(Dalam Perspektif Peluang Dan Tantangan)
A. Pendahuluan
Globalisasi
adalah sebuah fenomena kompleks yang
telah memiliki efek luas. Tidak
mengherankan, jika istilah, "globalisasi"
ini telah memperoleh konotasi arti yang banyak. Di
satu sisi, globalisasi dipandang
sebagai kekuatan yang tak tertahankan dan jinak untuk memberikan kemakmuran ekonomi kepada orang-orang di seluruh dunia. Di sisi
lain, ia dituding sebagai sumber dari segala penyakit kontemporer.(Sadegh, 1995:95)
Era globalisasi yang di tandai dengan kompetisi mutu menuntut semua
pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa
meningkatkan kompetisinya.(Jonh. dkk, 2000:132)
Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering
didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga
sekarang ini. Pada era globalisasi tersebut pengetahuan dan teknologi yang
merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat, (Mastuhu,
2007 : 26) sehingga dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas
sumber daya manusia sangat di prioritaskan, dan kalau kita perhatikan bahwa
di era globalisasi ini yang dibutuhkan
adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia
manapun. (Tilaar,2002 :2)
Globalisasi pada competition perspektif bahwa negara-negara akan tetap survive
apabila mampu berkompetisi, karena di era globalisasi ini telah terjadi ekonomi
dunia yang bebas dan tanpa batas.
Globalisasi ekonomi semakin meningkat intensitasnya yang mengakibatkan
persaingan di anatara negara-negara semakin keras dan ketat.(Azyumadi,1999:45) Persaingan yang ketat antar negara dan indivu
dampaknya mengakibatkan penyakit jiwa yang kronis, sehingga menambah permasalah
semakin rumit. (Asrowi, 2007:11) Dewasa
ini sudah menjadi kesepakann umum bahwa, hanya negara-negara yang memiliki
keunggulanlah yang dapat bertahan dalam persaingan glabal tersebut. (Azyumardi,
1999 : 46)
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang.
Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi
ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta
pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya
perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan
konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai
budaya.
Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak
yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi
kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di
sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya
manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang
ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik
sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi,
dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa
kita.
Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua
pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana
pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar
dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya
saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya
yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk
dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa
problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain
adalah sebagai berikut :
1.
Dalam rumusan kebijakan pemerintah
dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan Nasional, namun
dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat
kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2.
Paradigma pendidikan baru dikatakan
berhasil jika memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan
perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan serta bukan kebutuhan masyarakat secara
kompetitif.
3.
Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan
sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesional,
tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada
ruang kegiatan rutinitas belaka.
4.
Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji
dari dasar kebutuhan (need assesment) di lapangan, tetapi atas dasar
kajian, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang
ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
5.
Lembaga pendidikan berorientasi pada
persaingan ekonomi global, yaitu lebih mengutamakan kuantitas (jumlah) siswa
daripada kualitas. Sehingga terjadi penggemukan kelas yang mengakibatkan output yang buruk.
6.
Pasar kerja bagi lulusan sekolah masih
sangat labil, khususunya Sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun
pengangguran lulusan sekolah terus menurus bertambah.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya upaya
peningkatan mutu pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan
secara kontinyu agar dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun pribadi dan
watak bangsa (nation character building) serta agar dapat mengelola dan
menyusaikan dengan perkembangan globalisasi
melalui arus informasi ini, yang akhirnya pendidikan mampu berkembang
secara produktif dan kreatif. Oleh sebab
itu, pendidikan sebagai aset bangsa yang paling berharga karena merupakan modal
untuk membangun bagsa ini.(Amir, 1995 :131)
Perkembangan pendidikan di Indonesia di era globalisasi dengan segala dinamikanya
sungguh menarik untuk dicermati, karena pendidikan dituntut supaya memberikan
yang terbaik untuk melahirkan suber daya manusia (SDM) yang kompeten untuk
dipergunakan sebagai modal persaingan global yang setiap saat menekan kehidupan
bangsa. Eksistensi pendidikan ini harus
dipaksa maju, jika hal ini tidak segera dilakukan globalisasi akan menggilas
bangsa ini.
Penulis mengamati keadaan dunia pendidikan saat ini sedang
digoncang issue dan berbagai tuntutan serta tekanan perubahan kebutuhan
masyarakat global, serta ditantang supaya dapat menjawab berbagai permasalahan
lokal dan global yang terjadi begitu pesat.
Perubahan global meminta perubahan di dalam mengelolaan dan pengolahan
hidup masyarakat, pendidikan harus dijadikan tumbal untuk menjawab keadaan
pasar global. Jika keadaan pendidikan
bisa dipaksa dan terfokus pada kubutuhan pasar global, tentu tantangan
globalisasi dapat kita atasi secara cepat, dan peluang pasar global dapat
segera dinikmati oleh segenap masyarakat.
Keberadan pendidikan yang berorientasi pada pasar global dapat tercapai,
tentu membutuhkan berbagai konsep dan teori yang jitu. Oleh sebab itu pergolakan ini harus segera
dirumuskan secara seksama, agar tujuan pendidikan mampu berorientasi pada
kemaslahatan umat manusia.
B. Teori Globalisasi
Globalisasi kata serapan berasal dari bahasa Inggris globalization yang berakar kata
global yang artinya mencakup atau meliputi seluruh dunia globalisasi juga
dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa
batas, .(Robertson, 1992 :12) yang memendorong manusia untuk berorientasi dan
mentransformasi peradapan dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan
revolusi informasi. Secara lebih jauh
akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia
termasuk Indonesia.(Nata, 2005:342)
Globalisasi dapat juga didefinisikan
sebagai pengaturan dunia secara luas berdasarkan pada sebuah keyakinan terhadap
sistem perdagangan sebagai sebuah pertukaran kontrol, dan pada kebebasan
investasi pasar modal, yakni perpindahan sektor modal publik ke sektor swasta..
(Fontana, 1999:367) Globalisasi juga
dipahami menjadi bagian yang homogen pada kekuatan ekonomi di setiap negara,
meliputi negara-negara dalam dalam hembusan badai pasar global, dan dipaksa
memotong pengeluaran publik dan mendorong persaingan ketat perusahaan
swasta.(Tonna, 2007:2)
Untuk ulama yang berbeda, definisi globalisasi
mungkin berbeda. Menurut Cheng (2000), mungkin
merujuk pada adaptasi perkembangan transfer, dan
nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan norma-norma perilaku di seluruh negara
dan masyarakat di berbagai
belahan dunia. Fenomena khas dan karakteristik yang terkait dengan
globalisasi termasuk pertumbuhan jaringan global (misalnya internet, dunia
e-lebar komunikasi,
dan transportasi), transfer global dan
interflow dalam bidang teknologi,
ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan belajar, aliansi internasional dan kompetisi , kerjasama
dan pertukaran internasional, global
village, multi-budaya integrasi,
dan penggunaan standar internasional
dan benchmark. .(Sadegh, 1995:95)
UNDP dalam Human Development Report (1999)
menggambarkan globalisasi sebagai meningkatnya saling
ketergantungan penduduk dunia, pada
tingkat ekonomi, teknologi,
budaya, maupun politik. Hal ini dipandang sebagai kecenderungan umum terhadap liberalisasi perdagangan ekonomi, sirkulasi yang lebih luas dari modal, barang dan
produk, dan penghapusan
kuasi-perbatasan nasional.
Kecepatan komunikasi dan biaya yang relatif rendah pengolahan informasi telah menyebabkan jarak untuk dihilangkan. Kategori-kategori ruang dan waktu telah benar-benar terbalik. Model konsumsi, nilai-nilai,
dan produk-produk budaya standar sehingga cenderung
untuk membuat perilaku dan sikap lebih mirip dan
menghapus perbedaan di seluruh dunia. .( Sadegh, 1995:96)
Merujuk pada kondisi aktual yang
merupakan satu kenyataan bahwa globalisasi harus dipahami sebagai
kecenderungan, yakni kecenderunagn terjadi proses hubungan sosial dan ekonomi
seluruh dunia.(George. Dkk, 2007:505) yang menghubungkan lokasi yang jauh satu
sama lain secara intensif, sehinga kejadian-kejadian di satu tempat berpengaruh
dan terjadi di tempat lain.(Arnove, 1999:10)
Jadi, istilah globalisasi dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk
merujuk pada kebijakan ekonomi dan menguatkan keyakinan pemerintah, organisasi
perdagangan, sistem lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu globalisasi diartikan sebagai
fenomena untuk melihat deskripsi penggunaan istilah dan globalisasi sebagai
keyakinan untuk pada fungsi yang menentukan peluang.
Globalisasi sebagai fenomena dan keyakinan dapat mempengaruhi
pendidikan. Para filosof pendidikan dan
pendidik berbeda pendapat pada tedensi dan trand globalisasi. Dalam hal ini ada tiga kelompok yang mewakili
berbedaan tersebut, yaitu :
Pertama, ada yang bersikap kritis positif tentang fenomena
globalisasi dan pengaruhnya dalam pendidikan.
Surian (2010) dan Jarvis (2005) berpendapat bahwa globalisasi memiliki
pengaruh positif pada pendidikan apabila peneliti selalu kritis terhadap
perkembangannya, karena globalisasi dapat membawa dan menyatukan orang-orang
yang memiliki perbedaan, baik dari aspek ras, suku, bahasa, agama dan lain
sebagainya. Ide dan sumber daya di
seluruh dunia sangat cepat dan mudah untuk diakses. Hal ini memberikan peluang baru bagi peneliti
untuk pendidikan dan penelitian.(Kellner, 2005:102)
Kedua, ada yang bersikap pesimis dalam melihat globalisasi
ini. Anggapan mereka yang pesimis ini
didasari oleh teori akhlaq, sebab cepatnya informasi media akan berdampak pada
ketidaksiapan publik dalam menghadapinya.
Baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain sebagainya.
Ketiga, ada yang mendukung langsung dengan globalisasi, meraka
memiliki keyakinan bahwa pendidikan akan diberi tempat yang istimewa dalam
melihat fenomena globalisasi, sebab pendidikan merupakan aset yang sangat
menguntungkan. Pendidikan merupakan
komoditi yang bisa dijual di belahan dunia manapun. .(Kellner, 2005:111)
Menanggapi keragaman pernyataan para pakar tersebut, berfokus pada
kebutuhan peserta didik sendiri pada sistem pendidikan mempromosikan marketisation
dari sistem pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai jenis komodititas
yang akan dijual, dibeli dan dikonsumsi dengan menggunakan pasar global sebagai
tempat negosiasi penetapan pendidikan. (Hartley, 2002:251). Pendidikan merupakan harapan pasar ekonomi
dan kebutuhan pasar global. Misalnya,
penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar domestik hingga yang menjadi
trand bagi kebutuhan pasar global. Hal
ini amat penting untuk dicermati, agar output pendidikan benar-benar terjual
dan bersaing di pasar global.
C. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi
Globalisasi
tampaknya tidak dapat dihindarkan
oleh berbagai negara, banyak inisiatif
dan upaya telah
dilakukan untuk beradaptasi dengan globalisasi, hal ini dilakukan bertujuan
mengambil peluang yang diciptakan
dari itu untuk mengembangkan
potensi masyarakat luas, dalam beberapa
tahun terakhir ada juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan nasionalisme.
Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi
khususnya di negara-negara berkembang.
Dampak negatif dari globalisasi meliputi berbagai
jenis penjajahan ekonomi, politik,
pendidikan dan budaya oleh. Tak pelak lagi, mereaka berpikir keras agar bagaimana
memaksimalkan peluang dan manfaat dari globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan mengurangi ancaman
dan dampak negatif dari globalisasi, hal ini merupakan pekerjaan besar
yang menjadi perhatian
utama negara-negara berkembang.(
Sadegh, 1995:96)
Seperti disebutkan di atas,
globalisasi adalah menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, teknologi, nilai-nilai sosial,
pendidikan dan norma-norma perilaku
serta perkembangan, mereka mempromosikan
diri pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di berbagai
negara. Konsep yang mereka usungpun
beragam, dan memiliki corak pasar yang bersaing. (Cheng, Y. C. (2000)
and Brown, T. (1999).
Secara khusus, keuntungan dari
globalisasi dapat meliputi :
1.
Penguasaan berbagi
pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang
diperlukan untuk beberapa perkembangan
pada tingkat yang berbeda
2.
Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan
supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara, masyarakat, dan
individu
3.
Menciptakan
nilai dan meningkatkan efisiensi melalui berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya.
4.
Mempromosikan
pemahaman internasional, kerjasama,
harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan wilayah
5.
Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan
mendorong multi-budaya kontribusi
pada tingkat yang berbeda antar negara.
(ILO : 2004 )
Pada saat yang sama, globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif serius bagi negara berkembang dan negara
terbelakang. Ini juga
merupakan alasan utama mengapa ada
begitu banyak gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan
dunia terhadap kecenderungan
globalisasi khususnya di bidang ekonomi, politik dan pendidikan.
Dampak negatif dari
globalisasi berbagai aspek, di antaranya
penjajahan politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki
pengaruh besar terhadap
negara-negara maju ke negara-negara
berkembang dan meningkat
pesat kesenjangannya, antara
daerah kaya dan daerah miskin
di berbagai belahan dunia. Secara khusus, dampak negatif potensial meliputi:
1.
Meningkatkan
kesenjangan teknologi dan digital membagi antara
negara maju dan negara-negara
kurang berkembang
2.
Menciptakan
peluang yang sah lebih
untuk negara-negara maju untuk
beberapa bentuk baru penjajahan negara-negara berkembang
3.
Meningkatkan
kesenjangan dan konflik antara daerah dan budaya
4.
Mempromosikan nilai-nilai budaya yang
dominan (budaya negatif) dari beberapa
daerah maju. (Brown :1999).
D. Pendidikan Islam di Era Globalalisasi
Pendikan
merupakan faktor utama yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka
membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh
dengan tantangan. Demikian pula
pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai
dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam
adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami,
yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan
nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang
mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur’an dan Hadits. (Muhaimin, 2006:4)
Dengan
memperhatikan pendefinisian diatas, pendidikan Islam sebagai upaya
pengejawantahan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadits, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya menjadikan manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah swt yang di berikan kepadanya amanat sebagai ‘abd dan
juga menjadi khalifah di muka bumi. Secara lebih khusus, pendidikan
Islam bermaksud untuk :
1.
Memberikan pengajaran al-Qur’an sebagai
langkah pertama pendidikan.
2.
Menanamkan pengertian-pengertian
berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran tersebut bersifat abadi.
3.
Memberikan pengertian-pengertian dalam
bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut
dapat berubah sesuai dengan perubahan yang ada dalam masyarakat dan dunia.
4.
Menanamkan pemahaman bahwa ilmu
pengetahuan tanpa basis iman adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
5.
Menciptakan generasi yang memiliki kekuatan
baik dalam keimanan maupun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.
Mengembangkan manusia islami yang
berkualitas tinggi yang diakui secara universal. (Wahid, 2009:11)
Jika
mengingat betapa luhur tujuan pendidikan Islam tersebut, sudah menjadi sebuah
kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk kembali kepada khiththah
pendidikan Islamnya. Apalagi keberadaan pendidikan Islam di era globalisasi ini
harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya, bukan menjadi counter
attack yang justru akan berseberangan dengan semakin pesatnya kemajuan.
Sebab, era ini akan terus berjalan maju dan tidak akan mengenal siapapun yang
akan menjadi penikmatnya, dan kemajuannya akan mampu menggilas dan menggerus
apapun yang menghalanginya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mc. Luhan bahwa
manusia mesti merasa berada dalam suatu pesawat antariksa yang sama, yaitu
bernama planet bumi. Dimana tak ada yang sekedar berstatus penumpang namun
semua adalah awak kapal. Manusia harus menyadari keberadaannya dalam teater bumi,
dimana tak ada yang hanya jadi penonton tapi semuanya menjadi pelakon.(
Bambang, 2010 )Hal ini merupakan sebuah
fenomena yang nyata terjadi di era digital informasi yang menjadikan dunia ini
terasa sempit. Maka pendidikan Islam seharusnya membuka wacana sebuah
pendidikan global yang mampu mengantarkan generasi muslim pada sebuah peradaban
modern.
Adapun
konsep pendidikan global tersebut atau yang disebut juga multi cultural
education yang mana pendidikan berpandangan tentang masalah yang mendunia.
Dengan berpandangan bahwa upaya menanamkan pandangan dan pemahaman tentang
dunia kepada peserta didik dengan menekankan pada saling keterkaitan antar
budaya, umat manusia dan planet bumi. Pendidikan global menekankan pada peserta
didik berfikir kritis dengan fokus substansi pada hal-hal yang mendunia yang
semakin bercirikan interpendensi, serta bertujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, skill, dan sikap yang diperlukan untuk hidup di dunia yang sumber
dayanya kian menipis, ditandai keragaman etnis, pluralisme budaya dan saling
ketergantungan. (Winarno, 2011) Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu
menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi
global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat
mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus
informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif. (Nata, 2003:78)
Bersamaan
dengan konsep pendidikan Islam di era global tersebut, perhatian prinsip
pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada bagaimana konsep kemasyarakatan
yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk
masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya, sehingga
pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di
masyarakat [learning society]. Yakni hubungan pendidikan dengan
masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan
ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat,
dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut
untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan
sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan.( Sanaki, 2011) Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi pencapaian
masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia global.
Demi mewujudkan masyarakat madani tersebut, terdapat 10
(sepuluh) prinsip pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu :
1.
Pendidikan
harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan
sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan
sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan
bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem
sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa
berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
2.
Pendidikan
merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan
pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa,
dan dunia usaha.
3.
Prinsip
pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya,
terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus
bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda,
diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta
menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan.
4.
Prinsip
kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara
individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus
kemampuan bekerja sama.
5.
Dalam kondisi
masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu,
pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan
penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6.
Prinsip
perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas
perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai
dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat
progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu
mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
7.
Prinsip
rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan
mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang
dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan
pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil.
Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan
pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap
berpijak pada kondisi sekarang.
8.
Prinsip
pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan,
sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi
pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja
dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan
fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah
terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan.
9.
Prinsip
pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat
yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam
mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut
sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
10. Pendidikan dengan prinsip global, artinya
pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi
masyarakat globa.( Jalal, 2001:17)
E.
Aspek Kelemahan Pendidikan Dan Solusinya Di Era Globalisasi
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan
seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program
pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan
di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam
menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik
lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1.
Titik berat pendidikan pada aspek
kognitif
2.
Pola evaluasi yang meninggalkan pola
pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3.
Sistem pendidikan yang bergeser
(tereduksi) ke pengajaran
4.
Kurangnya pembinaan minat belajar pada
siswa
5.
Kultur mengejar gelar (title)
atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6.
Praktik dan teori kurang berimbang
7.
Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat,
institusi pendidikan, dan pemerintah
8.
Profesi guru/ustadz sekedar profesi
ilmiah, bukan kemanusiaan
9.
Problem nasional yang multidimensional
dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan
tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan
tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM
Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu
hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Orientasi pendidikan harus lebih
ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih
menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan
keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami
kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan
aspek kognitif (pengetahuan).
2.
Dalam proses belajar mengajar guru harus
mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter
kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
3.
Guru harus benar-benar memahami makna
pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka.
Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk
kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of
knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and
skill, serta pembentukan karakter (caracter
building).
4.
Perlunya
pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada
peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
5.
Harus
ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented),
di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas
rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia
pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau
titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang
harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan
pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian
yang dimilikinya.
6.
Sistem
pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin bisa diterapkan pada
sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara teori dengan
praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik
kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya
dalam masyarakat dan dunia kerja.
7.
Perlunya
dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama
masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih
luas ke kalangan masyarakat.
8.
Profesi guru seharusnya bersifat ilmiah
dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru
memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal
dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan
pemerintah.
9.
Pemerintah harus memiliki formula
kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan.
Salah satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan
anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political
will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.
Jika
kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas,
pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada.
Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu
bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan),
serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara
Barat adalah didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan
SDM.
Jadi,
permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya
tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan
teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang mampu bersaing
dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara
yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan
baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti
juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi
karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib
institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan yang berada
pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The
Political and Eonomic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001, jauh di
bawah Vietnam. Hasil survei PERC itu
mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi,
untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun
harus berkualitas.
Sistem
pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan,
yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain. Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses
sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat
pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu
berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee
society.
Orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka
mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada
milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi,
Iptek dan sosial budaya. Jika pendidikan
berkiblat pada Jepang dan Korea Selatan tentu akan memiliki mental juang yang
bagus, walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi
karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer
ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.
Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana (2000)
memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang
sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
1.
Emulasi. Yaitu hasrat dan upaya
untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan
atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang,
kelompok, atau bangsa lain.
2.
Consensus. Yaitu kebiasaan
masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini
menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan
bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root
bindting) kehidupan masyarakat Jepang.
3.
Futurism. Yaitu mempeunyai
pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat
individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu
kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan
dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
4.
Kualitas.
Mutu adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil
produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
5.
Kompetisi.
Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.
F. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era
Globalisasi
Fenomena
yang terbangun dengan munculnya era globalisasi telah memberikan berbagai macam problem baik
tentang bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat
diserap atau juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih
berganti tanpa adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan
teknologi informasinya semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya
yang berupa komputer, televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya,
telah benar-benar menjadi hal yang komplek dalam transformasi informasi. Pada
masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting,
bahkan menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak
hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan
mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual. (Nata, 2003:78)
Di
sisi lain, Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang
harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya
karakter muslim. (Wahid, 2011:60) Secara lebih terperinci beberapa tantangan
yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah :
- Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat.
- Dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya.
- Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku.
- Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat. (Rafiq, 2010)
Inilah
menurut para pakar pendidikan yang menjadi PR. besar bagi setiap institusi
pendidikan khusunya pendidikan Islam. Dengan
melihat fenomena tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perubahan
dalam segala bentuk dan sistem baik bersifat personal maupun global bisa
terjadi dalam hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Maka ini merupakan
sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh pendidikan Islam dengan tujuan dan
cita-citanya yang luhur. Walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem
telah memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus terjadi demi
mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan landasan tujuan pendidikan Islam.
Seperti telah difirmankan Allah swt dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11, “…sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri …”.
Dengan
demikian, Islam menganjurkan adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun
sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Pemahaman yang demikian perlu
ditumbuhkembangkan pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi kedepan.
Memeperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran terhadap berbagai
perubahan dengantanpa kehilangan pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang
terjadi merupakan sunnatullah. Maka sikap yang harusdibentuk adalah
sikap kreatif-proporsional, dengan wacana filsafat pendidikan multikultural dan
realitas masyarakat plural, posmodernisme, integrasi interkoneksi ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya perlu dikaji. Maksudnya, agar peserta didik
menjadi generasi yang mampu menyesuaikan diri dan tetap efektif berjuang di
tengah perubahan sosial yang mendunia tanpa kehilangan komitmen serta sikap
ketakwaan. Dalam pada itu, generasi tersebut dapat mengambil posisi subyek yang
ikut memainkan peranan dan tidak sekedar menjadi penonton atau tamu di sebuah
desa global dengan realitas budaya yang ada.( Janan, 2009:83-84)
Dengan
mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam diatas, telah memberikan
sebuah inspirasi bahwa menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi
tantangan adalah tugas pendidikan Islam. Hal itupun tidak terlepas dari
berbagai peluang yang dapat dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan
peserta didik untuk lebih dapat bersaing dan berkiprah di desa global yang
tanpa batas.
Berangkat
dari perspektif tersebut, peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat
diperincikan sebagai berikut :
- Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia, yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
- Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan.
- Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil.
- Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik.
- Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adlah pendidikan yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill. (Wahid, 2011:63)
Dari
pernyataan-pernyataan di atas, sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu
posisi sehingga dapat berperan aktif di era global. Namun hal tersebut harus
dilandasi beberapa syarat yang dapat menjadikan lebih eksisnya pendidikan Islam
di era global village dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada.
Adapun syarat-syarat tersebut antara lain; Pertama, pendidikan Islam
harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha
memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan aktif dalam
menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan. Kedua, pendidikan Islam seyogyanya
selalu berusaha memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi media
utama transformasi informasi. Dengan mengembangkannya dengan berbagai bentuk
informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang
diperlukan, seperti pengembangan e-learning, e-book, tafsir digital dan lain
sebagainya.
G. Penutup
Era
globalisasi adalah sebuah era di mana setiap informasi dapat diterima dan
diserap oleh seluruh penduduk bumi, tanpa batas penghalang yang dapat
menghalanginya. Luasnya dunia sudah tidak lagi menjadi penghalang untuk
penyebaran berita dan isu apapun yang up todate. Hal ini tentunya menjadi hal
yang baru bagi beberapa orang yang belum memiliki pemikiran yang maju, dan
bahkan akan menjadikannya hanya akan terlindas oleh cepatnya pertumbuhan
teknologi dan kemajuan zaman, karena tidak sanggup menghadapi perubahan yang
demikian cepat.
Melihat
fenomena tersebut, pendidikan adalah faktor yang dapat dijadikan sebagai
jaminan bagi pengembangan sumber daya manusia, sehingga dapat menghadapi
tantangan global dengan era digital informasi. Demikian pula pendidikan Islam,
yang lebih cenderung membawa misi religiusitas pun juga harus ikut berperan di
dalamnya. Dengan membekali para peserta didiknya dengan kekuatan keimanan,
ketakwaan, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berimbang sehingga dapat
membawa para peserta didik tersebut pada kondisi yang siap menghadapi segala
tantangan era informasi (globalisasi).
Pemahaman yang menyoroti fakta bahwa kebijakan ekonomi di sebagian dunia jarang
dianggap pendidikan sebagai investasi untuk masa depan atau sebagai kunci pembangunan, dan bahkan kurang sebagai
hak dasar manusia. Dampak dari
kebijakan-kebijakan di semua tingkat
sistem pendidikan di dunia, dengan pengecualian negara-negara industri, telah sangat dirasakan. Dampak tersebut
termasuk memburuknya kondisi
pengajaran, kurangnya jumlah perusahaan sekolah dan peningkatan
jumlah per kelas, khususnya di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan demografi yang kuat, hilangnya kualitas
pengajaran sering disebabkan oleh tingkat kualifikasi guru
dan kondisi material di mana mereka melaksanakan profesi mereka, dan akhirnya, hilangnya
relevansi mengenai program pendidikan itu sendiri.
Namun dari berbagai kajian yang ada, masih
tetap banyak permasalahan yang harus segera dicarikan
solusinya. Di antaranya :
1.
Krisis di masa kini dalam sistem pendidikan
konvensional hanya sindrom
masyarakat mengalami perubahan besar. Lembaga politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan nilai-nilai serta simbol-simbol di jantung lembaga-lembaga tersebut, telah menjadi
dioperasi dan usang dalam fungsi mereka, penerapan peraturan tidak mampu
mengintegrasikan anggota individu yang sama dari masyarakat yang bersangkutan.
2.
Bagaimana upaya pendidikan menanggapi tantangan
meningkatnya kemiskinan, pengangguran,
dan pengucilan dari belahan dunia dan orang-orang dari intoleransi dan
kekerasan yang mempengaruhi semua
masyarakat dan bahkan dapat ditemukan di dalam sekolah itu sendiri.
3.
Bagaimana pendidikan menjawab kebutuhan masyarakat yang multikultural, dalam keragaman budaya, agama dan etnis dari berbagai
masyarakat global membutuhkan pengakuan keselarasan dari keragaman tersebut. Kebutuhan masyarakat
tertentu sebagai penikmat (hidup
foya-foya) pada saat yang sama berintegrasi sosial dan ekonomi, sehingga gaya
hidup mereka menjadi budaya
mayoritas
4.
Bagaimana upaya trand menuju globalisasi, standardisasi, dan homogenisasi
budaya model dapat
diselaraskan, dan bagaimana pula kita bisa mendamaikan pertikaian yang semakin kuat terhadap
keanekaragaman budaya dalam bentuk yang paling ekstrim.
Dalam kedok (konsep) baru, pendidikan berkelanjutan dipandang sebagai satu model yang akan jauh
melampaui apa yang sudah dipraktekkan,
terutama di negara-negara maju, yaitu, pura-pura meningkatkan mutu pendidikan, menyelenggarakan pelatihan dan
program konversi atau promosi untuk orang dewasa. Ini seakan-akan membuka kesempatan belajar bagi semuanya, untuk berbagai tujuan yang menawarkan kesempatan kedua atau ketiga bagi publik yang hanya supaya memuaskan haus dan dahaga mereka akan pengetahuan, keindahan,
atau keinginan untuk berusaha melampaui takaran diri sendiri, sehingga menurut mereka memungkinkan untuk memperluas
dan memperdalam bentuk pendidikan
kejuruan, beserta pelatihan praktis. (Unesco,1996:111).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Abdurrahman Salih, Educational Theory Qur’anic Theory (Mekkah: Ummul
Qura University, tt).
Abudin Nata, Pendidikan Islam di
Era Global, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
'Ali,
Hasan Abd. al, Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi'al-Hijryi (TT:
Dar al-Fikr al-'Araby,tt)
Asari,
Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994).
Asep Suryahadi, Globalization
And Wage Inequality In Indonesia A Cge Analysis(Journal) The SMERU
Research Institute : : April 2001
Asrowi, Psikologi
Global (Dalam Perspektif Globalisasi),Jurnal Pascasarna UIN Jakarta, 2006
Asifudin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan
Islam (Tinjauan Filosofis), Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009
Aziz, M. Amin, “Islamisasi sebagai Isu”, Ulumul
Qur’an, Volume II, No. 4. 1992
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modrnisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
------, Islam in The Indonesian World, Bandung : Mizan,
1996
------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional;
Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.
-----,
Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, dalam Charles Michael
Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994)
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-3.
Brown,
P. & Lauder, H.. Education, globalization, and economic development. Journal
of Education Policy, (1996) 11(1),
Brown,
T.. Challenging globalization as discourse and phenomenon. International
Journal of Lifelong Education, (1999)18(1)
Bendit,
R. and W. Gaiser, Integration and Segregatio of Young People in a Changing
World, Prospects, (1995) Vol. xxv, No.3, Sept
Cheng,
Y.C. A CMI-Triplization Paradigm for Reforming Education in the New Millennium.
International Journal of Educational Management. . (2000) 14 (4),
156-174.
Daud,
Wan, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Deming,
Edward W., Out of The Crisis, Cambridge: Cambridge Univercity, 1973
Dewey,
John, Democracy and Education, Encyclopedia Americana, 1979
Fahrina, Pendidikan Islam Di Era Globalisasi: http://fahreena.wordpress.com/2010/07/02/pendidikan-islam/
Faruqi, Ismail Raji al, Islamisasi Pengetahuan,
(terj.) oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge, Bandung:
Pustaka, 1984.
Freire,
Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Pedagogy of the
Oppressed, Jakarta: LP3ES, 2000, ceet. Ke-3
Geertz,
Clifford, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesia Case”,
da’am Quest, vol. 39 (Bombay: 1963). Hadi S, Qamarul, Membangun
Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986
George Ritzer, Dkk., Modern
Sociological Theory, (terjemah) Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Hossein
Nasr, Syed, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin,
Bandung: Mizan, 1983
Hossein, Science
And Civilization In Islam, (Cambridge: Harvard University press, 1968).
Ilich,
Ivan, Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, terj. Deschooling
Society, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, ed. Ke-1, cet. Ke-2
ILO,
A Fair Globalization: Creating Opportunities for All, Geneva,
International Labour Office (2004)
Ismadi, Bambang, “Prasyarat strategis pengembangan IPTEK
dalam era globalisasi”, http://pdfmachine.com
Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita, 2001
Jenie, Umar A., Paradigma dan Religiositas
Perkembangan Iptek, dalam buku Religiusitas Iptek, Yogyakarta:
1998, cet. Ke-1.
Kellner, Douglas, Globalization
September 11, and the Recructrring of Education, In Critical, Redical
Pedagogies, Global Conflicts, 2005
Luthfi,
Faisal, “Sang Peramal Desa Global”, http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=61339e43408033a225cf34b8bd2a2e76&jenis=d82c8d1619ad8176d665453cfb2e55f0&PHPSESSID=d026aff301a610210159e13fdb7f8cef
Majid,
Abdul, “Islam di tengah peradaban Global”, http://bki-fikomunpad.blog.friendster.com/2005/04/islam-di-tengah-peradaban-global/
Makdisi,
George. The Rise of Colleges (Edinburgh : Edinburgh University Press,
1981).
Marimba,
Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1980
Mark K. Smith, The place of informal and non-formal education in
development - the experience of the south.(jurnal). http://www.infed.org/biblio/colonialism.htm
Mc
Clelland, David C, The Achieving Society, The Mcmillan Company, 1961
Menjejaki Model-model Pengembangannya, dalam buku
Quo Vadiss Pendidikan Islam (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia
Paramulya, 2002.
Michelle Attrae Tonna, Teacher Education in a Glabalization Age,
(Journal) Critical Education Police Studies Vol.5, No.1 (mei 2010)
Mohd Abbas Abdul
Razak, Globalization And Its Impact On Education And Culture: Department of
General Studies, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human
Sciences, World Journal of Islamic
History and Civilization, 1 (1): 59-69, 2011
Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul, Pendidikan Islam
Kontemporer, Bandung : PT. Refika Aditama, 2009
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
Mulkhan, Abdul Munir, Rekosntruksi Pendidikan Islam
dalam Peradaban Industrial, dalam buku Pendidikan Islam dalam
Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997
Muslikhun Iksan, Strategi Pendidikan Islam dalam menghadapi
era global: http://www.staiindo.ac.id/index.php/lp2m/artikel/edisi-kedua/strategi-pendidikan-islam-dalam-menghadapi-era-global
Nakosteen,
Mehdi. Kontribusi Islam and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard
University Press, 1998)
Naquib
Al-Attas, Syed Muhamad, Konsep Pendidikan dalam Islam, Mizan, Bandung:
1987
Narmoatmojo, Winarno, “Dinamika Peradaban Global dan
Pengaruhnya Bagi Negara dan Bangsa”, http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/
files/2009/10/dinamika-perd-global.pdf
Nata,
Abuddin, Tema-Tema Pokok al-Qur`an (Jakarta : Biro Mental DKI, 1993)
Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor : Kencana, 2003
Pinelopi Koujianou
Goldberg And Nina Pavcnik Distributional Effects of Globalization in
Developing Countries Journal of Economic Literature Vol. XLV (March 2007)
Qamarul
Hadi, S., Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986.
Rachman, Arief, Kualitas Pendidikan Harus Dimaksimalkan,
Media Indonesia, 30 Mei 2002
Rafiq, Mohd. “Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada
Era Globalisasi Informasi”, idb2.wikispaces.com/file/view/ok2015.pdf
Rahardjo,
M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendikiawan Muslim, Mizan, Bandung: 1996
Rahardjo, Mudjia, Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sosiologi Islam sebagai Sebuah Tawaran, dalam buku Quo vadis Pendidikan
Islam, (ed.) Mudjia Rahardjo, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Rahman,
Budy Munawar, ed., Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Paramadina, Jakarta: 1995
Ramayulis,
Studi Tentang Konsep Pendidikan Mohammad Natsir (Batusangkar: Fakultas Tarbiyah
IAIN Imam Bonjol Batusangkar, 1979)
Robert F. Arnove, Reframing Comparative Education The Dialectic
of The Global and The Local: Journal
Vol.13, No.2
Robertson, Globalization : Sosial
Theory and Global Cultur, londeon: Sage, 1992
Ronald A. Lukens-Bull,
Teaching Morality Javanese Islamic Education In A Globalizing Era
(Journal)University Of North Florida, Jacksonville: 2001
Sadegh
Bakhtiari, Globalization And Education Challenges And Opportunities (Journal)
Isfahan University, Iran 2010
Saiful Akhyar Lubis, Islamic
Education Toward The Era Of Social Change: Effort In Enhancing The Quality(Journal)
2009
Salam,
Solihin, Wajah Nasional (Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam,
1990)
Sanaki, Hujair AH., “Paradigma Baru Pendidikan Islam”, http://Www.Sanaky.Com/Materi/Paradigma_Br_Pendidikan_Islam_Sebuah_Upaya.pd
Sardar,
Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam,
terj. AE Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Sari Sitalaksmi,
Dkk. Globalization and Working Conditions: Evidence from Indonesia (artikel)
PDF
Stanton,
Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994).
Sudjana, HD., Manajemen Program Pendidikan, Bandung: Falah
Production, 2000
Suwito,
Pendidikan yang Memberdayakan, Makalah Pengukuhan Guru Besar di Bidang
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Januari 2002.
Syalabi,
Ahmad. Al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah, 1982)
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan: Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam Di Indonesia, Bogor : 1999
Tilaar,
H.A.R., Kajian Kritis Sistem Pendidikan Nasional, Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional “Mencari Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Memasuki Milenium III” dalam HUT PGRI di Jogjakarta.
UNESCO, Learning
the Treasure Within, Paris, Co-publication Unesco/odile Jacob Publishers.
(1996)
Wahid, Marzuki, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja
Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan:
Wacana Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
cet. ke-1.
Weber,
Mark, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism, Simon dan Schuster,
New York, 1980.
Yunus,
Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta : Hidakarya
Agung, 1978).
Zhang,
W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental
Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun