A.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Allah yang dianugrahi potensi untuk mengimani Allah
dan mengamalkan ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo
religius, makhluk beragama. Fitrah
beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan
atau peluang untuk berkembang. Namun dalam perkembangannya manusia sangat
tergantung kepada proses pendidikan yang diterima (faktor lingkungan).
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu
yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui
peribadatan kepada-Nya., baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminanas.
Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari
internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahamamn, dan kesadaran pada diri
seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Dalam internalisasi nilai-nilai agama ada dua faktor yang mempengaruhi individu
yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam makalah yang kami susun ini. Kami
akan membahas khusus “Faktor Eksternal Dalam Internalisai Nilai Agama”. Yang
kami himpun dari berbagai sumber guna keakuratan teori yang didapat.
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih
dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, di antaranya pengaruh keluarga terhadap perkembangan nilai-nilai
agama, pengaruh lingkungan sekolah terhadap perkembangan nilai-nilai agama, pengaruh
lingkungan masyarakat terhadap perkembangan nilai- nilai agama.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, agar memahami
faktor ekternal dalam internalisasi nilai-nilai agama, memahami pengaruh dari
faktor ekternal internalisasi nilai-nilai agama, memahami peranan lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat di dalam internalisasi nilai-nilai agama.
B. Pembahasan
Hakekad beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk
berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan mangakar jika tidak ada faktor
luar (ekternal ) yang memberikan pendidikan yang memungkinkan fitrah itu berkembang
dengan sebaik- baiknya. Faktor ekternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana
individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.[1]
Keluarga merupakan potesi
lingkungan pertama, oleh karena itu peranan keluarga alam perkembangan kesadaran
beragama sangatlah dominan. QS. At-Tahrim (66) :6, “Hai orang-orang yang
beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Ayat menunjukkan bahwa orangtua mempunyai
kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada keluarga dalam upaya
menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan
nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting
yang lain. Keluarga adalah tempat yang
penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar
kelak menjadi orang berhasil di masyarakat.
Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak
akan memperoleh latihan- latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang
baik dan kebiasaan berprilaku. Dalam
keluarga dan hubungan- hubungan antar anggota keluarga terbentuklah pola
penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih
luas. Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh
pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan. Jika seseorang
menghadapi pergaulan yang santai dan menganggap hidup itu selalu membahagiakan,
akan diketahui bahwa latar belakang kehidupan keluargannya, menyebabkan ia
selalu melihat sisi positif dalam kehidupannya.[2]
Keluarga memiliki fungsi, yaitu: Mendapatkan keturunan dan membesarkan
anak, memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban,
mengembangkan kepribadian, mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak
dan tanggung jawab. Keluarga juga mengajarkan
dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral kepada
anak.[3]
Mengenai pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama bagi anak, Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Setiap anak
yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) , maka kedua orangtuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi”.
Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock berpendapat bahwa keluarga
merupakan “Training Cemtre” bagi penanaman nilai- nilai (termasuk juga nilai-nilai
agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat
latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai- nilai (tata krama,
sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau
menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari , baik secara personal maupun sosial
kemasyarakatan.
Peranan keluarga ini terkait dengan upaya- upaya orangtua dalam menanamkan
nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir
(dalam kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agam pada masa
pra lahir, didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap
orang-oragn yang mengalami gangguan jiwa.
Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi
oleh keadaan emosi atau sikap orangtua (terutama ibu) pada masa mereka berada
dalam kandungan. Upaya orangtua dalam
mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak
langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan
perilaku-perilaku keagamaan pada diri orangtua itu sendiri. Upaya- upaya yang
seyogyanya dilakukan orangtua dari masa ke masa.
Terkait dengan upaya mendidik anak agar berakhlak mulia, Imam Al-Ghazali memberikan
fatwa kepada para orangtua agar mereka melakukan kegiatan- kegiatan berikut: Menjauhan anak dari pergaulan yang tidak baik,
membiasakan anak untuk bersopan- santun, memberikan pujian kepada anak yang
melakukan amal shalih, membiasakan anak untuk berpakaian yang bersih dan rapih,
menganjurkan anak untuk berolahraga, menanamkan sikap sederhana kepada anak, mengizinkan
anak untuk bermain setelah belajar.
Keluarga merupakan tempat pembentukan konsep diri realistik dan
keterampilan sosial. Latihan awal dalam menghadapi kegagalan dan keberhasilan
terjadi dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk melakukan uji
coba dalam mengenal kenyataan, yaitu uji coba untuk mendapatkan cara terbaik
untuk mennghadapinya.[4]
Selain lingkungan keluarga, mekolah merupakan lembaga pendidikan formal
yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran
dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya
secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional),
sosial, maupun moral- spiritual. Menurut
Hurlock sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak,
karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari
orangtua.
Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan
bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat
badan serta macam- macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula
halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik)
yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara
memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan
dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan
merusak akhlak muridnya.
Dalam upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah
mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap
apresiatif terhadap ajaran atau hukum- hokum agama. Upaya- upaya itu adalah
sebagai berikut: Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)
yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan
berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru
agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat
tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di
masyarakat
(kontekstual). Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada
siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih
tinggi di hadapan Allah, apabila nilai- nilai yang terkandung dalam setiap
ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Guru
hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia). Guru hendaknya menguasai bidang studi yang
diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam
kurikulum.[5]
Di sisi Guru hendaknya memahami ilmu- ilmu lain yang relevan atau yang menunjang
kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi
pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi
pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama. Pimpinan sekolah, guru- guru dan pihak
sekolah lainnya hendaknya
memberikan
contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam
melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan,
mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian
muslim (menutup aurat). Guru- guru yang mengajar bukan pendidikan
agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi
pelajaran yang diajarkannya. Sekolah
hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya
secara optimal. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian
bagi para siswa dan ceramah- ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.[6]
Kemudian aspek lain yang
menunjang nilai agama adalah lingkungan masyarakat. Yang dimaksud lingkungan
masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial
berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja). Perkembangan moral seorang anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan),
kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan
aspek moral pada anak. Anak belajar dan
diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik
dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik.[7]
Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman
sebayanya ( peer group ) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman
sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama
(berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila
sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral,
maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut.
Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya.[8]
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan,
bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh
kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak
atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada
umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan
kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak
warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.[9]
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang)
bagi perkembangan kesadaran beragama keluarga di antaranya : Taat melaksanakan
ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong,
dan bersikap jujur. Di sisi lain menghindari
sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai,
sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dan sebagainya) dan
perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras).
Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh
negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh
karakteristik berikut: Gaya
hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu
yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan
(walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama). Warga masyarakat (baik yang memegang
kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap
acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi,
minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan
akhlak.[10]
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia keluarga (remaja),
maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu
membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang
kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-
masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah,
pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai- nilai
agama dalam kehidupan sehari-hari.[11]
C. Kesimpulan
Manusia yang merupakan homo religius berkembang dengan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktro internal dan ekternal. Faktor internal atau juga
merupakan faktor fitrah dari manusia itu sendiri. Adapun faktor internal merupakan
pengaruh dari luar diri manusia sebagai individu. Hal ini berkaitan dengan
hubungan sosial dan pengaruh penting dari lingkungan yang ditempati individu
tersebut yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga sangat berperan penting dalam pengembangan kesadaran beragama anak.
Dalam Surat At-Tahrim [66] : 6, menunjukan bahwa orangtua mempunyai kewajiban
untuk memberikan pendidikan agama kepada keluarga dalam upaya menyelamatkan
mereka dari siksa api neraka. Diungkapkan pula dalam sebuah hadist, setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orangtuanyalah yang menjadi anak itu
yahudi, nahsrani, atau majusi.
Keberadaan lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan
guru substansi dari orangtua. Lingkungan masyarakat merupakan interaksi sosial
dan sosialkultural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan beragama
anak. Dengan adanya sentuhan atau interaksi dengan sesama di dalam sebuah social
kemasyarakatan dengan sendirinya kepribadian anak dipengaruhi oleh kebiasaan
atau adat masyarakat yang membangunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Sosiologi
Pendidikan, ( Jakarta
: PT. Bumi Aksara, 2004 )
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, ( Jakarta
: kalam Mulia, 2002 )
Singgih
Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta: Gunung Mulia,
2008)
Singgih
Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta : Gunung Mulia,
2004 )
Syamsu Yusuf, Psikologi
Belajar Agama, ( Bandung
: Maestro, 2002 )
Tim Pustaka
Familia, Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak, ( Yogyakarta : Kanisius, 2006)
[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia,
2002 ), h. 14
[2] Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja
dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta
: Gunung Mulia, 2004 ), h. 28
[3] Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja
dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta
: Gunung Mulia, 2001 ), h.30)
[4] Tim Pustaka Familia, Konsep Diri Positif,
Menentukan Prestasi Anak, ( Yogyakarta
: Kanisius, 2006), h. 41
[5] Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bumi
Aksara, 2004 ), h. 91
[6] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (
Bandung :
Maestro, 2002 ), h. 49 -51
[7] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, ( Jakarta:
Gunung Mulia, 2008 ), h. 61
[8] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (
Bandung :
Maestro, 2002 ), h. 53
[9] Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bumi
Aksara, 2004 ), h. 10
[10] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (
Bandung :
Maestro, 2002 ), h. 53
[11] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (
Bandung :
Maestro, 2002 ), h. 54
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun