16 Dec 2013

KAJIAN TAFSIR QUR'AN

KAJIAN TAFSIR AL-MISBAH
KARYA MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
(Studi Surat al-Alaq Ayat 1 – 5)

A.  Sejarah Hidup Qurais Syihab dan Tafsir Al-Misbah
            1.  Sejarah Hidup Qurais Syihab
Penulis Tafsir al-Mishbah bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Quraish Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga mengenyam pendidikan. Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di di Ujung Pandang, selanjutnya, Quraish Shihab belajar di pendidikan menengahnya di Malang. Tidak hanya itu, dia juga ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc. (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Alquran dengan tesis berjudul      al-I'jaz al-Tasyri'iy li al-Qur’an al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Alquran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.
            Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran dan tafsir  di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Alquran dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Alquran dan tafsir lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Ketertarikannya terhadap tafsir Alquran sangat beralasan. Semenjak kecil ia didik dengan Alquran, karena Ayahnya adalah pakar Alquran dan tafsir. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Alquran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Alquran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Alquran mulai tumbuh.
            Sebagai ulama yang produktif, Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai berikut:
  1. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
  2. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
  3. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
  4. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
  5. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
  6. Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
  7. Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
  8. Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999);
  9. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
  10. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
  11. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
  12. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama);
  13. Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994);
  14. Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994);
  15. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
  16. Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996);
  17. Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
  18. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
  19. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
  20. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
  21. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
  22. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
  23. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
  24. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
  25. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  26. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  27. Wawasana al-Qur'an; Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  28. Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  29. Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati);
  30. 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
  31. Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
  32. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. (Jakarta: Lentera Hati);
  33. M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
  34. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
  35. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  36. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  37. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  38. Al-Qur'an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati);
  39. Membumikan al-Qur'an Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati).

Dengan tidak bermaksud menempatkan Quraish Shihab sebagai ulama yang suci, melihat dari kapabelitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, tidak diragukan lagi keahliannya dalam menafsirkan Alquran.

2.  Tafsir Al-Misbah
a. Metode Penafsiran
Menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.  Tafsir Al-Mishbah secara khusus, agaknya dapat dikategorikan dalam metode tafsir tahlili.
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan mushaf Alquran, dan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi kebahasaan, sebab turun, hadis atau komentar sahabat yang berkaitan, korerasi ayat dan surat, dan lain sebagainya.
Quraish Shihab, adalah pemikir kontemporer, yang masih hidup dan eksis, yang mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam tim penerjemah Alquran Departemen Agama, selain memiliki Alquran terjemahan pribadi. Dia juga menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Nama tafsir Quraish Shihab itu adalah Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Tafsir ini terdiri dari lima belas volume, dan menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz Alquran.
Tafsir Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah yang berarti penerang, lampu, lentera, atau sumber cahaya, penulis tafsir, Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini, masyarakat Indonesia akan tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap Alquran dan Islam.
Tafsir Al-Mishbah telah dicetak berulang kali, di antaranya dicetak oleh Penerbit Lentera Hati di Ciputat pada tahun 2009, dengan edisi lux dan dengan tampilan yang membuat pembaca tertarik untuk membacanya.
 Secara khusus, biasanya ketika Quraish Shihab menafsirkan Alquran, menjelaskan terlebih dahulu tentang surat yang hendak ditafsirkan: dari mulai makna surat, tempat turun surat, jumlah ayat dalam surat, sebab turun surat, keutamaan surat, sampai kandungan surat secara umum. Kemudian Quraish Shihab menuliskan ayat secara berurut dan tematis, artinya, menggabungkan beberapa ayat yang dianggap berbicara suatu tema tertentu. Selanjutnya, Quraish Shihab menerjemahkan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau surat, analisis kebahasaan, riyawat-riwayat yang bersangkutan, dan pendapat-pendapat ulama telah terdahulu.
       Dalam hal pengutipan pendapat ulama lain, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama yang bersangkutan. Di anara ulama yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab adalah Muhammad Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir; Muhammad Husain ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an; al-Biqa’i; asy-Sya`rawi; al-Alusi; al-Ghazali; dll. Walau dalam menafsirkan Alquran, Quraish Shihab sedikit banyaknya mengutip pendapat orang lain, namun sering kali dia mencantumkan pendapatnya, dan dikontektualisasi pada keadaan Indonesia.

b. Corak Penafsiran
          Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut. Menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawi menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili ada beberapa corak penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Dari pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan Alquran, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lain sebagainya.
Dalam Tafsir al-Misbah, hal ini sangat jelas terlihat. Sebagai contoh, ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هَوْنًا dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan:
“Kata (هَوْنًا) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indefinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemahlembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً) yamsyuna `ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi Saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
Kini, pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هَوْنًا) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.”
            Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.

c. Contoh Tafsiran
          Untuk menjelaskan contoh tafsiran Quraish Shihab, penulis mengambil salah satu ayat, yakni surat al-An`am ayat 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ.
            “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih terus-menerus ragu-ragu.
            Dalam hal ini, penulis terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang terkuat tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya Alquran menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Ajal yang pertama adalah kematian, yang paling tidak dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
            Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish bahwa pembentukan diri manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bisa jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis dalam lauh al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki hubungan dan pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling memengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui sehingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada batas100 atau 120 tahun itu.
            Quraish kembali menjelaskan, hal inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus Sunnah dinamai dengan qadha’ muallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah sama sekali.      

3. Komentar Ulama
            Jika dilihat berbagai situs, akan didapati banyak sekali pujian buat Tafsir al-Mishbah ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, satu kesepakatan, bahwa satu-satunya buku tafsir Indonesia yang paling banyak diminati adalah Tafsir al-Mishbah: dari mulai kalangan menengah sampai kalangan terdidik.
            Dari sini, wajar ketika pemerhati karya tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan setiap Muslim di Indonesia sekarang.
KH. Abdullah Gymnastiar – Aa Gym menjelaskan, “Setiap kata yang lahir dari rasa cinta, pengetahuan yang luas dan dalam, serta lahir dari   sesuatu yang telah menjadi bagian dirinya niscaya akan memiliki kekuatan daya sentuh, daya hunjam dan daya dorong bagi orang-orang yang menyimaknya. Demikianlah yang saya rasakan ketika membaca tulisan dari guru yang kami cintai, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.” Hj. Khofifah Indar Parawansa, “Sistematika tafsir ini sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi Islam khususnya tetapi juga sangat penting dibaca oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri, kyai, bahkan sampai kaum muallaf.”
Ir. Shahnaz Haque, “Membaca buku-buku M. Quraish Shihab, kita sangat beruntung karena pakar ini berani dan mampu membuka kerang dan menunjukkan mutiara-mutiara yang ada di dalamnya, hal yang memang dicari oleh umat yang sedang dahaga akan bantuan serta keindahan.” Chrismansyah Rahadi – Chrisye, “Kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kemampuan pemikiran kita, tentunya dengan dasar-dasar Al-Quran dan Hadits, dan berpijak pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Penulisannya sangat komunikatif dan dapat dibayangkan visualisasinya.” Ala kulli hal, tafsir ini sangat bermanfaat dan penting untuk dibaca dan dikaji.




4. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang sangat penting di Indonesia, yang tentunya memiliki banyak kelebihan. Di antaranya:
a)      Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
b)      Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna, serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
c)      Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
d)      Quraish Shihab juga menyebutkan riwayat dan orang yang meriwayatkannya. Dan masih banyak keistimewaan yang lain.
e)      Dalam menafsirkan ayat, Quraish tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan antar surat.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Tafsir al-Mishbah, tafsir ini juga memiliki berbagai kelemahan, diantaranya;
a)      Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.
b)      Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab, takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu sendiri.
            Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
            Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia, al-Azhar University, lahir di Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
            Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlili, sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
            Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau pun ada kekurangannya tidak dapat menghilangkan kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang ulama kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan studi Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah

5.  Konsep Dasar Pendidikan Agama Islam Menurut Quraish Shihab
            Pendidikan Agama Islam adalah upaya transformasi ilmu, nilai, keterampilan, kultur, adab kebiasaan yang berlandaskan Al-Qur’an dari pendidik kepada terdidik untuk membawanya ke tingkat kesempurnaan (insan kamil). Pada usaha pentransferan itu sendirilah letaknya hakikat pendidikan.
Al-Qur’an meletakkan manusia  sebagai makhluk mulia dan memiliki keistimewaan dari makhluk lain. Kedudukan yang mulia itu dapat dilihat pada berbagai ayat Al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah penegasan sebagai khalifah Allah di bumi dalam surat Al-Baqarah (2) : 30

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾

Artinya :Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal sudah semestinya manusia memiliki potensi-potensi yang menopang untuk terujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani adalah meliputi organ jasmaniah manusia yang berujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah terdiri dari fitrah, ruh, kemauan bebas dan akal.
            Sedangkan As-Syaibani menyatakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan ruh. Ketiganya persis seperti segi tiga yang sama panjang sisinya. Selain dari Al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni qolbu, fuad, nafs.
            Pendidikan Agama Islam menurut Quraish Shihab merupakan pendidikan akal dan jiwa dimana akal menghasilkan ilmu dan pembinaan jiwanya yang merupakan kesucian dan etika. Pendidikan Agama Islam terutama bagi penganut agama itu sendiri merupakan hal terpenting dalam membangun karakter dan sumber daya manusia yang handal menuju insan Qurani.
            Hal ini yang sering kita temukan dalam ceramah Quraish Shihab, di samping itu beliau juga sering mengutarakan bahwa Pendidikan agama sangat berpengaruh terhadap kualitas pembangunan nasional yang membawa keadilan bagi masyarakat.
            Lebih lanjut Quraish Shihab berpendapat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia. Keberhasilan pembangunan nasional di segala bidang ini sangat ditentukan oleh manusianya yaitu manusia yang bertaqwa, berkpribadian, jujur, ikhlas, berdedikasi tinggi serta mempunyai kesadaran, bertanggung jawab terhadap masa depan.
            Konsep pendidikan menurut Quraish Shihab berdasarkan perpektif Al-Qur’an tidak sama dengan konsep pendidikan di timur dan di barat. Konsep yang digunakan oleh Al-Qur’an lebih komprehensif dan universal di mana ajaran-ajarannya tidak deskriminatif, akan tetapi lebih kepada penyesuain zaman dan waktu dan tempat dimana masyarakat berada dengan tidak mengenyampingkan esensial dari ajaran Al-Qur’an itu sendiri.
            Al-Qur’an juga menggunakan metode pembiasaan dalam menanamkan ajarannya kepada umat manusia, di mana dengan pembiasaan tersebut yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya, pembiasaan tersebut menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan etika. Sedangkan hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan ditemui pembiasaan tersebut secara mernyeluruh.
Sejak awal kemunculan Islam telah menunjukkan betapa ajaran Islam itu membawa kepada peradaban. Hakikatnya dapat dilihat dari kesatuan yang utuh antara hubungan manusia dengan Khaliqnya (Allah), sesama manusia dan alam. Keseimbangan terhadap ketiga hubungan tersebut berimplikasi kepada terwujudnya masyarakat madani.
            Inti dari masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah terletak pada keseimbangan hubungan manusia dengan ketiga aspek tersebut. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Allah melahirkan kesadaran religius yang tinggi serta menginsapi secara mendalam tentang hakikat hidup serta tujuan akhir dari hidup manusia yang semua akan berdampak terhadap prilakunya di permukaan bumi ini.
            Hubungan manusia dengan sesama manusia akan meletakkan manusia pada posisi yang sebenarnya dan melahirkan sikap egalitarian, demokratis, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
            Hubungannya dengan alam semesta menempatkannya sebagai khalifah Allah di bumi, di mana seluruh alam raya ini diamanahkan kepada dirinya untuk diolah, diambil manfaatnya, dipelihara, dan dilestasrikan dengan tujuan untuk kemaslahatan dan kemakmuran umat manusia. Untuk memerankan fungsi manusia sebagai khalifah, maka diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Berkenaan dengan itu maka peran pendidikan sangat dominan untuk meujudkan masyarakat madani, sebab masyarakat madani tersebut sarat dengan nilai-nilai baik dan nilai transcendental, etis maupun rasional. Semua nilai itu ditransferkan dari pendidik kepada terdidik. Pembentukan masyarakat madani akan terancam apabila terdapat dua hal yaitu : pertama, mandeknya pendidikan dan kedua, materi pendidikan yang ditransferkan tidak sesuai dengan hakikat Pendidikan Agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.
            Sumber Daya manusia semakin santer di perbincangkan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi suatu bangsa di mana semakin dibutuhkantenaga-tenaga yang berkualitas baik pada tingkat konsepsional maupun operasional.
            Manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan menempati posisi sentral dalam pembangunan. Manusia sebagai subjek pembangunan dituntut untuk memiliki kualitas prima dalam segala hal baik kondisi fisik maupun non fisik. Untuk tercapainya manusia yang berkualitas prima tersebut, maka perlu dirancang upaya-upaya ke arah dimaksud.
            Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengantisipasi persoalan sumber daya manusia adalah dengan menyiapkan seperangkat peraturan mengenai pendidikan.
            Di pandang dari sudut sosio  kultural bangsa Indonesia yang religius perlu kiranya diperbincangkan peran agama dalam pembangunan sumber daya manusia. Hampir seluruh sektor pembangunan di tanah air kita ini tidak bisa dipisahkan dari agama. Telah banyak upaya pembangunan yang berhasil dilakukan lewat bahasa agama. Berkaitan dengan itu ada baiknya dilihat pula bagaimana konsep agama dalam pembangunan sumber daya manusia.
            Hakikat pembangunan sumber daya manusia adalah bertujuan umtuk meningkatkan kualitas manusia dalam segala hal. Dengan meningkatkan kualitas manusia maka pencepatan pembangunan akan terwujud. Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas memiliki keunggulan dalam pembangunan, walaupun mereka memiliki kekuranga dalam sumber daya alam.



B.  Konsep Pendidikan Dalam Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Syihab di Dalam Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣   الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَ مْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan . Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq : 1-5)

            Pada ayat pertama, kata Iqra terambil dari kata kerja qara’a yang berari menghimpun, membaca, menelaah, mendlami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan  semuanya bermuara pada arti menghimpun.  Huruf ba’ pada kata biismi berfungsi sebagai penyertaan atau mulasabah, sehingga ayat satu tersebut memiliki arti ”bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.  Adapun kata rabb seakar dengan kata tarbiyah (pendidikan).  Kata ini memiliki arti yang mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan, akan tetapi kata Rabb secara berdiri sendiri bermakna Tuhan.  Pengunaan kata rabb pada ayat pertama ini dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk di sembah dan ditaati.  Kata khalaqa dilihat dari segi kebahasaan memiliki banyak arti, antara lain menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu) contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dan sebagainya.  Berbeda dengan kata ja’ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu.  Obyek khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan, sehingga obyeknya pun sebagaimana iqra’ yang bersifat umum dan dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk. (Shihab, 2012: 454-458 Jilid 15)
            Selanjutnya pada ayat kedua kata al-insan (manusia) terambil dari kata ins yang berarti senang dan  harmonis, atau terambil dari kata nisy yang berarti lupa.  Bisa juga terambil dari kata naus yang memiliki arti gerak atau dinamika. Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut.  Yakni manusia memiliki sifat lupa dan kemampuan bergerak melahirkan dinamika.  Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya.  Kata ’alaq menurut bahasa segumpal darah, bisa juga berarti cacing yang terdapat di dalam air, bila diminum oleh binatang amaka cacing itu tersangkut di kerongkongannya.  Kata  ’alaq ada juga yang memahaminya dalam arti sesuatu yang tergantung didinding rahim.  Ini karena pakar embriologi menyatakan bahwa setelah pertemuan sperma dan indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudian delapan.  Demikian seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk ke dinding rahim.  Kata ’alaq dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia semabagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada lainnya. (Shihab, 2012: 458-459 Jilid 15)
            Pada ayat ketiga kata al-ikram biasa diterjemahkan dengan maha (paling) pemurah atau semuli-mulia.  Kata al-ikram terambil dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat sebangsanya.  Kata al-karim (ikram) mensifati Allah dalam al-Qur’an, kesemuannya menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, bahkan demikian juga kata Akram. (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Selanjutnya, pada ayat keempat dan lima kata al-qalam terambil dari kata kerja qalama yang berarti memotong ujung sesuatu,  memotong ujung kuku disebut taqlim, tombak yang dipotong ujungnya sehingga meruncing dinamai maqalim, anak panah yang runcing ujungnya dan bisa digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam, alat untuk menulis juga dinamakan qalam karena pada awalnya alat tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya.  Kata qalam di sini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan.  Ini karena bahasa sering kali menggunakan kata yang berarti ”alat” atau ”penyebab” untuk menunjuk akibat atau hasil dari penyebab  atau penggunaan alat tersebut. (Shihab, 2012: 464-465 Jilid 15)
            Menurut tafsir al-Misbah dari ayat 1-5 dari sutar al-’Alaq memiliki makna :
            Ayat pertama, perintah membaca tidak hanya cukup membaca tetapi harus mendalami, meneliti, menelaah dan menyampaikan kepada orang lain ((Shihab, 2012: 454 Jilid 15).  Perintah membaca (belajar) tidak cukup hanya dengan membaca tetapi harus bekerja keras dan memiliki kesan yang baik (penuh kebaikan) (Shihab, 2012: 455 Jilid 15).  Seluruh pekerjaan yang di mau atau berhenti di lakukan harus karena Allah, bukan karena yang lain.  Sebab aktifitas yang diterima Allah hanya yang dilakukan secara ikhlas, tanpa keikhlasan semua pekerjaan akan berakhir kegagalan dan kepunahan   Hal ini semua dilakukan sebab Allah telah menciptakan manusia dari tiada menjadi ada. (Shihab, 2012: 456 Jilid 15).
            Ayat kedua, Allah memperkenalkan sebagai Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. dan diperintahkan oleh ayat pertama untuk selalu membaca dengan nama-Nya serta demi untuk-Nya.  Dialah Tuhan yang telah menciptakan manusia, yakni semua manusia dari alaq (segumpal darah) atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim, kecuali Aam dan Hawa (Shihab, 2012: 458 Jilid 15).  Dalam memperkenalkan perbuatan-perbuatan-Nya, pencipta merupakan hal pertama yang dipertegas, karena ia merupakan persyaratan bagi terlaksananya perbuatan-perbuatab yang lain.  Pengenalan pekerjaan Tuhan tersebut tidak hanya tertuju pada akal manusia, akan tetapi juga kepada kesadaran batin dan intuisinya bahkan seluruh totalitas manusia karena pengenalan akal semata-mata tidak berarti banyak.  Sementara pengenalan hati diharapkan menghasilkan perbuatanperbuatan baik serta memelihara sifat-sifat terpuji.  (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Manusia yang memiliki keragaman sifat, adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingan manusia, tetapi juga Kitab Suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya.  Salah satu cara al-Qur’an untuk manusia supaya menghayati petunjuk allah adalah memperkenalkan jati dirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.  Ayat kedua surat al-Iqra’ menguraiakan secara singkat hal tersebut.  Dari sisi lain manusia hidup tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada yang lain. (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Ayat ketiga, setelah memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasinya yakni dengan nama Allah, ayat ketiga ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca itu.  Allah berfirman ”bacalah” berulang-ulang dan Tuhan pemelihara dan Pendidik-mu Maha Pemurah sehingga akan melimpahkan aneka karuni. (Shihab, 2012: 460 Jilid 15)
            Pengulangan kata ”bacalah” memiliki arti perintah pertama kepada pribadi Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua kepada umatnya.  Atau yang pertama bacalah pada waktu shalat dan yang kedua di luar shalat.  Pengulangan kata ”bacalah” berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa percaya diri pada Nabi Muhammad tentang kemampuan beliau membaca, karena tadinya Nabi Muhammad tidak pernah membaca.  Pengulangan membaca merupakan proses pelatihan supaya lebih sempurna. Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar beliau (Nabi) lebih banyak membaca, menelaah, memperhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulis dalam rangka mempersiapkan terjun ke masyarakat. (Shihab, 2012: 460 Jilid 15)
            Penyifatan Rabb dengan karim menunjukkan bahwa karama (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek) dikaitkan dengan Rububiyyah-Nya yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan. Kata al-ikram adalah satu-satunya ayat di dalam al-Qur’an yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut.  Ini mengandung pengertian bahwa Allah dapat menganugerahkan puncak segala yang terpuji bagi setiap hamba-Nya, terutama dalam kaitannya dengan perintah membaca.(Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Kata ”bacalah” wahai Nabi Muhammad, Tuhanmu akan menganugerahkan sifat kemurahan-Nya, pengetahuan tentang apa yang tidak engkau ketahui.  Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun obyek bacaannya sama, tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam obyek bacaan tersebut.  ”bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberi manfaat kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga, karena Dia (Allah) Akram, memiliki segala macam kesempurnaan.” (Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga, yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala perintah), yaitu membaca demi karena Allah, sedang perintah yang kedua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan kedua bahkan pengulangan bacaan tersebut. (Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Dalam ayat ketiga ini, Allah menjanjkan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah, Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.  Apa yang dijanjikan itu terbukti secara jelas.  Kegiatan membaca ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada.  Demikian juga, kegiatan membaca alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacannya itu-itu juga.  Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni adalah sama (tidak berbeda), namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang. (Shihab, 2012: 463 Jilid 15)
            Ayat keempat dan kelima, ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah, ayat ini melanjutkan dengan memberi contoh sebagaian dari kemurahan-Nya itu dengan menyatakan bahwa : Dia yang Maha Pemurah itu mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka  dari apa yang belum diketahuinya. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Pada kedua ayat tersebut terdapat apa yang dinamai ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimah lain.  Pada ayat empat, kata manusia tidak disebut karena telah tersebut pada ayat lima, dan pada ayat lima, kata tanpa pena tidak disebut, sebab sudah diisyaratkan pada ayat empat dengan disebutny pena.  Dengan demikian kedua ayat tersebut berarti ”Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan)(hal-hal yang telah diketahui sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya.  (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan dua cara yang telah ditempuh Allah dalam mengajar manusia.  Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung anpa alat.  Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ’Ilmu Ladunniy. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Dari uraian di atas penulis memetik pelajaran atau hikmah surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai berikut : 
1.      Membaca yang merupakan perintah Allah adalah kunci keberhasilan hidup duniawi dan ukhrawi. Selama itu dilakukan demi karena Alah, yakni demi kebaikan dan kesejahteraan makhluk. Bacaan yang dimaksud tidak terbatas hanya pada ayat-ayat Al Qur'an, tetapi segala sesuatu yang dapat dibaca.
2.      Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa kerjasama dengan pihak lain.
3.      Pengulangan perintah membaca yang disertai dengan penyifatan Allah dengan Maha Pemurah mengisyaratkan bahwa kendati obyek bacaan sama, namun kemurahan-Nya mengantar pembaca menemukan rahasia dan wawasan baru yang belum ditemukannya pada pembacaan sebelumnya. Bacalah alam atau al-Quran dengan nama Allah, niscaya Anda akan menemukan rahasia-rahasia baru.
4.      Sumber ilmu pengetahuan apa pun disiplinnya adalah Allah. Dia yang mengajar manusia dan mengilhaminya.
5.      Ada dua cara memperoleh pengetahuan. Pertama, dengan upaya manusia sendiri menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah, dan kedua tanpa usaha manusia, seperti yang diperoleh melalui ilham, intuisi, dan wahyu Ilahi. Yang kedua ini semata-mata karena anugerah Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

22 Mar 2013

PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI



(Dalam Perspektif Peluang Dan Tantangan)

 


 

A.  Pendahuluan
Globalisasi adalah sebuah fenomena kompleks yang telah memiliki efek luas. Tidak mengherankan, jika istilah, "globalisasi" ini telah memperoleh konotasi arti yang banyak. Di satu sisi, globalisasi dipandang sebagai kekuatan yang tak tertahankan dan jinak untuk memberikan kemakmuran ekonomi kepada orang-orang di seluruh dunia. Di sisi lain, ia dituding sebagai sumber dari segala penyakit kontemporer.(Sadegh, 1995:95)
Era globalisasi yang di tandai dengan kompetisi mutu menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa meningkatkan kompetisinya.(Jonh. dkk, 2000:132)  Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Pada era globalisasi tersebut pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat, (Mastuhu, 2007 : 26) sehingga dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia sangat di prioritaskan, dan kalau kita perhatikan bahwa di  era globalisasi ini yang dibutuhkan adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia manapun. (Tilaar,2002 :2)
Globalisasi pada competition perspektif  bahwa negara-negara akan tetap survive apabila mampu berkompetisi, karena di era globalisasi ini telah terjadi ekonomi dunia yang bebas dan tanpa batas.  Globalisasi ekonomi semakin meningkat intensitasnya yang mengakibatkan persaingan di anatara negara-negara semakin keras dan ketat.(Azyumadi,1999:45)  Persaingan yang ketat antar negara dan indivu dampaknya mengakibatkan penyakit jiwa yang kronis, sehingga menambah permasalah semakin rumit. (Asrowi, 2007:11)  Dewasa ini sudah menjadi kesepakann umum bahwa, hanya negara-negara yang memiliki keunggulanlah yang dapat bertahan dalam persaingan glabal tersebut. (Azyumardi, 1999 : 46) 
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan  dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta  pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.
Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.
Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Dalam rumusan kebijakan pemerintah dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan Nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2.      Paradigma pendidikan baru dikatakan berhasil jika memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan  serta bukan kebutuhan masyarakat secara kompetitif.
3.      Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesional, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4.      Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji dari dasar kebutuhan (need assesment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
5.      Lembaga pendidikan berorientasi pada persaingan ekonomi global, yaitu lebih mengutamakan kuantitas (jumlah) siswa daripada kualitas. Sehingga terjadi penggemukan kelas yang mengakibatkan  output yang buruk.
6.      Pasar kerja bagi lulusan sekolah masih sangat labil, khususunya Sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun pengangguran lulusan sekolah terus menurus bertambah.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya upaya peningkatan mutu pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan secara kontinyu agar dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun pribadi dan watak bangsa (nation character building) serta agar dapat mengelola dan menyusaikan dengan perkembangan globalisasi  melalui arus informasi ini, yang akhirnya pendidikan mampu berkembang secara produktif dan kreatif.  Oleh sebab itu, pendidikan sebagai aset bangsa yang paling berharga karena merupakan modal untuk membangun bagsa ini.(Amir, 1995 :131)
Perkembangan pendidikan di Indonesia  di era globalisasi dengan segala dinamikanya sungguh menarik untuk dicermati, karena pendidikan dituntut supaya memberikan yang terbaik untuk melahirkan suber daya manusia (SDM) yang kompeten untuk dipergunakan sebagai modal persaingan global yang setiap saat menekan kehidupan bangsa.  Eksistensi pendidikan ini harus dipaksa maju, jika hal ini tidak segera dilakukan globalisasi akan menggilas bangsa ini.
Penulis mengamati keadaan dunia pendidikan saat ini sedang digoncang issue dan berbagai tuntutan serta tekanan perubahan kebutuhan masyarakat global, serta ditantang supaya dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan global yang terjadi begitu pesat.  Perubahan global meminta perubahan di dalam mengelolaan dan pengolahan hidup masyarakat, pendidikan harus dijadikan tumbal untuk menjawab keadaan pasar global.  Jika keadaan pendidikan bisa dipaksa dan terfokus pada kubutuhan pasar global, tentu tantangan globalisasi dapat kita atasi secara cepat, dan peluang pasar global dapat segera dinikmati oleh segenap masyarakat.  Keberadan pendidikan yang berorientasi pada pasar global dapat tercapai, tentu membutuhkan berbagai konsep dan teori yang jitu.  Oleh sebab itu pergolakan ini harus segera dirumuskan secara seksama, agar tujuan pendidikan mampu berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.

B.  Teori Globalisasi
            Globalisasi kata serapan  berasal dari bahasa  Inggris globalization yang berakar kata global yang artinya mencakup atau meliputi seluruh dunia globalisasi juga dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa batas, .(Robertson, 1992 :12) yang memendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi peradapan dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi.  Secara lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk Indonesia.(Nata, 2005:342)
            Globalisasi dapat juga didefinisikan sebagai pengaturan dunia secara luas berdasarkan pada sebuah keyakinan terhadap sistem perdagangan sebagai sebuah pertukaran kontrol, dan pada kebebasan investasi pasar modal, yakni perpindahan sektor modal publik ke sektor swasta.. (Fontana, 1999:367)  Globalisasi juga dipahami menjadi bagian yang homogen pada kekuatan ekonomi di setiap negara, meliputi negara-negara dalam dalam hembusan badai pasar global, dan dipaksa memotong pengeluaran publik dan mendorong persaingan ketat perusahaan swasta.(Tonna, 2007:2)
Untuk ulama yang berbeda, definisi globalisasi mungkin berbeda. Menurut Cheng (2000), mungkin merujuk pada adaptasi perkembangan transfer, dan nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan norma-norma perilaku di seluruh negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia. Fenomena khas dan karakteristik yang terkait dengan globalisasi termasuk pertumbuhan jaringan global (misalnya internet, dunia e-lebar komunikasi, dan transportasi), transfer global dan interflow dalam bidang teknologi, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan belajar, aliansi internasional dan kompetisi , kerjasama dan pertukaran internasional, global village, multi-budaya integrasi, dan penggunaan standar internasional dan benchmark. .(Sadegh, 1995:95)
UNDP dalam Human Development Report (1999) menggambarkan globalisasi sebagai meningkatnya saling ketergantungan penduduk dunia, pada tingkat ekonomi, teknologi, budaya, maupun politik. Hal ini dipandang sebagai kecenderungan umum terhadap liberalisasi perdagangan ekonomi, sirkulasi yang lebih luas dari modal, barang dan produk, dan penghapusan kuasi-perbatasan nasional. Kecepatan komunikasi dan biaya yang relatif rendah pengolahan informasi telah menyebabkan jarak untuk dihilangkan. Kategori-kategori ruang dan waktu telah benar-benar terbalik. Model konsumsi, nilai-nilai, dan produk-produk budaya standar sehingga cenderung untuk membuat perilaku dan sikap lebih mirip dan menghapus perbedaan di seluruh dunia. .( Sadegh, 1995:96)
            Merujuk pada kondisi aktual yang merupakan satu kenyataan bahwa globalisasi harus dipahami sebagai kecenderungan, yakni kecenderunagn terjadi proses hubungan sosial dan ekonomi seluruh dunia.(George. Dkk, 2007:505) yang menghubungkan lokasi yang jauh satu sama lain secara intensif, sehinga kejadian-kejadian di satu tempat berpengaruh dan terjadi di tempat lain.(Arnove, 1999:10)
Jadi, istilah globalisasi dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk merujuk pada kebijakan ekonomi dan menguatkan keyakinan pemerintah, organisasi perdagangan, sistem lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.  Oleh sebab itu globalisasi diartikan sebagai fenomena untuk melihat deskripsi penggunaan istilah dan globalisasi sebagai keyakinan untuk pada fungsi yang menentukan peluang.
Globalisasi sebagai fenomena dan keyakinan dapat mempengaruhi pendidikan.  Para filosof pendidikan dan pendidik berbeda pendapat pada tedensi dan trand globalisasi.  Dalam hal ini ada tiga kelompok yang mewakili berbedaan tersebut, yaitu :
Pertama, ada yang bersikap kritis positif tentang fenomena globalisasi dan pengaruhnya dalam pendidikan.  Surian (2010) dan Jarvis (2005) berpendapat bahwa globalisasi memiliki pengaruh positif pada pendidikan apabila peneliti selalu kritis terhadap perkembangannya, karena globalisasi dapat membawa dan menyatukan orang-orang yang memiliki perbedaan, baik dari aspek ras, suku, bahasa, agama dan lain sebagainya.  Ide dan sumber daya di seluruh dunia sangat cepat dan mudah untuk diakses.  Hal ini memberikan peluang baru bagi peneliti untuk pendidikan dan penelitian.(Kellner, 2005:102)
Kedua, ada yang bersikap pesimis dalam melihat globalisasi ini.  Anggapan mereka yang pesimis ini didasari oleh teori akhlaq, sebab cepatnya informasi media akan berdampak pada ketidaksiapan publik dalam menghadapinya.  Baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain sebagainya.
Ketiga, ada yang mendukung langsung dengan globalisasi, meraka memiliki keyakinan bahwa pendidikan akan diberi tempat yang istimewa dalam melihat fenomena globalisasi, sebab pendidikan merupakan aset yang sangat menguntungkan.  Pendidikan merupakan komoditi yang bisa dijual di belahan dunia manapun. .(Kellner, 2005:111)
Menanggapi keragaman pernyataan para pakar tersebut, berfokus pada kebutuhan peserta didik sendiri pada sistem pendidikan mempromosikan marketisation dari sistem pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai jenis komodititas yang akan dijual, dibeli dan dikonsumsi dengan menggunakan pasar global sebagai tempat negosiasi penetapan pendidikan. (Hartley, 2002:251).  Pendidikan merupakan harapan pasar ekonomi dan kebutuhan pasar global.  Misalnya, penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar domestik hingga yang menjadi trand bagi kebutuhan pasar global.  Hal ini amat penting untuk dicermati, agar output pendidikan benar-benar terjual dan bersaing di pasar global.

C. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi
Globalisasi tampaknya tidak dapat dihindarkan oleh berbagai negara, banyak inisiatif dan upaya telah dilakukan untuk beradaptasi dengan globalisasi, hal ini dilakukan bertujuan mengambil peluang yang diciptakan dari itu untuk mengembangkan potensi masyarakat luas, dalam beberapa tahun terakhir ada juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan nasionalisme. Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi khususnya di negara-negara berkembang. Dampak negatif dari globalisasi meliputi berbagai jenis penjajahan ekonomi, politik, pendidikan dan budaya oleh. Tak pelak lagi, mereaka berpikir keras agar bagaimana memaksimalkan peluang dan manfaat dari globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan mengurangi ancaman dan dampak negatif dari globalisasi, hal ini merupakan pekerjaan besar yang  menjadi perhatian utama negara-negara berkembang.( Sadegh, 1995:96)
Seperti disebutkan di atas, globalisasi adalah menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, teknologi, nilai-nilai sosial, pendidikan dan norma-norma perilaku serta perkembangan, mereka mempromosikan diri pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di berbagai negara.  Konsep yang mereka usungpun beragam, dan memiliki corak pasar yang bersaing. (Cheng, Y. C. (2000) and Brown, T. (1999).
Secara khusus, keuntungan dari globalisasi dapat meliputi :
1.      Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang diperlukan untuk beberapa perkembangan pada tingkat yang berbeda
2.      Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara, masyarakat, dan individu
3.      Menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya.
4.      Mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama, harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan wilayah
5.      Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar negara. (ILO : 2004 )

Pada saat yang sama, globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif serius bagi negara berkembang dan negara terbelakang. Ini juga merupakan alasan utama mengapa ada begitu banyak gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia terhadap kecenderungan globalisasi khususnya di bidang ekonomi, politik dan pendidikan. Dampak negatif dari globalisasi berbagai aspek, di antaranya penjajahan politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara maju ke negara-negara berkembang dan meningkat pesat kesenjangannya, antara daerah kaya dan daerah miskin di berbagai belahan dunia. Secara khusus, dampak negatif potensial meliputi:
1.      Meningkatkan kesenjangan teknologi dan digital membagi antara negara maju dan negara-negara kurang berkembang
2.      Menciptakan peluang yang sah lebih untuk negara-negara maju untuk beberapa bentuk baru penjajahan negara-negara berkembang
3.      Meningkatkan kesenjangan dan konflik antara daerah dan budaya
4.      Mempromosikan nilai-nilai budaya yang dominan (budaya negatif) dari beberapa daerah maju. (Brown :1999).

D. Pendidikan Islam di Era Globalalisasi
Pendikan merupakan faktor utama yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh dengan tantangan.  Demikian pula pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur’an dan Hadits. (Muhaimin, 2006:4)
Dengan memperhatikan pendefinisian diatas, pendidikan Islam sebagai upaya pengejawantahan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadits, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang di berikan kepadanya amanat sebagai ‘abd dan juga menjadi khalifah di muka bumi. Secara lebih khusus, pendidikan Islam bermaksud untuk :
1.      Memberikan pengajaran al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
2.      Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran tersebut bersifat abadi.
3.      Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang ada dalam masyarakat dan dunia.
4.      Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis iman adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
5.      Menciptakan generasi yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.      Mengembangkan manusia islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. (Wahid, 2009:11)

Jika mengingat betapa luhur tujuan pendidikan Islam tersebut, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk kembali kepada khiththah pendidikan Islamnya. Apalagi keberadaan pendidikan Islam di era globalisasi ini harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya, bukan menjadi counter attack yang justru akan berseberangan dengan semakin pesatnya kemajuan. Sebab, era ini akan terus berjalan maju dan tidak akan mengenal siapapun yang akan menjadi penikmatnya, dan kemajuannya akan mampu menggilas dan menggerus apapun yang menghalanginya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mc. Luhan bahwa manusia mesti merasa berada dalam suatu pesawat antariksa yang sama, yaitu bernama planet bumi. Dimana tak ada yang sekedar berstatus penumpang namun semua adalah awak kapal. Manusia harus menyadari keberadaannya dalam teater bumi, dimana tak ada yang hanya jadi penonton tapi semuanya menjadi pelakon.( Bambang, 2010 )Hal ini  merupakan sebuah fenomena yang nyata terjadi di era digital informasi yang menjadikan dunia ini terasa sempit. Maka pendidikan Islam seharusnya membuka wacana sebuah pendidikan global yang mampu mengantarkan generasi muslim pada sebuah peradaban modern.
Adapun konsep pendidikan global tersebut atau yang disebut juga multi cultural education yang mana pendidikan berpandangan tentang masalah yang mendunia. Dengan berpandangan bahwa upaya menanamkan pandangan dan pemahaman tentang dunia kepada peserta didik dengan menekankan pada saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan planet bumi. Pendidikan global menekankan pada peserta didik berfikir kritis dengan fokus substansi pada hal-hal yang mendunia yang semakin bercirikan interpendensi, serta bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, skill, dan sikap yang diperlukan untuk hidup di dunia yang sumber dayanya kian menipis, ditandai keragaman etnis, pluralisme budaya dan saling ketergantungan. (Winarno, 2011) Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif. (Nata, 2003:78)
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya, sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan.( Sanaki, 2011) Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia global.
Demi mewujudkan masyarakat madani tersebut, terdapat 10 (sepuluh) prinsip pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu :
1.      Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
2.      Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3.      Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan.
4.      Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5.      Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6.      Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
7.      Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
8.      Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan.
9.      Prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
10.  Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat globa.( Jalal, 2001:17)

E. Aspek Kelemahan Pendidikan Dan Solusinya Di Era Globalisasi
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program pendidikan.   Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1.      Titik berat pendidikan pada aspek kognitif
2.      Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3.      Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran
4.      Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa
5.      Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6.      Praktik dan teori kurang berimbang
7.      Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8.      Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan
9.      Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.      Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam  mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).
2.      Dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
3.      Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge  tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building).
4.      Perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
5.      Harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan  kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.
6.      Sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin   bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara  teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja.
7.      Perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
8.      Profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan pemerintah.
9.      Pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah  satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan   kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya  tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang  mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan  yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy  (PERC) tahun 2001, jauh di bawah Vietnam.  Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain. Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society.
Orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya.  Jika pendidikan berkiblat pada Jepang dan Korea Selatan tentu akan memiliki mental juang yang bagus, walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.  Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana (2000)  memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
1.      Emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.
2.      Consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang.
3.      Futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
4.      Kualitas. Mutu  adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
5.      Kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.

F.  Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era globalisasi  telah memberikan berbagai macam problem baik tentang bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer, televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi hal yang komplek dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual. (Nata, 2003:78)
Di sisi lain, Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. (Wahid, 2011:60) Secara lebih terperinci beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah :
  1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat.
  2. Dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya.
  3. Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku.
  4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat. (Rafiq, 2010)
Inilah menurut para pakar pendidikan yang menjadi PR. besar bagi setiap institusi pendidikan khusunya pendidikan Islam.  Dengan melihat fenomena tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perubahan dalam segala bentuk dan sistem baik bersifat personal maupun global bisa terjadi dalam hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Maka ini merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur. Walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan landasan tujuan pendidikan Islam. Seperti telah difirmankan Allah swt dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11, “…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …”.
Dengan demikian, Islam menganjurkan adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Pemahaman yang demikian perlu ditumbuhkembangkan pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi kedepan. Memeperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran terhadap berbagai perubahan dengantanpa kehilangan pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi merupakan sunnatullah. Maka sikap yang harusdibentuk adalah sikap kreatif-proporsional, dengan wacana filsafat pendidikan multikultural dan realitas masyarakat plural, posmodernisme, integrasi interkoneksi ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya perlu dikaji. Maksudnya, agar peserta didik menjadi generasi yang mampu menyesuaikan diri dan tetap efektif berjuang di tengah perubahan sosial yang mendunia tanpa kehilangan komitmen serta sikap ketakwaan. Dalam pada itu, generasi tersebut dapat mengambil posisi subyek yang ikut memainkan peranan dan tidak sekedar menjadi penonton atau tamu di sebuah desa global dengan realitas budaya yang ada.( Janan, 2009:83-84)
Dengan mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam diatas, telah memberikan sebuah inspirasi bahwa menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan adalah tugas pendidikan Islam. Hal itupun tidak terlepas dari berbagai peluang yang dapat dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta didik untuk lebih dapat bersaing dan berkiprah di desa global yang tanpa batas.
Berangkat dari perspektif tersebut, peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat diperincikan sebagai berikut :
  1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia, yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
  2. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan.
  3. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil.
  4. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik.
  5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adlah pendidikan yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill. (Wahid, 2011:63)
Dari pernyataan-pernyataan di atas, sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu posisi sehingga dapat berperan aktif di era global. Namun hal tersebut harus dilandasi beberapa syarat yang dapat menjadikan lebih eksisnya pendidikan Islam di era global village dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain; Pertama, pendidikan Islam harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan aktif dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan.  Kedua, pendidikan Islam seyogyanya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi media utama transformasi informasi. Dengan mengembangkannya dengan berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan e-learning, e-book, tafsir digital dan lain sebagainya.


G. Penutup
Era globalisasi adalah sebuah era di mana setiap informasi dapat diterima dan diserap oleh seluruh penduduk bumi, tanpa batas penghalang yang dapat menghalanginya. Luasnya dunia sudah tidak lagi menjadi penghalang untuk penyebaran berita dan isu apapun yang up todate. Hal ini tentunya menjadi hal yang baru bagi beberapa orang yang belum memiliki pemikiran yang maju, dan bahkan akan menjadikannya hanya akan terlindas oleh cepatnya pertumbuhan teknologi dan kemajuan zaman, karena tidak sanggup menghadapi perubahan yang demikian cepat.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan adalah faktor yang dapat dijadikan sebagai jaminan bagi pengembangan sumber daya manusia, sehingga dapat menghadapi tantangan global dengan era digital informasi. Demikian pula pendidikan Islam, yang lebih cenderung membawa misi religiusitas pun juga harus ikut berperan di dalamnya. Dengan membekali para peserta didiknya dengan kekuatan keimanan, ketakwaan, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berimbang sehingga dapat membawa para peserta didik tersebut pada kondisi yang siap menghadapi segala tantangan era informasi (globalisasi).
Pemahaman yang menyoroti fakta bahwa kebijakan ekonomi di sebagian dunia jarang dianggap pendidikan sebagai investasi untuk masa depan atau sebagai kunci pembangunan, dan bahkan kurang sebagai hak dasar manusia. Dampak dari kebijakan-kebijakan di semua tingkat sistem pendidikan di dunia, dengan pengecualian negara-negara industri, telah sangat dirasakan. Dampak tersebut termasuk memburuknya kondisi pengajaran, kurangnya jumlah perusahaan sekolah dan peningkatan jumlah per kelas, khususnya di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan demografi yang kuat, hilangnya kualitas pengajaran sering disebabkan oleh tingkat kualifikasi guru dan kondisi material di mana mereka melaksanakan profesi mereka, dan akhirnya, hilangnya relevansi mengenai program pendidikan itu sendiri.
Namun dari berbagai kajian yang ada, masih tetap banyak permasalahan yang harus segera dicarikan solusinya.  Di antaranya :
1.      Krisis di masa kini dalam sistem pendidikan konvensional hanya sindrom masyarakat mengalami perubahan besar. Lembaga politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan nilai-nilai serta simbol-simbol di jantung lembaga-lembaga tersebut, telah menjadi dioperasi dan usang dalam fungsi mereka, penerapan peraturan tidak mampu mengintegrasikan anggota individu yang sama dari masyarakat yang bersangkutan.
2.      Bagaimana upaya pendidikan menanggapi tantangan meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan dari belahan dunia dan orang-orang dari intoleransi dan kekerasan yang mempengaruhi semua masyarakat dan bahkan dapat ditemukan di dalam sekolah itu sendiri.
3.      Bagaimana pendidikan menjawab kebutuhan masyarakat yang multikultural, dalam keragaman budaya, agama dan etnis dari berbagai masyarakat global membutuhkan pengakuan keselarasan dari keragaman tersebut.  Kebutuhan masyarakat tertentu sebagai penikmat (hidup foya-foya) pada saat yang sama berintegrasi sosial dan ekonomi, sehingga gaya hidup mereka menjadi budaya mayoritas
4.      Bagaimana upaya trand menuju globalisasi, standardisasi, dan homogenisasi budaya model dapat diselaraskan, dan bagaimana pula kita bisa mendamaikan pertikaian yang semakin kuat terhadap keanekaragaman budaya dalam bentuk yang paling ekstrim.
Dalam kedok (konsep) baru, pendidikan berkelanjutan dipandang sebagai satu model yang akan jauh melampaui apa yang sudah dipraktekkan, terutama di negara-negara maju, yaitu, pura-pura meningkatkan mutu pendidikan, menyelenggarakan pelatihan dan program konversi atau promosi untuk orang dewasa. Ini seakan-akan membuka kesempatan belajar bagi semuanya, untuk berbagai tujuan yang menawarkan kesempatan kedua atau ketiga bagi publik yang  hanya supaya  memuaskan haus dan dahaga mereka akan pengetahuan, keindahan, atau keinginan untuk berusaha melampaui takaran diri sendiri, sehingga menurut mereka memungkinkan untuk memperluas dan memperdalam bentuk pendidikan kejuruan, beserta pelatihan praktis. (Unesco,1996:111).















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Salih, Educational Theory Qur’anic Theory (Mekkah: Ummul Qura University, tt).
Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
'Ali, Hasan Abd. al, Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi'al-Hijryi (TT: Dar al-Fikr al-'Araby,tt)
Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994).
Asep Suryahadi, Globalization And Wage Inequality In Indonesia A Cge Analysis(Journal) The SMERU Research Institute : : April 2001
Asrowi, Psikologi Global (Dalam Perspektif Globalisasi),Jurnal Pascasarna UIN Jakarta, 2006
Asifudin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis), Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009
Aziz, M. Amin, “Islamisasi sebagai Isu”, Ulumul Qur’an, Volume II, No. 4. 1992
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modrnisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
------, Islam in The Indonesian World, Bandung : Mizan, 1996
------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.
-----, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994)
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-3.
Brown, P. & Lauder, H.. Education, globalization, and economic development. Journal of Education Policy, (1996) 11(1),
Brown, T.. Challenging globalization as discourse and phenomenon. International Journal of Lifelong Education, (1999)18(1)
Bendit, R. and W. Gaiser, Integration and Segregatio of Young People in a Changing World, Prospects, (1995) Vol. xxv, No.3, Sept
Cheng, Y.C. A CMI-Triplization Paradigm for Reforming Education in the New Millennium. International Journal of Educational Management. . (2000) 14 (4), 156-174.
Daud, Wan, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Deming, Edward W., Out of The Crisis, Cambridge: Cambridge Univercity, 1973
Dewey, John,  Democracy and Education, Encyclopedia Americana, 1979
Fahrina, Pendidikan Islam Di Era Globalisasi: http://fahreena.wordpress.com/2010/07/02/pendidikan-islam/
Faruqi, Ismail Raji al, Islamisasi Pengetahuan, (terj.) oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge, Bandung: Pustaka, 1984.
Freire, Paulo,  Pendidikan Kaum Tertindas,  terj. Pedagogy of the Oppressed, Jakarta: LP3ES, 2000, ceet. Ke-3
Geertz, Clifford, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesia Case”, da’am Quest, vol. 39 (Bombay: 1963). Hadi S, Qamarul, Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986
George Ritzer, Dkk., Modern Sociological Theory, (terjemah) Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Hossein Nasr, Syed, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Mizan, 1983
Hossein, Science And Civilization In Islam, (Cambridge: Harvard University press, 1968).
Ilich, Ivan, Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, terj. Deschooling Society, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, ed. Ke-1, cet. Ke-2
ILO, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All, Geneva, International Labour Office (2004)
Ismadi, Bambang, “Prasyarat strategis pengembangan IPTEK dalam era globalisasi”, http://pdfmachine.com
Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita, 2001
Jenie, Umar A., Paradigma dan Religiositas Perkembangan Iptek, dalam buku Religiusitas Iptek, Yogyakarta: 1998, cet.  Ke-1.
Kellner, Douglas, Globalization September 11, and the Recructrring of Education, In Critical, Redical Pedagogies, Global Conflicts, 2005
Makdisi, George. The Rise of Colleges (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1981).
Marimba, Ahmad  D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980
Mark K. Smith, The place of informal and non-formal education in development - the experience of the south.(jurnal). http://www.infed.org/biblio/colonialism.htm
Mc Clelland, David C, The Achieving Society, The Mcmillan Company, 1961
Menjejaki Model-model Pengembangannya, dalam buku Quo Vadiss Pendidikan Islam (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Michelle Attrae Tonna, Teacher Education in a Glabalization Age, (Journal) Critical Education Police Studies Vol.5, No.1 (mei 2010)
Mohd Abbas Abdul Razak, Globalization And Its Impact On Education And Culture: Department of General Studies, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences,  World Journal of Islamic History and Civilization, 1 (1): 59-69, 2011
Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul, Pendidikan Islam Kontemporer, Bandung : PT. Refika Aditama, 2009
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
Mulkhan, Abdul Munir, Rekosntruksi Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, dalam buku Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1998)
Naquib Al-Attas, Syed Muhamad, Konsep Pendidikan dalam Islam, Mizan, Bandung: 1987
Narmoatmojo, Winarno, “Dinamika Peradaban Global dan Pengaruhnya Bagi Negara dan Bangsa”, http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/ files/2009/10/dinamika-perd-global.pdf
Nata, Abuddin, Tema-Tema Pokok al-Qur`an (Jakarta : Biro Mental DKI, 1993)
Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor : Kencana, 2003
Pinelopi Koujianou Goldberg And Nina Pavcnik Distributional Effects of Globalization in Developing Countries Journal of Economic Literature Vol. XLV (March 2007)
Qamarul Hadi, S., Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986.
Rachman, Arief, Kualitas Pendidikan Harus Dimaksimalkan, Media Indonesia, 30 Mei 2002
Rafiq, Mohd. “Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi”, idb2.wikispaces.com/file/view/ok2015.pdf
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Mizan, Bandung: 1996
Rahardjo, Mudjia, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sosiologi Islam sebagai Sebuah Tawaran, dalam buku Quo vadis Pendidikan Islam,  (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Rahman, Budy Munawar, ed., Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta: 1995
Ramayulis, Studi Tentang Konsep Pendidikan Mohammad Natsir (Batusangkar: Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Batusangkar, 1979)
Robert F. Arnove, Reframing Comparative Education The Dialectic of  The Global and The Local: Journal Vol.13, No.2
Robertson, Globalization : Sosial Theory and Global Cultur, londeon: Sage, 1992
Ronald A. Lukens-Bull, Teaching Morality Javanese Islamic Education In A Globalizing Era (Journal)University Of North Florida, Jacksonville: 2001
Sadegh Bakhtiari, Globalization And Education Challenges And Opportunities (Journal) Isfahan University, Iran 2010
Saiful Akhyar Lubis, Islamic Education Toward The Era Of Social Change: Effort In Enhancing The Quality(Journal) 2009
Salam, Solihin, Wajah Nasional (Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam, 1990)
Sanaki, Hujair AH., “Paradigma Baru Pendidikan Islam”, http://Www.Sanaky.Com/Materi/Paradigma_Br_Pendidikan_Islam_Sebuah_Upaya.pd
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, terj. AE Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Sari Sitalaksmi, Dkk. Globalization and Working Conditions: Evidence from Indonesia (artikel) PDF
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994).
Sudjana, HD., Manajemen Program Pendidikan, Bandung: Falah Production, 2000
Suwito, Pendidikan yang Memberdayakan, Makalah Pengukuhan Guru Besar di Bidang Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Januari 2002.
Syalabi, Ahmad. Al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1982)
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia, Bogor : 1999
Tilaar, H.A.R., Kajian Kritis Sistem Pendidikan Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional  “Mencari Paradigma Baru Pendidikan Nasional Memasuki Milenium III dalam HUT PGRI di Jogjakarta.
UNESCO, Learning the Treasure Within, Paris, Co-publication Unesco/odile Jacob Publishers. (1996)
Wahid, Marzuki, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1.
Weber, Mark, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism, Simon dan Schuster, New York, 1980.
Yunus, Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta : Hidakarya Agung, 1978).
Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22