A. Pendahuluan
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus,
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang
berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2008: 3, 11).
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti
sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi
tinggi, punya etos kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang
akan dicapai (Pidarta, 2007: viii) Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara
formal dimulai sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan
kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang
tersurat atau tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini
(Mudyaharjo, 2008: 214)
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami pelbagai
perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal
yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa
berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu.
Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah
merdeka adlah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adlah dengan
negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix)
Pengambilalihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh
kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan
perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental
sekitar lima
windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan
tuntutan perkembangan zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak mengajarkan
kepada kita untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan politik
nasional dan internasional, perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan
peran yang dimainkan bangsa Indonesia
pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak mendorong kita untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini meliputi:
1. Apa yang
menjadi landasan historis Pendidikan Nasional Indonesia?
2. Apa implikasi
konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis ini?
B. Landasan
Historis Kependidikan Di Indonesia
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian
atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan
informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik,
moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Informasi-informasi di atas merupakan warisan generasi terdahulu kepada
generasi muda yang tidak ternilai harganya. Generasi muda dapat belajar dari
informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan
memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah
memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan
akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa
yang akan datang.
Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya
pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem
pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa
kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan
sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang
berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem pendidikan kolonial
(Williams, 1977: 17).
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan
Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif
(Buchori, 1995: vii). Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang
proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode
tertentu di masa yang lampau.
Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan
semenjak jauh sebelum kita menacapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai
aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk
membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh
bermacam-macam corak (Sigit, 1992: xi) .
Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan system politik sebagai
penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah mewujudkan pola
Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat dengan ke arah
mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan itu.
Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran yang hampir sama
tentang pendidikan; pendidikan diarahkan pada optimasi upaya pendidikan sebagai
bagian integral dari proses pembangunan bangsa.
Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi
berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai institusi
utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang
diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM Indonesia
masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya sanding
(kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia (Anzizhan, 2004: 1).
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk
maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa
yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang
pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan
pendidikan suatu bangsa.
C. Sejarah
Pendidikan Dunia
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari
zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme
atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun
pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman
sekarang (Pidarta, 2007: 110).
1. Zaman
Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh
penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan
bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan
sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat.
Realisme menghendaki pikiran yang praktis (PIdarta, 2007: 111-14). Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan
semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh
pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
- Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran,
- Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
- Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan,
- Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
- Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
- Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
- Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.: 111-14).
2. Zaman
Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan
bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya
sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan
kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki
kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke.
Teorinya yang terkenal adalah leon
Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan
kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk
pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah
kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan
materialisme (ibid.: 114-15).
3. Zaman
Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah
aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang
kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara
kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan
dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme
menyatakn bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan
jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
4. Zaman
Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang
pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering
disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
- Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
- Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
- Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
- Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman
Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk
patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis.
Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson
(Amerika Serikat).
Konsep pendidikan
yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
- Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
- Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
- Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu
kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa
Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I
(Pidarta, 2007: 120-21).
6. Zaman
Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan
adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori
dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan
dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan
positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga
kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah
August Comte (ibid.: 121).
7. Zaman
Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi
terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya
adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey. Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti
yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya
bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk
tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
D. Sejarah
Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan
itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh
agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman
merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan
masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci.
1. Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5.
Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia
keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan
figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada
lambang Negara Indonesia
yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut
(Mudyahardja, 2008: 215)
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut.
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha
(ibid.: 217)
2. Zaman
Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia
pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran
Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.:
221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu
mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (ibid.:
223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat,
namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu
wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali
Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan
yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman
Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan
perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur
serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai
perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa
Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama
yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis
menetap di bagian timur Indonesia
tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat
peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda
pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka
menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai
salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus
Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan
yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo,
2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran,
dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama
di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat
yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang
pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan
untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka,
pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds
Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602
(Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya
Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya
sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan
yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta),
pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan
menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman
Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan
benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di
sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi
basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah
di tanakh air, akhirnya Indonesia
jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para
Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari
dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan
total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan
bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak
mempengaruhi mereka (ibid.: 8).
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan
masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan
intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya
diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa
pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan
anak-anak Indonesia sebagai
hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih
menguntungkan rakyat Indonesia
(ibid.: 10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam
majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan,
perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.:
16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda.
Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat
menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat
dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi
Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara
lain anak-anak Indonesia
yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite
intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui
pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi
perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin
meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan
Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya,
dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya
mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008:
125-33).
5. Zaman
Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia
dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka
tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah
dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di
Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan
dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi
semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan
oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan
dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17
Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia
menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada
dunia.
6. Zaman
Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti
sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali
menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai
itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah
bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang
amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang
mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan
oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum
tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah
tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping
itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan
sehingga tidak dapat bersekolah.
7. Zaman Orde Lama
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi
kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai
bidang, baik spiritual maupun material. Setelah diadakan konsolidasi yang
intensif, system pendidikan Indonesia
terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang
bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka
untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman Orde Lama adalah pendidikan
yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan
revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual
membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan
ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke,
menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur,
lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa
penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan
nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman Orde
Baru
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai
oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan
penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan
masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya
penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya
di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.:
434).
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang
pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional
dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008:
137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran
pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan
berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki
beberapa kesenjangan. (Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan
beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan
dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah
kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural
(pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang
tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal
(kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini
adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2)
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman
Reformasi
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa
melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan
pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat
kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak
ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk
berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan
burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama
bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar
kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia
semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan
penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun
demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya
Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi
menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan
perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional
mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga
diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima
Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
E. Implikasi
Sejarah Terhadap Konsep Pendidikan Nasional Indonesia.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem
pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang
tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu
(Nasution, 2008: v).
Pembahasan
tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan
sebagai berikut:
- Tujuan Pendidikan
Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam
potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih
harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan,
kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu,
tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki
nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
- Proses Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi pelajaran
harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan
metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama
siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu,
demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
- Kebudayaan Nasional
Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam
Pidarta (2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan
puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar
tidak ditelan oleh budaya global.
- Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di
Indonesia, bukan sekedar
konsep-konsep dari dunia Barat sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk
konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.
F. PENUTUP
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan historis
kependidikan di Indonesia,
kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak
jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan
bertujuan mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan
kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada
adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara
itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan
menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya
perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir
penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan,
innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan
meningkatkan peradaban manusia. Hal ini
dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan
memajukan diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong
zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan
semangat perubahan zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga
peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan
diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa
sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau,
pendidikan menjadi pengawal , perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan
demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya
dan bukan merupakan “Harta Karun” yang tersia-siakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anzizhan, Syafaruddin, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004..
Buchori, Mochtar.. Transformasi Pendidikan Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1995
Dardjowidjojo, Soenjono. Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta:
PT. Gramedia Widisarana Indonesia,
1991.
Dardjowidjojo, Soenjono. PTS dan Potensinya di Hari Depan: Memoir
Seorang PUrek I. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang
Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008
Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Pidarta, Made, Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta: PT
Rineka Cipta., 2007
Sigit, Sardjono, Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992
Wiiliams, Gareth, Towards Lifelong Education: A New Role for Higher
Education Institutions. Paris: UNESCO, 1987
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun