  Siasat yang dilakukan oleh Amr bin Ash, panglima pasukan Mu’awiyyah, untuk menghentikan perang ini ternyata berhasil dan pertempuranpun segera berhenti.  Kedua belah pihak mengadakan perundingan, namun keduanya tidak sampai ada kata sepakat.[30]
            Ali sudah berkeyakinan bahwa hal itu hanya tipuan saja.  Namun sebagian pihaknya tidak mau meneruskan peperangan dan mengancam akan mengembalikan senjata ke arah Ali jika meneruskan peperangan, karena mereka melihat “simbol perdamaian”.  Melihat suara pengikutnya akan pecah akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan.[31]
            Untuk menyelesaikan persengketaan kelompok Ali dengan Mu’awiyyah, maka diadakan tahkim.  Kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan kelompok Mu’awiyyah diwakili oleh Amr Ibn Ash.[32]  Namun peristiwa ini berakhir denga kekalahan politik Ali.  Mu’awiyyah mempergunakan kelicikan Amr Ibn Ash untuk merebut kekhalifahan dari tangan Ali.  Inilah salah satu bukti bahwa Mu’awiyyah menginginkan jabatan khalifah.  Peristiwa tahkim yang ia ajukan hanyalah karena ia khawatir kalah perang melawan Ali, bukan untuk perdamaian.[33]
            Setelah peristiwa tahkim, kelompok Ali terpecah menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khawarij.  Dan tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh salah seorang Khawarij, yang bernama Ibnu Maljan, ketika akan menunaikan shalat Subuh.[34]
            Perselisihan antara Ali dan Mu’awiyyah sebagai konsekuensi solidaritas sosial yang timbul, mereka dipedomani oleh kebenaran dan ijtihad.  Mereka tidak berperang untuk tujuan duniawi atau untuk preferensi yang tak berharga, atau untuk kebencian personal, sebagaimana disangkakan oleh sebagian orang dan diperkirakan oleh orang-orang ateis (mulhid).  Akan tetapi, sebab perselisian mereka adalah ijtihat tentang kebenaran.  Masing-masing menentang pendapat sahabatnya dengan ijtihadnya tentang kebenaran itu.  Mereka saling menyerang, meskipun sebenarnya Ali yang benar, tujuan Mu’awiyyah tidaklah jahat.  Sesungguhnya dia ingin memperoleh kebenaran, intinya tujuan mereka sama-sama didasari kebenaran.[35]

E.  Perang Nahrawan

            Orang Khawarij adalah pasukan yang berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Mereka malah melakukan pemberontakan kepada Ali setelah terjadinya arbiterasi dan mencopotnya dari kekuasannya dengan alasan bahwa dia menerima tahkim.  Anehnya, kebanyakan dari mereka pun menyingkir ke kawasan Harura’ dan terus melancarkan perang.[36]
            Kelompok ini semakin lama semakain banyak dan berkumpul di wilayah Nahawan.  Mereka mulai membunuh kaum muslimin dan menebarkan kerusakan di muka bumi.  Maka, berangkatlah Ali menemui mereka dan berdiskusi dengan mereka dalam jangka yang lama.  Dia menjelaskan kesalahan jalan yang mereka tempuh dengan segala cara.  Akhirnya, sebagian dari mereka terus saja melancarkan perang.[37]
            Akhirnya, perang meletus dan Ali berhasil menghancurkan mereka.  Hanya sedikit dari mereka yang selamat, tidak lebih dari puluhan.  Dampak negatif dari perang ini adalah bahwa mereka itu menyebar kemana-mana.  Dua di antaranya ke Amman, dua ke Karman, dua ke Sajistan, dua ke Jazirah Arab, dan satu orang ke Yaman.  Mereka masing-masing membangun jamaah.[38]






KESIMPULAN



            Dari beberapa uraian singkat tersebut di atas, penulis meemberikan beberapa kesimpulan, di antaranya:
            Ali bin Abi Thalib adalah seorang figur pemimpin yang yang cukup bijaksana. Dia tidak menginginkan pererangan dengan siapapun, apalagi dengan para sahabat Nabi.  Ali terlibat peperangan dengan para sahabat lain karena mempertahankan diri dan mempertahankan kehormatan seorang pemimpin sejati, bukan karena hawa nafsu yang didahulukan, akan tetapi demi untuk mempertahankan sebuah kebenaran seorang pemimpin umat.
            Mu’awiyah yang terlibat peperanganpun, bukan karena menuntut jabatan sebagaimana tudingan orang-orang yahudi (orang-orang orientalis barat dan para ateis) yang mengeklaim Muawiyyah seorang figure yang haus jabatan.  Sebagaimana telah kita ketahui dari sejarah Islam, bahwa Mu’awiyah salah seorang sahabat Nabi saw. yang ikut berjuang demi tegaknya syariat Islam dan salah satu penulis wahyu al-Qur'an, mana mungkin seorang yang begitu alim terjebak dalam kehidupan yang dipenuhi nafsu duniawi semata.  Peperangan itu terjadi bukan karena Mu’awiyah menginginkan jabatan, akan tetapi Mu’awiyah ingin menuntut sebuah keadilan, karena keadilan adalah suatu bagian yang harus ditegakkan di tengah-tengan Islam.  Serta peperangan itu terjadi karena diboncengi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sekitar Mu’awiyah.
            Aisyah, Zubair dan Thalhah, juga terlibat peperangan atas dasar prinsip menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi ini (di golongan umat Islam), bukan karena mementingkan kepentingan yang bersifat individual semata.  Sebenarnya apa untungnya bagi Aisyah terlibat peperangan, yang apalagi lawannya adalah salah seorang sahabat Nabi saw. yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam, sebagaimana kita tahu bahwa Aisyah itu adalah seorang istri Rasul dan salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis Nabi.  Jadi Aisyah terlibat peperangan itu karena juga ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.               


Wa Allahu A’lam

 


























DAFTAR PUSTAKA


Al-‘Usairy, Ahmad,   at-Tarikh al-Islami;  Terjemah,  Jakarta: Akar Media Eka Sarana,  2003,  cet. ke-2

Audah,  Ali,  Ali bin Abi Talib Sampai kepada Hasan dan Hisain,  Jakarta: Litera Antar Nusa,  2003),  cet. ke-1

Al-Busti,  Abi Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi,  as-Sirah an-Nabawiyyah wa Ahbar al-Khulafa’,  Bairut: Muasasah al-Kutub as-Saqafiyyah,  1978,  cet. ke-1

As-Suyuti Jalal al-din,  Tarikh al-Khulafa’,  Mesir: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,  t.th.),  t.cet.

Adz-Dzahabi,  Siyar a’lam an-Nubala,  Bairut: Dar Fikr,  1985),  t.cet.

Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  Sejarah Peradaban Islam,  Jakarta: Pustaka Asatrus,  2004,  cet. ke-1

Ibnu Khaldun,  Muqaddimah Ibn Khaldun,  Jakarta: Pustaka Firdaus,  1986),  cet. ke-1






[1] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  Sejarah Peradaban Islam,  Jakarta: Pustaka Asatrus,  2004),  cet. ke-1,  h. 41

[2] Ahmad al-‘Usairy,  at-Tarikh al-Islami;  Terjemah,  (Jakarta: Akar Media Eka Sarana,  2003),  cet. ke-2,  h. 172

[3] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  Loc. cit.

[4] Lihat, Abi Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi al-Busti,  ,  as-Sirah an-Nabawiyyah wa Ahbar al-Khulafa’,  Bairut: Muasasah al-Kutub as-Saqafiyyah,  1978,  cet. ke-1,  h. 543

[5] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  op. cit.,  h. 42

[6] Ibid.

[7] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit., 

[8] Ibid.

[9]Al-Busti,  Abi Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi,  op. cit.,  h. 540

[10] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  op. cit.,  h. 43

[11] Ibid.

[12] Ali Audah,    Ali bin Abi Talib Sampai kepada Hasan dan Hisain,  Jakarta: Litera Antar Nusa,  2003),  cet. ke-1,  h. 287

[13] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  op. cit.,  h. 43

[14] Ibid., 44
[15] Lihat,  Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,  h. 173

[16] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit..

[17] Perang Jamal adalah, peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dengan para pemberontak, dan di dalam peperangan tersebut ada Aisyah (istri Nabi) yang sedang di dalam tandu dan dalam keadaan naik onta.  Oleh karena itu perang tersebut dimailah perang Jamal yang berarti onta.
[18] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  op. cit.,  h. 45;  Lihat,  Ali Audah,  op. cit.,  h. 274

[19] Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,   h. 172

[20] Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,   h. 174

[21] Lihat,  Abi Hatim,  op. cit.,  h. 545

[22] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  op. cit.,  h. 41

[23] Ahmad al-‘Usairy,  loc. cit.

[24] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit.

[25] Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,  h. 172

[26] Perang yang terjadi di wilayah timur Syam.  Antara Ali dan Mu’awiyyah.

[27] Ahmad al-‘Usairy, op. cit.,  h. 175

[28] Abi Hatim,  op. cit.,  h. 457

[29] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit.

[30] Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,  h. 175

[31] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit.

[32] Jalal al-din as-Suyuti,  Tarikh al-Khulafa’,  (Mesir: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,  t.th.),  t.cet,  h. 163

[33] Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,  loc. cit.

[34] Ibid.

[35] Ibnu Khaldun,  Muqaddimah Ibn Khaldun;  terjemah,  (Jakarta:  Pustaka Firdaus,  1986),  cet. ke-1,  h. 253

[36] Ahmad al-‘Usairy,  op. cit.,  h. 172

[37] Ibid.

[38] Ibid.

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun