A.
Pendahuluan
Pada era informasi dan komunikasi global seperti sekarang
ini segala hal yang berbau modernisasi mampu menyentuh setiap segi kehidupan,
para pakar di bidang psikologi pun serta merta menegaskan klaim yang hampir
senada. "Tidak ada orang pada masa kini yang mengaku tidak mengenal
psikologi," ujar Rita L. Atkinson dan kawan-kawan dalam buku mereka, Introduction
to Psychology.
Beberapa psikolog berpendapat menurut mereka, psikologi
telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Hal ini tertuang dari berbagai
komentar masyarakat yang mulai memikirkan jawaban dari beberapa pertanyaan, di
antaranya :
- Apa efek yang ditimbulkan oleh stres jangka panjang pada ?
- Mengapa orang mempelajari hal ihwal perilaku manusia ?
- Siapa sebenarnya yang membutuhkan pengetahuan psikologi ?
Perhatian dan
minat sementara orang untuk mempelajari perilaku atau kodrat manusia hanya
digerakkan oleh dorongan rasa ingin tahu. Mereka, boleh jadi, ingin sekadar
tahu dan mengerti saja, tak ubahnya seperti orang yang melihat bintang
gemintang di langit, sekadar untuk tahu dan mengerti.[1]
Selanjutnya, mereka lebih tertuju pada alasan-alasan yang
lebih praktis dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang perilaku, kodrat, tabiat,
atau pribadi manusia ari berbagai kelompok, komonitas dan kultur. Mereka yakin
bahwa berbagai masalah sosial akan bisa dipecahkan atau diatasi seandainya
orang nengetahui persis pangkal penyebabnya secara universal. Dalam pandangan
mereka, kesukaran-kesukaran, atau persoalan-persoalan yang dibuat dan dialami
oleh manusia dapat segera diatasi. Dengan bekal pengetahuan itu, mereka ingin
mengikis, atau setidaknya, mengurangi problema-problema sosial, seperti
kegelisahan dan pemogokan karyawan yang kerap terjadi, kejahatan dan tindak
kriminalitas, konflik sosial, sampai pada perang sebagai konflik yang
dilembagakan.[2]
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau
pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal
siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan orang lain lingkungan masyarakat dan
pengaruh-pengaruhnya. Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan
untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir,
berkebiasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri. Ada
yang berbuat kebaikan, kejahatan, asusila dan perilaku-peilaku yang lain.
Bagaimana pun, psikologi dapat memberikan pengertian yang
lebih baik mengenai sebab-sebab orang berpikir dan bertindak seperti yang mereka
lakukan, dan memberikan pandangan untuk menilai sikap dan reaksi, baik yang
kita lakukan sendiri atau oring lain.
Singkatnya, psikologi dibutuhkan oleh mereka yang dalam
kehidupannya selalu berhubungan dan bersama orang lain. Psikologi dibutuhkan
atau dipelajari oleh mereka yang dalam tugas dan jabatannya akan bekerja
bersama orang lain. Dengan demikian, psikologi selalu dibutuhkan oleh pimpinan
perusahaan, pengurus organisasi massa, pengurus lembaga sosial, para pejabat
pemerintah, para elit politik, komandan pasukan, wartawan, hakim, khatib, guru,
dosen, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya.
Juga dibutuhkan oleh setiap orang dalam fungsi dan perannya sebagai
rakyat biasa, suami, istri, ayah, ibu, dan anak dan lain sebagainya.
Jadi, dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk
mengenal manusia. Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat
menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta
aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek
kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu,
misinyanya, sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia
memahami perasaan orang lain. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri
bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual
dari orang tersebut.
Masyarakat hari ini sedang mengalami sosial drastis,
informational, dan perubahan teknologi. Kemajuan revolusioner dalam globalisasi
dan teknologi elektronik adalah menjelmakan alam era baru yang menjangkau
seluruh komunitas manusia yang saling mempengarui serta dibarengi emosi. Pengembangan
dan kemajuan yang meningkat, menuntut
pada pribadi secara personal untuk
membentuk tujuan global dan hidup masyarakat yang bertarap internasional.[3]
Kompetisi ini dikawatirkan
akan tumbuh berbagai tekanan-tekanan dari
aspek psikologi. Sehingga perlu
penelitian sejauhmana pengaruh globalisasi terhadap psikologi. Psikologi adalah
disiplin yang integratif terbaik serta untuk pemahaman advance adaptasi manusia
yang selalu berubah. Disiplin ilmu psikologi dengan uniknya saling mempengaruhi
secara kompleks antara intrapersonal,
biologi, hubungan antar pribadi, dan sociostructural manusia. [4]
Bidang psikologi berusaha
ikutandil pada visi an misi manusia yang lengkap dengan berbagai kesenangandan
konflik. Keunggulan manusia di dalamr semua lapisan hidup saat ini berusaha
untuk adaptasi dengan sistemdan nilai manusia yang selalu berkembang dan
berubah dari suatu perspektif local
hingga lintas dimensi yang global. Corak
manusia era global memungkinkan manusia untuk pengembangan mereka sendiri secara personal
dan pembaharuan akan berdampak negative terhadap mental dan kejiwaan mereka. [5]
Psikologi bila ditinjau dari aspek global dari ruang lingkup kajiannya, tentu
memiliki karelasi yang sangat dekat dengan ilmu-ilmu lain, seperti hubungan
psikolagi dan filsafat, psikologi, psikologi dan pendidikan terutama dengan paedagogiek,
psikologi dan sosial, psikologidan kedokteran, psikologi dan agama, psikologi
dan antropologi, psikologi dan politik, psikologi dan komonikasi, psikologi dan
biologi, psikologi dan ilmu alam dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang
berhubungan dengan psikologi.
Adapun dalam kajian makalah ini penulis tidak membahas atau
mendiskusikan psikologi dalam ruang lingkup yang umum dan global, akan tetapi
ingin mendiskusikan seputar hubungan
psikologi dan globalisasi. Pengertian globalisasi
ini tidak diartikan sebagaimana diatas, akan tetapi globalisasi dalam pengertian
modernisasi di era baru. Yang
selanjutnya dalam makalah ini mencoba menelaah implikasi globalisasi terhadap
psikologi.
B. Psikologi dan
Ruang Lingkupnya
Apa itu
psikologi, pendefinisian istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan memberikan
jawabannya di antaranya. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari
Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos
yang berarti "ilmu". jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu
jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-geiala kejiwaan.[6]
Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama
ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi
diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian
kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an
Introduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind
(pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi
behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia.[7]
Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi
sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama.
W.A Gerungan adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang tidak
sependapat. Menurutnya,[8]
- Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang dikenal tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artinya yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi merupakan istilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
- Ilmu jiwa kami gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala khayalan dan spekulasi mengobati jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang disepakati para sarjana psikologi pada zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa
apa saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang
disebut psikologi itu juga termasuk ilmu jiwa.
Tampaknya,
para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan
psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang
dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah,
jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pemah berujar, "My mind
is incapable of conceiving such a thing as a soul" (Pikiran saya tidak
mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung
arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Jadi, amat sukar
untuk mengenai jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara
yang dapat dilakukan adalah mengobservasi perilakunya, meskipun
perilaku bukan merupakan percerminan jiwa secara keseluruhan.. Plato dapat
disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini.[9]
la mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga orang
memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga.
Dalam teorinya tentang "Pengingatan-Kembali",
Plato mengapungkan. dua proposisi.[10]
Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi
daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah
pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi,
yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih
pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh
mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak
juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai
pendapat yang berbeda dengannya. la melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa.
Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda,
walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualistis.
Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat,
tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene Descartes
(1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan "Cogito Ergo Sum"
(saya berpikir, karena itu saya ada).
Konsep-konsep difinisi, metodologi
dan pendekatan-pendekatan dalam Psikologi yang telah dirumuskan para ahli
bukanlah capaian final. Selalu terkandung cacat-cacat dalam setiap rumusan
suatu ilmu, tidak terkecuali Psikologi. Secara sederhana saja dapat dikatakan
bahwa karena teori-teori atau aliran-aliran Psikologi lahir dari peradaban
Barat, maka kerangka pikir (mode of thought) dan rumusan Psikologi itu
pun tak terlepas dari mode of thought masyarakat Barat. Karenanya,
sangat mungkin ia mengandung bias-bias ketika kita memakaianya untuk
menganalisis atau menerapkannya pada budaya atau masyarakat yang berbeda.[11]
Selanjutnya, untuk akhir-akhir ini umat manusia
diperkenalkan kajian teori psikologi modern, yang yang bernama Behaviorisme, Psikoanalisa, Humanistik dan
psikologi yang termuda bernama Transpersonal.
Behaviorisme[12]
(Aliran Perilaku) yang disponsori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), mendasarkan
diri pada konsep stimulus respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan
pada dasamya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang
berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitamya. Lingkungan
yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan yang baik akan menghasilkan
manusia yang baik. Pandangan semacam ini memberi penekanan yang sangat besar
pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang
menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Pandangan ini beranggapan
bahwa apa pun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah
lingkungannya.[13]
Aliran Psikoanalisa,
Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1893), berpandangan
manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan dan
memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya adalah komponen yang
alami pada manusia sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya
interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.[14]
Psikologi Humanistik Aliran yang dipelopori Abraham H.
Maslow (1908-1970) dan Carl Ransom Rogers (1902-1987) ini mempunyai pandangan
bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak
terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif,
mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan
antar manusia. Akan tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, akan kita temui begitu
banyak kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimisti
terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[15]
Transpersonal merupakan salah satu aliran psikologi
dipelopori oleh Anthony Sutich. Menurut
Marylin Ferguson dalam buku The Aquarian Conspiracy mengatakan bahwa,
Transpersonal lahir dan tumbuh berkembang di tengah-tengah gejolak politik,
budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960 dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak
perempuan, kaum homseksual dan lesbian, hal ini melanda daerah Amerika dan
Eropa. Psikologi Transpersonal cukup
berbeda dengan psikologi-psikologi yang lain, pola pandangan aliran ini memuat
ide-ide yaitu; potensi-potensi luhur (the highest potentials) fenomena
kesadaran (states of consciousness)
manusia, yang meliputi demensi kesatuan mistik, daya-daya batin, meditasi.
Intinya aliran ini berusaha menyatukan teori psikologi dan spiritualitas.[16]
Dari berbagai tinjauan secara
definisi dan sekilas beberapa uraian aliran-aliran psikologi yang dikembangkan
oleh para psikolog, secara garis besar memiliki berbagai bentuk dan obyek
kajian, terfokus pada kajian terhadap manusia.
Baik secara individu, maupun kelompokmasyarakat.
C. Persoalan Masyarakat dan Psikologi
Masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang
berkumpul dalam satu tatanan, tentunya setiap individu itu memiliki keragaman
cara hidup baik dari berpikir, bekerja, keahlian, agama, status sosial dan lain
sebagainya. Kumpulan individu yang selanjutnya dinamakan masyarakat ini
pastinya mengahadapi berbagai permasalahan yang cukup komplek dan
mendasar. Penyebabnya tentu karena
perbedaan yang sebagaimana disebut di atas.
Menurut para sosiolog, pada diri masyarakat global dan
dalam menghadapi era baru globalisasi pada umumnya memiliki
permasalahan-permasalah yang kompleks, akan tetapi masalah masyarakat yang
paling menonjol adalah persoalan
sosial. Adapun masalah-masalah sosial
itu di antaranya sebagai berikut :
- Kemiskinan
- Pendidikan
- Kejahatan
- Disorganisasi keluarga
- Generasi muda dalam masyarakat modern
- Peperangan
- Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
- Kependudukan
- Lingkugan hidup
- Birokrasi
Permasalahan
sosial tersebut secara umum dan mendasar akan mempengaruhi psikologi masyarakat
dan akan memiliki efek yang cukup signifikan terhadap perkembangan manusia di
muka bumi ini. Dari permasalahan itu
pula berbagai perselisihan akan timbul di masyarakat bahkan peperangan antar
manusia untuk memperebutkan sebuah keinginan dalam kompetisi di era global
ini. Lebih lanjut, permasalahanyang
mengkontaminasi masyarakat akan berakibat buruk baik secara jasmani (fisik)
maupun psikologi (jiwa) seseorang, yang berujung pada penyakit kronis kejiwaan.
Walaupun awalnya terjadinya permasalahan-permasalahan itu disebabkan oleh
krisis global yang menjakiti masyarakat secara umum.
D. Glabalisasi dan
Psikologi
Pengaruh globalisasi pada
psikologis cukup signifikan, sebagaimana pengujian yang dilakukan oleh beberapa
pakar. Terjadinya globalisasi diberbagai daerah dunia, yang kemudian
konsekwensi globalisasi cukup berpengaruh pada psikologis, uraian globalisasi terfokus
pada isu identitas. Yang secara rinci mereka berargumentasi bahwa kebanyakan
orang-orang di seluruh dunia berkembang dari suatu kombinasi kultur dan
identitas yang yang berbeda, dari kultur lokal bersinggungan dengan suatu
identitas kultur yang global. Identitas
yang berbeda itulah melahirkan kebingungan dan meningkatnya emosi antar publik.
Kultur barat sebagai hasil globalisasi
menjadikan identitas mereka terpelihara yang selanjutnya terus meningkat
luas.[17]
Globalisasi telah tumbuh
dan hidup berabad-abad sebagai proses perubahan, dimana kultur saling
mempengaruhi satu sama lain dan menjadi lebih mirip, hal ini terjadi melalui
perdagangan, imigrasi, pertukaran
informasi dan munculnya berbagai gagasan-gagasan baru. Bagaimanapun juga di dalam dekade terbaru,
derajat dan tingkat intensitas koneksi antar kultur yang berbeda dunia sudah
mempercepat kemajuan berbagai sektor secara dramatis, oleh karena itu kemajuan
dalam telekomunikasi mengalami suatu peningkatan cepat dan saling
ketergantungan misalnya keuangan dan ekonomi di seluruh dunia. Sebagai contoh,
barang ekspor sebagai proporsi produk domestik dunia tumbuh dari 8% pada tahun
1950 meningkat menjadi 26% pada tahun 1998 dan perjalanan internasional
telah meningkat hinga 700% sejak 1960. Sebagai konsekwensi di tahun terakhir,
globalisasi telah menjadi salah satu terminologi untuk menguraikan status dunia
yang secara luas paling banyak digunakan.[18]
Globalisasi meliputi suatu
isu dan gejala yang memiliki cakupan luas. Di dalam perkembangan buku-buku terbaru
pada topik atas, sebagian besar mereka
telah terfokus pada ekonomi, didalam buku-buku tentang globalisasi juga telah
menunjukan adanya isu-isu lain, globalisasi telah banyak mempengaruhu kehidupan
orang-orang kota
dan pada praktek budaya. Globalisasi menurut beberapa riset mempunyai implikasi
psikologi terhadap masyarakat (publik), tetapi sampai sekarang implikasi ini
belum secara menyeluruh dapat diuraikan. Akan tetapi secara langsung kontribusi
psikologi untuk suatu pemahaman globalisasi telah diakui. Sejalan dengan pergeseran budaya dan
identitas masyarakat.[19]
Dalam hal ini Jeffirey
Jensen brpendapat bahwa globalisasi mempunyai pengaruh terhadap psikologis.[20] Pada artikelnya Jensen terfokus pada isu yang berhubungan
dengan masa remaja, sebab anak remaja mempunyai suatu peran sangat penting sedang
dalam proses globalisasi. Anak remaja
mempunyai cukup kedewasaan dan otonomi untuk mengejar informasi dan pengalaman di luar
itu tanpa ada pembatasan. Mereka belum merasa terikat dengan suatu jalan
hidup yang terbatas dan belum mengembangkan kebiasaan perilaku dan kepercayaan yang
mengakar. Mereka menjadi lebih terbuka terhadap
apa saja, walaupun suatu hal yang tidak biasa dan baru. Mereka cenderung untuk memiliki
dan mempunyai minat dibanding anak-anak maupun
orang dewasa. Anak remaja dipandang oleh orang dewasa dalam beberapa
kultur mereka sangat peka terhadap ajakan kultur yang global dan permasalahan
anak remaja, seperti unsur menggunakan obat-obatan dan kehamilan sebelum nikah.
Menurut orang dewasa hal ini terjadi
disebabkan oleh faktor globalisasi. Fokus pada masa remaja menyoroti isu identitas
itu yang menjadi arti penting dan kunci di dalam psikologi globalisasi.[21]
E. Globalisasi dan Kekacauan Mental
Kita sudah masuk dunia baru globalisasi yang menantang. globalisasi
mungkin adalah digambarkan sebagai suatu proses di mana batasan-batasan yang
tradisional yang memisahkan individu dan masyarakat secara berangsur-angsur dan
terus meningkat. Proses ini sedang mengubah sifat alami interaksi manusia di dalam
lapisan banyak orang, baik dari aspek ekonomi, politis, sosial, budaya,
teknologi dan lingkungan. globalisasi sedang mengubah jalan hidup, ruang dan
waktu tanpa batas.[22].
Pendekatan ideologis dan filosofis memandang tentang dampak
globalisasi pada individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga, globalisasi jelas
mempunyai efek negatif dan positif serta kemungkinan menciptakan pecundang dan
pemenang. Masyarakat berubah dengan cepat melalui urbanisasi, acculturasi,
modernisasi, sosial, politik dan perubahan budaya. Di dalam negara-negara orang
banyak dimakan karat oleh disintegrasi ekonomi, distribusi yang berbeda, kekayaan
kolektif, gangguan sosial, penindasan politis, imigrasi dan bahkan perang. Berjuta-juta
orang masih kekurangan makanan, air, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara mendasar.
Kekuatan ekonomi global sudah memperlemah masyarakat dan negara-negara lemah
dan miskin pada status yang ekonomi. Mata
rantai yang kompleks antar globalisasi,
kesehatan, sosial dan kesejahteraan serta kesehatan mental sangat perlu untuk
diselidiki.[23]
F. Globalisasi Dan Kultur
Interconection
Sebagai konsep, globalisasi mungkin telah menggantikan
universalisasi. Dokter jiwa yang
biasanya mengadopsi suatu pandangan universalis di dalam perasaan yang
mendasari manusia fisiologis dan sampai taraf tertentu psikologis yang bersifat
universal, sedangkan ahli antropologi membantah untuk suatu relativis posisi.
Relativis takut liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan memutar ruang
individu mereka ke dalam kesatuan yang lebih homogen. Suatu pandangan
globalisasi yang umum adalah bahwa masyarakat didorong kearah berbagai hal yang
tak dapat dikendalikan dan bergeser ke status ke korporasi multinasional.
Terdengar issu perdagangan bebas dan gerak bebas ekonomi semakin tak terkendali.
[24]
Bagaimana peran media di dalam cara menggambarkan
kemiskinan, kelaparan dan bencana alami di dalam berbagai fariabel negeri. Globalisasi sedang mendobrak dan memerinci
batasan-batasan alami, kita dapat menngunjungi dari satu kultur ke lain melalui
televisi, internet, bioskop dan buku-buku. Dengan pergerakan ini menaikkan harapan dan cita-cita. Orang pindah
ekonomi tidak mengalami penghalang apapun dan menikmati suatu kultur perusahaan
multinasional di mana mereka dapat mempunyai makanan Cina di Paris, makanan
Perancis di dalam India dan orang
India menyamak kulit Hong Kong.[25]
Pengembaraan wisatawan dan ekonomi ang belakangan menghasilkan pendapatan.
Globalisasi sedang memutar mereka yang adalah lemah dan miskin tanpa ketentuan
dan tak berpendidikan diseret ke dalam kehidupan gelandangan. Siapun diijinkan
untuk tetap berada di tempat maupun untuk mencari-cari suatu lebih baik
menempatkan untuk menjadi segala bentuk karakter.
Globalisasi sebagai intensifikasi interconnection global,
mengusulkan suatu dunia penuh dengan pergerakan dan campuran, kontak dan
pertalian, dan interaksi budaya saling menukar. Teknologi komunikasi dan
pengangkutan semakin banyak dan cepat. Biaya produksi dan memaksimalkan laba
telah memimpin korporasi multinasional untuk bergeser ke dalam produksi yang
lebih jauh. Biaya Manusia bukanlah suatu pertimbangan di dalam akuntansi. Bagaimanapun,
globalisasi dapat bermanfaat bagi individu, dengan membiarkan mereka untuk ikut
serta, kultur imigran bisa meningkatkan cita-cita mereka. Dengan saling
behubungan yang kompleks, tidak hanya dapat menyilang, menarik ke dalam tempat jaringan
yang hegemony keuangan, tetapi juga orang-orang bergerak ke lintas
batasan-batasan nasional, memutar wilayah pribadi ke dalam ruang publik[26],
dan berjuang keras untuk mengatasi permasalahan satu sama lain, di mana kultur berselisih.
Arus ibukota yang cepat, orang-orang, barang-barang, gambaran dan ideologi
dunia bekerja sama di dalam suatu jaringan yang ketat, kadang-kadang boleh mencekik
individu untuk membebaskan diri dari permasalahan yang komplek. Saling
behubungan ini dapat ditelusur balik ke dalam Kolonialisme mengenai Eropa, yang
memulai proses dari homogenisasi budaya ke seberang batasan-batasan geografis.
Konseptual globalisasi
menurut Harvey
(1989) yang terutama sebagai tekanan ruang dan waktu seseorang hanya dapat
mempertimbangkan tentang dampak dari tekanan sosial dan jiwa perorangan. Tekanan ini tidak terjadi karena suatu selalu
berlanjut tetapi secara singkat. Pertemuan sosial mungkin segera dan secara
langsung, atau komunikasi ke seberang ruang dan waktu. Globalisasi begitu
memimpin ke arah angka-angka orang-orang semakin banyak tertinggal di dalam keadaan
di mana institusi mereka dibunuh, praktek lokal berhubungan dengan sosial
globalis mengorganisir aspek yang utama dari kehihidup sehari-hari,[27]
sehingga memproduksi suatu perselisihan yang mengasingkan kedua-duanya individu
dari tempat dan ruang global.[28]
Dari perspektif psikiater
budaya, kultur mempengaruhi gejala dan idiom yang menyusahkan, model individu
bersifat menjelaskan karakter. Identitas
kesukuan mempunyai suatu peran di dalam individu yang mengagumi diri sendiri
dan mempengaruhi terhadap sosial. Konsekwensi konteks pendukung pluralisme
multikultural masyarakat yang baru, untuk kesejahteraan dan kesehatan
psikologis individu sebagian besar tak dikenal. Dokter jiwa budaya melanjutkan
untuk belajar sistem identitas yang diancam
oleh proses globalisasi.
G. Globalisasi Dan
Kesehatan Mental
Di samping bukti bahwa semua kekacauan mental adalah psychobiosocial,
artinya bahwa mutu lingkungan sosial dihubungkan dengan resiko sakit
ingatan, sukar untuk meramalkan dampak globalisasi pada secara umum. Bagaimanapun
juga, kekacauan mental tidak bisa lagi di hindari dari konteks yang global yang
membingkai hidup kita. Menurut Kirmayer & Minas ( 2000), globalisasi
mempengaruhi psikiatri di dalam tiga jalan utama. Di antranya :[29]
- Melalui efek pada format individu dan identitas kolektif
- Melalui dampak dari ketidaksamaan ekonomi terhadap kesehatan mental
- Melalui bentuk ketidak perdulian dari pengetahuan psikiatris sendiri
- Melalui mass media dan telekomunikasi elektronik, kultur local dan kesukuan di seluruh bumi.[30]
Harpham et Al, 1988 and Kleinman ( 1991), urbanisasi adalah
peningkatan yang relatif yang berkenaan dengan populasi kota sebagai proporsi
total, dan setelah diamati, urbanisasi telah mendorong suatu peningkatan
gangguan perilaku terutama apabila dihubungkan dengan keluarga, mencakup
kekerasan ke pasangan, anak-anak, dan berbagai
kekacauan di tingkat masyarakat. Urbanisasi
secara jangka panjang akan bereimplikasi pada kekacauan mental, di mana
berbagai kesulitan dan peristiwa hidup sebagai salah-satu faktor penyebabnya. Kesulitan
hidup yang kronis seperti lingkungan miskin, kekerasan dan kecelakaan,
kompetisi sosial, konflik kelas, pemondokan.[31]
Marsella berkenaan dengan kehidupan global mengusulkan untuk
menghadirkan suatu laboratorium alami untuk belajar tentang kekacauan mental
tradisional seperti tekanan, penyakit jiwa dan sakit saraf, terutama tentang tekanan yang berhubungan
dengan permasalahan memondokkan, pekerjaan, perkawinan, anak terlantar,
keamanan dan berbagai kesulitan lain berkenaan dengan kehidupan kota di dalam
interaksi bersama dengan sumber daya yang tersedia untuk pelatihan atau
resolusi mereka menyediakan pemahaman yang terbaik tentang faktor penentu psychopathological
kekacauan di dalam populasi. Peneliti lain[32]
menekankan pada mata rantai antara kesehatan mental dan kemiskinan, perbedaan
ekonomi dan underdevelopment, kondisi kerja dan rasa lapar kronis, kebebasan
dan diskriminasi jenis kelamin, pelanggaran hak azasi manusia dan pendidikan
yang terbatas, semua itu patut untuk dipikirkan
sebabbisa memperlemah dan membinasakan individu dan antara kedua-duanya dan
sosial bisa bertindak sebagai penyangga atau bantalan melawan terhadap
permasalahan kesehatan mental.[33]
Sakit ingatan dan permasalahan kesehatan mental meliputi 8%
dari setiap tahun, karena orang dewasa yang tua 15-44 tahun tinggal di demographically, penyakit neuropsychiatric
12% adalah beban penyakit yang global. Kebanyakan peneliti menggaris bawahi
kemungkinan itu yang banyaknya orang dengan sakit ingatan utama dan beban
permasalahan kesehatan mental bermasyarakat, akan menjadi terus meningkat
setiap tahun ke tahun sebagai dampak
globalisasi.[34]
Globalisasi mungkin untuk
meningkatkan ketidaksamaan sosial dengan memperburuk perbedaan di dalam akses
dan distribusi sumber daya. Persaud & Lusane ( 2000) menyarankan teknis
proses ekonomi dihubungkan dengan diskriminasi sasial, seperti faktor sosial
mungkin meningkatkan resiko perang saudara dan kekerasan kolektif. Lebih lanjut faktor timbulnya serangan
teroris, ekspose ke unsur berbahaya dan tersebar penyakit drug-resistant
sebagai efek meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional mempunyai
suatu dampak pada kesehatan mental yang tidak bisa di diremehkan.[35]
H. Globalisasi dan Tekanan
Tekanan dapat bertindak
sebagai suatu paradigma di dalam diskusi dampak globalisasi, dalam hal
kelaziman kekacauan mental, tekanan juga dapat terjadi sebagai peristiwa
tunggal dalam seumur hidup. Latar belakang budaya mungkin ikut menentukan apakah tekanan
akan jadi pengalaman, dan ternyata dinyatakan oleh psikologis dan terminologi
emosional, atau fisik terminology tekanan dapat berpengaruh terhadap fisik.[36]
Tekanan adalah suatu
kekacauan yang sangat lazim. Tentu saja,
pengalaman dari suasana hati dysphoric yang kini dianggap sebagai suatu
peristiwa universal, walaupun corak klinis boleh berbeda dengan kultur. Organisasi Kesehatan
Dunia (OKD) meramalkan bahwa di dalam tahun 2020 tekanan akan terjadi di seluruh
dunia, di dalam negara berkembang tekanan diproyeksikan sebagai penyebab beban
penyakit.[37]
Dari perspektif ini, kita meninjau ulang riset terbaru ke dalam variasi budaya
di dalam epidemiologi, hasil diagnosa perawatan dan presentasi tekanan klinis,
dan bagaimana globalisasi akan mempengaruhi idiom kesulitan.[38]
Tekanan Epidemiologi
belajar pada permasalahan psikologis di dalam
pelayanan kesehatan umum Suatu
studi besar oleh Organisasi Kesehatan Dunia, secara umum arus adalah paling menekan perasaan. Tekanan adalah kekacauan suatu yang cukup
berpengaruh terhadap mental.[39]
I. Tekanan dan Somatisasi
Teori somatisasi[40]
lebih awal mengusulkan itu, yaitu padanan tekanan budaya, yang secara khas
terjadi kultur non-Western. Sekarang tumbuh bukti adanya gejala somatic,
yaitu mempresentasikan secara umum corak tekanan seluruh dunia itu. Tekanan di
dalam terminologi berkenaan dengan metafora somatic. Simon menggunakan data
dari orang yang belajar pada permasalahan psikologis di dalam pelayanan kesehatan umum, menguji hubungan antara
tekanan dan gejala somatic. Bagaimanapun juga somatisasi telah digambarkan
sebagai gejala somatic secara medis, frekwensi gejala somatic tergantung pada
bagaimana somatisasi digambarkan. Somatisasi adalah suatu konsep yang mencerminkan dualisme
yang tidak bisa dipisahkan di dalam Biomedical di dalam praktek barat, sedangkan
kebanyakan dari tradisi obat dan kedokteran yang besar seperti Cina suatu
pembedaan jelas antara mental dan phisik tidak terjadi.[41]
Orang-orang dari kultur
tradisional tidak membedakan emosi lekas marah dan tekanan sebab mereka cenderung
untuk di dalam menyatakan kesulitan di dalam terminologi somatic atau mereka
mengorganisir konsep dysphoria dalam cara-cara yang berbeda dari orang-orang
barat. Sebagai contoh orang-orang Cina yang mempunyai tingkat tekanan dan
cenderung untuk menyangkal tekanan dan somatically.[42]
Di dalam suatu tinjauan ulang literatur menunjukan kepada satu set saling
behubungan dan saling berpengaruh. Negeri China telah mendiagnose neurasthenia,
konsep neurasthenia diuraikan oleh Cina sebagai shenjing shuairuo
dan itu meliputi somatic, teori dan gejala emosional sebagai tambahan
terhadap apapun secara menekan gejala perasaan. [43]
Konsep ini sesuai dengan epistemologi yang menjadi penyebab penyakit
tradisional atas dasar kepincangan atau kejanggalan dari ketidak seimbangan dan
organ bagian badan chi yang angat penting. [44]
Imigran Korea di AS menyatakan bahwa rasa sakit yang tiba-tiba setelah
doselidiki merupakan emosi yang secara simbolis atau secara fisik itu merupakan
tekanan. fisik secara terminologi bukan emosional maupun jasmani, tetapi di
suatu tempat diantara keduanya. Dysphoria telah dinyatakan sebagai gejala
holistic (kemurungan jiwa telah diserap ke dalam badan). Kedokteran Korea tradisional
membagi fungsi simbolis pada masing-masing organ bagian badan, paru-paru
dihubungkan dengan keraguan, duka cita dan roh, hati dan marah, ginjal untuk
takut.[45]
Bhui meninjau ulang literatur
itu pada kekacauan mental umum antara orang India
dan orang-orang Pakistan,
mengacu pada kotak somatisasi yang hitam. Ia melaporkan bahwa Pasien
yang mengunjungi dokter umum, mereka lebih sering mempunyai tekanan perasaan
dan tekanan gagasan. Sakit adalah gejala pisik yang paling umum, akan tetapi
proses penyembuan melalui mental itu sangat membantu penyembuan fisik.
J. Kesimpulan
Globalisasi nampaknya akan menjadi
salah satu kekuatan yang dominan di dalam
pengembangan psikologis orang-orang abad 21 itu. Kultur bisa dan dapat
dipengaruhi satu sama lain melalui perdagangan, migrasi, dan perang. Berbagai
kultur akan menyatu dansaling berkompetisi untuk mempertahankan identitas
mereka masing-masing. Issu krisis akan semakin terdengar walaupun lapangan
kerja semakin banyak, menebabkan hidupnya penyakit jiwa yang mengkronis pada
diri publik.
Sebagai konsekwensi
globalisasi, menciptakan tantangan baru pada setiap identitas, yang selanjutnya
berimplikasi dan mengubah terhadap system tradisional, dan beranjak ke era baru
yang asing bagi mereka, sehingga mereka rentan terhadap penyakit jiwa, sebab persinggungan kultur dan
identitas mempuat publik yang asing tersebut menjadi gagu di dalam segala hal,
khususnya berbagai kemajuan yang sangat global.
Eksistensi
psikologi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia era baru tekait berbagai
permasalahan yang timbul akibat globalisasi, konflik keluarga, kultur, budaya,
ekonomi, sosial, pertemuan kultur yang berbeda dan persaingan menjadi salah
satu penyebab menyebarnya virus jiwa yang akan mempengarui struktur manusia
yang universal. Berbagai cara digunakan
oleh publik peneliti untuk menyelesaikan permasalahan mental yang terganngu
akibat dari konflik global.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hanafi, Psikologi
Umum, Jakarta
: Reneka Cipta, 1992
Albert Bandura, The
ChangingFace of Pyichology at the
Dawning of a Alobalization Era
Alex Sobur, Psikologi
Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003
Bauman Z, Globbalization; The Human
Consequences, 1998, vol. 421
Dawam Raharjo, Intelektual,
Intelgensi, dan Perilaku Politik, Rahardjo, Bandung :Al-Mizan, 1996, h. 261
Desjarlais, R., Eisenberg,
K.J., World Mental Health, 1995
Dinesh Bhugra and Anastasia
Mastrogianni, Globalisation and mental disorders
Djamaludin Ancok dan Fuad
Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 1994
EnthinHervina, tempo; Lebih lanjut lihat, Mulyadhi
Kartanegara, Psikologi Islam, Diktat
J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi
(terjemah), Jakarta
: PT Grafindo Persada, cet., ke-7
Jeffrey Jense, The
Pyichology of Globalization, 2002, vol.57
Kirmayer &
Young, A, Culture and Samatization,
1998, 67
Kirmayer, L.J.,
& Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45
Kunit, S.J., Globalization
State and
the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90
Loren Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3
MariaT, Dkk, The
Psychology of Workingand Globalisation; a New Perspektiffor a New Era,
2008
Muhammad
Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat
Dunia (terjemah), Bandung
: al-Mizan, 1993
Murray, C.J.L.
& Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause
1990-2020, 1997, Vol. 349
Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan
Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3
Sartorius, N.,
Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty,
1996, 13; Zhang et Al, 1998)
Soerjono Soekanto, Sosiologi
“Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19
Zhang, W.X.,
Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental
Disordes in 7 Areas of China,
1998, 22
[1]
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, h. 18
[2]
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, h. 19
[3]
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology at the Dawning of a Alobalization Era,
h.12
[4]
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology at the Dawning of a Alobalization Era,
h.12
[5] Albert
Bandura, The ChangingFace of Pyichology
at the Dawning of a Alobalization Era, h.12
[6]
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, h. 19
[7]
Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta
: Reneka Cipta, 1992, h.4
[8] Alex
Sobur, Psikologi Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 2003, h. 20
[9] Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku
Politik, Rahardjo, Bandung
:Al-Mizan, 1996, h. 261
[10] Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr
terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993, h. 27-28
[11] DjamaludinAncok
danFuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 1994., h. 65
[12]
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet., ke-3, h. 122
[13] [13] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 1994, h. 66; Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan
Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3.,
h. 107-117
[14] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,
1994., h. 67; Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang,
2002, Cet., ke-3., h. h.151-155
[15] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,
1994., h.69; Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang,
2002, Cet., ke-3., h. 174-178; Loren, 295-296
[16]
EnthinHervina, tempo; Lebih lanjut
lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, h.4-16
[22] Kunit, S.J., Globalization
State and
the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90, h. 65
[23]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.10
[24]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.10
[25] Bauman Z, Globbalization;
The Human Consequences, 1998, vol. 421., h. 9
[26] Publik adalah orang banyak atau umum, dan orang yang datang
mengunjungi atau menonton dan merasa puas dengan pertunjukan itu.[26]
Publik pada umumnyalebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan.
Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti
misalnya pcmbicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film dan lain
sebagainya. Alat-alat pcnghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik
mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih bcsar. Akan tetapi karena
jumlahnya yang sangat bcsar, maka tak ada pusat perhatian yang tajam dan karena
itu kesatuan juga tak ada. Sctiap aksi publik diprakarsai oleh keinginan
individual (misalnya pcmungutan suara dalam pemilihan umum), dan temyata
individu-individu dalam suatu publik masih mempunyai kesadaran akan kedudukan
sosial yang scsungguhnya dan juga masih lebih mementingkan
kepentingan-kepcntingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan.
Dengan demikian, tingkah-laku pribadi kelakuan publik didasarkan pada
tingkah-laku atau perilaku individu. Untuk memudahkan mengumpulkan publik
tersebut, digunakan cara-cara dcngan menggandengkan nilai-nilai sosial atau
tradisi masyarakat bcrsangkutan, atau dengan menyiarkan
pemberitaan-pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya.
Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja
Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19, h.161-162
[27]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.11
[28]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.11
[29] Kirmayer, L.J., &
Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45., h.17
[30]
Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental
disorders, h.12
[31] MariaT, Dkk, The Psychology of Workingand
Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008, 8 ; 5-18,
h.15
[32]
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, h. 30
[33]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.11
[34]
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, h. 30
[35]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h. 12
[36] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World
Mental Health, 1995, h. 33
[37] Murray, C.J.L. &
Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020,
1997, Vol. 349, h.19
[38]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h.14
[39]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h. 14
[40] Somatisasi
menurut Kamus Psikologi adalah mempertalikan semua penyakit mental dengan
organic; J.P.Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta
: PT Grafindo Persada, cet., ke-7, h.
474
[41] Kirmayer & Young, A, Culture and Samatization, 1998, 67
[42] Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression
Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
[43] Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological
Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22
[44]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h 14
[45]
Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders,
h. 15
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun