20 Sept 2014

MODERNISASI DI DALAM ISLAM

MODERNISASI DI DALAM ISLAM
(Tinjauan Tentang Islam Dan Pluralisme)



A.  Pendahuluan
Modernisasi[1] merupakan suatu perubahan yang biasa disebut masyarakat modern, terlepas apakah mengandung unsur manfaat atau mudhorat.  Setiap perubahan di masyarakat saat ini selalu membentuk berbagai warna kehidupan, baik dari aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain  sebagainya.
Dari berbagai modernisasi menurut sebagaian kalangan muslim dianggap merusak berbagai karakter dan pemikiran generasi penurus (pemuda Islam) yang selanjutnya mereka namai sebagai aliran atau faham liberalisme[2], pluralisme, [3] dan sekuler[4] sebagaian kalangan muslim mengklaim bahwa setiap paham  berbau modernisasi yang berbentuk liberal dan plural difatwakan oleh mereka sebagai faham sesat dan menyesatkan.
Istilah pluralisme agama yang baru-baru ini muncul dengan penuh janji akan menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama.  Dengan pluralisme mereka banyak berharap bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan, status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk.  Dari berbagai gagasan janji  pluralisme tersebut, di harapan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.[5]
Permasalahan-permasalahan tentang modernisasi yang cukup mendapatkan perhatian cukup besar adalah issue pluralisme agama, issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman  kebenaran obsolut antar agama yang saling berseberangan.  Setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lainnya sesat semuanya.  Klaim ini kemudianmelahirkan keyakinan yang biasa disebut doktrin keselamatan (doctrine of salvation), bahkan keselamatan atau pencerahan atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk gama lainakan celaka dan masuk neraka, sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayanaatau Theravada pada agama Budha, dan juga antar kelompok Islam yang beragan.  Realitas tersebut telah mengantarkan pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.[6]
Issue pluralisme ini sering diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup besar, malah faktor utama dalam menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, perang, dan pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic dleansing atau genocide).  Di satu pihak, teknologi dan komunikasi modern telah menjadikan jagad ini hamper seperti global village.  Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan menakutkan, seperti yang kita saksikan antara Kristen dan Islam di Bonia-Herzegovina, Filipina Selatan, Sudan Selatan dan kepulauan Maluku Indonesia.  Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah, Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katholik di Irlandia dan sebagainya.[7]
Fenomena pluralisme agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus di hadapi masyarakat modern.  Untuk itu pertama kali dalam sejarahnya manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah dalam satu kota dan bahkan satu geng atau agama yang sama .  fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri.[8]
Dari berbagai gambaran di atas, dari berbagai keragaman agama dan keyakinan timbul berbagai gejolak dan prahara di masyarakat, permaslahan tersebut perlu adanya solusi yang jitu supaya kerukunan dan kehidupan umat manusia bisa tetap berlanglung secara damai.
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis tidak membahas pluralisme dari berbagai agama, akan tetapi dibatasi pada fenomena dan pluralisme di dalam agama Islam.   Fenomena perbedaan faham dalam islam kerap kali kita jumpai pada masyarakat, yang kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri.  Penyebab yang timbul dari perbedaan itu di antaranya, Perbedaan di dalam memahami kandungan Al-Qur’an, hadis Nabi dan perkembangan masyarakat Islam yang ikut berkecimpung di era globalisasi.
Sehingga dari keragaman memahamii Islam itu mencul berbagai gejolak negativ di masyarakat, yang kemudian memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, sebab bias lebih memperparah keadan umat islam itu sendiri.  Misalnya, timbul berbagai tanggapan negative dari beberapa kalangan muslim seputar pemikiran islam, diantaranya setiap ada suatu perbedaan faham tidak segan-segan kelompok muslim satu dengan yang yang lain saling memurtadkan dan mengkafirkan.  Hal ini akan sangat mempengarui kehidupan masyarakat Islam secara luas khususnya manyarakat kalangan bawah yang kurang mengeyang pendidikan formal.  Padahal umat Islam masih banyak ketinggalan dari berbagai aspek ilmu pengetahuan.  Contoh nyata adalah komentar para salafi terhadap khalafi yang sering kali menimbulkan keresahan di masyarakat karena dipandang sebagai pemahaman yang liberal,   contoh kasus lain seperti komentar Hartono Ahmad Jaiz[9] terhadap para pembaharu Islam di Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI)  tidak sedikit masyarakat terhasut yang selanjutnya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar umat Islam.
Maka, dalam makalah ini penulis mencoba membahas pluralisme agama yang ada di dalam Islam dengan harapan penulis bisa lebih memahami dan memaklumi setiap perbedaan yang timbul di dalam pemahaman dan mengamalan ajaran Islam.
B.     Agama Islam dan Pluralisme
            Islam merupakan suatu agama yang diakui kebenaranya oleh sebagaian besar masyarakat dunia khususnya Indonesia.  Islam murupakan salah satu agama yang di ada di dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk di da’wahkan kepada umat manusia secara lembut dan penuh kasih sayang, tidak di da’wahkan dengan kekerasan dan peperangan.  Tidak seperti kejadian-kejadian saat ini Islam menurut anggapan sebagaian kelompok muslim yang memahami agama Islam dengan Statmen amal ma’ruf nahi munkar yang selanjutnya diterjemahkan secara aplikatif dengan upaya memberantas agama lainnya dan da’wah dengan kekerasan dan membesar-besarkan permusuhan antar umat beragama. Bahkan sebagian kelompok muslim initidak hanya menciptakan permusuhan antar agama akan tetapi dengan kelompok Islam lainnya pun mereka berseteru dngan berbagai hujatan-hujatan yang sama sekali tidak mencirikan Islam sebagai agama Rahmatullil’alamin. (memberikan ketenangan seluruh manusia)
            Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, agama Islam merupakan agama Rahmatullil’alamin tentunya harus bisa menerima perbedaan (ikhtilaf) dari berbagai aspek kehidupan khususnya kehidupan beragama dan harus selalu berdampingan dengan keyakinan agama lain dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Hal ini sudah pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam membentuk masyarakat Madaninya.  Beliau hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dengan penuh kedamaian dan kasih sayang, sehinnga dalam hal ini wajar jika dalam buku The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in History[10] beliau menjadi orang nomor wahid di bandingkan dengan figur pemuka-pemuka tokoh dunia lainnya.
            Dari pemaparan yang sekilas ini nampak jelas bahwa agama Islam khususnya Nabi Muhammad sebagai penyampai risalah syariat agama Islam menerima pluralisme dan beliau merupakan penggagas pluralisme pada masyarakat dan umat Islam yang diilhami dari Al-Qur'an.  Adapun perpedaaan yang terjadi seputar pemahaman figur Nabi Muhammad menurut penulis merupakan suatu keyakinan yang dilandasi ilmu pengetahuan yang kurang memadai tentang Islam, mereka hanya lebih mengedepankan fanatik agama dan keyakinan yang berlebihan serta emosi yang tidak terkontrol. 
            Adapun issue pluralisme agama Islam saat ini merupakan suatu pengembangan pemikiran agama searah dengan perkembangan zaman modern dan globalisasi[11] yang di dasari dari berbagai sumber yang cukup kompeten dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan para umat dan kelompok-kelompok muslim yang kurang bahkan menolak pluralisme agama Islam.
           
C.     Al-Quran Dan Pluralisme
            Al-Qur'an[12] merupakan sumber ajaran dari syariat Islam, hal ini merupakan kesepakatan seluruh golongan dan kelompok Islam yang ada saat ini. Orang yang membaca dan memahami Al-Qur'an apabila secara seksama memperhatikandari ayat emi ayat surat demi surat akan menemukan kandungan pluralisme  di dalamnya.  Bukti yang kongrit adalah lahirnya berbagai tafsir yang berfariasi dan beragam warna serta  coraknya, yang selanjutnya   muncul berjilid-jilid kitab tafsir yang hampir kesemuannya memiliki gaya pembahasan yang berbeda serta melahirkan berbagai bentuk pemikiran yang cukup beragam[13], akan tetapi kesemuanya tidak saling berbenturan menurut esensinya.
            Selanjutnya, dari keragaman tafsir tersebut bermunculan berbagai metodologi ilmu pengaetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur'an, di antaranya Ilmu tafsir dan kaedah-kaedah lainnya yang terus berkembang dan plural.  Dari berbekal fondasi metodologi tafsir tersebut tumbuh berkembanglah  beribu-ribu karya cipta dalam berbagai disiplin ilmu, yang kesemuannya itu merupakan bukti pluralisme.
            Al-Qur’an tidak sekedar mengungkapkan isyarat-isyaarat pluralisme secara umum,bahkan Al-Qur'an juga menanamkan kaedah-kaedah yang bisa memperkuat pluralisme.  Kaedah-kaedahini mencapai puncaknya ketika al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap pluralisme  agama untuk bisa hidup berdampingan.  Di antara kaedah-kaedah yang menopang pluralisme tersebut adalah sebagai berikut :[14]
1.      Nash-nash yang menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan, dan dengan demikian otomatis menafikanfaham ketunggalanmasyarakat.  Al-Qur'an menegasakan pluralisme  yang dimulai dari suami istri, atau suami dengan beberapa istrinya dalam kehidupan rumah tangga yang kemudian membentuk masyarakat (mujtama’).  Pluralisme  paling tidak dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٦﴾
Mahasuci Zat yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan dari apa yang tumbuh dari bumi”(QS.Yasin : 36)

وَاللَّهُ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجاً ....... ﴿١١﴾
“Allah  menciptakankaliandari tanah kemudian air mani kemudian menjadikan kalian berpasang-pasangan” (QS.Fathir: 11)

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٤٩﴾
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Ad-Dariyat 49)

2.      Penetapan prinsip derajat kebaikan yang menjelaskan adanya perbedaan antar pemilik derajat tersebut, ini berarti pluralisme. Al-Qur'an menggunakan kata derajat ini untuk membedakan golongan-golongan yang menghampar dikalangan umat Islam.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ ……. ﴿١٦٥﴾
          Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS.al-An’am 165)

……….  وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ ﴿٣٢﴾
            Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Az-Zuhruf 32)

3.      Adanya prinsip berlomba dalam kebajikan (istibaq Al-khairat).  Gambaran Al-Qur'an mengenai hal ini menyangkut kebebasan indifidu.  Dengan tanpa penyeragaman.  Ayat-ayat yang berkaitan mengenaimasalah tersebut adalah;
…. فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ….. ﴿١٤٨﴾
“….Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan…….”(QS.al-Baqarah 148)

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
“ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”(QS.al-Maidah 48)

Selain ayat di atas masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang meneramgkan persoalan di atas, di antaranya : at-Taubah 100, Fathir 32 dana al-Hadid 21.
4.      Penetapan prinsip pembelaan (at-Tadafu’).  Prinsip ini memiliki implikaasi lebih kuat dibandingkan prinsip berlomba-lomba dalam kebajikan.  Dalam prinsip pembelaan terdapat dua ayat yaitu ;
فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الأَرْضُ وَلَـكِنَّ اللّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٢٥١﴾
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”(QS.al-Baqarah 251)

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ﴿٣٩﴾ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ﴿٤٠﴾
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”.(QS. al-Haj 39)
“Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.((QS. al-Haj 40)

Masing-masing ayat tersebut menggambarkan suatu masyarakat dengan gairah aktifitasnya serta adanya persaingan antara kebenaran dan kebatilan.  Pluralitas atas kenyataan tersebut diisyaratkan dalam penyebutan kata-kata shawami’ (tempat-tempat pertapaan Rahib), masajid (masjid-masjid), shalawat (shalat-shalat) dan bai’ (jual-beli), yang kesemuanyya mengandung arti plural.
5.      Anugerah Allah  yang bersifat menyeluruh. Al-Qur'an menggambarkan tentang orang-orangyang mengalahkan masalah dunia demi mengejar akhirat.  Yaitu orang-orang yang telah menyerahkan dirinya kepada kekalahan, dan menganggapnya sebagai suatu kenyataan yang mesti diterima sebagai lemehan manusia.  Padalah Allah  menjelaskan bahwa manusia tidaklah terhalangi dari anugrah-Nya di dunia ini, sebagaimana perhitungan (hisab) Allah  juga tidak akan di jatuhkan saat ini.  Hisab hanya akan terjadi kelak di akhirat.

6.      Penetapan prinsip kebebasan berkeyakinan (hurriyat al-I’tiqad).  Bisa jadi penetapan Al-Qur'an terhadap prinsip ini adalah dalil terpenting dalam wacana pluralisme, yaitu wacana yang dianggap menjadi poros penting dari semua agama yang ada.  Keyakinan ini jelas memuat nilai pluralisme  yang kental di dalamnya.  Hal itu bisa ditemukan dalam ayat semisal ;
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ……. ﴿٢٥٦﴾
“Tiada paksaan dalam beragama,(QS. Al-Baqarah : 256)

atau ayat kebebasan beri’tiqad tersebut juga ditemukan dalam surat :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ ﴿١٠٨﴾
“ Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS. Yunus 108)

مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً ﴿١٥﴾
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.(QS. al-Isr’ 15)

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقاً ﴿٢٩﴾
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.(QS. al-Kahfi 29)

Al-Qur'an menjelaskan bahwa da’wah Islam  tidak perlu diikuti dengan kekerasan dan tipuan, tau berharap supaya ajakannya mesti dituruti.  Bilamana ternyata ajakannya tersebut ditolak hanya akan menjadikan ia merasa gagap atau terbebani.  Bukankah hidayah itu adalah milik Allah , dan peranan Rasul hanyalah menyampaikan risalah belaka.  Oleh sebab itu tidak perlu berputus asa dengan penolakan yang diterimanya.  Penjelasan ini bisa dilihat dari Al-Qur'an surat :
لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾
“ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. al-Baqarah 272)
dan beberapa ayat yang lain, di antaranya : Yunus 99-100, al-Kahfi 6 dan Abasa 5-7.

 Penegasan Al-Qur'an terhadap prinsip-prinsip diatas menunjukkan bahwa Al-Qur'an memahami masyarakat manusia dengan pemahaman yang benar dan mendasar.  Al-Qur'an sangat menhormati watak dasar manusia yang tidak hanya durhaka selamanya, tetapi juga memilikipotensi kebaikan.  Oleh karena dari beberapa gambaran tersebut bisa ditarik satu wacana bahwa Al-Qur'an menyetujui pluralisme .

D.    Tauhid dan Pluralisme
            Keyakinan beragama di antara umat tentu didasari beberapa sebab, pada fitrahnya setiap manusia (individu) orang yang suci, ada faktor-faktor yang menjadikan mereka berbeda keyakinan.  Secara  garis besar orang tualah yang menanamkan keyakinan dan prinsip-prinsip agama kepada anak-anaknya. Hal bisa kita petik dari sabda Nabi Muhammad “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [15]
            Pandangan Islam terhadap agama lain pada dasarnya berangkat dari aqidah (tauhid) yang tertuang di dalam lafad “la ilaha illallah” (tiada tuhan selain Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam dan relitas fundamental dalam agama Islam.
            Tauhid yang tertuang dalam kalimat “la ilaha illallah” mengimplikasikan adanya dua hakekat yang keduanya saling berbeda dan dikotomis, yaitu hakekad ketuhanan  (uluhiyah) dan hakekad kehambaan (ubudiyyah).  Hakekad ketuhanan hanya di miliki Allah, sedangkan hakekad kehambaan dimiliki manusia.  Tahid inilah yang sebenarnya merupakan pokok semua agama yang diajarkan oleh semua utusan.[16]
            Konsep ketuhanan dan kehambaan ini telah tertuang di dalam al-Qur’an dengan sangat jelas dan bahkan berulang-ulang bersama kisah rasul, ayat-ayat tersebut adalah :[17]
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنِّيَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٥٩﴾
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS.al-A’raf 59).
            Dari ayat-ayat tersebut di atas menggambarkan tentang kesatuan ketuhanan bagiAllah swt dankesatuan kehambaan bagiselainnya.  Maka implikasinya, semua manusia sebagai makhluk insani berasal dari  asal yang tunggal entitas yang satu.  Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya :
            “Ingatlah, bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kaliansatu, ingatlah tidakada kelebihan bagibangsa Arapatas bangsa lainnya, tidak ada kelebihan bagi bangsa lainnya atas bangsa Arab, tidak ada kelebihan bagi kulit putih atas kulit hitam, dan tidak ada kelebihan bagi kulit hitamatas kulit putih, kecuali dengan ketaqwaannya”[18]

            Oleh sebab itu manusia seluruh manusia itu sama di depanAllh, karena manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Allah hanya untuk mengimplementasikan kehendak, dan hukum-hukum-Nya di muka bumi, yakni berperansebagai khalifah,  tugasnya tidak lain agar mewujudkan kedamaian dan penghambaan serta penyembahan mutlak kepada Allah.  Satu-satunya orang bisa mencapai nilai keunggulan komparatif di antara satu dengan yang lainnya hanyalah taqwa dan amal saleh, dan bukan dari kedunyaan,seperti nasab, harta benda, jabatan, ras, suku, kabilah dan lain-lain.[19]

E.     Pluralisme  Dalam Masyarakat Islam
            Masyarakat merupakan suatu kumpulan indifidu-indifidu manusia yang membentuk satu kelompok atau golongan tertentu.  Satu satu masyarakat kecil lambat laun akan terus berkembang di seluruh aspek hidupnya baik aspek jumlah penduduk, tingkat ekonomi, budaya, pemikiran dan lain sebagainya. 
            Pada perkembangan masyarakat tentunya akan muncul keragaman hal dan corak hidup seiring tuntutan hidup, hal ini akan banyak melahirkan berbagai permasalahan-permasalahan dan pendapat yang cukup beragam.  Setiap masyarakat pastinya memiliki prinsip-prinsip hidup dan keyakinan yang berbeda, keberbedaan inilah yang selanjutnya keharusan adanya pluralisme. Sebab jika setiap perbedaan masyarakat tidak bisa saling mentolelir tentunya timbul hal-hal yang merusak tatanan masyarakat itu sendiri.[20]  
            Masyarakat Islam adalah bagian dari masyarakat lainnya (non Islam) di jagad ini, walaupun masyarakat Islam memiliki berbagai keistimewaan yang dimiliki, setiap ada hal yang menimpa pada masyarakat manusia tentu akan pula menimpa masyarakat Islam sesuai dengan kadar perbedaannya.[21]  Ketika sebuah masyarakat membaur dalam jumlah jutaan manusia dan beribu-ribu sitem serta pemikirannya, niscaya tidak bisa bersifat obyektik mengetahui sebuah kebenaran, apalagi yang berkaitan dengan keyakinan agama.  Seiring keterbatasan dan keegoisan yang menguasai diri manusia membuat seseorang tidak mampu lagi memahami suatu kebenaran secara umum dan semakin jauh dari nilai obyektifitas.
            Bagi individu atau intitusi tertentu sah-sah saja memegang satu bagian dari kebenaran, namun sangat sulit jika dikatakan mereka mengusai kebenaran.  Secara keseluruhan dalam benak mereka hanya akan muncul anggapan bahwa yang lain tidak berhak memiliki kebenaran, oleh sebab itu kebenaran menjadi haknya.  Hal ini merupakan suatu pelecehan terhadap masyakat lainnya dan jelas-jelas bertentangan dengan tabiat alami masyarakat.  Akhirnya, kejadian itu melahirkan sikap semena-mena terhadap orang lain.[22]
            Pluralisme secara alami menampung segala bentuk perbedaan-perbedaan sambil menerimanya.  Kenyataan ini harus diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan mustahil menghindarinya.   Masalah ini nampak sebagai sesuatu yang baru bagi orang yang lingkungan dan peradapannya masih primitive, hal ini tentu dirasakan oleh para muslim yang jumud dan lebih mengedepankan fanatik dan azaz tunggal.
            Penerimaan terhadap gagasan kesepakatan dan perbedaan dalam masyarakat Islam serta memegang teguh etika pergaulan adalah jaminan tidak tergesernya perbedaan (inti pluralisme, dan dalam perbedaan masih bisa menerima pendapat orang lain.  Adapun kemanuggalan atau tunduk pada pendapat satu akan mengancam pluralisme dalam Islam.  Walaupun sebagain besar masyarakat Islam masih memegang kebenaran adalah satu, monopoli kebenaran dan yang lain dianggap sesat untuk selama-lamanya. [23]
            Namapaknya, untuk membentuk system pluralisme dalam agama Islam, semua pihak harus memelihara etika  dalam setiap perbedaan keyakinan agama, dengan menyakini diri sendiri bahwa menerima pendapat dan kebenaran orang lain itu bukanlah sesuatu yang rendah dan buruk justru suatu akhlaq yang terpuji.  Selanjutnya, untuk memperjelas penerimaan tentang perbedaan itu, sebagaimana sering mendengar istilah ikhtilaf (berselisih), alangkah indahnya jika dimaknai sebagai rahmad.  Sebab perbedaan itu sesuatu yang lazim dan biasa berlaku di bumi yang dihuni jutaan manusia ini dari berbagai suku, ras, dan masyarakat yang multi universal.[24]  
            Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan adanya perbedaan suku dan ras[25].  Al-Qur’an memandang perbedaan warna sebagai keindahan yang terdapat dalam alam semesta ini,  Allah menciptakan manusia bersuku supaya mereka saling mengenal bukan untuk saling bermusuhan.  Al-Qur’an juga melihat kebenaran yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang tidak harus dihindari, dan kesamaan adalah suatu yang jauh dari kenyataan.  Usaha untuk memaksakan suatu keyakinan kepada orang lain adalah mendorong permusuhan dan fanatisme yang akan menjadi racun dalam masyarakat.[26] 
            Al-Qur’an menyuruh kepada penganutnya supaya menyerahkan urusan perbedaan kepada Allah untuk menilainya besuk di hari Qiyamat.  Inilah solusi terbaik yang ditawarkan, untuk bisa menjaga perbedaan dalam koridornya yang lurus dan tidak terjerumus ke dalam medan perpecahan, permusuhan, kebencian dan pertikaian, tak diragukan lagi supaya setiap orang menyerahkan urusannya kepada Allah biar Allah yang menentukan siapa yang paling benar di antara manusia.
            Selanjutnya, di bawah ini ayat-ayat Al-Qur’an yang mengambarkan perbedaan adalah sesuatu hal yang tidak harus dibesar-besarkan akan tetapi harus diserahkan kepada Allah :[27]
. “….. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya"(Ai Imran 55)

“…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan it”(al-Maidah), 048


F.      Penutup

            Pada prinsip-prinsip kebenaran beragama haruslah didasari dengan nilai-nilai obyektif, sehingga manusia bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain dengan penuh kedamaian.  Nilai-nilai subtektifitas pada satu indifidu (masyarakat) akan menimbulkan banyak gejala virus perpecahan antar umat manusia di bumi ini.
            Islam memandang kebenaran sebagaimana dalam pembahasan di atas tidaklah dangkal, akan tetapi sangat menghargai berbagai perbedaan di dunia ini.  Konsep Islam dimasyarakat yang tidak memandang perbedaan sebagai rahmat dan suatu hal yang wajar, merupakan satu konsep yang bertentangan dengan konsep-konsep agama Islam yang benar menurutaturanal-Qur’an dan al-Hadis.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawy, Yusuf, at-Tatharafual-Ilmanifi Muwajahatial-Islam (terjemah), Jakarta :Pustaka al-Kausar, 2000, cet., ke-1

Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta: MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1

Abdullah Nashih ‘Ulwan,  Aktiftas Islam menghadapi Tantangan Global, Solo : Al-Alaq, 2003, cet., ke-1

As-Shabuni,  Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an,  (Bairut:  ‘Alim al-Kutub,  1985),  cet. ke-1

Al-Syaibani,  Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin Halal,  Al-Musnad li Imam Ahmad bin Hanbal,  (Bairut:  Dar al-Fikr,   1994),  Cet. ke-2l, Jilid 5,  h. 411

Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme Vis Avis  Oksidentalism (terjemah), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1

Adh-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufasirun, Kairo : Maktabah Wahbah, 2000, cet.,k-7

Bagus,  Lorens, Kamus Filsafat,  Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002,  cet. ke-3,  h.307; 

Departemen Dendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007 Edisi III, cet., ke-7

Saekanto,  Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,  Jakarta :PTRaja Grafindo Persada, 1994,  Edisi IV, cet., ke-9

Salim, Peter,  The Contemporary English-Indonesia  Dictionary,  Jakarta:  Modern English Pres,  1996,  t.cet.

Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious Pluralism (terjemah), (Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet., ke-1

Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1

Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002), cet., ke-3 

Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan kembali Eksistensi Madrasah, “Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003), cet., ke-2

Al-Kharasyi, Sulaiman bin Saleh, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, (terjemah), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah : 2005

H.Hart, Michael, The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in Histor,(terjemah) Jakarta : Pustaka Jaya,  1997, cet., ke-18

Wensinck,,   A.J.,  al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,  (Leyden : Brill,  1985),  t.cet., Jilid 6

Yakin, Fathi, Islam Era Global, Yogyakarta : Ababil, 1996, cet., ke-1







[1] Modern adalah berarti keadaan atau hal, sedangkan modernisasi merupaskan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.  Modernisme juga berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern pada filsafat , sejarah, dan ilmu pengetahuan yang lain.  Lihat;  Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III, cet., ke-7, h.751;  Lebih lanjut lihat, Soerjono Saekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar,  (Jakarta :PTRaja Grafindo Persada, 1994),  Edisi IV, cet., ke-9, h.380

[2] Liberal, yang berarti bersifat bebas berpikir  luas dan terbuka, adapun liberalisme adalah aliran yang menghendaki demokrasi dan kebebasan.  Lihat;  Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III, cet., ke-7, h.668-669.  Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h.307;  Lihat;    Peter Salim,  The Contemporary English-Indonesia  Dictionary,  (Jakarta:  Modern English Pres,  1996),  t.cet.,  h. 1070

[3] Plural berarti jamak lebih dari satu, pluralis berarti kategori jumlah yang menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang memiliki dualis.  Pluralisme adalah suatu keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan system sosial dan politik) atau keadaan budaya dari berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyaraka, atau suatu di mana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di di dalam masyarakat tanpa harus menentang kebudayaan yang dominan. Selanjutnya, teori pluralisme diartikan dengan keyakinan-keyakinan seperti : 1) Realitas fundamental bersifat jamak, 2) Ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir, dan pada dirinya independen. 3)Alam semesta pada dasarnyavtidak ditentukan dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan dan kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan kohean dan rasional fundamental.  Pluralisme juga menyatakan pandangan bahwa realitas tidak tersusun satu substansi yang unik atau salah satu dari jenis substansi.  Pluralis juga menandakan pandangan bahwa realitas dapat dipecahkan ke dalam sejumlah lingkungan yang berbeda yang sama sekali tidak dapat direduksikan kepada suatu kesatuan.;  Lihat, Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III, cet., ke-7, h.882;  Lihat;    Peter Salim,  The Contemporary English-Indonesia  Dictionary,  (Jakarta:  Modern English Pres,  1996),  t.cet.,  h. 1436;  Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h.853-385;  Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, h.43-45

[4]  Sekuler dalam bahasa Arab disebut ‘Ilmaniah, sedangkanpenurut bahasa Inggris dan Perancis secularit ata seculaiqui, yang menurut istilah Perancis adalah suatu istilah yang tidak ada kaitannya dengan kata ilmu. Sekuler menurut istilah-istilah, sekuler bersifat keduniaan atau meterialisme, bukan keagamaan atau keruhanian.  Sekuler juga diartikanpendapat yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi fondasiakhlaq dan pendidikan, sekuler merupakanundang-undang akhlaq yang berlandaskan pemikiran yang mewajibkan ditegakkannya nilai-nilaiprilaku dan moral menurut kehidupan modern dan solidaritas sosial tanpa memandangkepada agama.  Intinya bahwa sekuler memisahkan agama dari kehidupan individu atausosial dalamartianagama tidak boleh ikutberperandalam pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum. Lebih lanjut lihat; Yusuf al-Qardhawy, at-Tatharafual-Ilmanifi Muwajahatial-Islam (terjemah), (Jakarta :Pustaka al-Kausar, 2000), cet., ke-1, h. 1-5
[5]  Lihat Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), cet., ke-1, h.8
[6]Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.1; Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, h.47
[7] Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.2
[8] Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.4
[9] Lihat;  Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002), cet.,3.  Lihat juga dalam buku-buku Hartono yang lain, baru-baru ini Hartono mengatakan dalam salah satu berita diweb site bahwa UIN dan IAIN sedang mengkader Nabi-Nabi palsu.  Komentar senada penulis rasakan dilingkungan masyarakat penulis.
[10]  Michael H.Hart, The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in Histor, h.25
[11] Abdullah Nashih ‘Ulwan,  Aktiftas Islam menghadapi Tantangan Global, (Solo : Al-Alaq, 2003), cet., ke-1, h. 162
[12] Al-Qur’an berupakan bentuk masdar dari qara’a.  menurut istilah ulama tafsir al-Qur’an adalah Kalam Allah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan pada penutup para Nabi dan para Rasul dengan perantara Jibril as. Yang tertulis di dalam mushhaf-mushhaf serta dinukil sampai kepada kita secara mutawatir, dianggap beribadah bagi orang yang membacanya, serta diawali surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.  Lihat,  Muhammad as-Shabuni,  at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an,  (Bairut:  ‘Alim al-Kutub,  1985),  cet. ke-1,  h. 8
[13] Lihat, Adh-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufasirun, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000), cet.,k-7, h. 47
[14]  Lihat, Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta : MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1, h. 9
[15] Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Malik.  Lebih lanjut perinciannya; Wensinck,,   A.J.,  al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,  (Leyden : Brill,  1985),  t.Cet., Jilid 6, h. 215

[16] Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.186
[17] Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, di antaranya : al-Anbiya 25, al-A’raf 65, 73, 85, Thaha 13-14, al-Ikhlas, an-Nisa1 dan masih banyak lagi yang lain.
[18] Al-Syaibani,  Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin Halal,  Al-Musnad li Imam Ahmad bin Hanbal,  (Bairut:  Dar al-Fikr,   1994),  Cet. ke-2l, Jilid 5,  h. 411
[19] Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.189
[20] Lihat, Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme Vis Avis  Oksidentalism (terjemah), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1, h.83
[21] FathiYakin, Islam Era Global, (terjemah) (Yogyakarta : Ababil, 1996), cet., ke-1, h. 119
[22] Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan kembali Eksistensi Madrasah, “Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003), cet., ke-2, h. 81
[23] Sulaiman bin Saleh al-Kharasyi, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, (terjemah), (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 35
[24] Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious Pluralism (terjemah), (Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet., ke-1, 133
[25] QS. Ar-Rum 22
[26] Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta: MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1,h. 59
[27] Ayat-ayat yang Penjelasan hal ini cukup banyak, di antaranya; al-An’am 164, al-Haj 69, az-Zuhruf 63, al-Baqarah113, Yunus 19, an-Nahl39 dan 124, asy-Syura 10, az-Zumar 3 dan 46 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggambarkan hal ini.

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun