Sebelum lebih jauh membahas tentang
metode dan pendekatan dalam memahami (tafsir) Al Qur’an, kita fahami terlebih
dahulu tentang metode itu sendiri. Kata ”Metode” berasal dari bahasa
Yunani yakni methodos, kata ini terdiri dari dua kata, yakni meta,
yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang
berarti jala, perjalanan, cara dan arah. Kata methods sendiri berarti
penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.( Supriana, 2002:302)
Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan
dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau
Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia sendiri istilah
tersebut diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk
mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang
tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu
yang ditentukan.( Tim Penyusun, 1997:16) Dalam kaitannya dengan studi Al
Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan melalui perantara
Nabi Muhammad SAW.
Metode tafsir menurut kesepakatan
mufasir ada empat, yaitu :
1.
Metode Ijmali
Ijmali secara etimologi berarti global,
sehingga dapat diartikan tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat al Qur’an yang
menjelaskannya masih bersifat global. Secara termiologis menurut al farmawi
adalah penafsiran AL Qur’an berdasarkan urut-urutan ayat dengan suatu
urutan yang ringkas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi
oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.(
Farmawy, 1987:25)
Adapun sistematika dalam penulisan
tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu mufasir juga
meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan
menggunakan hadis-hadis yang terkait. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam
kategori pendekatan metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al Qur’an Al
Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan
Majina al Buhuts al Islamiyyat dan tafsir al Jalalain serta tafsir taj
al Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni. .( Farmawy, 1987:43)
Secara garis besar metode tafsir ini
tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya
yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional
penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian
penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. (Hasan, 1992:
73) Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali
adalah, mufasirnya langsung menafsirkan Al Qur’an dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau
kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum,
seakan-akan kita masih membaca Al Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca
adalah kitab tafsirnya.(Baidan, 2000:35)
Terkait dengan metode ijmali, tafsir
dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan
metode Ijmali adalah sebagai berikut :
a)
Praktis dan mudah difahami
b)
Bebas dari penafsiran israiliat
c)
Akrab dengan bahasa Al Qur’an
Tafsir Al Qur’an dengan metode ini
sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari
tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup.
Adapun kekurangan
dari metode ijmali adalah sebagai berikut
a)
Menjadikan petunjuk Al Qur’an bersifat
parsial dan tidak utuh
b)
Tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.
2.
Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala,
huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka
sesuatu,( Zakariya, 1990:.20). Sedangkan
kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala,
yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya
serta memiliki fungsi masing-masing.
Secara terminologi metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut;
ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan
ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun nuzulnya hadis-hadis
yang berhubungan dan pendapat para mufasir terdahulu yang diwarnai
oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya. .( Farmawy,
1987:52)
Biasanya mufasir dalam menafisirkan
dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, yang mana
semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat
yang ditafsirkan.
Secara garis besar metode tahlili berarti
menjelaskan ayat-ayat al Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh
maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap
ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan
antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang
turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi
saw., Sahabat dan tabi’in.( Farmawy, 1987:23)
Dari sekian metode tafsir yang ada,
metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan
paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaz, tahlili juga
menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah,
dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari
ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan
norma-norma akhlak. ( Farmawy, 1987:23)
Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al
Quran yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah
menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al
Quran secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf,
mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa
dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna. Artinya, mayoritas mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat al Quran selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang
ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
Karakteristik Metode Tahlili Secara
garis besar ada dua ciri utama dalam metode tahlili yaitu bi al ma’tsur dan bil ro’yi. Adapun penjelasan dua aspek ini sudah penulis
paparkan di atas.
Tafsir tahlili memiliki kelebihan dan
kelemahan. Adapun keistimewaan metode
ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai
ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al Quran. Jadi dalam tafsir analitik
ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan
ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al Quran. Barangkali kondisi
inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat
perkembangannya. (Baidan, 2000:53-54)
Melalui metode ini, penafsir bisa lebih
mengembangkan gagasan dan ide penafsirannya berdasarkan keahliannya
masing-masing, sehingga wajarlah jika dari metode inii muncul berbagai kitab
tafsir berbagai macam corak keilmuan, seperti tafsir fiqih, tafsir falsafi,
tafsir sufi dan tafsir adabi ijtima’i.
Adapun kelemahan metode tahlili bisa
dilihat dari tiga hal: (Baidan, 2000:55-61)
Pertama, menjadikan
petunjuk al Quran secara parsial. Maksudnya
ajaran dan pesan yang hendak disampaikan dalam al Quran tidak bisa tertangkap
lebih utuh, seakan-akan al Quran hanya memberikan pedoman tidak komprehensif
dan tidak konsisten, ini dikarenakan adanya penafsiran yang berbeda antara satu
ayat dengan ayat lainnya.
Kita
ambil satu contoh misalnya QS. An Nisa ayat 1 :
َ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي
تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
Artinya
: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Kata “nafsin wahidah”Ibnu Katsir menafsirkannya dengan “Adam a.s.”
konsekuensinya adalah ketika dia menafsirkan lanjutan ayat tersebut, kata “wakhalaqa minha zaujaha” beliau menulis “yaitu
Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri” (Katsir, 1992: 553)
Jika kita bandingkan dengan penafsiran
terhadap kata yang sama pada ayat lain maka terdapat perbedaan seperti dalam
QS. At Taubah ayat 128, kata “anfusakum”
ditafsirkan dengan “jenis (bangsa (Katsir, 1992: 520) Padahal kata “nafs” dan “anfus” berasal dari akar kata yang sama hanya beda bentuk katanya.
(mufrad dan jamak). Perubahan bentuk kata dari bentuk tunggal ke jamak hanya
membawa perubahan konotasi, tapi tidak membawa perubahan makna.( Baidan,
1999:6-11) Di sinilah letak ketidak konsistensiannya,
sehingga seakan-akan al Quran tidak konsisten padahal penafsirannya yang tidak
konsisten.
Kedua, melahirkan
penafsiran yang subjektif, contoh penafsiran diatas juga menggambarkan betapa
subyektifitas penafsir ikut berperan dalam menentukan makna dibalik ayat atau
teks. Sangat logis, misalnya Ibnu Katsir sebagai seorang ahli hadits
menafsirkan al Qur’an berdasarkan riwayat (hadits), namun ia terkesan kurang
tepat dalam menempatkan suatu hadits. Dalam kasus diatas, kata “min dhil’in”
dalam hadits ditafsirkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal
kata itu tidak pernah merujuk kepada Adam. Penafsiran itu muncul dari dalam
pikiran Ibnu Katsir secara subyektif dihubungkan dengan kata “nafs” didalam al
Qur’an.( Baidan, 1999:58)
Ketiga, membuka
peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.
Kemungkinan masuknya pemikiran isra’iliyat sangatlah wajar karena
metode tahlili tidak memberikan batasan-batasan seorang mufassir dalam
menyatakan pendapatnya. Sebenarnya kisah-kisah isra’iliyat tidak ada masalah
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al Qur’an. .( Baidan, 1999:58)
Masalahnya adalah ketika kisah-kisah
israiliyat ini masuk ke dalam penafsiran dan membentuk opini bahwa apa yang
dikisahkan itu juga merupakan maksud dari firman allah, padahal itu belum tentu
sama atau cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah. Disinilah letak sisi
negatifnya, dikhawatirkan akan mengurangi makna dari ayat tersebut.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah
memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai
aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa
problem dalam metode tafsir tahlili diantaranya adalah: (Jalal, 1990: 68-70)
Pertama, bagaimana
mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al Quran, karena
penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman
terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan
karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam
berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai
tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang
satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana
menghentikan kesenjangan antara ajaran al Quran yang berupa pedoman hidup
dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan
Allah yang sebenarnya telah ada dalam al Quran kurang memasyarakat karena sulit
untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak
secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana
menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham
tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan
bahwa ajaran itu tidak sinkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu
dan teknologi sekarang ini.
Al-Farmawi,
menambahkan, para penafsir model tahlili ada
yang terlalu berbelit dengan menguraikan secara panjang lebar, dan ada pula
yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal
al-Banna (saudara Hasan al Banna) memberikan komentar terhadap para mufassir yang
memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al Quran bahwa kekeliruan
terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah
keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan
obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa
untuk menunjukkan spirit al Quran itu sendiri, bahwa keseluruhan
susunan ayat-ayat al Quran itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang
menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat
manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para
ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format
tertentu. (Farmawi, 1996: 12)
Kemudian Jamal al-Banna
memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang
dengan keahlian bahasanya menafsirkan al Quran, seperti al-Zamakhshari. Ia
mengatakan: (Al-Banna, 2004:38-40)
“Cukuplah
kita mengamati al-Kashshaf karya al-Zamakhshari. Dari
situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi, balaghah,
dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian ‘pertama’ terhadap al Quran misalnya,
tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah),
alegori (majaz), kata-kata asing dalam al Quran (Gharîb al-Qurân),
gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas
karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang
penting baginya dari al Quran adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang
untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan
tema al Quran menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”
3. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Secara etimologis kata maqarin adalah
merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknanya
adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapat dikatakan tafsir maqarin adalah
tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al
Qur’an atau suatu surat
tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara ayat
dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. .( Farmawy, 1987:45)
Dari berbagai literarur yang ada,
pengertian metode Maqarin dapat dirangkumkan dalam beberapa pemahaman :
a.
Metode yang membandingkan teks (nash)
ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang
sama,
b.
Adalah membandingkan ayat Al Qur’an
dengan hadis yang pada lahirnya terlihat adanya pertentangan,
c.
Membandingkan berbagai pendapat ulama
tafasir dalam menafsirkan Al Qur’an. Adapun tujuan penafsiran Al Qur’an secara
Maqarin adalah untuk membuktikan bahwa antara ayat Al Qur’an satu dengan yang
lainnya, antara ayat Al Qur’an dengan matan suatu hadis tidak terjadi
pertentangan.
Maqarin (perbandingan/komparatif)
memiliki Ciri-ciri tertentu apabila ilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa
terdapat tiga aspek yang dikaji dalam perbandingan, yaitu :
- Perbandingan ayat dengan ayat. Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik itu pemakaian mufradat, urutan kata maupun kemiripan redaksi, semua hal ini dapat dibandingkan. Jika yang akan dibandingkan itu memiliki kemiripan redaksi, maka langkah-langkah nya adalah sebagai berikut : (a). Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. (b). Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. (c). menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. (d). Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.(Baidan, 2000:69)
- Perbandingan ayat dengan hadis. Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama yang dilakukan adalah terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang tampak pada lahirnya bertentangan dengan hadis-hadis Nabi yang diyakini Shahih, hadis-hadis yang dinyatakan dhoif tidak perlu dibandingkan dengan Al Qur’an, karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Hanya hadis yang shahih saja yang akan dikaji dalam aspek ini apabila ingin dibandingkan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
a. Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya tampak bertentangan dengan
hadis-hadis Nabi, baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan
ayat-ayat lain atau tidak.
b. Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam
kedua teks ayat dan hadis
c. Membandingkan antara berbagai pendapat para ’ulama tasir dalam
menafsirkan ayat dan hadis.
Metode muqarin, apabila yang dijadikan
objek pembahasan perbandingan adalah pendapat para ’ulama tafsir dalam
menafsirkan suatu ayat, maka metodenya adalah :
a.
Menghimpun sejumlah ayat-ayat yang hendak
dijadikan objek studi tanpa menoleh terhadap redaksinya itu mempunyai kemiripan
atau tidak.
b.
Melacak berbagai pendapat ’ulama tafsir
dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c.
Membandingkan pendapat-pendapat mereka
untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir dari
masing-masing mufasir serta kecenderungan-kecenderungan dan
aliran-aliran yang mereka anut.
Tafsir dengan metode maqarin
(perbandingan) mempunyaiu beberapa kelebihan dan kekurangan. Namun apapun yang
terjadi, metode ini menjadi amat penting tatkala para mufasir hendak
mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al Qur’an dengan cara yang
rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif
berkenaan dengal latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat
dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al Qur’an
pada periode-periode selanjutnya. Adapun kelebihan metode maqarin adalah
sebagai berikut :
a. Memberikan wawasan yang luas
b. Membuka diri untuk selalu bersikap toleran
c. Dapat mengetahui berbagai penafsiran
d. Membuat mufasir lebih berhati-hati
Adapun kekurangan dari metode maqarin
adalah sebagai berikut :
a. Tidak cocok untuk pemula
b.
Kurang tepat untuk memecahkan masalah
kontemporer
c. Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir
1. Metode
Maudhu’i (Tematik)
Kata maudhu’i berasal dari kata موضوع yang merupakan isim
maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau
pokok pembicaraan (Munawir,1987: 1565) yang berkaitan dengan aspek-aspek
kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.(Musthafa, 1997: 16) Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu
tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu.
Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan
menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif). (Farmawi, 1977: 62)
Defenisi di atas dapat difahami bahwa sentral dari metode tafsir maudhu’i
adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema
dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya,
korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat
membantu memahami ayat lalu menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW
sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir
bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua
penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam
bentuk awal.
Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surat digagas pertama
kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam
kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i
berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy,
seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan
Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan
ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di
antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî
al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba
fî al-Qur’an (Quraish, 1999:114)
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi
(745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan(al-Zarkashi, 1988 :
61-72) misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan
pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga
Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam karyanya al-Itqan. (Suyuti, 1985
:159-161)
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah
diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini
secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga
jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surat
al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun topik.
Tafsir
maudhu’i memiliki urutan kajian, di antaranya :
a.
Mengkaji sebuah surat
dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi
awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian
lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling
melengkapi. Contoh:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ
فِي الآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (١)يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ
وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا
وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ (٢)
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang
memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala
puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa
yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun.” (Q.S: Saba:1-2).
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan
menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang
universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b.
Menghimpun seluruh ayat
Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah
satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i. Contohnya: Allah SWT, berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ
عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (٣٧)
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan
tuhannya , maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima
tobat lagi maha penyayang.” (Q.S: al-Baqarah: 37).
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah di
atas, nabi mengemukakan ayat, Sebagai berikut:
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “keduanya berkata: ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S: al-A‘raf:
23).
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun