A. Pendahuluan
Modernisasi[1]
merupakan suatu perubahan yang biasa disebut masyarakat modern, terlepas apakah
mengandung unsur manfaat atau mudhorat.
Setiap perubahan di masyarakat saat ini selalu membentuk berbagai warna
kehidupan, baik dari aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya.
Perubahan demi perubahan terus beranjak memberikan motivasi dan tekanan
pada setiap individu. Jika individu
tidak mau menerima perubahan dan hanya mengikuti alur pemikiran kuno, maka
sudah bisa dipastikan mereka tidak akan survive.
Dari berbagai modernisasi menurut sebagaian kalangan muslim dianggap
merusak berbagai karakter dan pemikiran generasi penurus (pemuda Islam) yang
selanjutnya mereka namai sebagai aliran atau faham liberalisme[2], pluralisme,[3] dan
sekuler[4] sebagaian
kalangan muslim mengklaim bahwa setiap paham
berbau modernisasi yang berbentuk liberal dan plural difatwakan oleh
mereka sebagai faham sesat dan menyesatkan.
Konsep sekularisme bukan hanya sebagai suatu faham yang memberi tumpuan
kepada aspek-aspek keduniaan kehidupan duniawi atau worldly life, tetapi
sebagai program falsafah suatu aliran pemikiran yang cuba mentafsirkan realiti
dan kebenaran hanya berdasarkan rasionalisme murni. Para ahli falsafah Barat
yang sekular sejak zaman pencerahan (enlightenment) telah melakukan
pensekularan manusia, alam dan agama sehingga hakikat, makna dan peranan
manusia, alam dan agama telah berubah dari faham yang berasaskan pada agama
kepada faham yang berasaskan kepada akal rasional semata.
Paradigma sekular dan liberal yang mencirikan peradaban Barat era
sekarang ini telah meruntuhkan semua kebenaran mutlak. Setiap dakwaan kebenaran
telah menjadi relatif dari segi masa (historicization of truth),relatif
dari segi geografi, budaya dan status sosial (sociology of knowledge),
relatif dari segi sifat bahasa manusia yang terbatas (the limits of language),
relatif dilihat dari perspektif hermeneutika kerana setiap pemerhati
adalah juga pentafsir. Dengan demikian,
dilihat dari sudut yang pelbagai aspek, pemaknaan tentang sesuatu perkara
selamanya bersifat sementara, terbatas, maka untuk mengatasi keterbatasan ini
perspektif yang lain harus diambil kira. Di sinilah faham pluralisme dianggap
penting untuk menghalang manusia dari kecenderungan mengabsolutkan yang relatif.
Adapun, istilah pluralisme agama yang muncul dengan penuh janji akan
menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi
berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang
tolerannya mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama. Dengan pluralisme mereka banyak berharap
bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk
hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan,
status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk. Dari berbagai gagasan janji pluralisme tersebut, di harapan mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai
tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.[5]
Permasalahan-permasalahan
tentang modernisasi yang cukup mendapatkan perhatian cukup besar adalah issue
pluralisme agama, issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah
keanekaragaman kebenaran obsolut antar
agama yang saling berseberangan. Setiap
agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lainnya sesat semuanya. Klaim ini kemudianmelahirkan keyakinan yang
biasa disebut doktrin keselamatan (doctrine
of salvation), bahkan keselamatan atau pencerahan atau surga merupakan hak
para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk gama lainakan celaka dan
masuk neraka, sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar
sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan
dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayanaatau Theravada
pada agama Budha, dan juga antar kelompok Islam yang beragan. Realitas tersebut telah mengantarkan
pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.[6]
Secara khusus dalam hal agama, berbagai
masyarakat yang menganut agama/ kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran
seperti itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang
mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau
mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain, tetapi justru
mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan bekerjasama. Kita dapat
belajar kekayaan spiritual serta nilai-nilai, makna dari agama lain untuk
memperkaya pengalaman iman kita, bukan belajar untuk mencari kekurangan dan
kelemahan agama lain untuk bias memojokkan, atau menganggap enteng, atau
menganggap bahwa agama yang lain tadi benar dan agama kita sendirilah yang
paling benar. Dengan demikian, pluralisme adalah kekayaan bersama.
Issue pluralisme ini sering
diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup besar, malah faktor utama dalam
menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil
dengan warna kejam, keras, perang, dan pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic
dleansing atau genocide). Di satu
pihak, teknologi dan komunikasi modern telah menjadikan jagad ini hamper
seperti global village. Di pihak lain,
bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan
menakutkan, seperti yang kita saksikan antara Kristen dan Islam di Bonia-Herzegovina,
Filipina Selatan , Sudan Selatan dan kepulauan Maluku Indonesia . Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah,
Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katholik di Irlandia dan sebagainya.[7]
Fenomena pluralisme agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus di
hadapi masyarakat modern. Untuk itu
pertama kali dalam sejarahnya manusia menyaksikan dirinya secara global hidup
berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda
dalam satu negara, dalam satu wilayah dalam satu kota dan bahkan satu geng atau agama yang
sama. Fenomena yang demikian itu, bagi
masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam
berkoeksistensi damai seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika
tersendiri.[8]
Pluralisme tidak bisa dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai
“kebaikan negatif”, hanya hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme, pluralisme harus dipahami sebagai petalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaan, bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci disebutkan bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia untuk
memelihara keutuhan bumi dan menciptakan salah satu wujud kemurahan yang
melimpahkan kepada umat manusia.
Dari berbagai gambaran di atas, dari berbagai keragaman agama dan
keyakinan timbul berbagai gejolak dan prahara di masyarakat, permaslahan
tersebut perlu adanya solusi yang jitu supaya kerukunan dan kehidupan umat
manusia bisa tetap berlanglung secara damai. Islam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin harus membuka diri dengan agama-agama
lain, tidak menganggap diri sebagai agama paling benar dibanding agama-agama
lain, karena semua agama sama yaitu dengan tujuan utamanya adalah tuhan, namun
bagimana sikap Islam di tengah-tengah berbagai agama.
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis tidak membahas pluralisme dari
berbagai agama, akan tetapi dibatasi pada fenomena dan pluralisme di dalam
agama Islam. Fenomena perbedaan faham
dalam islam kerap kali kita jumpai pada masyarakat, yang kemudian menimbulkan
perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri.
Penyebab yang timbul dari perbedaan itu di antaranya, Perbedaan di dalam
memahami kandungan Al-Qur’an dan perkembangan masyarakat Islam yang ikut
berkecimpung di era globalisasi.
Sehingga dari keragaman memahamii Islam itu mencul berbagai gejolak
negativ di masyarakat, yang kemudian memecah belah persatuan dan kesatuan umat
Islam. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, sebab bias lebih memperparah
keadan umat islam itu sendiri. Misalnya,
timbul berbagai tanggapan negative dari beberapa kalangan muslim seputar
pemikiran islam, diantaranya setiap ada suatu perbedaan faham tidak segan-segan
kelompok muslim satu dengan yang yang lain saling memurtadkan dan
mengkafirkan. Hal ini akan sangat
mempengarui kehidupan masyarakat Islam secara luas khususnya manyarakat
kalangan bawah yang kurang mengeyang pendidikan formal. Padahal umat Islam masih banyak ketinggalan
dari berbagai aspek ilmu pengetahuan. Contoh
nyata adalah komentar para salafi terhadap khalafi yang sering kali menimbulkan
keresahan di masyarakat karena dipandang sebagai pemahaman yang liberal, contoh kasus lain seperti komentar Hartono
Ahmad Jaiz[9]
terhadap para pembaharu Islam di Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) tidak sedikit masyarakat terhasut yang
selanjutnya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar umat Islam.
Maka, dalam makalah ini penulis mencoba membahas pluralisme agama yang
ada di dalam Islam dengan harapan penulis bisa lebih memahami dan memaklumi
setiap perbedaan yang timbul di dalam pemahaman dan mengamalan ajaran Islam.
B. Agama Islam dan Pluralisme
Pluralisme merupakan paham yang
mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan
hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui
kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Munculnya pluralisme akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh
masing-masing kelompok (agama) terhadap pemikirannya sendiri khususnya agama
Islam.
Persoalan klaim kebenaran inilah
yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan
atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika
masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling
benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme untuk menghilangkan
keyakinan akan klaim kebenaran agama.
` Islam
merupakan suatu agama yang diakui kebenaranya oleh sebagaian besar masyarakat dunia
khususnya Indonesia. Islam murupakan
salah satu agama yang di ada di dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk
di da’wahkan kepada umat manusia secara lembut dan penuh kasih sayang, tidak di
da’wahkan dengan kekerasan dan peperangan.
Tidak seperti kejadian-kejadian saat ini Islam menurut anggapan
sebagaian kelompok muslim yang memahami agama Islam dengan Statmen amal
ma’ruf nahi munkar yang selanjutnya diterjemahkan secara aplikatif dengan
upaya memberantas agama lainnya dan da’wah dengan kekerasan dan
membesar-besarkan permusuhan antar umat beragama. Bahkan sebagian kelompok
muslim initidak hanya menciptakan permusuhan antar agama akan tetapi dengan
kelompok Islam lainnya pun mereka berseteru dngan berbagai hujatan-hujatan yang
sama sekali tidak mencirikan Islam sebagai agama Rahmatullil’alamin.
(memberikan ketenangan seluruh manusia)
Sebagaimana telah disinggung di atas
bahwa, agama Islam merupakan agama Rahmatullil’alamin tentunya harus
bisa menerima perbedaan (ikhtilaf) dari berbagai aspek kehidupan
khususnya kehidupan beragama dan harus selalu berdampingan dengan keyakinan
agama lain dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Hal ini sudah pernah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam membentuk masyarakat Madaninya. Beliau hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain dengan penuh kedamaian dan kasih sayang, sehinnga dalam hal ini
wajar jika dalam buku The 100, a Ranking
of The Most Influential Persons in History[10]
beliau menjadi orang nomor wahid di bandingkan dengan figur pemuka-pemuka tokoh
dunia lainnya.
Adapun issue pluralisme agama
Islam saat ini merupakan suatu pengembangan pemikiran agama searah dengan
perkembangan zaman modern dan globalisasi yang di dasari dari berbagai sumber
yang cukup kompeten dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan para umat dan
kelompok-kelompok muslim yang kurang bahkan menolak pluralisme agama Islam. Pluralisme
sendiri bukanlah paham yang lahir dalam diskursus keislaman,, paham ini
merupakan turunan dari paham Relativisme. Fakta bahwa agama yang ada
didunia ini sangat banyak telah melahirkan dua aliran pemikiran besar, yaitu skeptisisme
dan relativisme. Kaum skeptis menyatakan bahwa beragamnya agama
tersebut menjadi pembenar bahwa kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sementara
kaum relativis berpendapat sebaliknya, bahwa beragamnya agama merupakan sebuah
fakta bahwa kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama. [11]
Agama Islam dalam realitas kehidupan
manusia memang sering memperlihatkan corak yang beragam dari aspek teori dan
pelaksanaannya. Keragaman corak keberagamaan merupakan doktrin agama Islam yang
bersifat universal dan bersumber dari wahyu Tuhan, yang ketika membumi dalam
wacana kehidupan manusia tidaklah hadir dalam suatu lingkungan yang hampa
budaya. Agama Islam sesungguhnya hadir sebagai petunjuk bagi penciptaan
kehidupan yang penuh keteraturan dan keharmonisan.
Kehadiran agama Islam di muka bumi
ini tidak tampil dalam wajah yang seragam seperti ketidak seragaman manusia itu
sendiri dari realitas sosialnya. Hal ini, sebenarnya memiliki blessing teologis-sosiologis
terutama bagi upaya menciptakan keteraturan kosmik, sebagaimana Allah SWT.
menghendaki keragaman (pluralitas) itu sebagai sunnatullah.
Berkaitan dengan pluralisme,
sejatinya Islam sejak awal telah memperkenalkan prinsip-prinsip pluralisme,
atau lebih tepatnya pengakuan terhadap pluralitas dalam kehidupan manusia.
Pengakuan Islam terhadap adanya pluralitas itu dapat dielaborasi ke dalam dua
perspektif; pertama teologis dan yang kedua sosiologis. Model pluralisme yang
bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing telah dicontohkan
oleh Rasullah SAW, baik dalam kata maupun tindakan, sebagaimana teraktualisasi
dalam mitsaq al-Madinah dan tata pengelolaan kepemimpinan masyarakat (negara)
Madinah yang mengayomi heterogenitas suku, etnis dan pluralitas agama.
Agama, Islam sejak dari awal
berdirinya sudang mengusung semangat pluralitas. Hal ini bisa tercermin dari
kesuksesan Nabi Muhammad SAW. dalam membangun masyarakat di Kota Madinah,
dimana masyarakatnya begitu plural dan multikultural. Di dalam masyarakat
Madinah, tidak hanya berkumpul umat Islam, tetapi juga banyak masyarakat yang
menganut agama Yahudi dan Nasrani. Dan Nabi Muhammad SAW. mampu merajut
perbedaan menjadi keberkahan dan kedamaian, dengan merujuk dan berpedoman pada
ajaran Islam yang sangat menjunjung pluralitas, baik dalam hal agama dan
budaya.
Hal ini bisa dibuktikan waktu Nabi
ada di Madinah, beliau tidak mengusir masyarakat
non-Muslim yang ada disana, justru mengajak mereka bersama-sama membangun
tatanan sosial dengan merumuskan mitsaq al-Madinah (piagam Madinah). Di
Makkah pun ketika pembebasan kota Mekkah (fathu Makkah) terjadi,
masyarakat non-Muslim tidak dibantai atau dipenjara, malah Nabi mengampuni
mereka semua tanpa syarat. Lantaran sikap pemurah dan pemaaf inilah, banyak
masyarakat Makkah yang masuk Islam. Mereka simpatik dengan pribadi Nabi
Muhammad.[12]
Islam juga sudah menegaskan
sejak awal kelahirannya, sebagai agama universal dan mengajarkan kehanifan.
Sehingga dengan universalitas ajarannya, umat Islam selalu dituntut untuk
bersikap moderat dan menghargai perbedaan agama yang terjadi. Disamping itu, Islam juga membedakan antara
realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dengan pluralisme agama. Yang
disebutkan lebih awal adalah merupakan kondisi dimana berbagai macam agama
wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara itu ada. Sedangkan
yang disebut lebih akhir adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam
disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan
termasuk agenda penting globalisasi.[13]
Pluralisme agama ditolak dalam Islam karena berorientasi untuk menghilangkan
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada, sehingga semua agama dianggap
benar.
Oleh karenanya, konsep pluralisme dalam Islam dibedakan dengan
relativisme dan sinkretisme. Karena, jika pluralisme disepadankan dengan
relativisme, maka sama halnya dengan menganggap bahwa semua agama benar dan
juga bisa salah semua. Begitupun juga, jika pluralisme dianggap sama dengan
sinkretisme, maka sama halnya dengan membuat agama baru yang merupakan hasil
dari proses memadukan ajaran-ajaran agama tertentu.[14]
Islam sangat menolak keduanya, karena hal itu sama halnya dengan menolak agama
Islam. Tetapi, pluralisme agama yang dimaksudkan oleh Islam adalah berkenaan
dengan sikap apresiatif dan menghargai terhadap agama lain dan pemeluknya,
tanpa ada proses reduksi normatif doktrin keagamaannya. Sehingga antara agama
yang satu dengan agama yang lain, tidak terjebak pada klaim-klaim kebenaran (truth claim) agamanya sendiri. Karena,
jika sudah tertanam sikap pluralitas dalam umat beragama, maka disitu
sebenarnya sudah tercipta sikap saling menghargai dan saling mempercayai. Dan
pada akhirnya pasti akan tercipta kerukunan antar umat beragama.
Dari pemaparan yang sekilas ini
nampak jelas bahwa agama Islam khususnya Nabi Muhammad sebagai penyampai
risalah syariat agama Islam menerima pluralisme dan beliau merupakan penggagas
pluralisme pada masyarakat dan umat Islam yang diilhami dari Al-Qur'an. Adapun perpedaaan yang terjadi seputar
pemahaman figur Nabi Muhammad menurut penulis merupakan suatu keyakinan yang
dilandasi ilmu pengetahuan yang kurang memadai tentang Islam, mereka hanya
lebih mengedepankan fanatik agama dan keyakinan yang berlebihan serta emosi
yang tidak terkontrol.
C. Al-Quran Dan Pluralisme
Al-Qur'an[15]
merupakan sumber ajaran dari syariat Islam, hal ini merupakan kesepakatan
seluruh golongan dan kelompok Islam yang ada saat ini. Orang yang membaca dan
memahami Al-Qur'an apabila secara seksama memperhatikandari ayat emi ayat surat demi surat akan menemukan
kandungan pluralisme di dalamnya. Bukti yang kongrit adalah lahirnya berbagai
tafsir yang berfariasi dan beragam warna serta
coraknya, yang selanjutnya
muncul berjilid-jilid kitab tafsir yang hampir kesemuannya memiliki gaya pembahasan yang
berbeda serta melahirkan berbagai bentuk pemikiran yang cukup beragam[16],
akan tetapi kesemuanya tidak saling berbenturan menurut esensinya.
Selanjutnya, dari keragaman tafsir
tersebut bermunculan berbagai metodologi ilmu pengaetahuan yang berkaitan
dengan Al-Qur'an, di antaranya Ilmu tafsir dan kaedah-kaedah lainnya yang terus
berkembang dan plural. Dari berbekal
fondasi metodologi tafsir tersebut tumbuh berkembanglah beribu-ribu karya cipta dalam berbagai disiplin
ilmu, yang kesemuannya itu merupakan bukti pluralisme.
Al-Qur’an tidak sekedar
mengungkapkan isyarat-isyaarat pluralisme secara umum,bahkan Al-Qur'an juga
menanamkan kaedah-kaedah yang bisa memperkuat pluralisme. Kaedah-kaedahini mencapai puncaknya ketika
al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap pluralisme agama untuk bisa hidup berdampingan. Di antara kaedah-kaedah yang menopang
pluralisme tersebut adalah sebagai berikut :[17]
1.
Nash-nash yang menyatakan bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu berpasangan, dan dengan demikian otomatis
menafikanfaham ketunggalanmasyarakat.
Al-Qur'an menegasakan pluralisme
yang dimulai dari suami istri, atau suami dengan beberapa istrinya dalam
kehidupan rumah tangga yang kemudian membentuk masyarakat (mujtama’). Pluralisme
paling tidak dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana firman Allah :
سُبْحَانَ
الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ
أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٦﴾
“Mahasuci Zat yang
menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan dari apa yang tumbuh dari
bumi”(QS.Yasin : 36)
وَاللَّهُ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن
نُّطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجاً ....... ﴿١١﴾
“Allah menciptakankaliandari tanah kemudian air mani
kemudian menjadikan kalian berpasang-pasangan” (QS.Fathir: 11)
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ ﴿٤٩﴾
“Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah. (Ad-Dariyat 49)
2.
Penetapan prinsip derajat kebaikan yang
menjelaskan adanya perbedaan antar pemilik derajat tersebut, ini berarti
pluralisme. Al-Qur'an menggunakan kata derajat ini untuk membedakan
golongan-golongan yang menghampar dikalangan umat Islam.
وَهُوَ الَّذِي
جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ ……. ﴿١٦٥﴾
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat” (QS.al-An’am 165)
……….
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم
بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ ﴿٣٢﴾
Kami
telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat,
agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Az-Zuhruf 32)
3.
Adanya prinsip berlomba dalam kebajikan (istibaq
Al-khairat). Gambaran Al-Qur'an
mengenai hal ini menyangkut kebebasan indifidu.
Dengan tanpa penyeragaman.
Ayat-ayat yang berkaitan mengenaimasalah tersebut adalah;
….
فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ…..
﴿١٤٨﴾
“….Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat)
kebaikan…….”(QS.al-Baqarah 148)
وَأَنزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ
الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ
تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
“ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”(QS.al-Maidah
48)
Selain ayat di atas masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an
yang meneramgkan persoalan di atas, di antaranya : at-Taubah 100, Fathir 32
dana al-Hadid 21.
4.
Penetapan prinsip pembelaan (at-Tadafu’). Prinsip ini memiliki implikaasi lebih kuat
dibandingkan prinsip berlomba-lomba dalam kebajikan. Dalam prinsip pembelaan terdapat dua ayat
yaitu ;
فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ
اللّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ
لَّفَسَدَتِ الأَرْضُ وَلَـكِنَّ اللّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٢٥١﴾
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut
dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian
Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah
meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian
yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang
dicurahkan) atas semesta alam”(QS.al-Baqarah 251)
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيرٌ ﴿٣٩﴾ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن
يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ
لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ
اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ ﴿٤٠﴾
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”.(QS. al-Haj 39)
“Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami
hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang
di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa”.((QS. al-Haj 40)
Masing-masing ayat tersebut menggambarkan suatu
masyarakat dengan gairah aktifitasnya serta adanya persaingan antara kebenaran
dan kebatilan. Pluralitas atas kenyataan
tersebut diisyaratkan dalam penyebutan kata-kata shawami’ (tempat-tempat
pertapaan Rahib), masajid (masjid-masjid), shalawat (shalat-shalat) dan bai’
(jual-beli), yang kesemuanyya mengandung arti plural.
5.
Anugerah Allah yang bersifat menyeluruh. Al-Qur'an
menggambarkan tentang orang-orangyang mengalahkan masalah dunia demi mengejar
akhirat. Yaitu orang-orang yang telah
menyerahkan dirinya kepada kekalahan, dan menganggapnya sebagai suatu kenyataan
yang mesti diterima sebagai lemehan manusia.
Padalah Allah menjelaskan bahwa
manusia tidaklah terhalangi dari anugrah-Nya di dunia ini, sebagaimana
perhitungan (hisab) Allah juga tidak
akan di jatuhkan saat ini. Hisab hanya
akan terjadi kelak di akhirat.
6.
Penetapan prinsip kebebasan berkeyakinan
(hurriyat al-I’tiqad). Bisa jadi
penetapan Al-Qur'an terhadap prinsip ini adalah dalil terpenting dalam wacana
pluralisme, yaitu wacana yang dianggap menjadi poros penting dari semua agama
yang ada. Keyakinan ini jelas memuat nilai
pluralisme yang kental di dalamnya. Hal itu bisa ditemukan dalam ayat semisal ;
لاَ
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ …….
﴿٢٥٦﴾
“Tiada paksaan dalam beragama,(QS. Al-Baqarah : 256)
atau ayat kebebasan beri’tiqad tersebut juga ditemukan
dalam surat :
قُلْ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى
فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا
أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ ﴿١٠٨﴾
“ Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang
mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu
mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap
dirimu".(QS. Yunus 108)
مَّنِ
اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ
عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً ﴿١٥﴾
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri,
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.(QS. al-Isr’
15)
وَقُلِ
الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا
أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن
يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ
وَسَاءتْ مُرْتَفَقاً ﴿٢٩﴾
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.
Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.(QS. al-Kahfi 29)
Al-Qur'an menjelaskan bahwa da’wah Islam tidak perlu diikuti dengan kekerasan dan
tipuan, tau berharap supaya ajakannya mesti dituruti. Bilamana ternyata ajakannya tersebut ditolak
hanya akan menjadikan ia merasa gagap atau terbebani. Bukankah hidayah itu adalah milik Allah , dan
peranan Rasul hanyalah menyampaikan risalah belaka. Oleh sebab itu tidak perlu berputus asa
dengan penolakan yang diterimanya.
Penjelasan ini bisa dilihat dari Al-Qur'an surat :
لَّيْسَ
عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ
خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا
تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾
“ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang
kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. al-Baqarah 272)
dan beberapa ayat yang lain, di antaranya : Yunus
99-100, al-Kahfi 6 dan Abasa 5-7.
Penegasan Al-Qur'an
terhadap prinsip-prinsip diatas menunjukkan bahwa Al-Qur'an memahami masyarakat
manusia dengan pemahaman yang benar dan mendasar. Al-Qur'an sangat menhormati watak dasar
manusia yang tidak hanya durhaka selamanya, tetapi juga memilikipotensi
kebaikan. Oleh karena dari beberapa
gambaran tersebut bisa ditarik satu wacana bahwa Al-Qur'an menyetujui
pluralisme .
D. Tauhid dan Pluralisme
Keyakinan beragama di antara umat tentu
didasari beberapa sebab, pada fitrahnya setiap manusia (individu) orang yang
suci, ada faktor-faktor yang menjadikan mereka berbeda keyakinan. Secara
garis besar orang tualah yang menanamkan keyakinan dan prinsip-prinsip
agama kepada anak-anaknya. Hal bisa kita petik dari sabda Nabi Muhammad
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [18]
Pandangan
Islam terhadap agama lain pada dasarnya berangkat dari aqidah (tauhid)
yang tertuang di dalam lafad “la ilaha illallah” (tiada tuhan selain
Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam dan relitas fundamental dalam
agama Islam.
Tauhid
yang tertuang dalam kalimat “la ilaha illallah” mengimplikasikan adanya dua
hakekat yang keduanya saling berbeda dan dikotomis, yaitu hakekad
ketuhanan (uluhiyah) dan hakekad
kehambaan (ubudiyyah). Hakekad ketuhanan
hanya di miliki Allah, sedangkan hakekad kehambaan dimiliki manusia. Tahid inilah yang sebenarnya merupakan pokok
semua agama yang diajarkan oleh semua utusan.[19]
Konsep
ketuhanan dan kehambaan ini telah tertuang di dalam al-Qur’an dengan sangat
jelas dan bahkan berulang-ulang bersama kisah rasul, ayat-ayat tersebut adalah
:[20]
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا
قَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنِّيَ أَخَافُ
عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٥٩﴾
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku
sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya
(kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang
besar (kiamat). (QS.al-A’raf 59).
Dari
ayat-ayat tersebut di atas menggambarkan tentang kesatuan ketuhanan bagi Allah
swt dan kesatuan kehambaan bagi selainnya.
Maka implikasinya, semua manusia sebagai makhluk insani berasal
dari asal yang tunggal entitas yang
satu. Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi
Muhammad dalam sabdanya :
“Ingatlah,
bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kaliansatu, ingatlah tidakada kelebihan
bagibangsa Arapatas bangsa lainnya, tidak ada kelebihan bagi bangsa lainnya
atas bangsa Arab, tidak ada kelebihan bagi kulit putih atas kulit hitam, dan
tidak ada kelebihan bagi kulit hitamatas kulit putih, kecuali dengan
ketaqwaannya”[21]
Oleh sebab itu manusia seluruh
manusia itu sama di depanAllh, karena manusia pada hakekatnya diciptakan oleh
Allah hanya untuk mengimplementasikan kehendak, dan hukum-hukum-Nya di muka
bumi, yakni berperansebagai khalifah, tugasnya
tidak lain agar mewujudkan kedamaian dan penghambaan serta penyembahan mutlak
kepada Allah. Satu-satunya orang bisa
mencapai nilai keunggulan komparatif di antara satu dengan yang lainnya
hanyalah taqwa dan amal saleh, dan bukan dari kedunyaan,seperti nasab, harta
benda, jabatan, ras, suku, kabilah dan lain-lain.[22]
E. Pluralisme Dalam Masyarakat Islam
Masyarakat merupakan suatu kumpulan
indifidu-indifidu manusia yang membentuk satu kelompok atau golongan
tertentu. Satu satu masyarakat kecil
lambat laun akan terus berkembang di seluruh aspek hidupnya baik aspek jumlah
penduduk, tingkat ekonomi, budaya, pemikiran dan lain sebagainya.
Pada perkembangan masyarakat
tentunya akan muncul keragaman hal dan corak hidup seiring tuntutan hidup, hal
ini akan banyak melahirkan berbagai permasalahan-permasalahan dan pendapat yang
cukup beragam. Setiap masyarakat
pastinya memiliki prinsip-prinsip hidup dan keyakinan yang berbeda, keberbedaan
inilah yang selanjutnya keharusan adanya pluralisme. Sebab jika setiap
perbedaan masyarakat tidak bisa saling mentolelir tentunya timbul hal-hal yang
merusak tatanan masyarakat itu sendiri.[23]
Masyarakat Islam adalah bagian dari
masyarakat lainnya (non Islam) di jagad ini, walaupun masyarakat Islam memiliki
berbagai keistimewaan yang dimiliki, setiap ada hal yang menimpa pada masyarakat
manusia tentu akan pula menimpa masyarakat Islam sesuai dengan kadar
perbedaannya.[24] Ketika sebuah masyarakat membaur dalam jumlah
jutaan manusia dan beribu-ribu sitem serta pemikirannya, niscaya tidak bisa
bersifat obyektik mengetahui sebuah kebenaran, apalagi yang berkaitan dengan
keyakinan agama. Seiring keterbatasan
dan keegoisan yang menguasai diri manusia membuat seseorang tidak mampu lagi
memahami suatu kebenaran secara umum dan semakin jauh dari nilai obyektifitas.
Bagi individu atau intitusi tertentu
sah-sah saja memegang satu bagian dari kebenaran, namun sangat sulit jika
dikatakan mereka mengusai kebenaran.
Secara keseluruhan dalam benak mereka hanya akan muncul anggapan bahwa
yang lain tidak berhak memiliki kebenaran, oleh sebab itu kebenaran menjadi
haknya. Hal ini merupakan suatu
pelecehan terhadap masyakat lainnya dan jelas-jelas bertentangan dengan tabiat
alami masyarakat. Akhirnya, kejadian itu
melahirkan sikap semena-mena terhadap orang lain.[25]
Pluralisme secara alami menampung
segala bentuk perbedaan-perbedaan sambil menerimanya. Kenyataan ini harus diyakini sebagai bagian
tak terpisahkan dari masyarakat, dan mustahil menghindarinya. Masalah ini nampak sebagai sesuatu yang baru
bagi orang yang lingkungan dan peradapannya masih primitive, hal ini tentu
dirasakan oleh para muslim yang jumud dan lebih mengedepankan fanatik dan azaz
tunggal.
Penerimaan terhadap gagasan
kesepakatan dan perbedaan dalam masyarakat Islam serta memegang teguh etika
pergaulan adalah jaminan tidak tergesernya perbedaan (inti pluralisme, dan
dalam perbedaan masih bisa menerima pendapat orang lain. Adapun kemanuggalan atau tunduk pada pendapat
satu akan mengancam pluralisme dalam Islam.
Walaupun sebagain besar masyarakat Islam masih memegang kebenaran adalah
satu, monopoli kebenaran dan yang lain dianggap sesat untuk selama-lamanya. [26]
Namapaknya, untuk membentuk system
pluralisme dalam agama Islam, semua pihak harus memelihara etika dalam setiap perbedaan keyakinan agama,
dengan menyakini diri sendiri bahwa menerima pendapat dan kebenaran orang lain
itu bukanlah sesuatu yang rendah dan buruk justru suatu akhlaq yang
terpuji. Selanjutnya, untuk memperjelas
penerimaan tentang perbedaan itu, sebagaimana sering mendengar istilah ikhtilaf
(berselisih), alangkah indahnya jika dimaknai sebagai rahmad. Sebab perbedaan itu sesuatu yang lazim dan
biasa berlaku di bumi yang dihuni jutaan manusia ini dari berbagai suku, ras,
dan masyarakat yang multi universal.[27]
Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan
adanya perbedaan suku dan ras[28]. Al-Qur’an memandang perbedaan warna sebagai
keindahan yang terdapat dalam alam semesta ini,
Allah menciptakan manusia bersuku supaya mereka saling mengenal bukan
untuk saling bermusuhan. Al-Qur’an juga
melihat kebenaran yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang tidak harus
dihindari, dan kesamaan adalah suatu yang jauh dari kenyataan. Usaha untuk memaksakan suatu keyakinan kepada
orang lain adalah mendorong permusuhan dan fanatisme yang akan menjadi racun
dalam masyarakat.[29]
Al-Qur’an menyuruh kepada
penganutnya supaya menyerahkan urusan perbedaan kepada Allah untuk menilainya
besuk di hari Qiyamat. Inilah solusi
terbaik yang ditawarkan, untuk bisa menjaga perbedaan dalam koridornya yang
lurus dan tidak terjerumus ke dalam medan perpecahan, permusuhan, kebencian dan
pertikaian, tak diragukan lagi supaya setiap orang menyerahkan urusannya kepada
Allah biar Allah yang menentukan siapa yang paling benar di antara manusia.
Selanjutnya, di bawah ini ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengambarkan perbedaan adalah sesuatu hal yang tidak harus
dibesar-besarkan akan tetapi harus diserahkan kepada Allah :[30]
.
“….. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu
tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya"(Ai Imran 55)
“….
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
it”(al-Maidah), 048
F.
Penutup
Pluralisme merupakan paham yang
mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan
hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui
kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Gagasan pluralisme merupakan ide yang berhubungan erat dengan sekulerisme yang
memandang bahwa agama harus dipisahkan dalam kehidupan publik.
Pada prinsip-prinsip keyakinan akan kebenaran beragama
haruslah didasari dengan nilai-nilai obyektif, sehingga manusia bisa hidup
berdampingan satu dengan yang lain dengan penuh kedamaian. Nilai-nilai subtektifitas pada satu indifidu
(masyarakat) akan menimbulkan banyak gejala virus perpecahan antar umat manusia
di bumi ini. Sebab, keyakinan yang benar adalah membawa pada kebahagiaan dan yang
terpenting dari semua adalah kesadaran akan pluralisme agama, supaya terwujud
iklim beragama yang sejuk, damai, dan saling menghargai sesama umat.
Pluralisme
beragama sangat diperlukan, agar tidak ada klaim pembenaran masing-masing agama
dan tidak adanya konflik antar agama. Sebenaranya semua agama itu sama,
sama-sama mepercayai tuhan yang satu, adanya berbagai agam dikarenakan untuk
menguji umat manusia, bagaimana kontribusinya terhadap agama lain, dan
keberagaman agama memang suatu kenyataan yang tidak bias dipungkiri, namun
intinya semua agama itu kembali kepada Allah, adalah tugas dan wewenang tuhan
untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama.
Islam memandang kebenaran sebagaimana dalam pembahasan di atas tidaklah
dangkal, akan tetapi sangat menghargai berbagai perbedaan di dunia ini. Konsep Islam dimasyarakat yang tidak
memandang perbedaan sebagai rahmat dan suatu hal yang wajar, merupakan satu
konsep yang bertentangan dengan konsep-konsep agama Islam yang benar menurut aturan
al-Qur’an.
Apa yang dipraktekkan oleh
Nabi dalam membangun umat dan masyarakat yang berkerukunan, walaupun beda
agama, sebenarnya adalah merupakan penerjemahan konkret dari nilai pluralitas
yang ada dalam Islam. Konsep Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah
dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing, seperti yang
tercermin dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun : 6, yang berbunyi : ” lakum
dinukum wa liya din ” (untukmu lah agamamu, dan untukku lah agamaku). Dari
ayat tersebut, telah menunjukkan semangat pluralisme yang tinggi dan sikap
toleran dalam ajaran Islam dalam memandang agama lain dan pemeluknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qardhawy, Yusuf, at-Tatharafual-Ilmanifi
Muwajahatial-Islam (terjemah), Jakarta
:Pustaka al-Kausar, 2000, cet., ke-1
Al-Bana, Gama,
at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta : MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1
Abdullah Nashih
‘Ulwan, Aktiftas Islam menghadapi
Tantangan Global, Solo : Al-Alaq, 2003, cet., ke-1
As-Shabuni, Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1
Al-Syaibani, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin
Halal, Al-Musnad li Imam Ahmad bin
Hanbal, (Bairut: Dar al-Fikr,
1994), Cet. ke-2l, Jilid 5, h. 411
Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme
Vis Avis Oksidentalism
(terjemah), Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1
Adh-Dhahabi, Tafsir
wa al-Mufasirun, Kairo : Maktabah Wahbah, 2000, cet.,k-7
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet. ke-3, h.307;
Departemen Dendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007 Edisi III,
cet., ke-7
Saekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta
:PTRaja Grafindo Persada, 1994, Edisi
IV, cet., ke-9
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta : Modern English Pres, 1996,
t.cet.
Legenhausen, Muhammad, Islam
and Religious Pluralism (terjemah), (Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet.,
ke-1
Thoha, Anis Malik, Tren
Pluralisme Agama, (Jakarta
: Gema Insani, 2005), cet., ke-1
Jaiz, Hartono Ahmad,
Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002), cet.,
ke-3
Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan
kembali Eksistensi Madrasah, “Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003),
cet., ke-2
Al-Kharasyi, Sulaiman bin
Saleh, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, (terjemah), Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah : 2005
H.Hart, Michael, The 100, A Ranking
of The Most Influential Persons in Histor,(terjemah) Jakarta : Pustaka Jaya, 1997, cet., ke-18
Wensinck,, A.J., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi
al-Hadis an-Nabawi, (Leyden :
Brill, 1985), t.cet., Jilid 6
Yakin, Fathi, Islam Era Global, Yogyakarta
: Ababil, 1996, cet., ke-1
[1] Modern
adalah berarti keadaan atau hal, sedangkan modernisasi merupaskan proses
pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup
sesuai dengan tuntutan masa kini.
Modernisme juga berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali
doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern pada filsafat ,
sejarah, dan ilmu pengetahuan yang lain.
Lihat; Departemen pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
2007) Edisi III, cet., ke-7, h.751;
Lebih lanjut lihat, Soerjono Saekanto,
Sosiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta :PTRaja Grafindo Persada, 1994), Edisi IV, cet., ke-9, h.380
[2]
Liberal, yang berarti bersifat bebas berpikir
luas dan terbuka, adapun liberalisme adalah aliran yang menghendaki
demokrasi dan kebebasan. Lihat; Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III, cet., ke-7,
h.668-669. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.307;
Lihat; Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, (Jakarta:
Modern English Pres, 1996), t.cet.,
h. 1070
[3]
Plural berarti jamak lebih dari satu, pluralis berarti kategori jumlah yang
menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang memiliki
dualis. Pluralisme adalah
suatu keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan system sosial dan
politik) atau keadaan budaya dari berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di
suatu masyaraka, atau suatu di mana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil
dapat mempertahankan identitas mereka di di dalam masyarakat tanpa harus
menentang kebudayaan yang dominan. Selanjutnya, teori pluralisme diartikan
dengan keyakinan-keyakinan seperti : 1) Realitas fundamental bersifat jamak, 2)
Ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat
diredusir, dan pada dirinya independen. 3)Alam semesta pada dasarnyavtidak
ditentukan dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan dan kontinuitas harmonis yang
mendasar, tidak ada tatanan kohean dan rasional fundamental. Pluralisme juga menyatakan pandangan bahwa
realitas tidak tersusun satu substansi yang unik atau salah satu dari jenis
substansi. Pluralis juga menandakan
pandangan bahwa realitas dapat dipecahkan ke dalam sejumlah lingkungan yang
berbeda yang sama sekali tidak dapat direduksikan kepada suatu kesatuan.; Lihat, Departemen pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III,
cet., ke-7, h.882; Lihat; Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, (Jakarta:
Modern English Pres, 1996), t.cet.,
h. 1436; Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.853-385;
Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism,
h.43-45
[4]Sekuler
dalam bahasa Arab disebut ‘Ilmaniah, sedangkanpenurut bahasa Inggris dan
Perancis secularit ata seculaiqui, yang menurut istilah Perancis adalah suatu
istilah yang tidak ada kaitannya dengan kata ilmu. Sekuler menurut
istilah-istilah, sekuler bersifat keduniaan atau meterialisme, bukan keagamaan
atau keruhanian. Sekuler juga
diartikanpendapat yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi fondasiakhlaq
dan pendidikan, sekuler merupakanundang-undang akhlaq yang berlandaskan
pemikiran yang mewajibkan ditegakkannya nilai-nilaiprilaku dan moral menurut
kehidupan modern dan solidaritas sosial tanpa memandangkepada agama. Intinya bahwa sekuler memisahkan agama dari
kehidupan individu atausosial dalamartianagama tidak boleh ikutberperandalam
pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum. Lebih lanjut lihat; Yusuf
al-Qardhawy, at-Tatharafual-Ilmanifi Muwajahatial-Islam
(terjemah), (Jakarta :Pustaka al-Kausar, 2000), cet., ke-1, h. 1-5
[5] Lihat Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah
fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), cet., ke-1,
h.8
[6]Anis
Malik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005),
cet., ke-1, h.1; Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious
Pluralism, h.47
[7]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani,
2005), cet., ke-1, h.2
[8]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani,
2005), cet., ke-1, h.4
[9]
Lihat; Hartono Ahmad Jaiz, Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002),
cet.,3. Lihat juga dalam buku-buku
Hartono yang lain, baru-baru ini Hartono mengatakan dalam salah satu berita
diweb site bahwa UIN dan IAIN sedang mengkader Nabi-Nabi palsu. Komentar senada penulis rasakan dilingkungan
masyarakat penulis.
[10] Michael H.Hart, The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in Histor, h.25
[11]
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Aktiftas
Islam menghadapi Tantangan Global, (Solo : Al-Alaq, 2003), cet., ke-1,
h. 162
[12] Said Agiel Siradj, “ Beragama dan
Pembelajaran atas Pluralitas “,
[13]Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham. h. 6. .
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2000), h. lxxv. Lihat juga Nur Khalik
Ridwan, Pluralisme Borjuis : Kritik Atas
Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), h. 145-162
[14] Lihat Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung :
Mizan, 2001), h. 42
[15]
Al-Qur’an berupakan bentuk masdar dari qara’a. menurut istilah ulama tafsir al-Qur’an adalah
Kalam Allah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan pada penutup para Nabi dan
para Rasul dengan perantara Jibril as. Yang tertulis di dalam mushhaf-mushhaf
serta dinukil sampai kepada kita secara mutawatir, dianggap beribadah bagi
orang yang membacanya, serta diawali surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas. Lihat, Muhammad as-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1,
h. 8
[16]
Lihat, Adh-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufasirun, (Kairo : Maktabah
Wahbah, 2000), cet.,k-7, h. 47
[17]
Lihat, Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy,
Jakarta : MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1, h. 9
[18] Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi,
an-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Malik. Lebih lanjut perinciannya; Wensinck,, A.J.,
al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi, (Leyden : Brill, 1985),
t.Cet., Jilid 6, h. 215
[19]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani,
2005), cet., ke-1, h.186
[20]
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, di antaranya :
al-Anbiya 25, al-A’raf 65, 73, 85, Thaha 13-14, al-Ikhlas, an-Nisa1 dan masih
banyak lagi yang lain.
[21]
Al-Syaibani, Abu ‘Abdillah bin Muhammad
bin Hanbal bin Halal, Al-Musnad li
Imam Ahmad bin Hanbal,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1994),
Cet. ke-2l, Jilid 5, h. 411
[22]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani,
2005), cet., ke-1, h.189
[23]
Lihat, Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme Vis Avis Oksidentalism (terjemah), Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1, h.83
[24]
FathiYakin, Islam Era Global, (terjemah) (Yogyakarta : Ababil,
1996), cet., ke-1, h. 119
[25]
Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan kembali Eksistensi Madrasah,
“Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003), cet.,
ke-2, h. 81
[26]
Sulaiman bin Saleh al-Kharasyi, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah,
(terjemah), (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 35
[27]
Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious Pluralism (terjemah),
(Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet., ke-1, 133
[28]
QS. Ar-Rum 22
[29]
Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta:
MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1,h. 59
[30]
Ayat-ayat yang Penjelasan hal ini cukup banyak, di antaranya; al-An’am 164,
al-Haj 69, az-Zuhruf 63, al-Baqarah113, Yunus 19, an-Nahl39 dan 124, asy-Syura
10, az-Zumar 3 dan 46 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggambarkan hal
ini.
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun