(Studi Analisis Upaya Titik Temu dengan Pendekatan Komprehensif)
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang
berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan
antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian mem-bawa hikmah bagi
umat Islam. Oleh karena itu, bagi merekayang berpikiran liberal dapat
menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka
yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan
menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.[1]
Salah satu pokok
persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya.
Adakah manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia
dalam mewujudkan per-buatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya?
Oleh karena kebanyakan
sikap bangsa Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir,[2]
serta berpegang teguhnya terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat mendukung
pendapatnya,[3] maka
aliran Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan
berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dia
tidak mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.[4]
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia-baik yang terpuji maupun yang
tercela-pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia
sendiri,melainkanhanyalahciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan
manusia. Dengan derrtikian maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk
berbuat. Sebab itu orang-orang mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran
dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab dia melakukannya karena semata-mata
terpaksa.[5]
Sementara masyarakat
sedang memperbincangkan paham/aliran Jabariyah, muncul pulalah paham/aliran
yang lain, yang justru bertentangan
dengan aliran tersebut. Paham/aliran baru
tersebut
adalah aliran Qadariyah.
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah ma-salah
perbuatan manusia (af'al ai-'ibad).
Dalam kajian ini dibicarakan ten-tang kehendak (masyi'ah) dan daya (istitha'ah)
manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak.
Persoalannya, apa-kah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai
dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh qadha dan
qadhar Tuhan? Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian
melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[6]
Menurut Ahmad Amin, persoalan ini timbul karena manusia-dari satu
segi-melihat dirinya bebas berkehendak, melakukan apa saja yang ia suka, dan ia
bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Namun, dari segi lain, manusia melihat
pula bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, llmuTuhan meliputi segala sesuatu
yang terjadi dan yang akan terjadi. Tuhan juga mengetahui kebaikan dan
keburukan yang akan terjadi pada diri manusia. Hal demikian menimbulkan asumsi
bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah. Maka muncullah persoalan jabar dan ikhtiyar,
yakni apakah manusia itu terpaksa atau bebas memilih?
Persoalan apakah manusia terpaksa atau bebas memilih merupakan masalah
klasik yang banyak menyita perhatian para pemikir.[7]
Jauh sebelum datang Islam, para filosof Yunani telah membicarakannya. Demikian
pula pemikir-pemikirSuryaniyang mempelajarifilsafat Yunani. Bahkan
pengikut-pengikut Zoroaster dan kaum Kristiani pernah pula membahas persoalan
yang serupa. Di kalangan umat Islam, pembicaraan mengenai masalah ini terjadi
setelah selesai masa penaklukan.[8]
Tulisan ini secara
umum akan membicarakan paham Qodariyah dan Jabariyah. Di sini akan dijelaskan
pengertian Qodariyah dan Jabariyah, sejarah timbulnya, Prinsip ajaran
masing-masing dan tokoh-tokohnya.
B.
Aliran Qodariah
1.
Pengertian Qodariyah
Ditinjau
dari segi llmu Bahasa, kata Qadariyah berasal dari akar kata[9]
Sedang menurut pengertian terminologi, al-Qadariyah adalah : Suatu
kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa
tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang
melawan pendapat mereka ini adalah al-Jabariyah.[10]
Kiranya timbul
keraguan bagi ahli sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan aliran
al-Qadariyah, padahal mereka meniadakan (menafikan) qa-dar Tuhan? Sebagian ahli sejarah mengatakan, penyebutan
demikian tidak-lah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan sesuatu
justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli yang lain mengatakan, bahwa
karena mereka meniadakan qadar
Tuhan dan menetapkannya pada ma-nusia serta menjadikan segala perbuatan manusia
tergantung pada kehen-dak dan kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut
dengan kaum atau aliran al-Qadariyah.[11]
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan Free Will atau Free Act.[12]
2.
Sejarah timbulnya Qodariyah
Sebagaimana
tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibi-carakan dalam teologi
Islam, paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muhammad ibn Syu'aib yang
memperoleh informasi dari al-Auza'i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang
memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah
"SUSAN". Dia penduduk Irak, beragama Nasrani yang masuk Islam
kemudian berbalik Nasrani lagi. Dari orang inilah untuk pertama kalinya Ma'bad
ibn Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham
tersebut.[13]
Dari
penjelasan di atas, kiranya dapat dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah
dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkem-bang dikalangan pemeluk
agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi
Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan
pertanggunganjawabnyayang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil
mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah),
makamerekamerasaperlu mengambilnya.[14]
Menurut
al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal
yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik),
tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan
tentang tidak adanya qadar bagi
Tuhan.[15]
Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan
politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada
Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peris-tiwa
yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia terbunuh.
Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H.[16]
Sebagian orang mengatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi
banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh
kezindikan-nya (paham Qadariyahnya).[17]
Adapun
Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham
Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak
orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.[18]
Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah
al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan
penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunuh oleh Khalifah Hisyam
ibn Abd al-Malik ibn Marwan.[19]
Sebelum dilaksanakan hukum bunuh, sempat diadakan perdebatan antara Ghailan
dengan al-Auza'i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.[20]
Motif
timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebab-kan oleh 2 faktor.
Pertama, faktor extern yaitu
agama Nasrani, dimanajauh sebelumnya merekatelah memperbincangkantentang
qadarTuhan dalam kalangan mereka. Kedua,
faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan
upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak
atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Paham
Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan.
Selain penganut paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh
generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn
Abdullah, Abu Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau
kepada generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah
menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka
sakit.[21]
Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/
atsar yang diterimanya, bahwa
kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art! golongan yang tersesat.
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan
terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar
secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap berkembang,
yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah.[22]
3.
Tokoh-tokoh
Qodariyah Ajarannya
Ghailan
al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[23]
AI-Nazam
salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia
mem-punyai istitha'ah (day a),
maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.[24]
Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak
memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah
bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan
sejak zaman azali seperti
pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.[25]
Pembahasan
ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab
sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dija-dikan salah satu ajaran
Mu'tazilah. Sehinaga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan
al-Qadariyah.
AI-Jubba'i
mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia
berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam
diri manusia, sebelum adanya perbuatan.[26]
Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar,
Untuk
memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan be-berapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu
argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai
dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut
terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidak -lah
terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka
perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan
sebaliknya perbuatan tersebut tetapakanterjadi.sungguh-pun dia sangat tidak
menginginkannya.[27]
Di antara
ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang
berbunyi sebagai berikut:
Abd.
al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat
ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar
perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena
itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut
harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan
dalam arti majazi.
Selain
ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaumJ Qadariyah
(Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut
adalah sebagai berikut:
Artinya:
Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.
(Artinya: Maka siapa yang
hendak beriman, berimanlah, dan siapa yang hendak kafir, kafirlah.
Artinya: Sesungguhnya kami telah
menunjukkan kepadanya jalan, adakalanya dia bersyukur dan adakalanya
mengingkari.
Artinya: Sesungguhnya ini adalah
peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.
Barang siapa
berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan barang siapa berbuat jahat,
maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap
hamba-hamba-Nya.
Artinya: Dan bahwasanya tiadalah bagi
manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bah wasanya usahanya itu
akan diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling sempurna.
Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu
dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen
yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam
mewuJudkan segala perbuatannya bebas sebebasbebasnya. Apakah benar demikian?
kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu
dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya
dalam paharn Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam kehendak dan
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia
ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan
diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula
menjauhi maul, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati.
Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan
kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hu-kumalam. Pertama-tama manusia
tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai
dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan dilingkungi
oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukumalam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada
hukuin alam itu. Api nalurinya
adalah membakar. Manusia tak dapat merubah naluh ini. Yang dapat dibuat manusia
adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya
terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum a/am mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini
perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disaiah artikan mengandungpaham,
bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Hukum a/am pada
haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan
ditentang manusia.[28]
C.
Aliran Jabariah
1.
Pengertian Jabariyah
Jabariyah berasal dari katayabara,
berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia da-lam arti yang sesungguhnya (nafy al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan
menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan.[29]
Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak
dapat diberi sifat "mampu" (istitha'ah).
Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas perbuatanperbuatannya,
tanpa ada kuasa (qudrah),
kehendak, (iradah), dan pilihan
bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas
benda-benda mati. Oleh karena itu,
perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy,
seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan,
"Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.[30]
Jadi nama
Jabariah diambil dari kata jabara
yang mengandung arti terpaksa.
Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham
bahwa manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah
Inggris, paham ini disebut fatalisme
atau predistina-tion. Perbuatan-perbuatan manusiatelah ditentukan sejak
semula oleh qada dan
qariarTuhan.[31]
Al-Syahrastani
membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok yaitu Jabariyah ekstrim (al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassitah). Jabariyah ekstrim
tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama se-kali, tidak pula kekuasaan
atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Semen-tara Jabariyah moderat mengakui
andil manusia atas perbuatannya.[32]
Orang-orang
yang tidak mengakui kebebasan manusia inilah yang kemudian dikenal dengan
sebutan "Kaum Jabariyah". Para
penul.s Mu'-tazilah memasukkan aliran Ahlal-Sunah
dan Asy'ariyah ke dalam kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para penulis dari
pihak Asy'ariyah, termasuk al-Syahrastani, menolak pengelompokan itu.[33]
Bagi at-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak dapat disebut Jabariyah. Anehnya,
al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok al-Najjariyah dan al-Dirariyah ke
dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar maupun al-Dirar termasuk orang yang
memajukan teori kasb itu.
2.
Sejarah timbulnya Jabariyah
Pola
pikir Jabariyah kelihatannyasudahdikenal bangsaArabsebelum Islam. Keadaan
mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus,
menyebabkan mereka tidak dapat melakukan per-ubahan-perubahan sesuai dengan
kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan
ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.[34]
Pada masa
Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Per-debatan di antara para
sahabat di seputar masalah qacfa/Tuhan merupakan salah satu indikatornya.
Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau
melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya
sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab
pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata,
"Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan
mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia
menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya
menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.[35]
Sebagian
sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan waspada.
Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyakit,
mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar
menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain."
Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam
segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinyasesuatu,
karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah)[36]
Pada masa
pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan
suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham
Ja-bariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang
yang berpaham Jabariyah.[37]
Dari
bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah
muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah se-bagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan
dikembangkan terjadi padaakhir pemerintahan Bani Umayah.[38]
Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi
yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini
dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya
dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn
Ashamal-Yahudi.^Dengandemikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing,
Yahudi maupun Persia.
Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat
dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
Artinya:
Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS.
al-An'am: 112).
Artinya:
Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah
yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya:
Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat
ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya,
mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan
umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
3.
Tokoh-tokoh dan
Ajaran Jabariyah
Sebagai telah
dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja'ad
ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah ekstrim.
Tokoh lainnya adalah Husain dan Dirar. Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk
pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut
serta ajaran masing-masing secara lebih terinci.
a. Ja'ad ibn Dirham
Sebagai
telah disebutkan, Ja'ad adalah orang pertama yang me-ngenalkan paham Jabariyah
di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam. latinggal di
Damsyik sampai muncul pendapat -nya tentang al-Qur'an sebagai makhluk. Karena
pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di
tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn Shafwan yang kemudian mengambil
pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang setia.[39]
Sewaktu di
Damsyik, Ja'ad menjadi guru Marwan ibn Muhammad, salah seorang Khalifah Bani
Umayah, sehingga Marwan mendapatjulukan "al-Ja'dy". Namun, pada akhir
hayatnya, Marwan tidak menyukai Ja'ad. la bahkan menyuruh Khalid al-Qasari
untuk membunuhnya. Khalid menghu-kum bunuh Ja'ad pada Hari Raya led al-Adhha. Namun, kematian Ja'ad
bukan semata-mata karena pendapat-pendapatnya yang dianggap bid'ah itu,
melainkan karena persoalan politik. la pernah memberontak kepada Hakam
al-Amawi.[40]
Pendapat yang
dimajukan Ja'ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah
takdir. Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalart makhluk, la merupakan orang pertama
yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat
disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab, kedua sifat ini dapat disandang
oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan manusia, Ja'ad berpendapat bahwa
segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusiaterpaksa atas
perbuatan-perbuatannya.[41]
Semua pendapat ini diambil oleh Jahm ibn Shafwan. Jahm lah yang mengembangkan
lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
b. Jahm ibn
Shafwan
Sebagai
Ja'ad, Jahm termasuk muslim non Arab (mawali).
la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkah.
Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand,
terkadang pula ke Tirmidz. la dikenal
ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah terlibat perbedaan dengan Muqatil.
Muqatil termasuk orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak.
Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu
Hanifah berikut ini:[42]
Jahm sangat
berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa Sementara
lawannya, Muqatil, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan
sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga
menjabat sebagai sekretaris Harits ibn Syuraih
di Khurasan, ia
turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi "tangan
kanan" Harits dalam melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan.[43]
Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam
al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang
terakhir ini menolaknya seraya berkata, "Demi Tuhan sekiranya engkau ada
dalam perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan,
tak ada pem-berontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu.[44]
Dengan begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik, bukan karena
ajaran yang dibawanya.[45]
Menurut Jahm,
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Manusia
dalam perbuatan-perbuatannyadipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan
baginya. Pandangan ini termasuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Selain
masalah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan pendapat-pendapatnya
dalam masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan neraka, dan masalah
melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm,
iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya
dari Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan dengan
anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui
Tuhan. Dalam pan-dangan Jahm, bila seseorang sudah mengenat Allah (ma'rifah), lalu ingkar dengan
lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Iman tidak ber-kurang dan
bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang
beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.[46]
Jahm juga
berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja'ad, Jahm juga
berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab,
hal ini dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). la meniadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, Pelaku,
dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterimaJahm karenamenurut
pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti itu.[47]
Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan
adalah Pemberi wujud (al-mujid),
Memberi hidup (al-muhyi), dan
Mematikan (al-mumit).[48]
Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy al-shifat, Jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur'an
yang member! pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian
Tuhan dari sifat-sifat makhluk (tanzih).[49]
Jahm juga
berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak ada sesuatu
yang kekal selain Allah. Kata khulud
dalam al-Qur'an tidak berarti kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks). Dengan demikian,
penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga
maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm
memperkuat pendapatnya dengan
ayat:
Artinya: Mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecualijika Tuhanmu menghendaki. (QS. Hud:
107).
Menuruf Jahm,
kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan dan pengecualian.
Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada persyaratan dan
pengecualian di dalamnya.[50]
Sebagai
terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan paham
Murji'ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariah ini sama dengan Jahm
yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah.[51]
Dalam masalah nafy al-sifah,
al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama
dengan pendapat kaum Mu'tazilah. Atau lebih tepatnya pendapat Mu'tazilah sama
dengan pendapat Jahm.[52]
Karena itu, tidak heran bila golongan Mu'tazilah terkadang mendapat julukan
"Jahmiyah" (pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad
ibn Hanbal pernah menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi
yana mereka maksud dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Mu'tazilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari sendiri dalam buku At-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah,
mengkritik Mu'tazilah dengan nama al-Jah-miyah.[53]
Namun, kaum Mu'tazilah sendiri tidak menerirna sebutan itu. Bisyr ibn Muktamir,
salah seorang pemuka Mu'tazilah menolak keras penamaan itu.[54]
Jahm sendiri
dengan berbagai pendapatnya menyandang serangati dari berbagai pihak. Kaum
Mu'tazilah mengafirkan Jahm karena ia me-niadakan kemampuan (daya) manusia.
Sedang Ahl al-Sunah,
mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur'an
makhluk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.[55]
Sungguhpun
demikian, sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahanhinggaabadke11
H.didaerahTirmidzdansekitarnya.Selanjutnya mereka menganut paham Asy'ariyah.[56]
c. Husain al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang
tokoh Jabariah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan
"AI-Najjariyah". Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui
karena diri-Nya sendiri. la meng-hendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan
madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak
terpaksa atau dipaksa.[57]
Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia,
tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu
bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inilah yang dinamakan
kasb dalam teori al-Asy'ari.[58]
Dari sini terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti
wayang yang geraknya bergantung padagerak dalang. Sebab, tenagayang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah
ru'yah, Husain berpendapat
bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma'rifah)
pada mata sehingga dengannya manusia dapat melihat Tuhan.[59]
d. Dirar ibn 'Amr
Dirar juga
salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagai
Husain, ia
berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam pandangan Dirar satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan
dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan
adalah Pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga
pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum
dan bersamaan dengan perbuatan [60]
Berbeda
dengan Husain, Dirar berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi
bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa
yang ia sebut sebagai "indera keenam" (al-Hassah al-Sadisah). la juga berpendapat bahwa argumen (hujjah) yang dapat diterima setelah
wafat Nabi hanyalah konsensus (al-ijm').
Hadis ahad (tidak mufawatir) tidak dapat dijadikan
sumber dalam menetapkan hukum-hukum agama. [61]
D.
Evaluasi dan kompromi Aliran Kalam
Jika paham
Qadariyah dan Jabariyah kita hadapkan satu sama lain secara diametral, akan
kitajumpai dua paham yang sal ing bertentangan. Anehnya, masing-masing mendapat
dukungan ayat-ayatAl-Qur'an yang kita yakini memiliki nilai kebenaran mutlak.
Dari fakta ini permasalahan yang segera muncul adalah jika kedua paham itu
dinilai benar karena memperoleh dukungan Al-Qur'an berarti ada pengakuan
tentang per-tentangan di dalam Al-Qur'an. Padahal Al-Qur'an sendiri telah
memus-tahilkan adanya pertentangan-pertentangan di dalamnya, sebagaimana
ditegaskan Allah dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa' Ayat 82:
Artinya: Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur'an? Jika sekiranya Al-Qur'an bukan dari sisi Allah
tentulah mereka mendapatkan pertentangan-pertentangan yang banyak di dalamnya.
(QS An-Nisa': 82)
Bertolak dari ayat ini, ayat-ayat qadaryang sepintas lalu bertentangan
dengan ayat-ayat Jabr harus
dicarikanjalan keluamya agar mendapatkan titik temu.
1.
Ayat-ayat Qadar dalam
konteks tanggung jawab
Ayat-ayat Qadar yang menggambarkan adanya kekuasaan dan kebebasan berbuat
bagi manusia harus dipahami bahwa manusia memang dianugerahi kemampuan dan
kebebasan untuk menentukan jalan hidup yang baik atau buruk dengan maksud agar
manusia dapat dimintai tanggung jawab atas pilihannya. Sebab, berbeda dengan
makhluk lain yang secara otomatis menaati perintahAllah SWT, yaitu bertingkah
laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kep'ddaf\ya(sunnahAllah), manusia adalah satu-satunyakekecualian
di dalam hukum universal ini
karena di antara semuanya manusialah satu-satunya ciptaan Allah SWT yang
memiliki kebebasan untuk menaati atau mengingkari perintah-Nya. Kenyataan ini
merupakan ke-istimewaan
sekaligus risiko bagi manusia.
Dengan
demikian, dalam batas-batas kadar dan potensi atau ukuran kemandirian dan
kedaulatan yang telah ditetapkan Allah SWT, manusia berkuasa dan berdaulat atas
tingkah laku, perbuatan, kecen-derungan hati, dan pilihannya.
2. Ayat-ayat Jabr
dipahami dalam konteks moralitas
Agar ayat-ayat
Jabr yang menggambarkan
ketidakberdayaan manusia tidak menimbulkan pertentangan dengan ayat-ayat qadar yang mencerminkan manusia
sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab atas segala perilaku dan
perbuatannya, hal ini harus dipahami dalam konteks moralitas. Maksudnya, walaupun
mempunyai kemandirian dan kedaulatan sebatas yang diberikan Allah SWT, manusia
harus menyadari bahwa dirinya senantiasa terkait dengan qada' dan qadar
Allah SWT. Oleh karena itu, manusia tidak boleh berputus asa terhadap sesuatu
yang luput dan lepas dari keinginannya, tetapi juga tidak boleh terialu gembira
terhadap segala sesuatu yang dapat dicapai sehingga menimbulkan sikap congkak,
sombong, dan lupa daratan, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Al-Qur'an
sendiri telah mengajarkan bahwa musibah yang terjadi di bumi dan menimpa jiwa
atau diri manusia pada hakikatnya telah menjadi ketetapan Allah di Lauh al-Mahfu.
Artinya : Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bwni (tidak pula) pada dirimu sendiri,
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfu^) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kamijelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira (yang melampaui batas
dan menyebabkan kesombongan) terhadap apa yang diberikannya ke-padamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan din. (QS :Al-Hadid:
22-23)
Dengan
kata lain, ajaran qada' dan qadar atau takdir yang dite-kankan
kaum Jabariyah yang tercermin dalam ayat-ayat Jabr hams dapat mendidik manusia agar berakhlak karimah kepada
Allah SWT, yaitu mau bersyukur pada nikmat Allah SWT ketika usahanya ber-hasil
serta tidak berputus asa dan bersabar terhadap ketentuan ketika usahanya tidak
berhasil sebab dia meyakini bahwa ketentuan itulah yang terbaik bagi dirinya
dan merupakan pilihan dari Allah SWT.
Jelasnya,
ajaran takdir mendidik manusia agar dalam menempuh hi dupnya jangan sampai
melepaskan diri dari hubungannya dengan takdir Allah SWT sehingga ia selalu
merasa ada ketergantungan dengan Allah SWT dan senantiasa memerlukan bimbingan
dan pertolongan-Nya. Jika sikap mental demikian telah terbentuk, doa selalu
dipanjatkan kepada Allah SWT, syukur selalu disampaikan kepada-Nya dan sifat tawadu', sabar, tawakal, dan ridd akan menghiasi jiwanyajika
mengalami kegagalan terhadap sesuatu yang diinginkan.
Dengan
menempuh jalan pemahaman ayat-ayat qadar
dalam konteks tanggungjawab dan ayat-ayat Jabr dalam konteks moralitas, kedua macam pandangan tersebut
dapat dicari titik temunya sekaligus dapat terhindar dari pemahaman
kontradiktif karena secara teologis hal tersebut mustahil.
3. Ayat-ayat Jabr dipahami secara kontekstual dan
integral
Seperti dikemukakan di atas, untuk
mengokohkan pandangannya kaum Jabariyah menggunakan ayat-ayat Jabr yang secara umum memberi kesan
tentang kekuasaan mutlak Tuhan dan ketidakber-dayaan manusia untuk berbuat
sesuatu. Untuk menghindari kesan yang demikian, ayat-ayat tersebut harus
dipahami sesuai dengan konteksnya dengan cara dikelompokkan, kemudian ditarik
pemahaman integral atau utuh. Pengelompokan tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Ayat-ayat ampunan dan siksaan
Artinya: ...
maka (Dia) mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa saja
yang Dia kehendaki karena Allah kuasa berbuat apa saja. (QS. Al-Baqarah: 284)
Artinya: ...
Dia mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa yang Dia kehendaki...
(QS. Al-Maidah : 18)
Artinya: Kepunyaan
Allah apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Dia mengampuni yang
Dia kehendaki dan menyiksa yang Dia kehendaki. (QS. Ali 'Imran: 129)
b. Ayat-ayat tentang bimbingan
Artinya: ... Allah menyesatkan siapa yang
Did kehendaki dan membuat siapa yang Dia kehendaki berjalan dijalan yang lurus.
(QS. Al-An'am: 39)
Artinya: ... katakanlah, " Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan membimbing siapa yang bertaubat
kepada-Nya." (QS Ar-Ra'd: 27)
Artinya: ... maka Allah menyesatkan siapa
yang Dia kehendaki dan membimbing siapa yang Dia kehendaki... (QS. Ibrahim: 4)
Artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki
akan memberikan kepada-nya bimbingan, niscaya Dia melapangkan dadanya menerima
Islam. Dan barangsiapa yang dikehenduki Allah kesesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia mendaki ke langit... (QS.
Al-An'am: 125)
Ayat-ayat
di atas mempunyai konteks dengan kekuasaan dan kemandirian Allah SWT yang
mutlak sehingga manusia harus sadar dan tahu bahwa siapa saja tidak boleh
sembarangan dalam membawakan dirinya untuk mengarungi hidup dan kehidupan.
Allah SWT sungguh Mahakuasa atas segala sesuatu.
Pertanyaan
yang segera muncul adalah siapakah yang dikehendaki Allah untuk diberi ampunan
atau siksaan, dan bimbingan (hidayah) atau kesesatan.
c. Ayat-ayat bagi yang menghendaki ampunan
Artinya: Hai orang-orang yang beriman jika kamii bertakwa kepada A llah, Dia akan memberimu pemisah yang
benar dari yang salah dan
menghapuskan segala kesalahan dan
mengampuni [dosa-dosamu). (QS. Al-Anfal: 29)
Artinya: Hal orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan berinianlah kepada Rasul-Nya, Dia akan memberimu
dua bagian (yaitu) rahmat-Nya dan cahaya yang dapat kamu pergunakan dalam
perjalanan dan mengampuni kamu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hadid: 28)
Artinya: Barangsiapa melakukan kejahatan
atau menganiaya din sendiri dan
kamu memohon ampun kepada Allah, orang itu akan men-dapati Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QSAn-Nisa': 110)
Artinya: Katakanlah kepada orang kafir jika mereka menghentikan
kekafirannya, akan diampuni (dosanya) yang telah lampau.... (QS Al-Anfal:
38)
Ayat-ayat di atas secara kontekstual
menunjukkan bahwa mereka yang dikehendaki diampuni dosa-dosanya adalah orang
yang bertakwa, beriman, mau memohon ampun, dan tidak kafir. Sasarannya sangat
jelas dan tidak serampangan.
d.
Ayat-ayat bagi yang menghendaki siksaan atau azab
Artinya: Allah akan menyiksa orang-orang
munafik laki-laki danperem-puan, musyrik laki-laki dan perempuan, orang yang
berburuk sangka kepada Allah. Mereka akan ditimpa bencana dan Allah murka
kepada mereka, Allah melaknat mereka dan Allah siapkan Jahanam untuk
mereka, dan itulah sejahat-jahat tempat kembali. (QS. Al-Fath: 6)
Artinya: Kecuali orang yang berpaling dan mengingkari
(Allah), Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang mengerikan. (QS. Al-Gasyiyah:
23-24)
Artinya: ... adapun orang yang enggan (iman dan beramal saleh) dan
ta-kabur, Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat me-nyakitkan dan
tidak akan pernah memperoleh pelindung selain Allah. (QSAn-Nisd': 173)
Artinya: ... orang-orang
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tetapi siapayang berpaling (dari
Allah), Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang amat pedih. (QS. Al-Fath:
17)
Artinya: Adapun orang-orang
yang kafir, Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang berat di dunia maupun di
akhirat dan mereka tidak mempunyai penolong. (QS. Ali 'Imran: 56)
Ayat-ayat di
atas jelas sekali menunjukkan bahwa orang-orang yang dikehendaki disiksa atau
diazab adalah orang munafik, musyrik, berburuk sangka kepada Allah, dan
mengingkari-nyaJuga orang yang enggan beriman, takabur, dan kafir. Dengan
demikian, aturannya begitu jelas dan tidak sembarangan. Artinya, berdasar firman
Allah bahwa menyiksa atau menyesatkan orang yang beriman dan beramal saleh
sangat mustahil bagi Allah karena bertentangan dengan sifat rahman, rahim, dan adil-Nya.
e. Ayat-ayat bagi yang hendak Allah sesatkan
Artinya: ...
Allah tidak akan menyesatkan kecuali orang yangfasik. (QS. Al-Baqarah: 26)
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, Allah tidak akan
membimbingnya dan bagi mereka siksa yang menyakitkan. (QS. An-Nahl: 104)
Artinya: ... Allah tidak akan
membimbing orang yang zaiim. (QS. Al-Baqarah: 258
Artinya: ...sungguh Allah tidak
akan pernah membimbing pendusta dan kafir. (QS. Az-Zumar: 3)
Ayat-ayat di
atas memberikan penegasan bahwa Allah tidak akan berkenan memberikan bimbingan
atau akan menyesatkan orang yang fasik, tidak beriman kepada ayat-ayat Allah,
zalim, pendusta, kafir, dan para pendosa di berbagai bidang.
Tentang
faktor-faktor yang menyesatkan manusia, Allah menyatakan dalam berbagai ayat Al-Qur'an.
Artinya: ... dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.... (QS. Sad: 26)
Artinya: ... ini adalah
perbuatan setan. Sesungguhnya setan
adalah musuh yang jelas-jelas menyesatkan. (QS. Al-Qasas: 15)
Dari kedua contoh
di atas, menjadi jelas bahwa yang menyesatkan manusia adalah hawa nafsu dan
setan, bukan Allah sebagai-mana
yang dipahami kaum Jabari.
f. Ayat-ayat bagi yang hendak dibimbing Allah
Artinya: ... dan Allah akan membimbing
orang yang bertaubat kepada-Nya.(QS. Ar-Ra'd:27)
Artinya: Allah membimbing
dengannya (Al-Qur'an) orang yang mengikuti keridaan-Nya lewatjalan damai dan
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya terang-benderung serta
membimbing mereka kejalanyang lurus. (QS.
Al-Maidah: 16)
Ayat-ayat
di atas menginformasikan kepada kita bahwa orang yang beriman, bertaubat, yang
mengikuti keridaan Allah, dan sifat terpuji lainnya itulah yang akan memperoleh
bimbingan atau hidayah dari Allah. Menjadi
jelas bahwaAllah berkuasa secara mutlak dan tidak ada kekuatan apa pun yang
dapat menghalangi untuk menye-satkan atau membimbing orang-orang yang Dia
kehendaki, tetapi ada klasifikasi tertentu yang ditetapkan Allah sendiri untuk
menjadi petunjuk bagi manusia, siapakah yang akan disesatkan Allah dan siapa
pula yang akan memperoleh bimbingan Allah. Dengan demikian, Allah tidak akan
menggunakan kekuasaan mutlak-Nya secara semena-mena sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
Sungguh Allah tidak menganiaya manusia sedikit pun, tetapi ma-nusialah yang
menganiaya dirinya sendiri. (QS Yunus: 44)
Artinya:
Sungguh Allah tidak pemah menganiaya (siapa-siapa) sekecil zarrah pun, bahkan
jika ada kebaikan (dilakukan orang) Dia melipat-gandakannya dan didatangkan
dari hadirat-Nya pahala yang besar. (QS An-Nisa': 40)
Dari
uraian di atas, jelas bahwa tidak ada kontradiksi sedikit pun antara ayat-ayat
qadar dan ayat-ayat jabr, sepanjang ayat-ayat tersebut kita pahami secara
konstektual dan integral bukan secara parsial atau sepotong-potong.
E.
Penutup
Dari
pembahasan makalah ini dapat disimpulkan, bahwa al-Qadariyah adalah salah satu
paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki
kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya
sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau
siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan
perbuatan-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam
(sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak
dan kekuasaan Tuhan,
Paham
Qadariyah ini mulai pertama dicetuskan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan
al-Dimasyqi. Paham ini digelarkan sebagai sanggahan ter-hadap paham Jabariyah
yang dibina oleh Ja'ad ibh Dirham dan Jahm ibn Shafwan.
Paham
Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya.
Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak
dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan
Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim
dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim.
Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam
perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan
paham Asy'ariyah.
Betapapun hebatnya
perbandingan antara aliran (paham) Jabariyah dengan Qadariyah, menurut hemat
penulis mereka masih dalam bingkai keluarga besar Islam. Tepatnya dalam hal ini
Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan sebagai berikut: "Kedua corak teologi
ini liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar
Islam. Dengan demikian orang yang memilih aliran-aliran itu sebagai teologi
yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam, dan
ayat-ayat yang dipergunakan sebagai argumennya merupakan ayat-ayat mutasyabihat.
DAFTAR PUSTAKA
A Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam II, (penerjemah
; Muktar Yahya), Jakarta
: Pustaka AI-Husna, 1983
Ahmad Hanafi,
Pengantar Teologi Islam, Jakarta
: Bulan Bintang, 1984
Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad al-Bagdadi, Al-Farq Baina al-Firaq, Bairut: Dar al-Ma'rifah al-Uttahidah,
t.th.
Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Maqalat al-lslamiyin wa ikhtilaf al-Mushallln, Kairo : Maktabah Nahdiyah al-Misriyah, 1979, Juz 1
Abu al-Qasim bin Muhammad az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Beiru : Dar al-Ma'rifah, t.th., jilid II
Abu
Zahrah, al-Mazahib al-lslamiyah,
Mesir : Maktabah al-Namudzajiyah, 1987
Abual
wa faal Taftazani, llm al-Kalam wa
Ba'd Musykilatih, Kairo : Daral-Tsaqafah, 1979
Ahmad
Amin, Fajr al-lslam, Beirut Lebanon : Dar
al-Kitab al-Araby, 1969
AI-Bagdadi,
al-Farq bain al-Firaq, Kairo : Maktaubah
Subeih, 1980
AI-Santanawi
(et. all), Dairat al-Ma'arif
al-lslamiyah, (Bairut : Dar al-Islam, t.th.
Al-Bagdadi, AI-Farq
Bain al-Firaq, Mesir : Dar
al-Malayyin, t.th.
Ali
Musthafaal Ghurabi, Tarikh al-Firaq
al-lslamiyah, Muhammad Ali Shubaih, Mesir, t.th.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta
: Ul Pres, 1987
Ibn Abi al-'Izz at-Tabawi al-Hanafi, Syarl} al-'Aqidah al-Yahawiyah, Beirut : Maktabah al-Islam, 1939
Jalal Muhammad Musa, Nasy'at
al-Asy'ariyah wa Tathawuruha, Beirut
: Dar al-Kitab at-Lubnani, 1975
Jamaluddin al-Qasimi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah, Beirut : Muassasah
al-Risalah, 1979
Luwais
Ma'luf al-Yasu'i, AI-Munjid, Beirut : al-Kathulikiyah,
, 1985
Syahrastani,
AI-Milal wa al-Nihal, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
Abu
Zahara, Tarikh al-Mazahib
al-lslamiyah, Bairut : Daral-Fikr, t.th.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, (Penerjemah ; Hartono Hadikusumo), Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1990
[1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta
: Ul Pres, 1987, h. 30
[2] Ibid, h. 31
[3] Di antara ayat-ayat yang
dijadikan argumentasi aliran Jabariyah adalah al-Shafat 96, al-Hadid 22,
al-Anfal 17, al-Qashas 56, Hud 34, al-lnsan 30 dll.
[4] Ahmad Amin, Fajr
al-lslam, Singapura : Sulaeman Maraghi,
1965, h. 286.
[5] A Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam II,
terjemahan Muktar Yahya, Pustaka AI-Husna, Jakarta, 1983, hat. 379
[6] Ahmad Amin, Fajr al-lslam, Dar al-Kitab al-Araby,
Beirut Lebanon, 1969,
hal. 285
[7] Abual wa faal Taftazani,
llm al-Kalam wa Ba'd Musykilatih,
Daral-Tsaqafah, Kairo, 1979, h.135
[8] Ahmad Amin, op. cit., h. 284
[9] Luwais Ma'luf al-Yasu'i,
AI-Munjid, al-Kathulikiyah, Beirut, 1945, h.. 436
[10] Ibid., h. 436
[11] Abu Zahrah, al-Mazahib al-lslamiyah, Maktabah
al-Namudzajiyah, Mesir, h.186
[12] Harun Nasution, op. cit., h. 29
[13] AI-Bagdadi, al-Farq bain al-Firaq, Maktabah
Subeih, Kairo, hal. 18. Pendapat ini bersesuaian dengan pendapat al-Nabatah
dalam Syarh al-Uyun
[14] A. Hanafi, Theologi Islam (llmu Kalam), Jakarta
: Bulan Bintang, 1982, h. 41
[15] Ahmad Amin, op. cit., hal. 285
[16] Harun Nasution, op. cit., hal. 30
[17] Ahmad Amin, op. cit. 285
[18] Ahmad Amin, op. cit. 286
[19] al-Bagdadi, op. cit., hal. 19
[20] Abu Zahrah, op. cit., hal. 189-190
[21] al-Bagdadi, op. cit., hal. 19-20
[22] Abu Zahrah, op, cit, hal. 193
[23] Harun Nasution, op.
cit., h. 31
[24] al-Ghurabi, Al-Mustafa, Tarikh al-Flraq al-lstamiyah,
Maktabah Muhammad Al-Subaeih Wa aladuhu, Mesir, h. 201
[25] Ahmad Amin, op. cit., hal. 287
[26] Harun Nasution, op. cit., hal. 97
[27] Ibid, hal. 99
[29] Syahrastani, AI-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa tahun, hal.
115
[30] Ibid. 131
[31] Syahrastani, op. cit., hal. 87 lihat pula Abu Zahara, Tarikh al-Mazahib al-lslamiyah, Daral-Fikr,
hal, 115
[32] Harun Nasution, Teologi Islam, Cet, ke 2, Ul Press, Jakarta, 1987, hal. 31
[33] Syahrastani, op. cit, hal. 85
[34] Ibid.
[35] Harun Nasution, op. cit., hal. 32
[36] Abu Zahrah, op, cit., hal. 110
[37] Ibid., hal. 116
[38] Ibid., hal. 117
[39] Jamaluddin al-Qasimi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah,
Muassasah al-Risalah, Beirut,
1979, hal. 38
[40] Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyah wa Tathawuruha, Dar al-Kitab at-Lubnani, Beirut, 1975, hal. 100
[41] Ali Musthafaal-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-lslamiyah,
Muhammad AliShubaih, Mesir, t.t, hal. 29
[42] Ibid., hal.22. Lihat,
Jamaluddin al-Qasim, op. cit.,
hal. 12
[43] Ali Musthafa al-Ghurabi,
Tarikh al-Firaq al-lslamiyah,
Muhammad Ali Shubaih, Mesir, t.t, hal. 29
[44] Ali Musthafa al-Ghurabi,
Loc. cit
[45] Ahmad Amin, op. cit., hal. 286
[46] Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Maqalat al-lslamiyin wa ikhtilaf
al-Mushallln, Juz 1, Maktabah Nahdiyah al-Misriyah, Kairo, 1969, hal.
213-214
[47] Abu al-Wafa
al-Taftazani, op. cit., hal.
145
[48] Al-Bagdadi, AI-Farq
Bain al-Firaq, Muhammad All Shubalh wa Awladih, Mesir, t.t, hal. 211-212
[49] Jamaluddin al-Qasimi, op, cit., hal. 17
[50] AI-Syahrastani, op, cit., hal. 88
[51] Harun Nasution, op.
cit., hal. 33
[52] Ahmad Amin, op. cit., hal. 287
[53] Jalal Muhammad Musa, op. cit., hal. 105
[54] Ahmad Amin, toe. cit
[55] Abu al-Wafa
al-Taftazani, op. cit., 148
[56] AI-Santanawi (et. all), Dairat al-Ma'arif al-lslamiyah, t.t,
hal. 195
[57] AI-Syahrastani, op. cit., hal. 89
[58] Ibid
[59] Ibid
[60] Abu al-Hasan al-Asy'ari,
op. cit., hal. 339
[61] AI-Syahrastani, op. cit., hal. 91
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun