A.
Pendahuluan
Sejarah
mencatat bahwa pendidikan Islam masuk ke Indonesia dimulai sejak Islam masuk
ke Indonesia.[1]
Ahli sejarah umumnya sependapat, seputar pendidikan Islam masuk Indonesia
bermula masuk dari wilayah pulau Sumatra
bagian Utara di daerah Aceh. Sejarah
juga membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 7 [2].
Keberadaan
Islam baru meluas pada ke 13 M.
perluasan ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia,
seperti di pasei, Perlak dan Samudra pasai di Aceh pada tahun 1290 – 1511M., dan kerajaan Islam di Aceh
pada tahun 1514-1904M. dan kerajaan Islam di Minangkabau 1500. di Jawa berdiri
kerajaan Islam Demak pada Tahun 1500 – 1546 M., kemudian kerajaan Islamdi
Banten pada tahun 1550 – 1757 M., dan kerajaan Islam Mataram pada tahun1575 –
1757 M[3].
Melalui
pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatra Utara dan melalui urat nadi
perdagangan dimalaka itulah, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya
ke Indonesia
bagian Timur[4]. Penganjur-penganjur Islam dalam melaksanakan
penyiaran Islam di mana saja mereka berada, dipinggir kali sambil menanti
perahu pengangkut barang, diperjamuan di saat ada acara di masyarakat, dipadang
rumput tempat gembala ternak, tempat penimbunan barang, di pasar-pasar tempat
jual beli barang dagangan, dan lain sebagainya.[5]
Pada
awalnya pendidikan Islam diselenggarakan tidak pada satu lembaga yang formal
seperti yang banyak kita jumpai saat ini, akan tetapi dengan proses pembentukan
dan pembinaan serta pengembangan masyarakat
dengan melalui barmacam-macam bentuk, di antaranya melalui kontak jual
beli, kontak perkawinan an sistem da’wah langsung baik secara perseorangan
maupun kelompok.[6]
Dari bentuk pengembangan semacam itu mulailah Islam dikenal dan diajarkan ke
masyarakat, mulai dengan pembacaan kalimah syahadad, mengenalan rukun Islam,
rukun Iman, pembelajaran praktek wudhu, shalat dan membaca al-Qur’an.[7]
Disinilah awal pembentukan dan pengembangan
lembaga pendidikan Islam berlangsung pada masyarakat. Selanjutnya, masyarakat mulai merasakan
kebutuhan akan ilmu agama yang kemudian ditindak lanjuti oleh para pengembang
agama Islam dengan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Menurut
bebarapa peneliti, agama Islam masuk ke Indonesia melalui tiga faktor
utama, di antaranya :
1.
Karena
ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu
prinsip yang secara tegas mene-kankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha
Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan
persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Hal ini merupakan ajaran baru
yang bertentangan, secara diametral, dengan sistem hubungan kemasyarakatan pada
waktu itu, yaitu sistem kasta yang berasal dari ajaran Hindu. Dengan memilih
Islam, pada dasarnya mereka telah menempatkan diri pada suatu kehidupan
keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan dan keadilan. Karena walau
bagaimanapun menurut Islam semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan,
yang membedakan hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
2.
Karena
daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan
kodifikasi nilai-nilai yang universal. Dengan demikian, ajaran Islam berhadapan
dengan berbagai bentuk danjenis situasi kemasyarakatan. Karena watak ajaran
yang demikian itu, maka Islam tidak secara serentak meng-gantikan seluruh
tatanan nilai yang telah berkembang di kehidupan masyarakat Indonesia
sebelum datangnya Islam. Bahkan hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai
kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang
lain dan sebagainya, dielaborisan ke dalam ajaran Islam. Sebab, ajaran-ajaran
seperti itu juga dikandung oleh Islam.
Namun demikian, tidak semua nilai lama
yang bersifat paganistik itu, secara keseluruhan bersesuaian dengan aj aran
Islam. Karenanya ada sebagian terutama yang secara prinsipil bertentangan
dengan ajaran Islam yang tidak ditoleransi oleh Islam. Dan karena itu, secara
berangsur-angsur dihilangkan. Dengan kata lain ajaran lama yang oleh Islam
dianggap bertentangan secara diametral terkena proses Islamisasi.
3.
Pada
gilirannya nanti, Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu
institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat
yang melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis kemudian Belanda, mengobarkan
penjajah dan menyebarkan agama Kristen.
Antara dominasi kolonialisme dan
penyebaran agama Kristen berjalan seiring, di mana penyebaran agama Kristen
tidak semata-mata dimaksudkan untuk kepentingan keagamaan, tetapi lebih jauh
lagi dimaksudkan sebagai alat, untuk mempertahankan status quo, yakni
kolonialisme Belanda[8]
Menurut Mahmud Yunus[9]
lebih memperinci tentang faktor-faktor mengapa agama Islam dapat tersebar
dengan cepat di seluruh Indonesia
pada masa permulaan, yaitu:
1.
Agama
Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah
diturut oleh segala golongan ummat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup
dengan mengucapkan dua kalimah syahadat saja. Oleh sebab itu masyarakat
berduyun-duyun masuk agama Islam.
2.
SedikitTugas
dan kuwajiban dalam Islam. Sebab kalau
dilihat dalamal-Qur’an, yakinlah kita bahwa suruhan dan larangan dalam Islam
itu sedikit, dapat dipelajari dalam waktu yang pendek serta mudah diamalkan.
3.
Penyiaran
Islam itu dilakukan dengan berangsur-angsursedikit demi sedikit. Setelah keyakinan mereka mantap baru
diajarkan dan disuruhshalat,puasa,zakatdan haji. Begitullah seterusnya,sehingga mereka tidak
merasa berat melaksanakan hukum Islam.
4.
Penyiaran
agama Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan dengan cra sebaik-baiknya.
5.
Penyiaran
Islam itudilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami masyarakat umum, mudah
dipahami dari golonganbawah sampai golongan atas.
B.
Sejarah
Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan
Sejarah
pendidikan Islam di Indonesia dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia
sebagaimana sudah disinggung diatas.
Sejak awal perkembangannya Islam, pendidikan mendapat prioritas utama
masyarakat muslim Indonesia.
Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan islamisasi telali
mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang
sederhana.[10]
Tradisi mencari ilmu dengan berbagai bentuk dan
metodologi di kalangan masyarakat muslim Indonesia cukup memenuhi bobot
kuantitas yang lebih, hal ini bisa dilihat dari banyaknya lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang cukup menjamur, terutama di wilayah Jawa, Madura,
Kalimantan, dan Sumatera.
Selanjutnya, adanya beberapa lembaga pendidikan
Islam yang bisa kita kategorikan menjadi lembaga-lembaga yang cukup punya
pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, seperti pondok
pesantren yang ada di Jawa, surau di Minangkabau, Madrasah, serta Perguruan
Tinggi Islam.[11]
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan
mendapat prioritas utama masyaraka muslim Indonesia. Di samping karena
besamya arti pendidikan, kepentingan islamisasi mendorong umat Islam
melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana, di mana
pengajaran diberikan dengan sitem halaqah yang dilakukan di
tempat-tempat ibadah semacam mesjid, musalla, bahkan jugadi rumah-rumah ulama.
Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia
mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous
religious and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di
Indonesia. Di Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi
pesantren umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan
adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam dan demikian pula
masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat meunasah sebagai lembaga
pendidikan Islam.[12]
Selanjutnya,
kapan awal mula munculnya pondok pesantren, ada beberapa pendapat yang
membicarakan mengenai asal-usul dan latar belakang pondok pesantren di Indonesia. Di
antaranya :
- Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Aktivitas mereka itu kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren,30 bahkan dari segi penamaan istilah pengajian merupakan istilah baku yang digunakan pondok pesantren.
- Pesantren di Indonesia diilhami oleh lembaga pendidikan "kuttab",31 yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani Umayah yang semula hanya merupakan wahana atau lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqoh (wetonan). Pada tahap berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan pesat, karena didukung oleh iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik.32 Artinya, menurut pendapat ini ada sisi kesamaan dari segi penyampaian ilmu pengetahuan agama, yakni melalui metode "halaqoh", di mana kiai dan santri berkumpul dalam satu tempat untuk melakukan pengajian.
- Pesantren yang ada sekarang pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren orang-orang Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat membina kader-kader penyebar agama tersebut.33
Terlepas dari itu, karena yang dimaksud dengan
istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan
pengem bangan agama Islam, dan pengembangan Islam di Tanah Air (khususnya Pulau
Jawa), oleh karena itu tidaklah ah berlebihan bila kita katakan bahwa pondok
pesantren itu ada bersamaan dengan munculnya wali songo sekitar abad 15 M.
Dalam menyebarkan agama Islam, mereka (Wali
Sanga) menyebarkan agama Islam dengsn mendirikan Masjid dan asrama untuk
santri-santri. Dalam Babad tanah Jawi dijelaskan bahwa, Di daerah Ampel Sunan
Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu
atau ngaos pemuda Islam.
Selanjutnya sunan Giri juga mendirikan Lembaga pendidikan Islam di Giri
setelah menuntut ilmu dari Sunan Ampel.[13]
Dalam Hal ini ada juga yang berpendapat bahwa, pondok pesantren pertama adalah
yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[14]
Pada priode awal ini wali songo mendirikan
pondok pesantren dengan tujuan pada masa awal pondok pesantren hanya berfungsi
sebagai alat islamisasi sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni: ibadah
untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan
kegiatan masyarakat dalam kegiatan sehari-hari. Sehingga pada awal
didirikannya pesantren, kiai melakukan kegiatan pengajian kepada masyarakat
dengan tanpa memungut biaya. Kondisi ekonomi kiai yang cukup mapan waktu itu,
memberi peluang kepada santri dan masyarakat untuk mengikuti pengajian. Sebagai
imbalannya para santri bekerja dalam bentuk menanam padi di sawah, dan
berladang secara ikhlas dengan tanpa imbalan.[15]
Meskipun lembaga-lembaga pendidikan Islam di
masa awal ini tidak disebutkan dengan Warna pesantren, disepakati bahwa
lembaga-lembaga mi adalah cikal bakal dan sistem pendidikan pesantren. Lembaga
pendidikan Islam tradisional selanjutnya di Sumatera Barat disebut surau. Di
Minangkabau istilah surau telah digunakan sebelum datangnya Islam. la merupakan
tampat yang dibangun iintuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Dikatakan bahwa
Raja Aditiawarman telah mendirikan kompiek surau di sekitar Bukit Gombak. Surau
mi digunakan sebagai tempat berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama
sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Menurut
Christine Dobbin, setelah Islam masuk ke Mingangkabau, umat Islam menyusun
sarana belajar atas dasar surau yang didirikan oleh Aditiawarman.[16]
Dalam perkembangan lebih lanjut, karena
tuntutan masyarakat semakin meningkat, surau mengalami perluasan yang lebih
jauh lagi, yaitu dengan difungsikannya surau sebagai lembaga pendidikan Islam
yang memiliki sistem yang teratur. Berbeda dengan pesantren yang belum dapat
dilacak pesantren yang pertama muncul di Minangkabau. Di Minangkabau berhasil
dilacak surau yang pertama digunakan sebagai tonggak pertama kali munculnya
sistem pendidikan surau ialah surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin
(1646-1691) setelah berguru kepada Syekh Abdurrauf Bin Ali.[17]
Dengan demikian, surau telah berubah fungsi. Sejak itu, surau berfungsi sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran Islam; sedangkan sebelumnya hanya berfungsi
sebagai lembaga pengajaran tingkat atas.[18]
Lembaga pendidikan Islam semacam pesantren di
Aceh, disebut dayah atau madrasah. Baik meunasah maupun dayah
adalah lembaga sosial yang difungsikan sebagai lembaga pendidikan, tetapi
masing-masing memiliki perbedaan. Meunasah semula adalah salah satu
tempat ibadah yang terdapat dalam setiap kampung di Aceh. Selanjutnya, meunasah
mengalami perkembangan fungsi baik sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat
pendidikan, tempat pertemuan, dan tempat transaksi jual-beli, bahkan seperti
surau di Minangkabau, meunasah )uga berfungsi sebagai tempat menginap
para musafir, tempat membaca hikayat, dan tempat mendamaikan jika ada warga
kampung yang bertikai. Dilihat dari mata pelajaran yang diajarkan, dayah
mengajikan materi pelajaran yang lebih tinggi daripada di meunasah.[19]
Lembaga-lembaga pendidikan semacam pesantren,
surau, atau dayah merupakan lembaga-lembaga pendidikan yang vital di
Indonesia. Lembaga-lembaga semacam inilah yang sangat berarti untuk
mengajarkan nilai-nilai Islam, bahkan mencetak intelektual muslim Nusantara
yang berhasil mencapai berbagai wacana keislaman yang patut diperhitungkan
dalam peta pemikiran Islam. Pesantren merupakan pusat pemikiran keagamaan di
Nusantara. Sejak masa awal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini telah dipercaya
masyarakat Islam sebagai lembaga yang membentuk moral dan intelektual muslim,
di samping sebagai sarana bagi keberhasilan islamisasi dan meningkatkan
mtensifikasi Islam di Nusantara.
C. Lembaga
Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan
Kehadiran Belanda di Nusantara tidak hanya mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia,
tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat, menghancurkan
elemen-elemen kehidupan perdagangan orang Jawa.
segala aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan
ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak
pengamalan agama Islam. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan secara
terbuka dilarang. Ibadah haji dibatasi dan setiap jama'ah haji yang pulang ke Indonesia
diawasi dengan ketat untuk mengandsipasi pengaruh Muslim yang sudah haji yang
dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Belanda.[20]
Meski
demikian, Islam mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajahan Belanda.
Agama Islam dijadikan oleh umat Islam sebagai mekanisme pertahanan diri dalam
menghadapi kekerasan dan pembatasan pemerintah Belanda. Sentimen keagamaan
terhadap umat Islam menggerakkan kaum santri untuk melancarkan perlawanan
politik terhadap penguasa kolonial. Misalnya, bangkitnya 88 kyai, 36 haji, 11
syeikh, 18 pegawai keagamaan, 15 guru agama, 3 kyai serta sejumlah santri yang
turut ambil bagian dalam perang Diponegoro.
Khawatir akan bahaya setiap kebencian dan
permusuhan umat Islam, Belanda mulai memberikan sedikit kelonggaran terhadap
umat Islam dengan mencabut resolusi-resolusi dan ordonasi yang membatasi
pengamalan agama Islam. Di antaranya, adalah mencabut ordonasi yang membatasi
jumlah jama'ah haji. Segera setelah itu, peserta jama'ah haji melonjak. Di
tanah Suci, di samping menjalankan ibadah haji, mereka juga memperdalam
pengetahuan agama, Setelah mereka pulang, pengetahuan agama mereka sangat
bermanfaat bagi pengajaran Islam sehingga jumlah guru-guru Islam bertambah
berlipat ganda. Akhirnya, terjadilah pelonjakan jumlah lembaga pendidikan
Islam. Berdasarkan laporan statistik resmi pemenntah tahun 1885, jumlah lembaga
pendidikan Islam tradisional tercatat sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan
Madura (kecuali Kesultanan Yogyakarta). Kegiatan keislaman juga berkembang
dengan intens. [21]
Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai
menyelenggarakan pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang
Belanda dan sekumpulan kecil orang Indonesia. Kehadiran
sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama.
Kaum ulama dan golongan santri menganggap program pendidikan tersebut adalah
alat penyusupan kebudayaan Barat di tengah berkembangnya pesantren atau
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Mereka mencemaskan sistem pendidikan kolonial
karena sekolah-sekolah ini akan melahirkan kaum intelektual pribumi yang
sekuler dan menjadi pembela kebudayaan Barat; dan hal ini diperkirakan akan
menjauhkan kaum muslimin kepada agamanya. Semua mi membuat gerah kaum ulama
sehingga mereka mengecam sistem pendidikan kolonial. Dengan tegas mereka
menyatakan, bahwa: "Barang siapa yang menyerahkan anaknya ke sekolah yang
didirikan Belanda, anak itu akan menjadi kafir.[22]
Keberadaan pesantren ini walaupun
dalam keadaan yang kurang kondusif terus tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya dalam masyarakat. Para ulama yang
bersifat tidak ada kompromi terhadap penjajah, sejak awal selalu berusaha
menghindarkan tradisi serta ajaran Islam dari pengaruh budaya Barat, terutama
yang dibawa oleh penjajah. Semua bentuk kebudayaan ala Barat dipandang sebagai
sesuatu yang harus dijauhi oleh umat Islam.[23]
Institusi ini jelas-jelas telah
menjadi oposisi penjajah Belanda. Gerakan anti kolonialis ini terus-menerus
dilancarkan melalui aktivitas pengajian. Usaha ini telah menjadi lembaga yang
marginal.
Fenomena pondok pesantren seperti
itu telah merongrong pihak penjajali, rasa patriotis sebagai bangsa Indonesia
semakin tumbuh secara alamiah di kalangan santri dan masyarakat sejalan dengan
motto Hubbul wathan minal imaan. Kondisi semacam ini tentu saja akan
jelas-jelas menghambat misi penjajah untuk menguasai Indonesia dan program
kristenisasinya.
Oleh karena itulah, kira-kira tahun 1900-an,
untuk menyempurnakan misinya menekan dan menghancurkan Islam di Indonesia
umumnya dan Jawa khususnya, Belanda mencoba menghilangkan sistem pengajaran
sistem pesantren dan melaksanakan sistem kelas atau sekolah. Sistem sekolah
yang dimaksud adalah dengan cara-cara memasukkan mata pelajaran umum yang
sekuler dengan tujuan untuk meminimalisir materi agama yang telah menjadikan para
santri anti Barat.
Adanya pemberlakuan sistem sekolah dengan
sendirinya telah sedikit mengubah nilai-nilai dan tradisi pesantren menjadi
lebih sedikit liberal. Kondisi semacam ini tidak berarti esensi pondok
pesantren lenyap atau hilang dari tujuan didirikannya pondok pesantren.
Pesantren masih tetap bertahan hingga kemudian menemukan sistem baru yang
diposisikan sebagai tandingan sistem sekolah, yakni pendidikan sistem madrasah.
Menurut penulis, walaupun masyarakat mendapat
berbagai tekanan-tekanan, justru membuat umat Islam makin cerdas. Pendidikan model barat yang dimasukkan ke
dalam sistem sekolah mereka membawa arti positif bagi perkembangan pendidikan
Islam. Orang-orang yang belajar di
sekolah belanda akhirnya mengenal sistem modern. Langkah inilahyangdi antaranya
mengantarkanpendidikan Islam di tanah air ada pembaharuan.
Adapun
kondisi masyarakat Islam pada masa penjajahan Jepang tidak separah waktu
penjajahan Belanda. Setelah jepang
mengusir pemerintahan Hindia Belanda, mereka mengusai Indonesia pada tahun 1942
dengan semboyan “Asia Timur Raya untuk Asia”dan semboyan Asia Baru.
Demi
kepentingan Jepang pada perang dunia II, mereka menampakkan seakan-akan membela
kepentingan Islam, padahal ini hanya siasat mereka. Pada waktu itu umat Islam oleh Jepang diberi
kebijaksanaan :[24]
1.
Kantor
Urusan Agama yang tadinya dipimpin oleh orientalis Belanda, oleh Jepang
diserahkan kepemimpinannya kepada umat Islam
yang kemudian dipimpinoleh K.H. Hasyim Asy’ari.
2.
Pondok
Pesantren Besar sering mendapatkunjungandan bantuandari pembesar Jepang
3.
Lembaga
pendidikan (sekolah) pelajaran budi pakerti diisidengan ajaranagama Islam.
4.
Memberikan
latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam
5.
mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam
6.
Para
Ulama diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air(PETA)
7.
Umat
Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
yangbersifatkemasyarakatan
Setelah Jepang memasuki Perang Dunia II dan
kedudukan Jepang terjepit oleh Sekutu, Jepang mulai menekan dan menjalankan
kekerasan terhadap bangsa Indonesia.
Hasil kekayaan bumi Indonesia
dikuras untuk pembiayaan perang Asia Timur Raya. Jepang lalu memberlakukan
kerja paksa (romusha). Kemudian Jepang membentuk badan-badan pertahanan
rakyat semesta, seperti Haihoo, Peta, dan Keibodan. Kehidupan
rakyat Indonesia
semakin tertindas dan menderita. Oleh sebab itu, lahirlah
pemberontakan-pemberontakan. Misalnya, pertahanan Peta di BlitarJawa Timur
mengadakan pembe-rontakan, bahkan alim-ulamajuga mengadakan perlawanan politik.
Akibatnya, banyak kyai yang tertangkap.
Pendidikan pun menjadi terbengkalai. Untuk melipat gandakan hasil bumi,
murid-murid harus membuat rabuk kompos atau dengan beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah.
Setiap hari waktu belajar dipakai juga untuk menanami halaman sekolah dan
pinggir jalan dengan pohon jarak untuk membiayai perang. Selain itu,
murid-murid juga diharuskan berlatih militer dan bans-berbans, lalu dibentuklah
barisan-barisan murid di tiap-tiap sekolah, seperti Seinen-tai barisan
murid-murid Sekolah Rakyat dan Gakuto-tai, barisan murid-murid Sekolah
Lanjutan. Madrasah-madrasah di lingkungan pesantren beruntung karena bebas dan
pengawasan langsung pemerintahJ epang sehingga pendidikan dalam pondok
pesantren masih berjalan dengan agak wajar.[25]
D.
Lembaga Pendidikan Islam di Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
berhasil meraih kemerdekaannya. Kemerdekaan Indonesia melahirkan kehidupan
baru di segala bidang, termasuk pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia
sendiri secepatnya mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikanya dengan keadaan
baru sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Maka, diperlukan sistem
pendidikan nasional yang berdasarkan eksistensi masa lampau, masa kini, dan
kewaspadaan terhadap perkembangan depan.
Sebagai modal dan pedoman pertama bagi rakyat
dan pemerintah di lapangan pendidik, dipergunakanlah Rencana Usaha Pendidikan
dan Pengajaran yang telah dipersiapkan pada hari-hari terakhir penjajahan
Jepang. Sebagai langkah awal dikeluarkan "instruksi umum" oleh PP dan
K, yaitu Ki Hajar Dewantara. Selain itu, bangsa Indonesia menggunakan UUD 1945
sebagai pedoman dan dasar penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kemudian, upaya menjalankan sistem pendidikan
nasional, pemerintah memberi penghargaan tinggi bagi pendidikan agama Islam,
termasuk lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sudah ada. Pada tanggal 22
Desember 1945 BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat)
mengumumkan (berdasar Berita RI tahun n No. 4 dan 5 hal. 20 kolom 1) bahwa:
"Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran di langgar-langgar dan
madrasah berjalan terus dan diperpesat."
Berikutnya, pada tanggal 27 Desember 1945
BPKNIP menyarankan agar pendidikan agama di sekolah mendapat tempat yang
teratur, seksama, dan mendapat perhadan yang semesti-nya. Selain itu, BPKNIP
menyarankan agar lembaga pendidikan madrasah dan pondok pesantren mendapat
perhatian dan bantuan material dari pemerintah karena madrasah dan pesantren
pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai realisasi dari agama
sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara pada tanggal 3 Januari 1946
dibentuk Departemen Agama, yang juga mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama
di sekolah umum dan mengurusi sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pondok
pesantren.Pada waktu Mr. R.Suwandi menjadi Menteri PP dan K(2 Oktober 1946-27
Juni 1947), dia membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesi yang
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Panitia ini merekomendasikan mengenai
sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yang berbunyi:
"Bahwa pengajarar yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk
diperungg dan dimodemisasi serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain.
Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai
komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan
dan Pengajaran No. 4 tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana
dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan
dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.[26]
Tahapan demi tahapan sesuai dengan tuntutan
pembangunan bangsa Indonesia,
pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam pendidikan
nasional. Pentingnya pendidikan agama Islam yang menjadi bagian integral dari
pendidikan nasional akhirnya mendapatkan kekuatan hukum dalam rumusan Komisi
Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi “bahwa pendidikan nasional ialah
usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan meng-usahakan perkembangan
kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga
ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun
masyarakatnya, serta membudayakan alam sekitamya”.[27]
Rumusan Pendidikan nasional ini akhirnya dikukuhkan dalam GBHN
berdasarkan TAP MPR No. II/1983.[28]
E. Pembaharuan
Lembaga Pendidikan Islam
Masyarakat Islam Indonesia telah
mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan,
maupun pencerahan. Banyak alasan yang dapat menjelaskan perubahan ini. Salah
satunya adalah dorongan untuk melawan penjajahan bangsa Belanda. Tidak mungkin
bangsa Indonesia
mampu mempertahankan segala aktivitas dengan cara tradisional untuk melawan
kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya
perubahan-perubahan apakah dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu
yang telah memberi kesanggupan umat Islam pada abad pertengahan untuk mengatasi
Barat dalam pengetahuan serta dalam memperluas pengaruh, atau dengan
menggunakan metode-metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh Belanda.
Sebagaimana umat Islam di negara-negara Timur
Tengah, perlawanan terhadap kolonialisme telah mendorong umat Islam untuk
mengadakan berbagai pembaruan. Gerakan pembaruan ini tidak mungkin berjalan
bila tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Dengan otomatis perubahan
Islam berjalan seiring dengan pembaruan pendidikan Islam. Fenomena ini berlaku
di seluruh negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Berbicara tentang pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia, mengharuskan kita membahas gerakan-gerakan pembaruan pendidikan
baik oleh individu maupun organisasi-organisasi masyarakat Islam.
1. Pembaharuan
Pendidikan Islam di Minangkabau
Pembaruan pendidikan Islam mulai
dirintis oleh murid-murid Syekh Ahmad Khatib, ulama dari Minangkabau yang
menetap dan mengajar di Mekkah. Setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib dan
sempat bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di Timur Tengah
khususnya Mesir, mereka pulang untuk melancarkan pembaruan Islam di sana,
mereka tergerak untuk melancarkan pembaruan sosial Islam di tanah kelahiran
mereka. Mereka juga mengadakan pembaruan pendidikan Islam. Seiring dengan
perkembangan pembaruan sosial agama, mereka mendirikan sekolah-sekolah agama
dengan model Barat. Kegiatan belajar-mengajarnya tidak lagi berlangsung di
surau, tetapi di kelas dengan sistim klasikal. Kurikulum yang diajarkan tidak
lagi hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan umum, bahkan bahasa
Belanda dan bahasa Inggris juga menjadi bagian dari kunkulum.Semua ini untuk
kemajuan masyarakat Islam.
Di antara tokoh dan pelopor pembaharu
pendidikan Islam di Minangkabau adalah Syekh Abdullah Ahmad dari Padang
Panjang. Dialah pemilik Surau Jembatan Best, namun dia lebih tertarik untuk
mengelola sekolah-sekolah modern daripada membina suraunya. Pada tahun 1914 ia
mempelopori berdirinya "Syarikat Oesaha" karena ia berpandangan bahwa
untuk mencapai kemajuan ekonomi dan pendidikan, didirikanlah sekolah Adabiah
pada 23 Agustus 1915. Demi memperbaiki mutu pendidikan, Abdullah Ahmad
memasukkan empat orang guru berbangsa Belanda di samping dua orang Indonesia, yang
memiliki ijazah mengajar di tingkat HIS. Pada 1916 Sekolah Adabiah diakui oleh
pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam. Setahun
berikutnya mendapat subsidi penuh dari gubernemen.[29]
Di Surau Jembatan Best juga diperkenalkan
sistem pendidikan modern. Di surau ini Zainuddin Labai El-Yunus mendirikan
sekolah diniyah yang menerapkan model modern pada 1915. Meski proses
belajar-mengajar tetap berlangsung di surau, tetapi meeka tidak lagi
menggunakan metode tradisional. Pelajaran disampaikan dengan sistim klassikal.
Kurikulumnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan
umum, terutama sejarah dan ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi masa pelajarannya
menggunakan buku-buku bahasa Arab karena kurikulumnya lebih bersifat ekstra
bahasa Arab daripada ilmu bumi dan sejarah. Sekolah diniyah ternyata mendapat
sambutan hangat dari umat Islam di Minangkabau. Sampai tahun 1922 tercatat 15
sekolah yang memakai sistem ini.
Maraknya pembentukan
sekolah-sekolah modern di Minangkabau temyata mengakibatkan perkembangan yang
tidak sehat bagi pendidikan tradisional. Perkembangan surau-surau semakin
tertinggal dengan sekolah-sekolah Islam modern. Surau yang hanya mengajarkan agama
saja kurang diminati oleh masyarakat. Perkembangan zaman yang menuntut
seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan agar tidak tertinggal
mendorong masyarakat lebih memilih masuk ke sekolah-sekolah Islam ketimbang
surau. Di samping itu, surau juga tidak mengeluarkan ijazah sebagai tanda
penguasaan bidang ilmu tertentu yang dapat memberikan kepercayaan untuk mencari
pekerjaan, misalnya sebagai guru agama.
Di antara faktor lain yang mengancam surau
adalah faktor kepemimpinan. Tidak sedikit surau yang tidak dapat bertahan lama
karena pendirinya yang disegani dan dihormati telah meninggal, sementara
penggantinya atau keturunannya tidak dapat diharapkan. Akibatnya, surau-surau
ditutup atau berubah menjadi sekedar tempat belajar membaca al-Qur'an, bahkan
ada yang menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi yang bergerak di
bidang pembaruan pendidikan. Usaha menggabungkan diri ini malah membuat
surau-surau harus kehilangan identitas diri. Sebab harus menyesuaikan diri
secara keseluruhan dengan sistem pendidikan modern.
Akibatnya, ulama-ulama tradisional yang ingin
mempertahankan surau merasa terancam oleh kehadiran sekolah-sekolah Islam
modem. Apalagi, seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra bahwa modemisasi
pendidikan agama di Minangkabau mengarah kepada upaya sekularisasi.[30] Untuk menghadapi sekularisasi dan modemisasi
pendidikan Islam, kaum ulama tradisional saling bersatu. Namun, upaya tersebut
harus menemui kegagalan. Berdasarkan rapat besar kaum ulama tradisional pada 5
Met 1930 di Parabek, Bukit Tinggi, dibentuklah Pesantren Tarbiyah Islamiyah.
Organisasi memutuskan agar lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung
dalam PTI mengikuti langkah kaum muda untuk mengamati sistem pendidikan modem.
Tidak heranlah jika keputusan itu berakibat pada lenyapnya sistem pendidikan
Islam model surau.
2.
Jamiah Khair dan Al-Irsyad
Al-Jami'at al-Khairiyah, yang lebih
dikenal dengan nama Jamiat Khair organisasi yang beranggotakan matoritas
orang-orang Arab ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Jamiat
Khair mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905. Sekolah dasar ini bukanlah
merupakan sekolah yang bersifat agama, namun bersifat umum. Pelajaran diberikan
dalam kelas yang telah terorganisir (sistem klassikal). Salah seorang guru yang
paling terkenal adalah Syaikh Ahmad Soerkatti dari Sudan. Dia tampil sebagai tokoh
pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya
adalah bahwa tidak adanya perbedaan di antara sesama Muslim. Kedudukan Muslim
adalah sama, pangkat tidak menjadi penyebab adanya disikriminasi dalam Islam.[31]
Pemikiran ini muncul setelah
terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Arab yang berkaitan dengan hak
istimewa bagi kalangan sayyid (gelar yang disandang bagi mereka yang mempunyai
garis keturunan dengan Nabi Muhammad saw.). Mereka melarang perkawinan wanita sayyid dengan
orang yang bukan keturunan sayyid. Bila bertemu dengan seorang sayyid harus
mencium tangannya. Apabila tidak melakukannya, bisa menimbulkan pertikaian,
sehingga terjadi perpecahan di kalangan al-Jamiat al-Khair.[32]
Pada tahun 1913 telah terjadi
perpecahan di kalangan Jamiat Khair mengenai hak istimewa golongan sayyid.
Mereka yang tidak setuju dengan kehormatan berlebihan bagi sayyid. Para
pembaharu dikecam dan dicap sebagai reformis dan kemudian mendirikan orgsnisasi
Jami'ah al-Islam waal-Irsyadal-Arabiyah, yang secara umum dikenal dengan
al-Irsyad. Al-Irsyad didirikan pada tahun 1913 dan mendapatkan pengesahan dari
Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915. Al-Irsyad adalah pecahan dari organiasi Jamiat
Khair.
Al-Irsyad mempunyai dua tujuan utama. Pertama,
merubah tradisi dan kebiasaan orang-orang Arab tentang kitab suci, bahasa Arab,
bahasa Belanda, dan bahasa-bahasa lainnya. Kedua, membangun dan memelihara
gedung-gedung pertemuan, sekolah dan unit percetakan. Salah satu perubahan yang
dilakukan al-Irsad adalah pembaruan di bidang pendidikan. Pada tahun 1913
didirikan sebuah perguruan modern di Jakarta, dengan sistem kelas. Materi
pelajaran yang diberikan adalah
pelajaran umum, di samping pelajaran agama. Sekolah-sekolah al-Irsyad
berkembang dan meluas sampai ke kota-kota di mana al-Irsyad mempunyai cabang,
dan secara umum semuanya berada di tingkat rendah.
3.
Persyarikatan Ulama
Persyankatan Ulama lahir dari gerakan pembaruan
Islam di Majalengka Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911, atas inisiatif
Haji Abdul Halim. Haji Abdul Halim lahir di Ciberelang, Majalengka tahun 1887.
Dia menuntut ilmu selama 3 tahun di Mekkah. Enam bulan setelah di kembali dari
Mekkah pada tahun 1811, Halim mendirikan sebuah organisasi yang dia beri nama
Hayatui Quiub, yang bergerak di bidang ekonomidan pendidikan.[33]
Pada tahun 1932, Abdul Halim mendirikan sebuah
sekolah berasrama, yang dibagi menjadi 3 tingkatan: tingkat permulaan, dasar,
dan lanjutan. Kurikulum yang diberikan di sekolah tersebut tidak hanya berupa
pengetahuan agama dan umum, tetapi juga berbagai keterampilan yang bemilai
ekonomis. Pelajar-pelajar asrama dilatih dalam pertanian, pekerjaan tangan
(besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun.
Mereka harus tinggal di asrama di bawah
disiplin yang ketat, terutama dalam pembagian waktu dan dalam sikap pergaulan
hidup mereka. Sekolah Santi Asrama merupakan realisasi dari gagasan Halim yang
ia kemukakan pada kongres Persyarikatan Ulama pada tahun 1932. la mengusulkan
agar Persyarikatan Ulama mendirikan lembaga pendidikan yang betul-betul akan
melahirkan alumninya menjadi orang-orang yang mandiri.
4. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi
Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada
tanggal 10 Nopember 1912, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H oleh K.H. Ahmad
Dahlan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk membebaskan
umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupannya, dan ptaktek-praktek
agama yang menyimpang dari kemumian ajaran Islam. Saat itu umat Islam telah
dipengaruhi sikap fatalisme, bid'ah, khurafat, dan konservatisme yang
berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi masyarakat Muslim
Indonesia.[34]
Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan,
Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Pada 1915 K.H. Ahmad Dahlan mulai mendirikan sekolah dasarnya yang
pertama. Pada sekolah ini diberikan pengetahuan umum, di samping pengetahuan
agama. Kemudian diikuti dengan berdirinya sekolah-sekolah Muhammadiyah di
pelosok Indonesia.
Pada tahun 1925, organisasi ini
telah mempunyai delapan Hollands Inlandse School (HIS), sebuah sekolah guru di
Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah Schakel School, dan
14 buah madrasah, yang seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4.000 murid. Pada
tahun 1929, organisasi ini telah mempublikasikan penerbitan sejumlah 700.000
buah buku dan brosur. kemudian pada tahun 1938 telah memiliki 31 perpustakaan
umum, 1.774 sekolah, dan beberapa perguruan tinggi Islam.[35]
5. Persatuan Islam (PERSIS)
Persatuan Islam (PERSIS) didirikan
secara resmi pada tanggal 12
September 1923 di bandung,
oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan
yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan
organisasi-orga-nisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20. Persatuan Islam
mempunyai ciri tersendin, kegiatannya dititik beratkan pada pembentukan faham
keislaman.[36]
Perhatian PERSIS untuk mencapai cita-cita dan
pemikirannya, dengan mengadakan pertemuan umum, tablig, khotbah-khotbah,
kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau
menerbitkan pamflet, majalah, dan kitab-kitab. Dalam menjalankan kegiatannya,
Persis beruntung karena mendapat dukungan dan partisipasi dari dua tokoh
penting, yaitu Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir
Usaha Persis untuk mewujudkan cita-citanya,
ialah mendirikan lembaga pendidikan, bail berupa sekolah, kursus, kelompok
studi atau diskusi, pengajian, dan pesantren. Sekitar tahun 1927, Persis telah
mempunyai kelompok diskusi keagamaan yang diikuti oleh anak-anak muda yang
telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah menengah pemerintah dan yang
ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh. Mereka yang ikut dalam kelompok
diskusi ini tercatat antan lain: Muhammad Natsir, Fakhruddin al-Kahiri,
Rusbandi, Cayo dan lain-lain.47 Selain itu, diadakan pula
kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa. Hassan dan Zamzam
mengajar pada kursus-kursus ini. Dalam kursus-kursus itu dibahas soal-soal iman
serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid'ah. Masalah-masalah yang
aktual pada masa itu menjadi topik pembicaraan, sepem poligami dan nasionalisme.
Di bidang pendidikan, Persis mendirikan sebuah
madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis,
Tetapi kemudian, madrasah ini dibuka bagi anak-anak lainnya. Sebuah kegiatan
lain yang penting dalam kegiatan pendidikan Persis adalah lembaga pendidikan
Islam, sebuah proyek yang ditangani oleh M. Natsir. Lembaga ini berhasil
mendirikan Taman Kanak-Kanak, HIS (keduanya tahun 1930, sekolah MULO (tahun
1931) dan sebuah sekolah guru (1932).[37]
6. Lembaga
Pendidikan Nahdhatul Ulama
Organisasi Isalam berdiri pada tahun 1926, sebenarnya keinginan mendirikan organisasi
ini telah muncul sejak 1924. Waktu itu K.H.A. Wahab Hasbullah telah
menyampaikannya kepada K.H. Hasyim Asy'ari, tetapi waktu itu K.H. Hasyim
Asy'ari masih belum berkenan. K.H. A. Wahab Hasbullah menyadari arti pentingnya
sebuah organisasi untuk memperkokoh kesatuan di antara para ulama. K.H. Hasyim
Asy'ari baru merestui berdirinya organisasi para ulama setelah adanya
desakan-desakan perlunya mendirikan organisasi oleh situasi ketika itu dan
telah memperoleh restu dari K.H. Khalil Madura. Maka, sejak tanggal 16 Rajab
1949/ 31 Januari 1926, berdirilah organisasi para ulama yang disebut Jam'iyah
Nahdiatui Ulama. [38]
Pada awalnya organisasi ini belum memiliki
tujuan yang jelas, tujuan organisasi baru dirumuskan pada tahun 1927.
Organisasi ini bertujuan memperkuat ikatan salah satu dari empat mazhab serta
untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai dengan Islam.
Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara para ulama
yang masih berpegang teguh pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian
kitab-kitab di pesantren, penyebaran Islam, seperti yang diajarkan oleh mazhab
yang empat, perluasan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya, bantuan
kepada mesjid, langgar dan pesantren, dan juga pemeliharaan anak yatim serta
fakir miskin. Maksud lain yang penting pula ialah pebentukan badan-badan untuk
memajukan usaha para anggota Nahdiatui Ulama.[39]
Dengan demikian, tampak bahwa organisasi NU
bermaksud mempertahankan praktek keagamaan yang sudah mentradisi di Nusantara
untuk mengimbangi gencamya ekspansi pembaruan Islam. Para
ulama yang tergabung dalam organisasi ini khawatir bila pembaruan atau
modernisasi Islam akan melenyapkan paham keagamaan yang selama ini mereka
jalani. Karena itulah, gerakan NU mendapat dukungan dari para pemimpin
pesantren yang dikenal memiliki resistensi kuat untuk mempertahankan budaya
pesantren. NU merencanakan untuk mempersatukan pesantren di seluruh Jawa di
bawah naungan NU.
Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar
bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan
keberadaannya. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang
pembaruan pendidikan. Namun begitu, NU juga terjun dalam kegiatan pembaruan
pendidikan. NU mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat.[40]
Sampai akhir tahun 1956 (1938 M) Komisi Perguruan NU mengeluarkan kebijakan
tentang susunan madrasah-madrasah NU, yang terdiri dari ; Madrasah Awaliyah
lama belajar 2 tahun, Madrasah Ibtidaiyah lama belajar 3 tahun, Madrasah
Tsanawiyah lama belajar 3 tahun, Madrasah Mu'alimin Wusta lama belajar 2 tahun
dan Madrasah Mu'alimin 'Ulya lama belajar 3 tahun.[41]
Besarnya pengaruh K.H. Hasyim Asy'ari sangat mendukung bagi pembaruan lembaga
pendidikan di pesantren dan sosial masyarakat. Setelah Indonesia
merdeka dan ketika K.H. Hasyim Asy'ari menjabat sebagai Menteri Agama R.I.,
ia mengambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan Barat.
Cara yang ditempuh untuk melaksanakan keputusan ini antara lain dengan
melakukan propaganda untuk memasukkan mata pelajaran umum ke dalam madrasah.
Keputusan Departemen Agama ini. Besarnya
pengaruh dan kharisma K.H. Hasyim Asy'ari berhasil melunakkan hati para kyai di
pedesaan untuk sedikit demi sedikit mentransfer sistem pendidikan modern yang
tadinya mereka menolak sistem modern.[42]
F. Reformasi Terhadap
Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam termasuk dari masalah sosial, sehingga di dalam proses pembentukan
lembaga-lembaga Pendidikan tidak pernah lepas dari pengaruh sosial masyarakat
itu sendiri, sebab dari lembaga pendidikan itu pula bisa mampu mempengaruhi dan
merubah sistem tatanan masyarakat. Ada kesinambungan antara
pendidikan dan sosial di masyarakat, sehingga setiap ada perubahan pada diri
masyarakat untuk maju otomatis lembaga pendidikan dituntut untuk senantiasa
berubah,dan harus selalu selangkah lebih maju daripada keadaanmasyarakat
itusendiri.
Hal ini
terbukti dengan adanya reformasi lembaga pendidikan tradisional ke dalam bentuk
pendidikan yangsejalan dengan tuntutan zaman, sehingga lembaga pendidikan Islam
harus berintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional dan modern. Berikut ini sejarah reformasi lembaga
pendidikan Islam di Indonesia dan pengaruhnya terhadap sosial.
1. Pondok Pesantren
Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta
mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Islam telah masuk ke
wilayah kepulauan di Asia Tenggara jauh lebih dini daripada perkiraan semula,
yaitu sudah sejak pertengahan abad ke-9, tampaknya masuk akal, bahwa pendidikan
agamaIslam yang melembaga berabad-abad berkembang secara berkesinambungan.[43]
Berbicara pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tentunya tidak lepas dari asal mula dari mana pesantren
berangkat. Sebagaimana telah disinggung
di pembahan awal bawa sebelum adanya lembaga-lembaga pendidikan yang tren masa
kini, berawal dari lembaga pendidikan yang menyatu dengan masyarakat, berupa
suara, langgar, masjid dan tempat-tempat yang belum berupa lembaga formal.[44]
Pada awal mula sejarah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat
adalah pondok pesantren yang pada
umumnya disebut sebagai pondok pesantren salafi (tradisional) Pondok pesantren salafi pada awalnya
merupakan bentuk pendidikan tradisial yang dipimpin oleh seorang guru yang
disebut sebagai kiai atau ajengan. Di
pesantren ini para murid (santri)[45]
diberi materi ilmu pengetahuan agama dari berbagai aspek.[46]
Dalam perkembangan selanjutnya,
pondok pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk
kemudian melakukan pola yang dipandangnya cukup tepat dalam menghadapi
modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas.40
Upaya tersebut dilakukan untuk menghindari para santri yang hanya menguasai
ilmu-ilmu agama secara parsial, tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan umum
sebagai basic beradaptasi dengan dunia yang semakin sarat dengan
kecanggihan teknologi dan informasi.
Didalam memaknai pondok pesantren
dan santri Menurut beberapa ahli ada beberapa definisi Pondok Pesantren merupakan
rangkaian kata yang terdiri dari: "Pondok" dan "Pesantren".
Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) yang dipakai dalam bahasa Indonesia
dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. Ada pula kemungkinan bahwa kata
"pondok" berasal dari bahasa arab "funduk" yang
berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana. Karena pondok
(tradisional umumnya) memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para
pelajar yang jauh dari tempat asalnya[47]
Pemaparan
di atas jelas sekali bahwa dari segi etimologi lembaga pondok pesantren
merupakan satu lembaga kuno yang meng-ajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama.
Oleh karenanya wajar ketika misalnya ada sisi kesamaan (secara bahasa) antara
pondok pesantren yang ada dalam sejarah Hindu dengan pondok pesantren yang lahir
bela-kangan. Antara keduanya memiliki kesamaan prinsip pengajaran ilmu agama
yang dilakukan dalam satu bentuk asrama.
Namun
secara terminologi, K.H. Imam Zarkasih mengartikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiai sebagai figur
sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama
Islam di bawah bimbingan Kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Adapun
materi-materi ilmu agama yang biasa ditawarkan pada pondok pesantren salafi di
antaranya, pembelajaran kitab suci al-Qur’an meliputi qiro’ah, tajwid dan
Tafsir, selanjutnya hadis, fiqh, bahasa Arab meliputi ilmu nahwu dan sharaf dan
lain sebagainya. Setiap pembelajaran
agama ini santri dihadapkan bacaan bahasa Arab yang pada umumnya disebut kitab
gundul[48],
sebab secara umum sumber bacaan pada setiap pondok pesantren berupa teks-teks
Arab (kitab kuning).
Pesantren pada umumnya bergerak dalam bidang
pendidikan dan sosial sebagaimana telah disinggung pada bab di atas, hal ini merupakan ciri utama sejarah
pesantren tradisional di Indnesia. Keberadaan pesantren tradisional secara umum
mampu mewarnai cara berpikir masyarakat secara umum, baik dari aspek pendidikan
atau status sosial, dan aspek-aspek yang lain.
Banyak orang tua yang menyarankan anaknya pergi ke pesantren supaya
menjadi mubliq yang memberi petuah-petuah agama kepada masyarakat atau menjadi
seorang yang bisa mendidrikan lembaga pendidikan untuk lingkungannya yang lazim
disebut kyai, secara garis besar anak turun mereka supaya menjadi orang yang
berpengaruh dan berguna di masyarakat, dimana mereka berdomosili kelak.
Keberadaan pesantren tradisianal di Indonesia decara umum merupakan
swadaya masyarakat.
Dalam kaitan dengan peran tradisionalnya itu,
pesantren kerap diidentifikasi memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, di
antaranya ; Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional (transmission
of Islamic knowledge),sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam
tradisional (maintenance of Islamic tradition), dan sebagai pusat
reproduksi ulama (reproduction of ulama).[49]
Pesantren bisa tetap eksis dan mampu
mengimbangi segala bentuk dinamika perubahan sosial, ada dua kekuatan utama
yang dimiliki budaya pendidikan pesantren. Di antaranya :
- Adanya karakter budaya pendidikan yang memungkinkan santrinya belajar secara tuntas. Dalam konsep modem budaya belajar tuntas ini sama dengan konsep mastery learning. Dalam konsep ini pendidikan dilakukan tidak terbatas pada pola transfer ilmu-ilmu pengetahuan dari guru ke murid, melainkan juga termasuk aspek pembentukan kepribadian secara menyeluruh. Transfer ilmu pengetahuan di pesantren tidak dibatasi oleh target waktu penyelesaian kurikuluin sebagaimana telah dirind di dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), melainkan lebih menekankan pada penguasaan detail-detail konsep secara tuntas, tanpa dibelenggu oleh batasan waktu tertentu. Dalam pendidikan di pesantren, hal paling penting yang diperhatikan kyai atau ustadz bukanlah capaian kuantitas materi yang bisa diselesaikan santri, melainkan kualitas penguasaannya.
Metode pengajaran khas pesantren
seperti bandongan dan sorogan. metode bandongan adalah
metode pembelajaran yang mendorong santri untuk belajar lebih mandiri. Dalam bandongan,
kyai atau ustadz membaca kitab dan menerjemahkannya untuk selanjutnya
memberikan penjelasan umum seperlunya. Sementara pada saat yang sama santri
mendengarkan dan ikut membaca kitab tersebut sambil membuat catatan-catatan
kecil di atas kitab yang dibacanya. Dalam bandongan para santri
memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas
keterangan kyai. Sedangkan catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya
membantu untuk melakukan telaah (muthala'ah) atau mempelajari lebih lanjut
isi kitab tersebut setelah bandongan selesai.
Sorogan adalah metode pendidikan yang tidak hanya dilakukan oleh
santri bersama kyai atau ustadznya, melainkan juga antara santri dengan santri
lainnya. Dengan sorogan, santri diajak untuk memahami kandungan kitab
secara perlahan-lahan secara detail dengan mengikuti pikiran atau konsep-konsep
yang termuat dalam kitab kata per kata. Inilah yang memungkinkan santri
menguasai kandungan kitab baik menyangkut konsep besamya maupun konsep-konsep
detailnya.[50]
- Kuatnya partisipasi masyarakat. Pada dasamya pendirian pesantren di seluruh Indonesia didorong oleh permintaan (demand) dan kebutuhan (need) masyarakatnya sendiri. Hal ini memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat di dalam pesantren berlangsung secara intensif. Partisipasi ini diwujudkan dalam pelbagai bentuk, mulai dari penyediaan fasilitas fisik, penyediaan anggaran kebutuhan, dan sebagainya. Sedangkan pesantren berperan dalam memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan tuntunan kehidupan bermasya-rakat. Itulah sebabnya, tingginya tingkat partisipasi masyarakat telah menempatkan pesantren dan kyai sebagai pusat atau inti kehidupan masyarakat. Sebagai inti masyarakat, pesantren dan kyai menjadi penentu bagi dinamika atau perubahan apapun yang terjadi atau harus terjadi di masyarakat tersebut. Sebaliknya, keberlangsungan perkembangan pesantren atau keruntuhannya sekaligus sangat tergantung pada seberapa besar partisipasi masyarakat dan seberapa sesuai pelayanan pesantren dengan permintaan dan kebutuhan masyarakat.
Sejauh yang bisa kita amati hal itulah inti
penyangga eksistensi pesantren. Dua karakter budaya tersebut bisa dijadikan
bahan penting dalam melakukan pelbagai upaya pembaruan dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan yang masih berlangsung hingga saat ini telah terbukti
memiliki kelemahan dalam menciptakan sumberdaya manusia yang mandiri dan
memiliki kemampuan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah sistem pembelajaran
yang dikembangkan di sekolah-sekolah formal termasuk madrasah lebih menekankan
pada pencapaian target kurikulum secara kuantitatif. Hal ini merupakan
kesalahan fatal karena kualitas penguasaan anak didik terhadap inateri ilmu
pengetahuan yang diajarkan terabaikan. Demikianjuga dengan partisipasi
masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan sangat minimal. Hal ini mungkin
disebabkan karena lembaga-lembaga pendidikan formal kita tidak atau kurang
berakar pada basis masyarakat melainkan lebih bergantung pada visi besar
kebijakan pemerintah.
Kendati tidak ada pengakuan secara eksplisit
dari kalangan ahli pendidikan di Indonesia, karakter budaya
pendidikan pesantren telah diadopsi ke dalam sistem pendidikan nasional. Gejala
ini secara kasat mata dapat dilihat dari munculnya sekolah-sekolah unggul atau
populer dikenal dengan boarding school sejak tiga dasawarsa terakhir.
Kita dapat menyebut beberapa contoh boarding school yang baik metode
maupun sistem pembinaan siswanya dikembangkan menyerupai pesantren, seperti SMU
Taruna Nusantara di Magelang, SMU Dwi Warna dan SMU Madania di Parung, Bogor,
dan Al-Izhar di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Departemen Agama sendiri sudah
sejak pertengahan tahun 1980-an mengembangkan model pesantren ini di Madrasah
Aliyah Program Khusus (MAPK). Dalam hal ini, Depag secara terbuka berusaha mengadopsi
aspek-aspek mastery learning yang berkembang di pesantren ke dalam
madrasah.[51]
Dari sistem pengajarannya, boarding
school tersebut menekankan metode pengajaran yang lebih mengutamakan aspek
penguasaan materi dibanding penyelesaian target kuantitatif kurikulum.
Sekolah-sekolah tersebut bukan tidak menggunakan kurikulum dan GBPP
konvensional, melainkan mengembangkan kurikulum sendiri. Kurikulum tersebut
dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan konsep pendidikan yang dimilikinya,
namun tetap memasukkan unsur-unsur kemampuan dasar yang diinginkan oleh
kurikulum nasional. Tenaga pengajar di sekolah-sekolah tersebut memiliki ruang
kreativitas cukup luas untuk melakukan pelbagai inovasi dalam pendekatan
pembelajaran. Seperti halnya di pesantren, para siswa juga didorong untuk
mampubelajar secara mandiri. Dengan demikian, upaya pencapaian target
kualitatif dalam pemahaman materi pengajaran bisa dilakukan sekolah sesuai
dengan pendekatan yang dikembangkannya sendiri.
Dalam konteks penyerapan budaya pendidikan
pesantren ke dalam pendidikan formal, Departemen Agama juga sudah melakukannya
secara formal. Berbeda dengan sekolah-sekolah berasrama umum (boarding
school) yang mengadopsi budaya pendidikan pesantren secara diam-diam,
Departemen Agama mengembangkannya secara terbuka. Dalam hal ini, madrasah yang
dikembangkan dengan model pesantren adalah Madrasah Aliyah Program Khusus
(MAPK). Karena program ini dinilai berhasil mencapai tujuan yang diinginkan,
belakanganDepag mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkannya menjadi Madrasah
Aliyah Keagamaan (MAK) yang diselenggarakan lebih passif.
Metode pengajaran maupun sistem pembinaan siswa
di MAPK/MAK dilakukan sebagaimana di boarding school umum. Mastery
learning menjadi visi utama di madrasah tersebut. Siswa MAPK juga
diwajibkan untuk tinggal di asrama. Namun, baik MAPK maupun MAK yang
dikembangkan Depag belum mencakup aspek-aspek pengajaran umum (sebagaimana
Madrasah Aliyah konvensional), melainkan khusus bidang keagamaan. Sebab sejak
awal tujuan pengembangan madrasah ini adalah untuk menciptakan kader-kader ahli
agama (ulama) yang berpikiran dan berwawasan modern. Namun demikian, pilihan
metode pengajaran dan sistem pembinaan di MAPK/MAK ini telah terbukti
memberikan hasil yang relatif jauh lebih baik dibandingkan siswa-siswa lulusan
Madrasah Aliyah umum.[52]
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan
bahwa dewasa ini telah mulai muncul kesadaran akan pentingnya apresiasi
terhadap khazanah sistem pendidikan di pesantren untuk dikembangkan di dalam
sistem pendidikan modem secara nasional. Namun, model pendidikan sebagaimana
dikembangkan oleh boarding school seperti SMU Taruna Nusantara atau SMU
Dwi Wama dan SMU Madania jelas masih tergolong mahal baik untuk kemampuan
rata-rata masyarakat maupun pemerintah sendiri. Kelengkapan dan kecanggihan
fasilitas belajar-mengajar di boarding school terlalu hebat dan mahal
untuk bisa diikuti oleh sekolah-sekolah kebanyakan. Demikian juga masyarakat
yang bisa mengenyam fasilitas pendidikan tersebut terbatas kalangan ekonomi
menengah-atas.
Model MAPK atau MAK yang belakangan
banyak melibatkan masyarakat tampaknya lebih mudah dijangkau masyarakat. Model
ini bisa memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat sendiri, terutama
pesantren. Sebagaimana di pesantren, mastery learning sesungguhnya bisa
dikembangkan tanpa mensyaratkan asrama atau fasilitas yang mahal. Oleh sebab
itu, masalah paling mendasar yang perlu kita pecahkan terlebih dahulu dalam
konteks pembaruan sistem pendidikan nasional adalah kemauan kita semua untuk
mengapresiasi dan mengembangkan khazanah pendidikan yang telah ada.
Secara umum untuk saat ini
pesantren terbagi dua, yaitu pesantren salafi, Lembaga pengajaran ilmu agama
secara tradisional, mereka ada yang bermukim di pondok dan ada pula yang
setelahbelajar terus pulang (santri kalong), yang kedua pesantren modern, yaitu
suatu lembaga pendidikan Islam yang materi pembelajarannya berusaha
mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal ke dalam pondokpesantren.
Dengan demikian, tidaklah
mengherankan jika dalam sejarahnya, institusi ini terus berkembang dalam
masyarakat hingga sekarang, bahkan telah memberikan corak terhadap pendidikan
nasional. Dan sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat.
2. Madrasah
Kehadiran Madrasah sebagai Lembaga
pendidikan memiliki latar belakang tertentu, di antaranya :[53]
- Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan system pendidikan Islam
- Usaha penyempurnaan terhadap system pesantren kea rah pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya adanya kesempatan kerja dan mendapat ijazah
- Adanya sikap mentas pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku pada Barat sebagai system pendidikan mereka.
- Sebagai upaya untuk menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Madrasah sesungguhnya bukan
merupakan lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi satu lembaga yang
berasal dari Timur Tengah yang berkembang sekitar abad ke-10 M. Pada awal
didirikannnya, tepatnya Wazir Bani Saljuk Nizam al-Mulk berkuasa, lembaga yang
satu ini merupakan bentuk reaksi golongan Sunni yang saat itu sedang berkuasa.
Oleh karenanya wajar kalau dalam penyampaian kurikulum dan segala bentuk yang
berkaitan dengan pengajaran di lembaga lebih banyak nuansa suni ketimbang
nuansa Islam yang lain.
Terlepas dari kenyataan historis di atas,
eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong
fenomena modern yaitu dimulai sekitar awal abad ke 20.[54]
Dari segi istilah "madrasah" yang digunakan di Timur Tengah dan Indonesia,
kelihatannya memiliki interpretasi yang berbeda. Di Timur Tengah madrasah
disebut sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang tidak mengenal sistem
klasikal dan penjenjangan, sementara istilah madrasah yang ada di Indonesia
diadopsi untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan Islam, dengan
menggunakan sistem klasikal, penjenjangan, penggunaan bang-ku, bahkan
memasukkan pengetahuan umum sebagai bagian kurikulumnya. Keberadaan madrasah di
Indonesia
merupakan bentuk respons dari intelektual muslim Indonesia yang merasa perihatin
terhadap kondisi pendidikan Islam Indonesia yang semakin ketinggalan
dengan pendidikan yang ditawarkan Belanda.
Menurut Tim Penyusun dari Departemen Agama
menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Adabiyah
di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun
1909. Pada tahun 1910, didirikan juga sekolah agama dengan nama madras
school dan pada tahun 1923 berubah namanya menjadi diniyah school. Dalam
perkembangan selanjutnya, lembaga model ini telah mentradisi dan menjadi
lembaga resmi negara, keberadaannya telah beberapa kali melakukan inovasi,
perubahan, sesuai dengan kebutuhan zaman. Salah satunya mengenai perubahan
madrasah yang terjadi setelali dituangkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri-Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri
Agama. Dengan adanya SKB tersebut, posisi madrasah telah memiliki hak yang sama
dengan pendidikan umum lainnya, bahkan telah melegitimasi lembaga ini sebagai
lembaga yang bisa menerima perubahan sesuai perkembangan zamannya. [55]
3. Perguruan Tinggi Islam
Ummat Islam yang merupakan
mayoritas dari penduduk Indonesia,
selalu mencari berbagai carauntuk membangun sistem pendidikan Islam yang
lengkap, mulai dari pesantren yang seder-hana sampai ke tingkat perguruan
tinggi. Menumt Mahmud Yunus,[56]
Islamic College pertama telah didirikan dan dibuka di bawah pimpinannya
sendiri pada tanngal 9 Desember 1940 di Padang Sumatera Barat. Lembaga tersebut
terdiri dari dua fakultas, yaitu syariat agama dan Pendidikan serta Bahasa
Arab. Tujuan yang ingin dicapai lembaga ini adalah untuk mendidik ulama-ulama
Pada tahun 1945 tepatnya 8 Juli 1945 dengan
bantuan pemerintah pendudukan Jepang, di saat peringatan Isra Mi'raj Nabi
Muhammad SAW didirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Tujuan dari pendirian
lembaga pendidikan tinggi ini padamulanya adalah untuk mengeluarkan alim ulama
yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam secara
luas dan mendalam, serta mempunyai pengetahuan umum yang perlu dalam masyarakat
modern sekarang.[57]
Studi di lembaga ini
berlangsung selama dua tahun sampai mencapai gelar Sarjana Muda, ditambah dua
tahun lagi untuk mencapai gelar semacam Sarjana, dan setelah menulis Tesis
berhak mendapatkan gelar Doktor. Untuk kurikulum yang diajar-kan kebanyakan mengambil
atau mencontoh seperti yang diberla-kukan pada Universitas Al Azhar Kairo. Untuk belajar pada lembaga pendidikan ini
diberikan untuk persiapan (matrikulasi). Pada tingkat matrikulasi ini terbuka
bagi pemegang ijazah Sekolah Menengah Hindia Belanda dahulu, dan juga bagi
mereka yang telah lulus dari suatu madrasah Aliyah. Kedua jenis lulusan ini
pada umumnya memerlukan kursus pendahuluan selama satu atau dua tahun. Bagi
lulusan Sekolah Menengah Hindia Belanda, dimaksudkan untuk menambah pengetahuan
Bahasa Arab dan pengetahuan agama, sedangkan bagi alumnus Madrasah Aliyah untuk
memperoleh mutu yang lebih tinggi dalam pengetahuan umum. Sedangkan mengenai
karier di masa depan para lulusan, diharapkan bisa memangku jabatan-jabatan
tertentu, di antaranya; Sebagai guru
agama pada berbagai macam sekolah, pejabat pada Peradilan Agama dan Pegawai
Negeri dan Dinas Keagamaan.[58]
Namun pada bulan Desember
1945, tatkala Jakarta
diduduki dan dikuasai oleh Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal
Cristianson, maka untuk sementara perguruan tinggi ini terpaksa ditutup. Dan
baru pada tanggal 10 April 1946 perguruan tinggi ini . dibuka kembali dengan
mengambil tempat di Yogyakarta, yang dihadiri
oleh Presiden Soekarno, dengan sebuah pidato oleh Hatta sebagai Ketua Dewan
Penyantun.
Kemudian pada tanggal 22 Maret 1948 Sekolah
Tinggi Islarh (STI) diubah menjadi University Islam Indonesia dengan beberapa fakultas,
yaitu :
1.
Fakultas Agama
2.
Fakultas Hukum
3.
Fakultas Ekonomi
4.
Fakultas Pendidikan.[59]
Kebutuhan akan perguruan tinggi agama Islam
merupakan tuntutan umat Islain. Mengingat masih banyaknya lulusan madrasah yang
melanjutkan studinya ke negara-negara Timur Tengah karena di dalam negeri tidak
ada satupun perguruan tinggi agama milik pemerintah. Usaha pembentukan
Universitas Islam Negeri baru menjadi kenyataan setelah berdirinya Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun
1950. PTAIN ini diambilkan dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta.
Pendirian PTAIN ini atas persetujuan bersama
Menteri Agama RIS di Jakarta (KH. Wahid Hasyim) dan Menteri Agama RI di Yogyakarta
(KH. Faqih Usman) danjuga putusan sidang kabinet Republik Indonesia
tanggal 11 dan 12 Agustus 1950. Peraturan Pemerintah No. 34 ini ditandatangani
oleh Mr. Assaat selaku pemangku jabatan Presiden
RI pada tanggal 14 Agustus 1950.
Dalam PP tersebut ditentukan maksud
(tujuan) PTAIN adalah "untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat
untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama
Islam". Penyelenggaraan dan hari penetapan pembukaan PTAIN diserahkan
kepada Menteri Agama bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ketentuan terakhir ini dimaksudkan untuk menjaga supaya derajat dan sifat
perguruan tinggi ini -yang menjadi negeri- tidak berbeda dengan perguruan
tinggi negeri lainnya. Mengamati Peraturan Pernerintah tersebut, tampak bahwa
tujuan pendirian PTAIN bukan hanya untuk menyiapkan pegawai Departemen Agama
karena PTAIN bukan perguruan tinggi kedinasan, tetapi perguruan tinggi yang
mempersiapkan tenaga ahli dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Berdasarkan
tujuan di atas, maka dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan No. K/1/14641 tahun 1951 (agama) dan 28665/Kab tahun 1951
(pendidikan) tanggal 21 Oktober 1951 diatur penyelenggaraan PTAIN. Dalam
peraturan itu ditentukan lama pendidikannya 4 tahun dan baru di tingkat
Baccaloriat dan Doktoral diperbolehkan memilih jurusan yaitu jurusan tarbiyah,
qadha' dan dakwah. Mata kuliah yang diberikan di samping ilmu pengetahuan agama
Islam diajarkan juga mata kuliah umum dengan tujuan memberikan dasar dan
keinsyafan akan pendirian hidup yang luas dan kuat kepada para mahasiswa
selaras dengan tujuannya. Mata kuliah umum tersebut antara lain ilmu pendidikan
dan kebudayaan, ilmu jiwa, pengantar hukum, asas-asas hukum publik dan hukum
privat etnologi, sosiologi dan ekonomi.[60]
Berdirinya PTAIN diikuti lagi dengan dibukanya
ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta. ADIA ini didirikan karena kebutuhan
tenaga guru agama yang mendapat pendidikan tinggi untuk bertugas di Sekolah
Menengah Umum Tingkat Atas masih dirasakan kurang, lebih-lebih dengan makin
banyaknya dibuka PGA di seluruh tanah air. Kebutuhan ini tampaknya belum dapat
dipenuhi oleh PTAIN yang memang bukan perguruan tinggi kedinasan. Oleh karena
itu, berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 1 tahun 1957 tertanggal 1 Januari
1957 didirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama). Perkuliahan pertama dimulai
tanggal 17 Juni 1957. ADIA dimaksudkan untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai
negeri untuk mencapai ijazah pendidikan semi akademi.Jurusan-jurusan pada ADIA
pada mulanya hanya jurusan Pendidikan Agama dan Sastra Arab. Baru pada tahun
1959 bertambah dengan dibukanya jurusan Imam Tentara.
Kalau PTAIN secara struktural berada dalam pembinaan
Departemen Agama (Sekretariat), ADLA secara struktural berada di bawah Jawatan
Pendidikan Agama. Sebagai suatu Akademi Dinas mahasiswa ADIA adalah pegawai
negeri yang bemaung di bawah Jawatan Pendidikan Agama dengan status guru agama
guru madrasah.
Keberadaan IAIN merupakan gabungan
dari PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta, berdasarkan Peraturan Presiden no. 11
tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960 yang ditandatangani oleh Djuanda selaku Pejabat
Presiden. Kini Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri telah berkembang dan tidak dapat lagi dimasukkan dalam satu
fakultas. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah
luas sekali, yang sebagaimana diketahui meliputi segala kegiatan kehidupan
manusia, maka suatu fakultas tidak akan dapat menampung keseluruhannya itu.
Mengingat hal-hal di atas itu semuanya maka
sekarang telah tiba waktunya untuk menggabungkan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama di Jakarta menjadi Institut
Agama Islam Negeri yang kedudukan hukumnya seperti Institut Tehnologi di
Bandung (Peraturan Pemerintah no. 6 th 1959) agar supaya ada pimpinan yang
satu, untuk kelancaran serta kesempurnaan penyelenggaraan pendidikan tinggi
tentang agama dan ilmu pengetahuan Islam itu.
PTAIN yang semula mempunyai jurusan-jurusan
Tarbiyah, Qadha dan Da'wah dan ADIA dengan jurusan-jurusan Pendidikan Agama,
Sastra Arab dan Imam Tentara dalam penggabungannya berubah menjadi empat
fakultas yaitu:
a.
Jurusan
Tarbiyah dan Pendidikan Agama menjadi Fakultas Tarbiyah di Jakarta
b.
Jurusan
Qadha menjadi Fakultas Syari'ah di Yogyakarta
c.
Jurusan
Da'wah menjadi Fakultas Ushuluddin di Yogyakarta
d.
Jurusan
Sastra Arab menjadi Fakultas Adab di Jakarta.
Sedangkan jurusan Imam Tentara dihapuskan. Dari dua bentuk perguruan tinggi sebelumnya PTAIN
dan ADIA tampak adanya dua orientasi tujuan yang agak berbeda. Hal tersebut
sesuai pula dengan nama lembaga pendidikan itu. Kalau PTAIN bermaksud
menghasilkan ahli agama Islam yang memiliki pengetahuan yang lengkap yaitu ilmu
agama Islam dan ilmu pengetahuan umum yang berkaitan. Oleh karena itu,
orientasi PTAIN bersifat jangka panjang karena lembaga ini mempersiapkan para
pemikir (ilmuwan Islam) dan pemegang kendali kegiatan pembinaan agama dan
pembinaan kehidupan beragama dalam masyarakat. Sedangkan ADIA berorientasi
kepada kebutuhan praktis jangka pendek, yaitu meningkatkan kemampuan para guru yang mengajar agama di sekolah-sekolah umurn, kejuruan dan
madrasah di lembaga pendidikan formal serta menjadi pegawai negeri di
lingkungan Departemen Agama. [61]
Setelah PTAIN dan ADIA menjadi IAIN, tujuan
pendirian IAIN tidak jauh berbeda dengan tujuan PTAIN yaitu, memberi pengajaran
tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu
pengetahuan tentang agama Islam". Namun dalam perkembangannya orientasi
pencetakan pegawai negeri menjadi lebih menonjol. Hal ini dikarenakan makin luasnya
lapangan kerja di kantor-kantor pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan
alumni IAIN.
Pergeseran orientasi tujuan IAIN tampak setelah
dikeluarkannya Peratuan Menteri Agama No. 1 tahun 1972. Dalam peraturan itu
disebutkan bahwa "IAIN adalah suatu institut yang memberi pendidikan dan
pengajaran agama Islam tingkat univer-sitas serta menjadi pusat untuk
memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam". Pada pasal
berikutnya disebutkan maksud dan tujuan LAIN yaitu:
1.
Membentuk
sarjana-sarjana muslim yang berakhlak mulia, berilmu dan cakap serta mempunyai
kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan
negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
2.
Mencetak
sarjana-sarjana muslim pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan
Departemen Agama, maupun untuk kepentingan instansi lain yang memerlukan
keahliannya di dalam agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum.
Maksud dan tujuan IAIN pada
peraturan tersebut tampaknya ingin menggabungkan tujuan pendirian PTAIN dan
tujuan pendirian ADIA. Namun dalam kenyataannya, orientasi pada pencetakan
pejabat lebih menonjol dibandingkan orientasi kepada penyiapan para pemikir
Islam. Mungkin ini pula penyebab adanya kekhawatiran IAIN belum mampu mencetak
para ulama, seperti yang dilontarkan beberapa pihak. Selama perjalanannya sampai saat ini IAIN
telah berkembang pesat, terutama setelah wakil-wakil rakyat di MPRS menyuarakan
besarnya hasrat daerah-daerah yang kuat agamanya untuk mendirikan suatu
fakultas agama negeri di daerahnya. Hasrat tersebut tercermin dalam Ketetapan
MPRS tanggal 3 Desember 1960 no. II/MPRS/1960, lampiran A Bidang Mental Agama/
Kerokhanian/Penelitian ad. 2 sub a terutama ad 7, disusul lagi dengan
Resolusi MPRS no.l/Res/MPRS/ 1963, Lampiran A ad 5, yang dengan tegas meminta
perluasan IAIN.[62]
Setelah adanya Ketetapan MPRS tersebut,
berdirilah banyak fakultas agama di seluruh Indonesia sehingga pada tahun 1963
saja sudah bertambah 10 fakultas baru di lingkungan LAIN Yogyakarta.
Untuk memudahkan pembinaannya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 49 tahun
1963, tanggal 25 Februari 1963, ditetapkan pembagian IAIN pembina menjadi dua
buah yaitu :
a.
IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang membawahi fakultas-fakultas di daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan, Sulawesi
b.
Maluku
dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membawahi fakultas yang berada di
daerah Jakarta,
Jawa Barat dan Sumatera.
Perkembangan fakultas yang demikian pesat di
daerah-daerah itu telah mendorong lahimya Peraturan Presiden No. 27 tahun 1963,
tanggal 5 Desember 1963, yang menyatakan dimungkinkannya pembentukan IAIN baru
bagi daerah-daerah yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas. Buah dari Peraturan Presiden ini maka
fakultas-fakultas IAIN berjumlah 104 fakultas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan LAIN induk menjadi 14 buah seperti yang kita kenal saat ini yaitu:[63]
a.
IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, didirikan berdasarkan Peraturan Presiden No.
11 tahun 1960
b.
IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.
49 tahun 1963
c.
IAIN
ar-Raniry Banda Aceh, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87
tahun 1964
d.
IAIN
Raden Fatah Palembang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1964
e.
IAIN Antasari Banjarmasin,
berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 89 tahun 1964
f.
IAIN
Sunan Ampel Surabaya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 20 tahun 1965
g.
IAIN
Alauddin Ujung Pandang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 79 tahun 1965
h.
IAIN
Sunan Gunung Jati Bandung/ berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 57 tahun
1966
i.
IAIN
Imam Bonjol Padang berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1966
j.
IAIN
Sultan Thaha Saefuddin Jambi, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 84 tahun
1967
k.
IAIN
Raden Intan Tanjung Karang Lampung, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 189
tahun 1968
l.
IAIN
Walisongo Semarang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 31 tahun 1970
m.
13. IAIN
Sultan Syarif Qosim Pekanbaru, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 194
tahun 1970
n.
IAIN
Sumatera Utara Medan, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 97 tahun 1973.
Perkembangan IAIN yang sangat pesat itu, ternyata membawa dampak pada
kemandegan mutu. Tenaga dosen yang berkelayakan yang jumlahnya sedikit terpaksa
harus disebar ke seluruh daerah. Akibat tenaga sangat kurang, penerimaan dosen
baru tidak begitu ketat. Di samping itu pertambahan jumlah LAIN tidak ditunjang
oleh kenaikan anggaran dan pengembangan sarana fisik. Untuk mengatasi masalah
ini setelah tahun 1973 program IAIN yang utama adalah peningkatan mutu dan
penyetopan pembukaan fakultas baru. Malah dilakukan penghapusan dan relokasi
fakultas-fakultas yang dianggap kurang layak dan sulit berkembang. Berdasarkan
Keputusan Presiden no. 9 tahun 1987, jumlah IAIN tetap dipertahankan 14 buah
dengan jumlah fakultas 90 buah dan jenis fakultas tetap sama. Namun demikian,
perkembangan ini diikuti dengan penguatan status dan posisi LAIN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1985, tanggal 4 Juli
1985, status IAIN makin kuat dan sejajar dengan perguruan tinggi negeri di
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Majlis Ta’lim
Majelis Ta'lim merupakan salah satu
lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang senantiasa menanamkan
akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pe-ngetahuan dan
keterampilan jama'ahnya, serta memberantas kebodohan ummat Islam agar dapat
memperoleh kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan diridhai oleh Allah
SWT. Majelis Ta'lim juga merupakan
lembaga pendidikan masyarakat, yang tumbuh dan berkembang dari kalangan
masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan ummat
manusia. Oleh karena itu majelis ta'lim adalah lembaga swadaya masyarakat yang
hidupnya didasarkan kepada nilai-nilai kebersamaan dalam ikatan masyarakat.
Pertumbuhan majelis ta'lim di kalangan
masyarakat, menunjukkan kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat tersebut akan
pendidikan agama. Dan perkembangan selanjutnya menunjukkan kebutuhan dan hasrat
masyarakat yang lebih luas lagi, yaitu usaha memecahkan masalah-masalah menuju
kehidupan yang lebih bahagia. Peningkatan tuntutan jama'ah dan peranan
pendidikan yang bersifat nonformal, menimbulkan pula kesadaran dan itisiatif
dari para ulama dan anggota masyarakat untuk memperbaiki, meningkatkan dan
mengembangkan kualitas dan kemampuan, sehingga eksistensi majelis ta'lim dapat
menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.
Majlis sebagai Lembaga pendidikan nonformal
Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara ber-kala dan
teratur, dan diikuti oleh jama'ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk
membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan
Allah SWT, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkung-annya,
dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.
Berdasarkan pengertian di atas, tampak bahwa
penyelengga-raan majelis ta'lim berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan Islam
lainnya, seperti pesantren dan madrasah, baik menyangkut sistem, materi maupun
tujuannya. Pada majelis ta'lim ada hal-hal yang cukup membedakan dengan yang
lain, yaitu; majelis ta'lim adalah lembaga pendidikan nonformal Islam, waktu
belajamya berkala tapi teratur, tidak setiap hari sebagaimana halnya sekolah
atau madrasah dan pengikut atau pesertanya disebut jama'ah (orang banyak),
bukan pelajar atau santri. Hal ini didasarkan kepada kehadiran di majelis
ta'lim tidak merupakan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban murid menghadiri
sekolah atau madrasah.[64]
Dari sejarah kelahirannya, majelis ta'lim
merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam, sebab sudah dilaksanakan sejak
zaman Rasulullah SAW. Meskipun tidak disebut dengan majelis ta'lim. Namun
pengajian Nabi Muhammad SAW yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah
Arqam bin Abil Arqam RA di zaman Rasul atau periode Mekkali, dapat dianggap
sebagai .majelis ta'lim dalam konteks pengertian sekarang. Kemudian setelah
adanya perintah Allah SWT untuk menyiarkan Islam secara terang-terangan,
pengajian seperti itu segera berkembang di tempat-tempat lain yang
diselenggarakan secara terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi lagi.
Sementara itu di Indonesia terutama di saat-saat
penyiaran Islam oleh para wali dahulu, juga mempergunakan majelis ta'lim untuk
menyampaikan dakwahnya. Itulah sebabnya maka untuk Indonesia, mejelis ta'lim juga
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua. Barulah kemudian seiring dengan
perkembangan ilmu dan pemikiran dalam mengatur pendidikan, disamping majelis
ta'lim yang sifatnya pendidikan nonformal, tumbuh lembaga pendidikan yang
lebih formal sifatnya seperti pesantren, madrasah dan sekolah.
Majelis ta'lim mempunyai kedudukan dan
ketentuan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan atau dakwah
Islami-yah, disamping lembaga-lembaga lainnya yang mempunyai tujuan yang sama.
Memang pendidikan nonformal dengan sifatnya yang tidak terlalu mengikat dengan
aturan yang ketat dan tetap, merupakan pendidikan yang efektif dan efisiensi,
cepat menghasilkan, dan sangat baik untuk mengembangkan tenaga kerja, karena ia
digemari masyarakat luas. Efektivitas dan efisiensi sistem pendidikan ini sudah
banyak dibuktikan melalui media pengajian-pengajian Islam atau majelis ta'lim,
yang sekarang banyak tumbuh dan berkembang baik di desa-desa maupun kota-kota
besar.
Tentang fungsi dan peranan rnajelis ta'lim,
tidak lepas dari kedudukannya sebagai alat dan sekaligus media pembinaan
kesadaran beragama. Usaha pembinaan masyarakat dalam bidang agama harus
memperhatikan metode pendekatannya, yang biasanya dibedakan menjadi 3 bentuk,
yaitu:[65]
- Lewat propaganda, yang lebih menitikberatkan kepada pembentukan publik opini agar mereka mau bersikap dan berbuat sesuai dengan maksud propagandis. Sifat propaganda masal, caranya dapat melalui rapat umum, siaran radio, TV, film, drama, spanduk dan sebagainya.
- Melalui indoktrinasi, yaitu menanamkan ajaran dengan konsepsi yang telah disusun secarategas dan bulat oleh pihak pengajar untuk disampaikan kepada masyarakat, melalui kuliah, ceramah, kursus-kursus, training centre dan sebagainya.
- Melalui jalur pendidikan, dengan menitikberatkan kepada pembangkitan cipta, rasa dan karsa sehingga cara pendidikan ini lebih mendalam dan matang daripada propaganda dan indoktrinasi.
Dengan
metode pendekatan pembinaan mental spiritual melalui jalur pendidikan inilah
yang banyak dipergunakan, seperti di sekolah, madrasah, pesantren dan
pengajian, termasuk majelis ta'lim. Dalam konteks ini majelis ta'lim atau
jama'ah pengajian dipandang efektif, karena ia dapat mengumpulkan banyak orang
dalam satu waktu. Karena itu sangatlah jelas betapa pentingnya kedudukan
majelis ta'lim dalam pendidikan agama dan dakwah Islam Indonesia yang
beragama, bersatu dan berjiwa kebangsaan.
Penutup
Secara
garis besar sejarah telah banyak mencatat, bahwa dalam proses perkembangan
lembaga pendidikan cukup signifikan, dan mampu mempengarui dan mewarnai
masyarakat secara luas. Hal ini terbukti
dengan adanya bentuk upaya para pengembang agama Islam yang tanpa lelah dan
tanpa mengharapkan upah dari siapapun, mereka dengan penuh kesadaran mejalankan
aktifitas da’wah ke seluruh pelosok Nusantara. Sehingga tahap-demi tahap lembaga
pendidikan Islam bermunculan di setiap penjuru Indonesia.
Di dalam
mengamalkan ilmu pengetahuan agama, para ulama tidak pernah merasa dibatasi
ruang dan waktu, dimanapun dan kapanpun juga.
Wajar jika dalam proses kebangkitan lembaga pendidikan Islam diawali
dari surau, masjid, rumah-rumah.
Selanjutnya setelah masyarakat merasakan kehadiran pendidikan Islam
sebagaisalahsatu kebutuhan, dengan swadaya masyarakat barulah dibangunberbagai
lembaga pendidikan.
Gambaran
tentang lembaga pendidikan secara umum, bisa dikategorikan sebagaimana berikut,
yaitu surau atau masjid, pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam. Adapun majlis ta’lim menurut penulis[66]
cukup mempunyai andil untuk berkiprah dalam kompetisi pendidikan di wilayah Indonesia. Sasarannya adalah mereka yang tidak pernah ke pondok atau
sekolah serta para orang tua baik laki-laki maupun perempuan. Sebab eksistensi majlis ta’lim cukup mampu
memberikan pembinaan di kalangan masyarakat yang enggan menuntut ilmu di tempat yang sudah
formal.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Masyhur, Dinamika
Islam Sejarah ; Transformasi dan Kebangkitan, Yogyakarta
: LKP2M, 1995, cet., ke-1
Ali, Fachry, Agama Islam dan Pembangunan, Yogyakarta : PLP2M, 1985), cet., ke-1
Azra, Azyumardi, Surau
di Tengah Krisis : Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat, Jakarta : P3M, 1885
Arifin HM, Kapekta Selekta Pendidikan Islamdan Umum, Jakarta : Bumi Aksara,
1993
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai, Malang : Kalimasahada
Pres, 1993, cet., ke-1
Asrohah, Hanun, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta
: Logos, 1999, cet., ke-1
BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafiti Pers, 1985
BP3k, Depdikbud, Pendidikan Islam di Indonesia dari Jaman ke Jaman,
Jakarta, 1979
Bukhari, Ibrahim, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam
dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta : Gunung Tiga, 1981
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : LSIK, 2001,
cet., ke-4
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,
Jakarta : Bulan
Bintang, 1993
Jamaluddin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, Jakarta : Logos, 2003,
cet., ke-3
Mujib, Muhaimin Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Triganda, 1993
Nata, Abudin (Ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2001
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3S, 1991
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 2001,
cet., ke-1
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hikayat Agung,
1996
Sanusi, Shalahudin, Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Da’wah
Islam, Semarang
: Ramdani, 1974
Suwito (Ed), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008,
cet., ke-2
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta : Gema Insani, 1997
Ziemek, Manfred Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta : P3M, 1986,
cet., ke-1
Zuhri, Saifudin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya
di Indonesia, Bandung
: al-Ma’arif, 1987
Dhafir, Zamaksari, Tradisi Pesantren ; Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta
: LP3S, 1983
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2004, cet.,
ke-7
[1]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996) h.10
[2]
Ibrahim Bukhari, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan
Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta : Gunung Tiga, 1981), h.31
[3]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996), h.11
[4]
BP3k, Depdikbud, Pendidikan Islam dari Jaman ke Jaman, h.31
[5]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996), h.11
[6]
Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perlembangannya di
Indonesia, h.193
[7]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : LSIK, 2001),
cet., ke-4, h.21
[8] Hasbullah, , Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta
: LSIK, 2001), cet., ke-4, h.21
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta : Hikayat Agung, 1996), h 14 -17
[10]
Suwito (Editor), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008),
cet., ke-2, h.312
[11]
Suwito (Editor), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008),
cet., ke-2, h.313
[12]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h.144
[13]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h.145
[14]
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta : Gema Insani,
1997), h.5
[15]
Suwito (Editor), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008),
cet., ke-2, h
[16]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h 146
[17]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996), h. 18
[18]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h 148
[19] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1993), h. 195
[20]
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet., ke-7,
h.149
[21]
Zamaksari Dhafir, Tradisi Pesantren ; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta : LP3S, 1983), h. 35-36
[22]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h 153
[23]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h 154; Lihat,
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,
2004), cet., ke-7, h.151
[24]
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet., ke-7, h.
151
[25]
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet., ke-7, h.
152
[26]
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet., ke-7, h.
236
[27]
Zuhaerini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet., ke-7, h.
234-235
[28]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h. 179
[29] Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942,
(Jakarta : LP3S, 1991), h. 51
[30]
Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis : Pesantren
DalamPerspektif Masyarakat, (Jakarta : P3M, 1885), h.170
[31]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3S, 1991, h.
68
[32]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1 h. 161
[33]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3S, 1991, h.
80
[34]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta
: LP3S, 1991), h. 84
[35]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet., ke-1, h. 166
[36]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta
: LP3S, 1991), h. 95
[37]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3S), 1991, h.
101
[38]
Penjelasan Pembaharuan NUlihat; Masyhur Amin, Dinamika Islam Seajarah dan
Kebangkitan, (Yogyakarta : LKPSM, 1999), h.134-137
[39]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta
: LP3S, 1991), h. 151
[40]
Lebih lanjut lihat ; Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, (Malang :
Kalimasahada Pres,1993), cet., ke-1, h.47
[41]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hikayat Agung),
1996, h. 241
[42] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), cet.,
ke-1, h. 171
[43]
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M,
1986), cet., ke-1, h.17
[44]
Lebih lanjut lihat; Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta
: LSIK, 2001, cet., ke-4, h. 131
[45]
Sedangkan kata santri. Menurut penulis kata santri jika dipahami merupakan dua
kalimat yang disambung “santri”berarti san “insan” tri “tiga” jadi berarti tiga
insan. Makana utuhnya bahwa setiap santri harus memiliki tiga prinsip, pertama
cinta dan taat perintah Allah dan Rasulnya, kedua cinta terhadap sesama manusia atau mematuhi atauran masyarakat dan
yang ketiga harus cinta pada alam dalam arti harus memelihara alam sekitar
supaya tidak ada bencana yang disebabkan oleh tangan manusia yang terlalu
mengeksploitasi alam.
[46]Arifin
HM, Kapekta Selekta Pendidikan Islamdan Umum, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1993) h.244
[47]
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M,
1986), cet., ke-1, h.25
[48]Istilah
Kitab gundul ini digunakan oleh santri sebabteks arab yang dibaca tidak ada
tanda bacanya seperti tanda fathah (nasab), tanda kasroh (jar), tanda dhomah
(rofak), tanda sukun dan tanda baca lainnya, mereka mengistilahkan dengan
kepala yang tidak ada rambutnya yang disebut gundul.
[49]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos, 2001),
cet., ke-1, h.147
[50]
Abudin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2001), h. 108
[51]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 2001,
cet., ke-1, h. 151
[52]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 2001,
cet., ke-1, h. 154
[53]
Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta :
Triganda, 1993), h.305
[54]
Lebih lanjut lihat; Jamaluddin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah,
(Jakarta :
Logos, 2003), cet., ke-3, h. h. 57
[55]
Implikasi Madrasah terhadap perubahan sosial lebih lanjut lihat; Fachry Ali, Agama Islam dan Pembangunan,
(Yoqyakarta : PLP2M, 1985), cet., ke-1, h. 113
[57]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996), h. 287
[58] BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia,(
Jakarta : Grafiti Pers, 1985), h. 124
[59]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Hikayat Agung, 1996), h. 288
[60] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta
: Logos, 2001), cet., ke-1, h. 68
[61] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta :
Logos, 2001), cet., ke-1, h. 70
[62]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos, 2001),
cet., ke-1, h. 71
[63]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 2001,
cet., ke-1, h. 72
[64]
Lebih lanjut lihat; Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta :
LSIK, 2001), cet., ke-4, h. 203
[65]
Shalahudin Sanusi, Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Da’wah Islam,
(Semarang : Ramdani, 1974), h.110
[66]
Penulis adalah ketua pembinan masyarakat di daerah Rangkasbitung, tepatnya di
Desa Kaduagung Timur Kecaman Cibadak Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun