24 Sept 2014

FAKTOR EKSTERNAL DALAM INTERNALISASI NILAI AGAMA




A. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk Allah yang dianugrahi potensi untuk mengimani Allah dan mengamalkan ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo religius, makhluk beragama.  Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun dalam perkembangannya manusia sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterima (faktor lingkungan).
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya., baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminanas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahamamn, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Dalam internalisasi nilai-nilai agama ada dua faktor yang mempengaruhi individu yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam makalah yang kami susun ini. Kami akan membahas khusus “Faktor Eksternal Dalam Internalisai Nilai Agama”. Yang kami himpun dari berbagai sumber guna keakuratan teori yang didapat.
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul,  di antaranya  pengaruh keluarga terhadap perkembangan nilai-nilai agama, pengaruh lingkungan sekolah terhadap perkembangan nilai-nilai agama, pengaruh lingkungan masyarakat terhadap perkembangan nilai- nilai agama.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, agar memahami faktor ekternal dalam internalisasi nilai-nilai agama, memahami pengaruh dari faktor ekternal internalisasi nilai-nilai agama, memahami peranan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat di dalam internalisasi nilai-nilai agama.


B. Pembahasan

Hakekad beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan mangakar jika tidak ada faktor luar (ekternal ) yang memberikan pendidikan yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik- baiknya. Faktor ekternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.[1]
                Keluarga merupakan potesi lingkungan pertama, oleh karena itu peranan keluarga alam perkembangan kesadaran beragama sangatlah dominan. QS. At-Tahrim (66) :6, “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.  Ayat menunjukkan bahwa orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada keluarga dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain.  Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat.
Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan- latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan kebiasaan berprilaku.  Dalam keluarga dan hubungan- hubungan antar anggota keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas. Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan. Jika seseorang menghadapi pergaulan yang santai dan menganggap hidup itu selalu membahagiakan, akan diketahui bahwa latar belakang kehidupan keluargannya, menyebabkan ia selalu melihat sisi positif dalam kehidupannya.[2]
Keluarga memiliki fungsi, yaitu: Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak, memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban, mengembangkan kepribadian, mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab.  Keluarga juga mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral kepada anak.[3]
Mengenai pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama bagi anak,  Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) , maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi”.  Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Cemtre” bagi penanaman nilai- nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai- nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari , baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
Peranan keluarga ini terkait dengan upaya- upaya orangtua dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir (dalam kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agam pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap orang-oragn yang mengalami gangguan jiwa.  Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orangtua (terutama ibu) pada masa mereka berada dalam kandungan.  Upaya orangtua dalam mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku keagamaan pada diri orangtua itu sendiri. Upaya- upaya yang seyogyanya dilakukan orangtua dari masa ke masa.
Terkait dengan upaya mendidik anak agar berakhlak mulia, Imam Al-Ghazali memberikan fatwa kepada para orangtua agar mereka melakukan kegiatan- kegiatan berikut:  Menjauhan anak dari pergaulan yang tidak baik, membiasakan anak untuk bersopan- santun, memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal shalih, membiasakan anak untuk berpakaian yang bersih dan rapih, menganjurkan anak untuk berolahraga, menanamkan sikap sederhana kepada anak, mengizinkan anak untuk bermain setelah belajar.
Keluarga merupakan tempat pembentukan konsep diri realistik dan keterampilan sosial. Latihan awal dalam menghadapi kegagalan dan keberhasilan terjadi dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk melakukan uji coba dalam mengenal kenyataan, yaitu uji coba untuk mendapatkan cara terbaik untuk mennghadapinya.[4]
Selain lingkungan keluarga, mekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral- spiritual.  Menurut Hurlock sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua.
Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam- macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya.  Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum- hokum agama. Upaya- upaya itu adalah sebagai berikut: Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.  Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat
(kontekstual).  Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai- nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.   Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).  Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.[5]
Di sisi Guru hendaknya memahami ilmu- ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.  Pimpinan sekolah, guru- guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya
memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim (menutup aurat).   Guru- guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.  Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah- ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.[6]
                Kemudian aspek lain yang menunjang nilai agama adalah lingkungan masyarakat. Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja).  Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak.  Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik.[7]
Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya ( peer group ) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya.[8]
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.[9]
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama keluarga di antaranya : Taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur.  Di sisi lain menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dan sebagainya) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras).
Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut: Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).  Warga masyarakat (baik yang memegang kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak.[10]
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia keluarga (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing- masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai- nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.[11]



C. Kesimpulan

Manusia yang merupakan homo religius berkembang dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktro internal dan ekternal. Faktor internal atau juga merupakan faktor fitrah dari manusia itu sendiri. Adapun faktor internal merupakan pengaruh dari luar diri manusia sebagai individu. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial dan pengaruh penting dari lingkungan yang ditempati individu tersebut yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga sangat berperan penting dalam pengembangan kesadaran beragama anak. Dalam Surat At-Tahrim [66] : 6, menunjukan bahwa orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada keluarga dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Diungkapkan pula dalam sebuah hadist, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orangtuanyalah yang menjadi anak itu yahudi, nahsrani, atau majusi.
Keberadaan lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substansi dari orangtua. Lingkungan masyarakat merupakan interaksi sosial dan sosialkultural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan beragama anak. Dengan adanya sentuhan atau interaksi dengan sesama di dalam sebuah social kemasyarakatan dengan sendirinya kepribadian anak dipengaruhi oleh kebiasaan atau adat masyarakat yang membangunnya.



DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004 )

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002 )

Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2008)

Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta : Gunung Mulia, 2004 )

Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, ( Bandung : Maestro, 2002 )

Tim Pustaka Familia, Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak, ( Yogyakarta : Kanisius, 2006)


[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002 ), h. 14
[2] Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta : Gunung Mulia, 2004 ), h. 28
[3] Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga Jakarta, ( Jakarta : Gunung Mulia, 2001 ), h.30)
[4] Tim Pustaka Familia, Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak, ( Yogyakarta : Kanisius, 2006),  h. 41
[5] Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004 ), h. 91
[6] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, ( Bandung : Maestro, 2002 ),  h. 49 -51
[7] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2008 ), h. 61
[8] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, ( Bandung : Maestro, 2002 ),  h. 53
[9] Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004 ), h. 10
[10] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, ( Bandung : Maestro, 2002 ),  h. 53
[11] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, ( Bandung : Maestro, 2002 ),  h. 54

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun