21 Sept 2014

Metode Tafsir




       Sebelum lebih jauh membahas tentang metode dan pendekatan dalam memahami (tafsir) Al Qur’an, kita fahami terlebih dahulu tentang metode itu sendiri. Kata  ”Metode” berasal dari bahasa Yunani yakni methodos, kata ini terdiri dari dua kata, yakni meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jala, perjalanan, cara dan arah. Kata methods sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.( Supriana, 2002:302) Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
       Dalam bahasa Indonesia sendiri istilah tersebut diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.( Tim Penyusun, 1997:16) Dalam kaitannya dengan studi Al Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad SAW.
       Metode tafsir menurut kesepakatan mufasir ada empat, yaitu :
1.  Metode Ijmali
       Ijmali secara etimologi berarti global, sehingga dapat diartikan tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat al Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Secara termiologis menurut al farmawi adalah penafsiran AL Qur’an berdasarkan urut-urutan  ayat dengan suatu urutan yang ringkas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.( Farmawy,  1987:25)
       Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori pendekatan metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina al Buhuts al Islamiyyat dan tafsir al Jalalain serta tafsir taj al Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni. .( Farmawy,  1987:43)
       Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. (Hasan, 1992: 73)  Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali adalah, mufasirnya langsung menafsirkan Al Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.(Baidan, 2000:35)
       Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan metode Ijmali adalah sebagai berikut :
a)      Praktis dan mudah difahami
b)      Bebas dari penafsiran israiliat
c)      Akrab dengan bahasa Al Qur’an
       Tafsir Al Qur’an dengan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup.
Adapun kekurangan dari metode ijmali adalah sebagai berikut
a)      Menjadikan petunjuk Al Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh
b)      Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

2.  Metode Tahlili
       Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka sesuatu,( Zakariya, 1990:.20).  Sedangkan kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing.  Secara terminologi metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya. .( Farmawy,  1987:52)
       Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, yang mana semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan.
       Secara garis besar metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.( Farmawy,  1987:23)
       Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. ( Farmawy,  1987:23)
       Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al Quran yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Quran secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna. Artinya, mayoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya. 
       Karakteristik Metode Tahlili Secara garis besar ada dua ciri utama dalam metode tahlili  yaitu bi al ma’tsur  dan bil ro’yi.  Adapun penjelasan dua aspek ini sudah penulis paparkan di atas.
       Tafsir tahlili memiliki kelebihan dan kelemahan.  Adapun keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al Quran. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al Quran. Barangkali  kondisi  inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya. (Baidan, 2000:53-54)
       Melalui metode ini, penafsir bisa lebih mengembangkan gagasan dan ide penafsirannya berdasarkan keahliannya masing-masing, sehingga wajarlah jika dari metode inii muncul berbagai kitab tafsir berbagai macam corak keilmuan, seperti tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir sufi dan tafsir adabi ijtima’i.
       Adapun kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal:  (Baidan, 2000:55-61)
       Pertama, menjadikan petunjuk al Quran secara parsial.  Maksudnya ajaran dan pesan yang hendak disampaikan dalam al Quran tidak bisa tertangkap lebih utuh, seakan-akan al Quran hanya memberikan pedoman tidak komprehensif dan tidak konsisten, ini dikarenakan adanya penafsiran yang berbeda antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Kita ambil satu contoh misalnya QS. An Nisa ayat 1 :
َ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
 كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

       Kata “nafsin wahidah”Ibnu Katsir menafsirkannya dengan “Adam a.s.” konsekuensinya adalah ketika dia menafsirkan lanjutan ayat tersebut, kata “wakhalaqa minha zaujaha” beliau menulis “yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri” (Katsir, 1992: 553)
       Jika kita bandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat lain maka terdapat perbedaan seperti dalam QS. At Taubah ayat 128, kata “anfusakum” ditafsirkan dengan “jenis (bangsa (Katsir, 1992: 520) Padahal kata “nafs” dan “anfus” berasal dari akar kata yang sama hanya beda bentuk katanya. (mufrad dan jamak). Perubahan bentuk kata dari bentuk tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi, tapi tidak membawa perubahan makna.( Baidan, 1999:6-11)  Di sinilah letak ketidak konsistensiannya, sehingga seakan-akan al Quran tidak konsisten padahal penafsirannya yang tidak konsisten.
       Kedua, melahirkan penafsiran yang subjektif, contoh penafsiran diatas juga menggambarkan betapa subyektifitas penafsir ikut berperan dalam menentukan makna dibalik ayat atau teks. Sangat logis, misalnya Ibnu Katsir sebagai seorang ahli hadits menafsirkan al Qur’an berdasarkan riwayat (hadits), namun ia terkesan kurang tepat dalam menempatkan suatu hadits. Dalam kasus diatas, kata “min dhil’in” dalam hadits ditafsirkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal kata itu tidak pernah merujuk kepada Adam. Penafsiran itu muncul dari dalam pikiran Ibnu Katsir secara subyektif dihubungkan dengan kata “nafs” didalam al Qur’an.( Baidan, 1999:58)
       Ketiga, membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.  Kemungkinan masuknya pemikiran isra’iliyat sangatlah wajar karena metode tahlili tidak memberikan batasan-batasan seorang mufassir dalam menyatakan pendapatnya. Sebenarnya kisah-kisah isra’iliyat tidak ada masalah selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al Qur’an. .( Baidan, 1999:58)
       Masalahnya adalah ketika kisah-kisah israiliyat ini masuk ke dalam penafsiran dan membentuk opini bahwa apa yang dikisahkan itu juga merupakan maksud dari firman allah, padahal itu belum tentu sama atau cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah. Disinilah letak sisi negatifnya, dikhawatirkan akan mengurangi makna dari ayat tersebut.
       Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
       Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahlili diantaranya adalah: (Jalal, 1990: 68-70)
       Pertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al Quran, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
       Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al Quran yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al Quran kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
       Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak sinkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
       Al-Farmawi, menambahkan, para penafsir model  tahlili  ada yang terlalu berbelit dengan menguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara  Hasan al Banna) memberikan komentar terhadap para  mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al Quran bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al Quran itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al Quran itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu. (Farmawi, 1996: 12)
       Kemudian  Jamal al-Banna  memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap  mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al Quran, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan: (Al-Banna, 2004:38-40)
“Cukuplah kita mengamati al-Kashshaf  karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi,  balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian ‘pertama’ terhadap al Quran misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al Quran (Gharîb al-Qurân), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al Quran adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al Quran menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”
3. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
       Secara etimologis kata maqarin adalah merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknanya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapat dikatakan tafsir maqarin adalah tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. .( Farmawy,  1987:45)
       Dari berbagai literarur yang ada, pengertian metode Maqarin dapat dirangkumkan dalam beberapa pemahaman :
a.       Metode yang membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama,
b.      Adalah membandingkan ayat Al Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat adanya pertentangan,
c.       Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al Qur’an. Adapun tujuan penafsiran Al Qur’an secara Maqarin adalah untuk membuktikan bahwa antara ayat Al Qur’an satu dengan yang lainnya, antara ayat Al Qur’an dengan matan suatu hadis tidak terjadi pertentangan.
       Maqarin (perbandingan/komparatif) memiliki Ciri-ciri tertentu apabila ilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa terdapat tiga aspek yang dikaji dalam perbandingan, yaitu :
  1. Perbandingan ayat dengan ayat.  Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik itu pemakaian mufradat, urutan kata maupun kemiripan redaksi, semua hal ini dapat dibandingkan. Jika yang akan dibandingkan itu memiliki kemiripan redaksi, maka langkah-langkah nya adalah sebagai berikut : (a). Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. (b). Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. (c). menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. (d). Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.(Baidan, 2000:69)
  2. Perbandingan ayat dengan hadis.  Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama yang dilakukan adalah terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang tampak pada lahirnya bertentangan dengan hadis-hadis Nabi yang diyakini Shahih, hadis-hadis yang dinyatakan dhoif tidak perlu dibandingkan dengan Al Qur’an, karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Hanya hadis yang shahih saja yang akan dikaji dalam aspek ini apabila ingin dibandingkan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
a.       Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya tampak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
b.      Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam kedua teks ayat dan hadis
c.       Membandingkan antara berbagai pendapat para ’ulama tasir dalam menafsirkan ayat dan hadis.
       Metode muqarin, apabila yang dijadikan objek pembahasan perbandingan adalah pendapat para ’ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya adalah :
a.       Menghimpun sejumlah ayat-ayat yang hendak dijadikan objek studi tanpa menoleh terhadap redaksinya itu mempunyai kemiripan atau tidak.
b.      Melacak berbagai pendapat ’ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c.       Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufasir serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka anut.
       Tafsir dengan metode maqarin (perbandingan) mempunyaiu beberapa kelebihan dan kekurangan. Namun apapun yang terjadi, metode ini menjadi amat penting tatkala para mufasir hendak mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif berkenaan dengal latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al Qur’an pada periode-periode selanjutnya. Adapun kelebihan metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.       Memberikan wawasan yang luas
b.      Membuka diri untuk selalu bersikap toleran
c.       Dapat mengetahui berbagai penafsiran
d.      Membuat mufasir lebih berhati-hati
Adapun kekurangan dari metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.       Tidak cocok untuk pemula
b.      Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer
c.       Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir

1.      Metode Maudhu’i (Tematik)
       Kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع  yang artinya masalah atau pokok pembicaraan (Munawir,1987: 1565) yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.(Musthafa, 1997: 16)  Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif). (Farmawi,  1977: 62)
       Defenisi di atas dapat difahami bahwa sentral dari metode tafsir maudhu’i   adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.
       Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.  Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.
       Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surat digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba fî al-Qur’an (Quraish, 1999:114)
       Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan(al-Zarkashi, 1988 : 61-72) misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam karyanya al-Itqan. (Suyuti, 1985 :159-161)
       Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun topik.
            Tafsir maudhu’i memiliki urutan kajian, di antaranya :
a.       Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (١)يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ (٢)

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.” (Q.S: Saba:1-2).

       Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.

b.      Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.  Contohnya: Allah SWT, berfirman:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (٣٧)
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.” (Q.S: al-Baqarah: 37).

       Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah di atas, nabi mengemukakan ayat, Sebagai berikut:
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “keduanya berkata: ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S: al-A‘raf: 23).

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun