A. Pendahuluan
Nabi Muhammad saw. dengan para
sahabatnya telah berhasil membangun masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat Madani,
dimana pengelolaan kehidupan bernegara dilandasi prinsip-prinsip dan etos
Islam. Pada saat itu, nabi berfungsi
sebagai Rasul sekaligus kepala negara.[1]
Setelah Rasul wafat tugasnya sebagai
kepala pemerintahan dilanjutkan oleh khulafa ar-rasyidin, yaitu Abu
Bakar, ‘Umar, Usman dan Ali. Ali adalah
orang tedekat dengan para khalifah lainnya, misalnya pada pemerintahan Abu
Bakar dia selalu bersama-sama dengan Abu Bakar dalam menjalankan pemerintahan
kekahalifahan Abu Bakar, kemudian pada masa kekhalifahan Umar dia sering
dimintai nasehat oleh Umar dalam segala bentuk urusan, selanjutnya pada
kekhalifahan Usman Ali selalu berada di samping Usman dalam menjalankan roda
pemerintahan. Pada saat terjadi
pengepungan terhadap Usman, anak-anak Ali adalah orang yang melakukan pembelaan
terhadap Usman.[2]
Tradisi kehidupan masyarakat madani yang telah di bangun Nabi bersama
sahabat terus dipertahankan. Namun pada
masa khalifah Usman ibn ‘Affan terjadi perpecahan antara sesama kaum
muslimin. Ada asumsi bahwa hal ini
disebabkan oleh kebijaksanaan, dan kurang tegasnya khalifah Usman di dalam
menangani persoalan yang muncul dari orang-orang dekatnya. Dan persoalan KKN yang telah
menimbulkan rasa tidak puas dan dendam rakyat.
Pada mulanya rakyat tidak puas
kemudian mulai meengeluh, dan setelah keluhannya tersebut memuncak
beruba dalam bentuk ketidak taatan yang berakhir dengan pengepungan rumah usman
dan membunuhnya.[3]
Persoalan
terbunuhnya Usman, menyebarnya fitnah di kota Madinah dan daerah-daerah Islam
lainnya, serta tentang siapa pelaku pembunuhan Usman terus berlanjut sampai
zaman Ali. Kondisi tersebut dimanfaatkan
oleh kelompok-kelompok yang haus kekuasaan untuk membangun konspirasi dan
menjadikannya sebagai komoditas politik, untuk menggulingkan pemerintahan yang
sah, dengan dalih mencari sipa pelaku
pembunuhan Usman dan menuntut ditegakkannya qishas.[4] Dalih inilah yang menimbulkan pertentangan
dan perang saudara antar para sahabat Nabi yang menyebakan pertumpahan darah
ratusan ribu kaum muslimin. Di antara
sahabat yang terlibat langsung dalam pertempuran malawan khalifah Ali bin Abi
Thalib itu adalah orang-orang yang termasuk sahabat dekat Nabi. Yaitu: Aisyah, Thalhah, Zubair, ‘Amr bin
‘Ash, dan Mu’awiyyah.[5]
Peperangan
antar para sahabat Nabi pada masa Ali ini menjadi bahan fitnah dan tertawaan
orang-orang non muslim dari waktu ke waktu.
Hal ini merupakan lembaran hitam dalam sejarah peradapan Islam dan
meninggalkan jejak kenangan yang memilukan dalam hati sanubari umat Islam
sepanjang masa.[6]
Perdasarkan
beberapa uraian di atas, berikut ini akan diuraikan kembali sejarah tentang
pertentangan dan peperangan antar sahabat dan latar belakang pertentangan dan
peperangannya dengan tujuan untuk menggali informasi yang benar seputar
peristiwa-peristiwa tersebut supaya kesalahan yang dilakukan oleh pendahulu
kita, jangan sampai terulang kembali pada generasi berikunya.
B. Latar Belakang Terjadinya Perang Antar Sahabat
Setelah terjadi peristiwa tragis
yang menimpa khalifah Usman, Ali dipilih dan dibai’at sebagai khalifah
pengganti Usman bin Affan. Penunjukan
ini mendapat ligitimasi kuat dan luas dari kalangan umat Islam, terutama
dari masyarakat lapisan bawah. Mereka
secara spontan dan berbondong-bondong mendatangi dan meminta kesediaan Ali
untuk ditunjuk menjadi khalifah.[7]
Pada mulanya Ali menolak penunjukan
ini karena di antara massa yang hadir tidak terdapat seorangpun ahli syura atau ahli badr. Padahal menurut Ali, pada saat itu, siapa
yang disetujui oleh ahli syura dan ahli badr maka dialah yang
paling berhak untuk menjadi khalifah.
Namun desakan dari massa tersebut semakin kuat dan mereka bersikeras agar
Ali bersedia dibai’at sehingga Ali tidak punya pilihan lain kecuali menerima bai’at
tersebut.[8]
Sementara itu terdapat sekelompok
kecil golongan elite (keluarga Umayyah) yang tidak menyukai Ali sehingga
menentang pembai’atan Ali, baik secara terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi. Di sisi lain
penolakan terhadap Ali berdasarkan asumsi bahwa penyerahan kursi kekhalifaan
kepada Ali berarti penyerahannya secara turun temurun (kepada kalangan Bani
Hasyim).[9]
Golongan sahabat Nabi yang
terkemuka, tidak ada yang sanggup menahan gerakan pembai’atan umat
terhadap Ali, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang berani menghadapi
gelombang masa yang menginginkan terjadinya reformasi total di segala
bidang. Sebagian mereka mau tidak mau
mesti membai’at Ali, karena mereka mendapat tekanan yang kuat dari
pendukung Ali, di antara sabahat Nabi yang enggan dan terpaksa membai’at
Ali tersebut antara lain Thalhah dan Zubair, kemudian diikuti oleh kaum
Muhajirin lainnya. Sebagian sahabat yang
lain mengambil sikap wait and see.[10]
Menurut imam at-Thabari, pembai’atan
terhadap Ali diterima oleh semua pihak, baik dari pihak Muhajirin maupun
Anshar. Menurutnya, sahabat yang menolak
Ali menjadi khalifah hanya ingin menuntut pembunuh Usman diseret dulu ke
pengadilan, baru setelah itu mereka akan membai’at Ali. Mereka itu antara lain Aisyah, Thalah, dan
Zubair.[11]
Sedangkan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
mengakui kesenioran Ali, tetapi ia secara terang-terangan menolak membai’at
Ali, dengan alasan Ali harus terlebih dahulu menyerahkan pembunuh Usman untuk
diqishas. Langkah Mu’awiyyah ini
(penolakan terhadap Ali) diikuti oleh semua pejabat yang diangkat pada masa
Usman, kemudian diberhentikan oleh Ali.[12]
Dengan memperhatikan uraian di atas,
dapat dikatakan bahwa pebai’atan Ali bukanlah sepenuh hati seluruh kaum
muslimin, bahkan mendapat banyak pertentangan, terutama yang berasal dari
keluarga Umayyah. Merekaah yang selalu
memanas-manasi kaum muslimin agar menentang pembai’atan dan mengobarkan
perlawanan terhadap Ali.[13]
Menurut Hajmy, terbunuhnya Usman dan
pembai’atan Ali menjadi khalifah mengakibatkan kaum muslimin terpecah
menjadi dua golongan besar, yaitu :[14]
1.
Golongan Usman di bawah pimpinan
Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang mendengung-dengungkan semboyan menuntut darah
Usman. Dua sahabat terkenal Zubair dan
Thalhah dan istri Nabi, berpihak pada golongan Usman.
2.
Golongan Ali yang menjadi tulang punggung
Bani Hasyim. Golongan Usman yang terdiri
Mu’awiyyah dengan Thalah, Zubair dan ‘Aisyah tidak berada pada satu pihak. Msing-masing mempunyai interest yang
berbeda di tangan Mu’awiyyah, sementara kelompok Thalhah, Zubair dan Aisyah
menginginkan jabatan khalifah jatuh ke tangan Bani Taim, yaitu Abdullah bin
Zubair.
Kebijaksanaan yang mula-mula dilakukan Ali tatkala ia menjabat khalifah
adalah memecat para gubernur dan para pejabat zalim dan tidak adil
yang diangkat oleh Usman dapat dilakukan setelah negara dalam keadaan
stabil. Namun, beberapa orang sahabat
berpendapat lain, yaitu sebaliknya Ali menunda pemecatan terhadap para pejabat
tersebut, namun usulan sahabat ini ditolak oleh Ali. Kenyataannya, penundaan,[15] inilah yang dijadikan oleh Thalhah, zubair
dan Aisyah serta mu’awiyyah untuk menentang Ali. Tetapi agaknya, meski mengikuti saran dari
beberapa sahabat tersebut, keadaannya akan tetap sama. Sebab yang menjadi latar belakang
pertentangan tersebut bukanlah semata-mata karena Ali menunda pengusutan
terhadap pembunuhan Usman.[16]
Kebijakan Ali sebagaimana telah disebutkan di atas menimbulkan
pertentangan dan perlawanan yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk makar dan
pemberontakan. Banyak peperangan yang
terjadi di masa Ali, di antaranya adalah Perang Jamal dan Perang Siffin yang
diselesaikan dengan bentuk takhkim.
C. Perang Jamal[17]
Sebelum terjadi pertentangan,
mula-mula Ali mengirim surat kepada Mu’awiyyah untuk membai’atnya, namun
Mu’awiyyah membalasnya dengan sepucuk surat kosong. Oleh karena itu di Madinah, Mu’awiyyah
dipandang sebagai orang yang durhaka dan halal darahnya. Mu’awiyyah sendiri telah cukup persiapan
untuk menyerang Ali dengan alasan menuntut bela atas darahnya Usman, karena
dialah yang lebih berhak atas itu.[18]
Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam, tidak membaiat Ali
sebagai khalifah. Dia menuntut
darah Usman pada Ali. Sedangkan, Ali bin
Abi Thalib tidak menjadikan masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya
yang masih sangat labil. Oleh karenanya,
orang-orang Syam tidak taat lagi pada kekhalifahan Ali dan mu’awiyyah
menyatakan memisahkan diri dari kekhalifahannya. Maka, Ali segera menetapkan untuk
memeranginya. Barangkali Ali bersama
pasukan dari Kuffah, dia telah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke
Kuffah.[19]
Pada saat itu juga Aisyah yang
disertai Zubair dan Thalhah serta kaum muslimin yang berasal dari makkah juga
menuju Basrah untuk menetap di sana, mereka sampai di sana dan menguasai
Basrah. Bahkan mereka berhasil meringkus
para pembunuh Usman.[20]
Sementara itu, Thalhah, Zubair, dan
Aisyah bermaksud pula menyerang Ali.
Mereka telah berangkat ke Bashrah mengatur tentara untuk melawan Ali
dengan dalih yang jauh beda dengan Mu’awiyah.
Rencana Thalhah, Zubair, dan Aisyah tersebut dapat diketahui Ali melalui
Amir Bashrah, yaitu Usman Ibn Hanaif.[21] Akhirnya Ali menunda niatnya menyerang Syam
dan berbelok ke Bashrah lebih dahulu karena kekuatannya lebih kecil.[22]
Pertama-tama Ali mengusahakan supaya
Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka dan mengingatkan
sebagian dari mereka yang mengangkat sumpah setia dan pembai’atan
kepadanya. Perundingan hampir berhasil,
namun dipecahkan oleh kelompok Saba’iyah (kelompok Abdullah bin Saba’)[23]. Maka terjadilah pertempuran antara dua
golongan kaum muslimin yang terkenal dengan Perang Jamal.[24]
Pada perang Jamal ini pasukan
Basrah kalah perang, akan tetapi Ali memperlakukan Aisyah dengan sebaik-baiknya
dan mengembalikannya ke Makkah. Ini
perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum muslimin. Pada perang ini banyak kaum muslimin yang
terbunuh, sebagian sejarawan menyebutkan antara sekitar 10.000 yang
terbunuh. Maka, sejak itu Basrah masuk
secara penuh dalam pemerintahan Ali dan dia pun melanjutkan perjalanan ke
Basrah.[25]
Dengan adanya keterangan-keterangan yang telah terpaparkan di atas,
tampak jelas bahwa Ali tidak menginginkan terjadinya peperangan, apalagi
melawan dengan para sahabat Nabi atau bahkan
pada istri Nabi, yaitu Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Sebenarnya Aisyah,
Thalhah, dan Zubair pun juga tidak menginginkan peperangan, pererangan itu
terjadi karena masing-masing mempertahankan prinsip-prinsip dan keyakinan
mereka masing-masing tentang sebuah kebenaran kebenaran dalam koridir mereka.
Karena adanya pihak ketiga yang menghasut, yaitu golongan Saba’iyyah, betapapun Ali menghindari pertempuran melawan
Aisyah, Zubair dan Thalhah. tapi peperangan itu tetap terjadi.
D. Perang Siffin[26]
Pasca perang Jamal, terjadi
lagi perang Siffin. Perang ini
terjadi antara Ali dan Mu’awiyyah, delegasi yang diutus oleh Ali yaitu, Jari
Ibn Abdullah al-Bajali kepada Mu’awiyyah agar membai’at Ali,[27]
tetapi Mu’awiyyah menolak dengan alasan menuntut kematian Usman.[28] Bahkan Mu’awiyyah pun sampai mengancam Ali
dengan peperangan. Oleh karena itu Ali
kemudian menganggap perang tidak dapat dielakkkan lagi. Akhirnya terjadilah peperangan antara Ali
dengan Mu’awiyyah. Ketika Ali hampir
memenangkan pertempuran, kelompok Mu’awiyyah yang dipimpin oleh Amr Ibn Ash
mengangkat mushaf di atas pedang sebagai isyarat damai.[29] Siasat yang dilakukan oleh Amr bin Ash,
panglima pasukan Mu’awiyyah, untuk menghentikan perang ini ternyata berhasil
dan pertempuranpun segera berhenti.
Kedua belah pihak mengadakan perundingan, namun keduanya tidak sampai
ada kata sepakat.[30]
Ali sudah berkeyakinan bahwa hal itu
hanya tipuan saja. Namun sebagian
pihaknya tidak mau meneruskan peperangan dan mengancam akan mengembalikan
senjata ke arah Ali jika meneruskan peperangan, karena mereka melihat “simbol
perdamaian”. Melihat suara
pengikutnya akan pecah akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan.[31]
Untuk menyelesaikan persengketaan
kelompok Ali dengan Mu’awiyyah, maka diadakan tahkim. Kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa
al-Asy’ari dan kelompok Mu’awiyyah diwakili oleh Amr Ibn Ash.[32] Namun peristiwa ini berakhir denga kekalahan
politik Ali. Mu’awiyyah mempergunakan
kelicikan Amr Ibn Ash untuk merebut kekhalifahan dari tangan Ali. Inilah salah satu bukti bahwa Mu’awiyyah
menginginkan jabatan khalifah. Peristiwa
tahkim yang ia ajukan hanyalah karena ia khawatir kalah perang melawan
Ali, bukan untuk perdamaian.[33]
Setelah peristiwa tahkim,
kelompok Ali terpecah menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khawarij. Dan tidak lama setelah itu, Ali bin Abi
Thalib terbunuh oleh salah seorang Khawarij, yang bernama Ibnu Maljan, ketika
akan menunaikan shalat Subuh.[34]
Perselisihan antara Ali dan
Mu’awiyyah sebagai konsekuensi solidaritas sosial yang timbul, mereka
dipedomani oleh kebenaran dan ijtihad.
Mereka tidak berperang untuk tujuan duniawi atau untuk preferensi
yang tak berharga, atau untuk kebencian personal, sebagaimana disangkakan oleh
sebagian orang dan diperkirakan oleh orang-orang ateis (mulhid). Akan tetapi, sebab perselisian mereka adalah ijtihat
tentang kebenaran. Masing-masing
menentang pendapat sahabatnya dengan ijtihadnya tentang kebenaran
itu. Mereka saling menyerang, meskipun
sebenarnya Ali yang benar, tujuan Mu’awiyyah tidaklah jahat. Sesungguhnya dia ingin memperoleh kebenaran,
intinya tujuan mereka sama-sama didasari kebenaran.[35]
E. Perang Nahrawan
Orang
Khawarij adalah pasukan yang berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Mereka malah
melakukan pemberontakan kepada Ali setelah terjadinya arbiterasi dan
mencopotnya dari kekuasannya dengan alasan bahwa dia menerima tahkim. Anehnya, kebanyakan dari mereka pun
menyingkir ke kawasan Harura’ dan terus melancarkan perang.[36]
Kelompok ini semakin lama semakain
banyak dan berkumpul di wilayah Nahawan.
Mereka mulai membunuh kaum muslimin dan menebarkan kerusakan di muka
bumi. Maka, berangkatlah Ali menemui
mereka dan berdiskusi dengan mereka dalam jangka yang lama. Dia menjelaskan kesalahan jalan yang mereka
tempuh dengan segala cara. Akhirnya,
sebagian dari mereka terus saja melancarkan perang.[37]
Akhirnya, perang meletus dan Ali
berhasil menghancurkan mereka. Hanya
sedikit dari mereka yang selamat, tidak lebih dari puluhan. Dampak negatif dari perang ini adalah bahwa
mereka itu menyebar kemana-mana. Dua di
antaranya ke Amman, dua ke Karman, dua ke Sajistan, dua ke Jazirah Arab, dan
satu orang ke Yaman. Mereka
masing-masing membangun jamaah.[38]
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian singkat
tersebut di atas, penulis meemberikan beberapa kesimpulan, di antaranya:
Ali bin Abi Thalib adalah seorang
figur pemimpin yang yang cukup bijaksana. Dia tidak menginginkan pererangan
dengan siapapun, apalagi dengan para sahabat Nabi. Ali terlibat peperangan dengan para sahabat
lain karena mempertahankan diri dan mempertahankan kehormatan seorang pemimpin
sejati, bukan karena hawa nafsu yang didahulukan, akan tetapi demi untuk
mempertahankan sebuah kebenaran seorang pemimpin umat.
Mu’awiyah yang terlibat
peperanganpun, bukan karena menuntut jabatan sebagaimana tudingan orang-orang
yahudi (orang-orang orientalis barat dan para ateis) yang mengeklaim Muawiyyah
seorang figure yang haus jabatan.
Sebagaimana telah kita ketahui dari sejarah Islam, bahwa Mu’awiyah salah
seorang sahabat Nabi saw. yang ikut berjuang demi tegaknya syariat Islam dan
salah satu penulis wahyu al-Qur'an, mana mungkin seorang yang begitu alim
terjebak dalam kehidupan yang dipenuhi nafsu duniawi semata. Peperangan itu terjadi bukan karena Mu’awiyah
menginginkan jabatan, akan tetapi Mu’awiyah ingin menuntut sebuah keadilan,
karena keadilan adalah suatu bagian yang harus ditegakkan di tengah-tengan
Islam. Serta peperangan itu terjadi
karena diboncengi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sekitar
Mu’awiyah.
Aisyah, Zubair dan Thalhah, juga
terlibat peperangan atas dasar prinsip menegakkan kebenaran dan keadilan di
bumi ini (di golongan umat Islam), bukan karena mementingkan kepentingan yang
bersifat individual semata. Sebenarnya
apa untungnya bagi Aisyah terlibat peperangan, yang apalagi lawannya adalah
salah seorang sahabat Nabi saw. yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
syariat Islam, sebagaimana kita tahu bahwa Aisyah itu adalah seorang istri
Rasul dan salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis Nabi. Jadi Aisyah terlibat peperangan itu karena
juga ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.
Wa Allahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Usairy, Ahmad,
at-Tarikh al-Islami;
Terjemah, Jakarta: Akar Media Eka
Sarana, 2003, cet. ke-2
Audah,
Ali, Ali bin Abi Talib
Sampai kepada Hasan dan Hisain,
Jakarta: Litera Antar Nusa,
2003), cet. ke-1
Al-Busti, Abi
Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi,
as-Sirah an-Nabawiyyah wa Ahbar al-Khulafa’, Bairut: Muasasah al-Kutub as-Saqafiyyah, 1978,
cet. ke-1
As-Suyuti Jalal al-din, Tarikh al-Khulafa’, Mesir: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, t.th.),
t.cet.
Adz-Dzahabi, Siyar
a’lam an-Nubala, Bairut: Dar
Fikr, 1985), t.cet.
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatrus, 2004,
cet. ke-1
Ibnu Khaldun, Muqaddimah
Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), cet. ke-1
[1]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar,
Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Pustaka Asatrus,
2004), cet. ke-1, h. 41
[2]
Ahmad al-‘Usairy, at-Tarikh
al-Islami; Terjemah, (Jakarta: Akar Media Eka Sarana, 2003),
cet. ke-2, h. 172
[3]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, Loc.
cit.
[4]
Lihat, Abi Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi al-Busti, , as-Sirah
an-Nabawiyyah wa Ahbar al-Khulafa’,
Bairut: Muasasah al-Kutub as-Saqafiyyah,
1978, cet. ke-1, h. 543
[5]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, op.
cit., h. 42
[6]
Ibid.
[7]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit.,
[8]
Ibid.
[9]Al-Busti, Abi Hatim Muhammad bin Hiban ibn Ahmad al-Taimi, op. cit., h. 540
[10]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, op.
cit., h. 43
[11]
Ibid.
[12] Ali Audah, Ali
bin Abi Talib Sampai kepada Hasan dan Hisain, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2003),
cet. ke-1, h. 287
[13]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, op.
cit., h. 43
[14]
Ibid., 44
[15]
Lihat, Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 173
[16]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit..
[17] Perang
Jamal adalah, peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dengan
para pemberontak, dan di dalam peperangan tersebut ada Aisyah (istri Nabi) yang
sedang di dalam tandu dan dalam keadaan naik onta. Oleh karena itu perang tersebut dimailah
perang Jamal yang berarti onta.
[18]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, op.
cit., h. 45; Lihat,
Ali Audah, op. cit., h. 274
[19]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 172
[20]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 174
[21]
Lihat, Abi Hatim, op. cit., h. 545
[22]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, op.
cit., h. 41
[23]
Ahmad al-‘Usairy, loc. cit.
[24]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit.
[25]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 172
[26] Perang
yang terjadi di wilayah timur Syam.
Antara Ali dan Mu’awiyyah.
[27]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit.,
h. 175
[28]
Abi Hatim, op. cit., h. 457
[29]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit.
[30]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 175
[31]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit.
[32]
Jalal al-din as-Suyuti, Tarikh
al-Khulafa’, (Mesir: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, t.th.), t.cet,
h. 163
[33]
Fadlah, Ta’rifin dan Edyar, loc.
cit.
[34] Ibid.
[35]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn
Khaldun; terjemah, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986), cet. ke-1,
h. 253
[36]
Ahmad al-‘Usairy, op. cit., h. 172
[37] Ibid.
[38] Ibid.
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun