A. Pengertian Rasm Al Qur’an
Istilah Rasm Al Qur’an[1]
terdiri dari dua kata : rasm dan Al Qur’an. Rasm berarti bentuk
tulisan,[2]
dapat juga diartikan atsar,[3]
‘alamah. Sedangkan Al Qur’an[4]
adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat jibril,
ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh
banyak orang), mempelajari merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al Fatihah
dan ditutup dengan surat An-Nas.[5]
Rasm Al Qur’an berarti bentuk tulisan Al Qur’an . Para ulama lebih
cenderung menamainya dengan istilah Rasmul Mushaf.[6]
Ada pula yang menyebutnya Rasm Usmani. Ini wajar, karena Khalifah
Usmanlah yang merestui dan mewujudkannya dalam kenyataan.[7]
Rasm mushaf adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman bin
Affan beserta sahabat- sahabat lainnya dalam penulisan Al Qur’an berkaitan
dengan susunan hu ruf-hurufnya yang terdapat
dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai dae rah dan kota, serta
mushaf Al Iman yang berada ditangan Usman sendiri.[8]
B. Latar Belakang Rasm Al Qur’an
Kaum muslimin memelihara Al Qur’an melalui dua cara, yaitu hafalan dan
tulisan. Keduanya berlangsung sejak masa hidup Rasulullah. Sedangkan penghimpun
dan penyempurnaan tulisan Al Qur’an dari lembaran-lembaran kulit dan dan tulang
ke dalam satu naskah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin.[9]
Secara kronologis, orang pertama menghimpun Al Qur’an adalah Abu Bakar
Ash-Shidiq, karena banyaknya hafizh yang mati syahid di pertempuran Yamamah.
Itu atas saran Umar bin Khatab. Sepeninggal Abu bakar naskah Al Qur’an tersebut
dititipkan kepada hafshah. Di kemudian hari disempurnakan oleh Usman bin Affan
dengan memjbentuk panitia empat. Ide itu muncul karena banyaknya perbedaan
bacaan dikalangan kaum muslimin, baik yang berbangsa Arab maupun bukan
berbangsa Arab ( ‘ajam ), tanpa sedikit pun melakukan perubahan dari
naskah aslinya, baik dalam hal susunan maupun tulisannya.[10]
Panitia empat, yaitu Ai Mu’awiyyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Sabit,[11]
yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit
dibebani tugas menulis beberapa naskah Al Qur’an untuk disebarkan ke daerah-daerah Islam. Mereka menempuh car a
khusus yang disetujui oleh khalifah Usman, baik dalam hal penulisan lafazh-lafazh
ataupun bentuk huruf yang digunakan.[12]
C. Pendapat Ulama Tentang Rasm Al Qur’an
Pendapat ulama tentang rasm al-Qur'an berkisar pada masalah apakah rasm
al-Qur’an merupakan tauqif (ketetapan ) Nabi atau bukan. Mengenai
permasalahan ini muncul dua kubu ulama; kubu pertama menyatakan bahwa rasm
al-Qur’an tauqif Nabi dan kubu kedua menyatakan bahwa rasm al-Qur’an bukan tauqif
nabi.[13]
Menurut golongan pertama, rasm al-Qur’an itu tauqifi dan metode
penulisannya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw. Pendapat ini dipegangi dan
dipertahankan oleh Ibnul Mubarak di dalam kitabnya yang berjudul al-Ibriz,
yang sependapat dengan gurunya Abdul Aziz ad Dabbagh. Ia menyatakan sebagai
berikut : “Tidak seujung rambut pun huruf Al qur’an yang ditulis atas kehendak
seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm al-Qur’an adalah tauqif dari
Nabi, yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah saw.
Beliaulah yang menyuruh mereka (para
sahabat ) menulis rasm al-Qur’an itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan
huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tak dapat
dijangkau oleh akal pikiran, yaitu rahasi yang dikhususkan oleh Allah bagi
kitab suci al-Qur’an. Suatu kekhususan yang tidak diberikan kepada kitab-kitab
suci lainnya. Sama halnya dengan susunan al-Qur’an itu mu’jiz (membuat
lawan tak berdaya ) maka rasm al-Qur’an itu mu’jiz juga”.[14]
Pendapat tersebut didasarkan pada
suatu riwayat bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas
pencatat wahyu, “Ambillah tinta tulislah huruf-huruf dengan qalam
(pena ); rentangkan huruf ba’ ,bedakan dengan huruf sin, jamgan merapatkan
lubang huruf mim,tulis lafadz “Allah”
yang baik, panjangkan lafadz “Ar Rahman” dan tulislah lafadz “Ar Rahim” yang
indah.kemudian letakkanlah qalamma pada telinga. Ia akan selalu mengingatkan
engkau”.[15] Atas dasar itu maka Az Zarqani di dalam
bukunya Manahilul Irfan berpendapat bahwa tidak ada salahnya memandang
beberapa keistimewaan rasm Usmani sebagai petunjuk tentang adanya makna
rahasia yang sangat halus.[16]
Golongan kedua berpendapat bahwa rasm
al-Qur’an itu tak masuk akal kalau dikatakan tauqif. Ini dipelopori
oleh Qadhi Abu Bakar al Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam
bukunya Al Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama
sekali tidak mewajibkan kepada umat islam dan tidak melarang para penulis
al-Qur’an menggunakan rasm selain
itu (Usman ). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya diketahui dari
berita-beruta yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an
dan hadis. Tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkann bahwa rasm
al-Qur’an dan pencatatannyahanya boleh dilakukandalam bentuk khusus atau dengan
cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan, demikian pula dengan ijma’ul
ulama. Bahkan sunnah Rasulullah saw. Menunjukkan dibolehkaanya penulisan
al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah, karena Rasulullah memerintahkan
penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan ( rasm ) tertentu, dan beliau
tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah sehingga bentuk
tulisan mushaf berbeda-beda. Maka boleh saja al-Qur’an ditulis dengan
huruf Kufi dan huruf zaman kuno. Setiap
orang boleh menulis mushaf dengan cara yang sudah lazim menjadi kebiasaanya
atau dengan cara yang dipandangnya paling mudah dan paling baik.[17]
Pendapat pertama mengandung
penghormatan kepada rasm Usman berlebih-;ebihan, karena mengada-adakan
pengertian dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi.
Mereka menyarahkan persoalan pada selera bartin yang sifatnya relatif dan tak
dapat dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran syariat agama.
Tidak logislah bila dikatakan bahwa soal rasm ( huruf dan tulisan )
Qur’an itu tauqif, atas tuntunan, petunjuk dan persetuajuan langsung
dari Rasulullah saw. Beliau pun tidak pernah sama sekali menyatakan adanya rahasia didalam kandungan
huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadis Rasulullah mengenai hal
itu perlu diteliti kebenarannya.[18]
Yang benar ialah adalah penulis
mushyaf (panitia empat )sepakat menggunakan istilah rasm al-Qur’an. Dan
istilah itu disetujui Khalifah, bahkan Khalifah Usmann menetapkan pedoman yang
harus diindahkan oleh para penulis mushaf
bila terjadi perbedaan pendapat.[19]
Subhi Ash Shalih tidak sepakat
dengan pendapat kedua yang dilontarka n oleh al baqilani.Tentang kebolehan
menulis Al Qur’an dengan rasm kuno, Subhi Ash Shalih sepakat dengan pendaoat Al
Izz bai Abdussalam yang mengatakan , bahwa dewasa ini perbuatan nulisan mushaf
tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa
dahulu, agar tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama islam. Ini berarti
al-Qur’an seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamannya.
Bukan berarti rasm Usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal itu
akan merusak lambbang keagamaan besaryang telah disepakati bulat oleh seluruh
umat islam, yang dapat menyelamatkan uamt dari perpecahan, karena mshaf Usman
merupakan salah sifat atu cara untuk memelihara persatuan sdan kesatuan umat
Islam atas dasar syiar dan satu istilah.[20]
D. Bentuk Tulisan Dan I’rab Yang Digunakan
Bangsa
Arab sebelum Islam dalam tulis-menulis menggunakan khat Hijri. Setelah
datang Islam dinamakan khat Kufi.[21]
Dalam
sejarah disebutkan bahwa para sahabat tidak meletakkan tanda baca apapun; titik
atau syakal pada mushaf yang mereka salin. Tulisan bangsa Arabsaat itu sama
sekali tidak disertai tanda baca seperti sekarang ini.[22]
Pada
zaman Nabi hingga abad kedua hijrah al-Qur’an ditulis dengan khat ini, maka
para sahabat dan tabi’in bersandar pada hafalan, periwayatan dan bacaan pada
qurra’ .Sejauh itu bahasa mereka dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakkan,
karena adanya kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka. Akan tetapi
setelah Islam berkambang luas keluar Jazirah Arab dan bangsa mulai berhubungan
dengan bangsa lain, maka mulailah timbul kerusakan dalam bahasa Arab.[23]
Untuk mengantisipasi kesalahan dan
kerusakan serta untuk membantu memudahkan membaca al-Qur’an bagi orang-orang
awam, maka Abdul Aswad Ad- Du’ali membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab dengan
petunjuk dari Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya ia membuat titik-titik pada huruf
Arab dengan perintah seorang Khalifah Bani Umayah, yakni Abdul Malik bin
Marwan. Dengan itu kemungkinan keliru semakin berkurang, tetapi belum semuanya
bisa dihilangkan sampai muncul penemu ilmu ‘Arydh, yakni Khalil bin Ahmad Al
Farahidi, yang membuat bentukbentuk penulisan sebagai cara pengucapan
huruf-huruf bahasa Arab, seperti mad, tasydid, fathah, kasrah, dammah,
sukun, dan tanwin. Dengan ini maka selamatlah al-Qur’an dari
kemungkinan keliri itu, dipasang titik-titik sebagai sebagai petunjuk harakat.
Misalnya, sebagai ganti fathah dipasang titik diawal huruf; sebagai
ganti kasrah ditulis titik
dibawah huruh; segai ganti dhammah ditulis titik diatas huruf pada
bagian akhir. Tetapi kadang cara ini justru menambah kebingungan.[24]
E. Problema Qira’ah Dan Tujuh Huruf Dalam Rasm Usmani
Pengetahuan
tentang latar belakang linguistik dan pengertian mengenai Qira’ah[25]
dan tujuh huruf[26]
itu sangatlah diperlukan, sebelum kita menjelajahi problema yang ada dalam rasm
Usmani.
Di
zaman jahiliyah, orang Arab mempunyai beberapa bahasa (dialek ) yang kadang
satu sama lainnya berbeda, terutama dalam cara pengucapannya. Akan tatapi mereka
mengutamakan bahasa Quraisy, sebab bahasa Quraiasy lebih unggul dan mengatasi
sekalian dialek yang hidup di Jazirah Arabia yang jumlahnya puluhan. Dengan
bahasa itu Allah menurunkan kitab suci-Nya.[27]
Dalam
kaitannya dengan pembahasan tentang sab’atu ahruf, ada beberapa riwayat
hadis yang menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Di antaranya, hadis riwayat Abu Ya’la di
dalam Musnad Kabirnya. Hadis tersebut yang artinya:”Sesungguhnya
al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf.
Semuanya lengka lagi mencukupi”.
Selanjutnya hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim berbunyi:
“Jibril membacakan (al-Qur'an) kepadaku atas beberapa huruf. Aku senantiasa meminta tambah, dan iapun
menambahkanku sampai mencapai tujuh huruf”.
Kemudian hadis yang lain berbuny:
“Sesungguhnya al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf. Karena itu bacalah menurut bacaan yang paling
mudah”.[28]
Para
ulama berbeda pendapat tentang dalam menafsirkan tujuh huruf ini. Di antara pendapat yang dianggap mendekati kebenaran
adalah, pertama, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam mahasa
dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna, maka al-Qur'an pun diturunkan
dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna
yang satu ini. Dan jika tidak terdapat
perbedaan, maka al-Qur'an hanya mendatangkan satu lafadz saja. Kedua, yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh wajah, yaitu, amr, nahyu, wa’ad, wa’id, jadal, qashash, dan
masal. Dan yang ketiga adalah, bahwa
yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah qira’ah tujuh.[29] Ketiga, yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah qira’ah tujuh.[30]
Ibn Syamah berkata bahwa mengartikan
akhruf dengan qira’ah adalah pendapat yang lemah. Sab’ah al-Ahruf diartikan sebagai
al-Qira’ah as-Sab’ah (qira’ah tujuh) ini hanya dugaan orang-orang
awam.[31]
Abu
Bakar ibn Arabi menegaskan pula, bahwa bukanlah qira’ah sab’ah yang
telah dikenal itu sebagai keharusan bagi orang yang hendak membaca al-Qur'an
sehingga tidak membolehkan seseorang membaca dengan qira’ah yang lain
seperti halnya qira’ah Abu ja’far, Syaibah, A’masy dan lain-lain, sebab
derajat keabsahan dan kedudukan nilai sanad qira’ah mereka semua adalah sama.[32]
Timbul
pertanyaan, apakah pengertian itu terbatas pada tujuh huruf (qira’ah
saja, ataukah yang dimaksudkan at-tawasu’ (pengertian yang lebih luas
dan tidak terbatas pada angka tujuh saja) sehingga boleh jadi lebih dari tujuh
qira’ah.[33]
Ulama
yang mengatakan bahwa bukan tujuh qira’ah itu sendiri yang dimaksudkan,
bersandar pada kenyataan masih ada qira’ah selain yang tuhuh itu yang mencapai
derajat mutawatir[34].
Sedangkan kata tujuh dalam hadis tidaklah mesti diartikan angkanya sendiri.
Dalam hal ini , tidaklah hakikat jumlahnya yang analisa, melainkan
pengertiannya, bahwa kata tujuh boleh jadi berarti memberikan kemudahan dan
kelapangan dalam membaca al-Qur’an bagi orang.[35]
Menurut Subhi Ash Shalih, pendapat
yang mendekati kebenaran adalah, bahwa maksud sab’atu ahruf (tujuh huruf
) itu adalah tujuh macam cara yang diberikan kelapangan bagi umat Islam untuk
membaca al-Qur’an. Maka dengan cara mana pun ia dibaca oleh seorang qari’
[36]adalah
benar.[37]
Tentang keberadaan tujuh huruf
dalam rasm Usmani, sebagian ulam fiqh qurra’ (ahli baca ) dan mutakallimin
berpendapat bahwa semua huruf tersebut pada mushaf Usman, dengan alasan, pertama,
bahwa suatu bangsa tidak boleh mengabaikan kutipan dari mushaf Usman. Kedua, para sahabat
berpendapat bahwa suhuf yang dinukil dan ditulis oleh Abu bakar, yang
telah mencakup tujuh huruf .[38]
Jumhur ualama dari kalangan salaf,
khalaf dan imam-imam Muslim berpendapat bahwa mushaf Usmani mencakup huruf-
huruf dan terkandung dalam bentuk tulisannya saja serta penawaran Nabi yang
terakhir kepada malaikat.[39]
Berbeda dengan itu, Ibnu Jarir Ath
Thabari menyatakan bahwa mushaf Usmani itu hanya melambangkan satu bentuk huruf
dari ketujuh betuk tersebut. Dia beralasan bahwa huruf yang tujuh itu hanya
terdapat pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar. Adapun pada masa Usman, umat
dibawah pinpinannya menganggap cukup satu huruf saja untuk mempersatukan kaum
mulimin. Dengan huruf yang satu itu
Usman menulis semua mushafnya.
F. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah
disebutkan diatas, dapatlah diambil
kesimpulan, di antaranya[40] :
Pertama, Rasm al-Qur’an adalah
bentuk tulisan al-Qur’an, sedang rasm Mushaf adalah ketentuan atau pola yang
digunakan oleh Usman bin Affan beserta sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan
al-Qur’an yang berkaitan dengan susunan huruf- hurufnya yang terdapat dalam
mushaf yang dikirimmkan ke berbagai daerah dan kota serta mushaf Imam
yang berada di tangan Usman sendiri.
Kedua, dalam hal Rasm
al-Qur’an, terdapat dua kubu ulama; ulam yang mengatakan bahwa rasm al-Qur’an
itu tauqifi dari Nabi dan ulama yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an
itu bukan tauqif dari Nabi saw. .
Ketiga, pengertian tentang sab’atu
ahruf sangat beragam; demikian juga tentang keberadaannya dalam rasm
Usmani.
Keempat, mushaf
salinan Usman tiada bersyakal dan tiada bertitik. Hal itu akan memungkinkan
terjadinya berbagai macam bacaan . Maka untuk mengantisipasi kesalahan dalam
membaca, para ulama menciptajkan tanda-tanda baca tertentu yang dapat
memudahkan untuk membaca al-Qur’an. Ulama yangt terkenal memberi titik pada huruf-huruf
al-Qur’an dan Khalil bin Ahmad; yang memberi baris atau harakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asrowi, Makalah
seminar Pragram Pascasarjana; Kedudukan
Rasm al-Qur’an dalam Penafsiran al-Qur’an;
Studi Pebandingan Antar Mufasir,
Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2004
As-Salih, Subhi,
Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
cet. ke-7
Al-Qatan, Manna Khalil,
Mabahis fi Ulum al-Qur’an; Terjemah, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa,
2000, cet. ke-5
At-Thahan, Mahmud,
at-Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, 1986,
t.cet.
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur'an;
Terjemah, Jakarta: Gema Media
Pratama, 2001 cet. ke-1,
Jilid 1
Ash-Shabuny, Muhammad Aly,
at-Tibyan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah, Bandung: Al-Ma’arif, 1996,
cet. ke-10
Chirzin, Muhammad, Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, ,Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998,
cet. ke-1
Salabi, ‘Abd al-Fatah
Isma’il, Rasm al-Mushhaf wa
al-Ihtijaj bih fi al-Qira’ah,
Mesir: Maktabah Nahdhah, 1960,
t.cet
[1] Ilmu
Rasm Qur’an adalah Ilmu yang membahas tentang Tulisan al-Qur’an, dan ilmu
ini merupakan salah satu cabang dari Ulum al-Qur'an, serta kedudukannya
dalam memahami teks al-Qur'an dari segi menafsirkan al-Qur'an sangatlah
penting. Sebagaimana para ulama banyak
menyebutkan di dalam berbagai kajian ilmu-ilmu
al-Qur’an (ulum al-Qur'an).
Makalah seminar Pragram
Pascasarjana; Asrowi, Kedudukan Rasm al-Qur’an dalam
Penafsiran al-Qur’an; Studi Pebandingan
Antar Mufasir, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004),
h. 2
[2]
Subhi as-Salih, Mabahis fi Ulum
al-Qur’an; Terjemah, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), cet. ke-7,
h. 361
[3]
‘Abd al-Fatah Isma’il Salabi, Rasm
al-Mushhaf wa al-Ihtijaj bih fi al-Qira’ah, (Mesir:
Maktabah Nahdhah, 1960), t.cet.,
h. 9
[4] Al-Qur'an
menurut bahasa terambil dari kata qara’a, qir’atan, qur’anan yang
bermakna maqru’ (apa yang dibaca) atau bacaan, yakni penamaan maf’ul
dengan masdar. Lihat, Manna Khalil al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an;
Terjemah, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000),
cet. ke-5, h. 15-16; Selanjutnya:
Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahil
al-‘Irfan fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,
(Jakarta: Gema Media Pratama,
2001), cet. ke-1, Jilid ,
h. 2-3
[5]
Muhammad Aly ash-Shabuny, at-Tibyan
fi Ulum al-Qur'an; Terjemah,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1996), cet. ke-10.
h. 18
[6]
Abd al-Fatah Isma’il Salabi, loc.
cit.
[7]
Muhammad Chirzin, Al-Qur'an dan
Ulumul Qur'an, (Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998), cet. ke-1,
h. 106
[8] Ibid.
[9] Ibid., h. 105
[10] Ibid.
[11]
Manna Khalil al-Qatan, op. cit., h. 185
[12]
Subhi as-Salih, op.cit., h. 361
[13]
Muhammad Chirzin, loc. cit.
[14]
Subhi as-Salih, op. cit., h. 361-362
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 366-367
[18]
Muhammad Chirzin, op .cit., h. 108
[19] Ibid.
[20] Ibid
[21] Ibid., h. 108
[22] Ibid., h. 109
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Qia’at
adalah jamak dari kata qira’ah, yang berarti bacaan, dan ia adalah
masdar dari qara’a. menurut istilah ilmiah sebagaimana yang dikatakan
oleh Manna Khalil al-Qatan, qira’at adalah salah satu madzhab (aliran)
pengucapan Qur'an yang dipilih oleh salah seorang Imam qurra’ sebagai suatu
madzhab yang berada dengan madzhab lannya.
Manna Khalil al-Qatan, op.
cit., h. 247. sedangkan menurut az-Zarqani qiraat adalah,
suatu cara yang ditempuh oleh seorang imam Qiraah (qari’) yang dengannya ia
berada dengan yang lainnya dalam hal membaca al-Qur'an, disertai dengan
kecocokan riwayat-riwayat dan jalur-jalur darinya, baik perbedaan itu dalam hal
membaca atau mengucapkan huruf ataupun caranya.
Az-Zarqani, op. cit., h. 423
[26]
Tujuh huruf adalah, tujuh bentuk bacaan dalam al-Qur’an yang bersumber pada
Nabi saw. (marfu’). Akan tetapi dalam
hal memaknai tujuh huruf ulama berbeda pendapat. Perbedaan ulama tentang
hal tersebut bersumber pada beberapa hadis Nabi. Makalah
seminar Pragram Pascasarjana yang disampaikan oleh Asrowi, dengan
judul, Kedudukan Rasm al-Qur’an dalam Penafsiran al-Qur’an; Studi Pebandingan Antar Mufasir, (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah,
2004), h. 7
[27]
Muhammad Chirzin, op. cit., h. 110
[28]
Lihat buku-buku Ulum al-Qur'an, di antaranya; Az-Zarqani,
op. cit., h.
148-150; Manna Khalil al-Qatan, op. cit., h. 226-231;
Abdul Djalal, Ulumul Qur'an,
h. 328-329; Ash-Shabuni,
op. cit., h.
300-303
[29]
Manna Khalil al-Qatan, op. cit., h. 230
[30]
Ash-Shabuny, op. cit., 304
[31]
Muhammad Chirzin, op. cit., h. 141
[32] Ibid., h. 112
[33]
Muhammad Chirzin, loc. cit.
[34]
Mutawatir adalah, suatu berita yang dinukil dari Nabi melalui mata rantai jalur
sanad yang berjumlah minimal sepuluh jalur.
Mahmud at-Thahan, at-Taisir
Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1986), t.cet.,
h. 17
[35] Ibid.
[36]
Tujuh Qari’ itu adalah, Ibn ‘Amir, Ibn Kasir, ‘Ashim, Abu Amr, Hamzah al-Kufy,
Nafi, dan Kisa’i; Lihat, Ash_shabuny,
op. cit., h.
321-324
[37]
Subhi Salih, op. cit., h. 129
[38]
Muhammad Chirzin, loc. cit.
[39]
Ash-Shabuni, op. cit., h. 311
[40]
Muhammad Chirzin, op. cit., h. 113-114
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun