16 Dec 2013

KAJIAN TAFSIR QUR'AN

KAJIAN TAFSIR AL-MISBAH
KARYA MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
(Studi Surat al-Alaq Ayat 1 – 5)

A.  Sejarah Hidup Qurais Syihab dan Tafsir Al-Misbah
            1.  Sejarah Hidup Qurais Syihab
Penulis Tafsir al-Mishbah bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Quraish Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga mengenyam pendidikan. Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di di Ujung Pandang, selanjutnya, Quraish Shihab belajar di pendidikan menengahnya di Malang. Tidak hanya itu, dia juga ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc. (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Alquran dengan tesis berjudul      al-I'jaz al-Tasyri'iy li al-Qur’an al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Alquran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.
            Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran dan tafsir  di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Alquran dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Alquran dan tafsir lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Ketertarikannya terhadap tafsir Alquran sangat beralasan. Semenjak kecil ia didik dengan Alquran, karena Ayahnya adalah pakar Alquran dan tafsir. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Alquran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Alquran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Alquran mulai tumbuh.
            Sebagai ulama yang produktif, Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai berikut:
  1. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
  2. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
  3. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
  4. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
  5. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
  6. Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
  7. Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
  8. Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999);
  9. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
  10. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
  11. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
  12. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama);
  13. Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994);
  14. Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994);
  15. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
  16. Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996);
  17. Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
  18. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
  19. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
  20. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
  21. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
  22. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
  23. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
  24. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
  25. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  26. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  27. Wawasana al-Qur'an; Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
  28. Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  29. Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati);
  30. 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
  31. Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
  32. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. (Jakarta: Lentera Hati);
  33. M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
  34. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
  35. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  36. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  37. Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
  38. Al-Qur'an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati);
  39. Membumikan al-Qur'an Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati).

Dengan tidak bermaksud menempatkan Quraish Shihab sebagai ulama yang suci, melihat dari kapabelitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, tidak diragukan lagi keahliannya dalam menafsirkan Alquran.

2.  Tafsir Al-Misbah
a. Metode Penafsiran
Menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.  Tafsir Al-Mishbah secara khusus, agaknya dapat dikategorikan dalam metode tafsir tahlili.
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan mushaf Alquran, dan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi kebahasaan, sebab turun, hadis atau komentar sahabat yang berkaitan, korerasi ayat dan surat, dan lain sebagainya.
Quraish Shihab, adalah pemikir kontemporer, yang masih hidup dan eksis, yang mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam tim penerjemah Alquran Departemen Agama, selain memiliki Alquran terjemahan pribadi. Dia juga menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Nama tafsir Quraish Shihab itu adalah Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Tafsir ini terdiri dari lima belas volume, dan menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz Alquran.
Tafsir Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah yang berarti penerang, lampu, lentera, atau sumber cahaya, penulis tafsir, Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini, masyarakat Indonesia akan tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap Alquran dan Islam.
Tafsir Al-Mishbah telah dicetak berulang kali, di antaranya dicetak oleh Penerbit Lentera Hati di Ciputat pada tahun 2009, dengan edisi lux dan dengan tampilan yang membuat pembaca tertarik untuk membacanya.
 Secara khusus, biasanya ketika Quraish Shihab menafsirkan Alquran, menjelaskan terlebih dahulu tentang surat yang hendak ditafsirkan: dari mulai makna surat, tempat turun surat, jumlah ayat dalam surat, sebab turun surat, keutamaan surat, sampai kandungan surat secara umum. Kemudian Quraish Shihab menuliskan ayat secara berurut dan tematis, artinya, menggabungkan beberapa ayat yang dianggap berbicara suatu tema tertentu. Selanjutnya, Quraish Shihab menerjemahkan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau surat, analisis kebahasaan, riyawat-riwayat yang bersangkutan, dan pendapat-pendapat ulama telah terdahulu.
       Dalam hal pengutipan pendapat ulama lain, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama yang bersangkutan. Di anara ulama yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab adalah Muhammad Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir; Muhammad Husain ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an; al-Biqa’i; asy-Sya`rawi; al-Alusi; al-Ghazali; dll. Walau dalam menafsirkan Alquran, Quraish Shihab sedikit banyaknya mengutip pendapat orang lain, namun sering kali dia mencantumkan pendapatnya, dan dikontektualisasi pada keadaan Indonesia.

b. Corak Penafsiran
          Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut. Menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawi menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili ada beberapa corak penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Dari pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan Alquran, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lain sebagainya.
Dalam Tafsir al-Misbah, hal ini sangat jelas terlihat. Sebagai contoh, ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هَوْنًا dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan:
“Kata (هَوْنًا) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indefinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemahlembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً) yamsyuna `ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi Saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
Kini, pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هَوْنًا) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.”
            Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.

c. Contoh Tafsiran
          Untuk menjelaskan contoh tafsiran Quraish Shihab, penulis mengambil salah satu ayat, yakni surat al-An`am ayat 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ.
            “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih terus-menerus ragu-ragu.
            Dalam hal ini, penulis terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang terkuat tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya Alquran menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Ajal yang pertama adalah kematian, yang paling tidak dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
            Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish bahwa pembentukan diri manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bisa jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis dalam lauh al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki hubungan dan pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling memengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui sehingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada batas100 atau 120 tahun itu.
            Quraish kembali menjelaskan, hal inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus Sunnah dinamai dengan qadha’ muallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah sama sekali.      

3. Komentar Ulama
            Jika dilihat berbagai situs, akan didapati banyak sekali pujian buat Tafsir al-Mishbah ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, satu kesepakatan, bahwa satu-satunya buku tafsir Indonesia yang paling banyak diminati adalah Tafsir al-Mishbah: dari mulai kalangan menengah sampai kalangan terdidik.
            Dari sini, wajar ketika pemerhati karya tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan setiap Muslim di Indonesia sekarang.
KH. Abdullah Gymnastiar – Aa Gym menjelaskan, “Setiap kata yang lahir dari rasa cinta, pengetahuan yang luas dan dalam, serta lahir dari   sesuatu yang telah menjadi bagian dirinya niscaya akan memiliki kekuatan daya sentuh, daya hunjam dan daya dorong bagi orang-orang yang menyimaknya. Demikianlah yang saya rasakan ketika membaca tulisan dari guru yang kami cintai, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.” Hj. Khofifah Indar Parawansa, “Sistematika tafsir ini sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi Islam khususnya tetapi juga sangat penting dibaca oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri, kyai, bahkan sampai kaum muallaf.”
Ir. Shahnaz Haque, “Membaca buku-buku M. Quraish Shihab, kita sangat beruntung karena pakar ini berani dan mampu membuka kerang dan menunjukkan mutiara-mutiara yang ada di dalamnya, hal yang memang dicari oleh umat yang sedang dahaga akan bantuan serta keindahan.” Chrismansyah Rahadi – Chrisye, “Kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kemampuan pemikiran kita, tentunya dengan dasar-dasar Al-Quran dan Hadits, dan berpijak pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Penulisannya sangat komunikatif dan dapat dibayangkan visualisasinya.” Ala kulli hal, tafsir ini sangat bermanfaat dan penting untuk dibaca dan dikaji.




4. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang sangat penting di Indonesia, yang tentunya memiliki banyak kelebihan. Di antaranya:
a)      Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
b)      Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna, serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
c)      Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
d)      Quraish Shihab juga menyebutkan riwayat dan orang yang meriwayatkannya. Dan masih banyak keistimewaan yang lain.
e)      Dalam menafsirkan ayat, Quraish tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan antar surat.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Tafsir al-Mishbah, tafsir ini juga memiliki berbagai kelemahan, diantaranya;
a)      Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.
b)      Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab, takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu sendiri.
            Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
            Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia, al-Azhar University, lahir di Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
            Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlili, sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
            Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau pun ada kekurangannya tidak dapat menghilangkan kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang ulama kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan studi Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah

5.  Konsep Dasar Pendidikan Agama Islam Menurut Quraish Shihab
            Pendidikan Agama Islam adalah upaya transformasi ilmu, nilai, keterampilan, kultur, adab kebiasaan yang berlandaskan Al-Qur’an dari pendidik kepada terdidik untuk membawanya ke tingkat kesempurnaan (insan kamil). Pada usaha pentransferan itu sendirilah letaknya hakikat pendidikan.
Al-Qur’an meletakkan manusia  sebagai makhluk mulia dan memiliki keistimewaan dari makhluk lain. Kedudukan yang mulia itu dapat dilihat pada berbagai ayat Al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah penegasan sebagai khalifah Allah di bumi dalam surat Al-Baqarah (2) : 30

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾

Artinya :Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal sudah semestinya manusia memiliki potensi-potensi yang menopang untuk terujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani adalah meliputi organ jasmaniah manusia yang berujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah terdiri dari fitrah, ruh, kemauan bebas dan akal.
            Sedangkan As-Syaibani menyatakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan ruh. Ketiganya persis seperti segi tiga yang sama panjang sisinya. Selain dari Al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni qolbu, fuad, nafs.
            Pendidikan Agama Islam menurut Quraish Shihab merupakan pendidikan akal dan jiwa dimana akal menghasilkan ilmu dan pembinaan jiwanya yang merupakan kesucian dan etika. Pendidikan Agama Islam terutama bagi penganut agama itu sendiri merupakan hal terpenting dalam membangun karakter dan sumber daya manusia yang handal menuju insan Qurani.
            Hal ini yang sering kita temukan dalam ceramah Quraish Shihab, di samping itu beliau juga sering mengutarakan bahwa Pendidikan agama sangat berpengaruh terhadap kualitas pembangunan nasional yang membawa keadilan bagi masyarakat.
            Lebih lanjut Quraish Shihab berpendapat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia. Keberhasilan pembangunan nasional di segala bidang ini sangat ditentukan oleh manusianya yaitu manusia yang bertaqwa, berkpribadian, jujur, ikhlas, berdedikasi tinggi serta mempunyai kesadaran, bertanggung jawab terhadap masa depan.
            Konsep pendidikan menurut Quraish Shihab berdasarkan perpektif Al-Qur’an tidak sama dengan konsep pendidikan di timur dan di barat. Konsep yang digunakan oleh Al-Qur’an lebih komprehensif dan universal di mana ajaran-ajarannya tidak deskriminatif, akan tetapi lebih kepada penyesuain zaman dan waktu dan tempat dimana masyarakat berada dengan tidak mengenyampingkan esensial dari ajaran Al-Qur’an itu sendiri.
            Al-Qur’an juga menggunakan metode pembiasaan dalam menanamkan ajarannya kepada umat manusia, di mana dengan pembiasaan tersebut yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya, pembiasaan tersebut menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan etika. Sedangkan hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan ditemui pembiasaan tersebut secara mernyeluruh.
Sejak awal kemunculan Islam telah menunjukkan betapa ajaran Islam itu membawa kepada peradaban. Hakikatnya dapat dilihat dari kesatuan yang utuh antara hubungan manusia dengan Khaliqnya (Allah), sesama manusia dan alam. Keseimbangan terhadap ketiga hubungan tersebut berimplikasi kepada terwujudnya masyarakat madani.
            Inti dari masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah terletak pada keseimbangan hubungan manusia dengan ketiga aspek tersebut. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Allah melahirkan kesadaran religius yang tinggi serta menginsapi secara mendalam tentang hakikat hidup serta tujuan akhir dari hidup manusia yang semua akan berdampak terhadap prilakunya di permukaan bumi ini.
            Hubungan manusia dengan sesama manusia akan meletakkan manusia pada posisi yang sebenarnya dan melahirkan sikap egalitarian, demokratis, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
            Hubungannya dengan alam semesta menempatkannya sebagai khalifah Allah di bumi, di mana seluruh alam raya ini diamanahkan kepada dirinya untuk diolah, diambil manfaatnya, dipelihara, dan dilestasrikan dengan tujuan untuk kemaslahatan dan kemakmuran umat manusia. Untuk memerankan fungsi manusia sebagai khalifah, maka diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Berkenaan dengan itu maka peran pendidikan sangat dominan untuk meujudkan masyarakat madani, sebab masyarakat madani tersebut sarat dengan nilai-nilai baik dan nilai transcendental, etis maupun rasional. Semua nilai itu ditransferkan dari pendidik kepada terdidik. Pembentukan masyarakat madani akan terancam apabila terdapat dua hal yaitu : pertama, mandeknya pendidikan dan kedua, materi pendidikan yang ditransferkan tidak sesuai dengan hakikat Pendidikan Agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.
            Sumber Daya manusia semakin santer di perbincangkan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi suatu bangsa di mana semakin dibutuhkantenaga-tenaga yang berkualitas baik pada tingkat konsepsional maupun operasional.
            Manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan menempati posisi sentral dalam pembangunan. Manusia sebagai subjek pembangunan dituntut untuk memiliki kualitas prima dalam segala hal baik kondisi fisik maupun non fisik. Untuk tercapainya manusia yang berkualitas prima tersebut, maka perlu dirancang upaya-upaya ke arah dimaksud.
            Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengantisipasi persoalan sumber daya manusia adalah dengan menyiapkan seperangkat peraturan mengenai pendidikan.
            Di pandang dari sudut sosio  kultural bangsa Indonesia yang religius perlu kiranya diperbincangkan peran agama dalam pembangunan sumber daya manusia. Hampir seluruh sektor pembangunan di tanah air kita ini tidak bisa dipisahkan dari agama. Telah banyak upaya pembangunan yang berhasil dilakukan lewat bahasa agama. Berkaitan dengan itu ada baiknya dilihat pula bagaimana konsep agama dalam pembangunan sumber daya manusia.
            Hakikat pembangunan sumber daya manusia adalah bertujuan umtuk meningkatkan kualitas manusia dalam segala hal. Dengan meningkatkan kualitas manusia maka pencepatan pembangunan akan terwujud. Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas memiliki keunggulan dalam pembangunan, walaupun mereka memiliki kekuranga dalam sumber daya alam.



B.  Konsep Pendidikan Dalam Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Syihab di Dalam Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣   الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَ مْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan . Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq : 1-5)

            Pada ayat pertama, kata Iqra terambil dari kata kerja qara’a yang berari menghimpun, membaca, menelaah, mendlami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan  semuanya bermuara pada arti menghimpun.  Huruf ba’ pada kata biismi berfungsi sebagai penyertaan atau mulasabah, sehingga ayat satu tersebut memiliki arti ”bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.  Adapun kata rabb seakar dengan kata tarbiyah (pendidikan).  Kata ini memiliki arti yang mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan, akan tetapi kata Rabb secara berdiri sendiri bermakna Tuhan.  Pengunaan kata rabb pada ayat pertama ini dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk di sembah dan ditaati.  Kata khalaqa dilihat dari segi kebahasaan memiliki banyak arti, antara lain menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu) contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dan sebagainya.  Berbeda dengan kata ja’ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu.  Obyek khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan, sehingga obyeknya pun sebagaimana iqra’ yang bersifat umum dan dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk. (Shihab, 2012: 454-458 Jilid 15)
            Selanjutnya pada ayat kedua kata al-insan (manusia) terambil dari kata ins yang berarti senang dan  harmonis, atau terambil dari kata nisy yang berarti lupa.  Bisa juga terambil dari kata naus yang memiliki arti gerak atau dinamika. Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut.  Yakni manusia memiliki sifat lupa dan kemampuan bergerak melahirkan dinamika.  Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya.  Kata ’alaq menurut bahasa segumpal darah, bisa juga berarti cacing yang terdapat di dalam air, bila diminum oleh binatang amaka cacing itu tersangkut di kerongkongannya.  Kata  ’alaq ada juga yang memahaminya dalam arti sesuatu yang tergantung didinding rahim.  Ini karena pakar embriologi menyatakan bahwa setelah pertemuan sperma dan indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudian delapan.  Demikian seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk ke dinding rahim.  Kata ’alaq dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia semabagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada lainnya. (Shihab, 2012: 458-459 Jilid 15)
            Pada ayat ketiga kata al-ikram biasa diterjemahkan dengan maha (paling) pemurah atau semuli-mulia.  Kata al-ikram terambil dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat sebangsanya.  Kata al-karim (ikram) mensifati Allah dalam al-Qur’an, kesemuannya menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, bahkan demikian juga kata Akram. (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Selanjutnya, pada ayat keempat dan lima kata al-qalam terambil dari kata kerja qalama yang berarti memotong ujung sesuatu,  memotong ujung kuku disebut taqlim, tombak yang dipotong ujungnya sehingga meruncing dinamai maqalim, anak panah yang runcing ujungnya dan bisa digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam, alat untuk menulis juga dinamakan qalam karena pada awalnya alat tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya.  Kata qalam di sini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan.  Ini karena bahasa sering kali menggunakan kata yang berarti ”alat” atau ”penyebab” untuk menunjuk akibat atau hasil dari penyebab  atau penggunaan alat tersebut. (Shihab, 2012: 464-465 Jilid 15)
            Menurut tafsir al-Misbah dari ayat 1-5 dari sutar al-’Alaq memiliki makna :
            Ayat pertama, perintah membaca tidak hanya cukup membaca tetapi harus mendalami, meneliti, menelaah dan menyampaikan kepada orang lain ((Shihab, 2012: 454 Jilid 15).  Perintah membaca (belajar) tidak cukup hanya dengan membaca tetapi harus bekerja keras dan memiliki kesan yang baik (penuh kebaikan) (Shihab, 2012: 455 Jilid 15).  Seluruh pekerjaan yang di mau atau berhenti di lakukan harus karena Allah, bukan karena yang lain.  Sebab aktifitas yang diterima Allah hanya yang dilakukan secara ikhlas, tanpa keikhlasan semua pekerjaan akan berakhir kegagalan dan kepunahan   Hal ini semua dilakukan sebab Allah telah menciptakan manusia dari tiada menjadi ada. (Shihab, 2012: 456 Jilid 15).
            Ayat kedua, Allah memperkenalkan sebagai Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. dan diperintahkan oleh ayat pertama untuk selalu membaca dengan nama-Nya serta demi untuk-Nya.  Dialah Tuhan yang telah menciptakan manusia, yakni semua manusia dari alaq (segumpal darah) atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim, kecuali Aam dan Hawa (Shihab, 2012: 458 Jilid 15).  Dalam memperkenalkan perbuatan-perbuatan-Nya, pencipta merupakan hal pertama yang dipertegas, karena ia merupakan persyaratan bagi terlaksananya perbuatan-perbuatab yang lain.  Pengenalan pekerjaan Tuhan tersebut tidak hanya tertuju pada akal manusia, akan tetapi juga kepada kesadaran batin dan intuisinya bahkan seluruh totalitas manusia karena pengenalan akal semata-mata tidak berarti banyak.  Sementara pengenalan hati diharapkan menghasilkan perbuatanperbuatan baik serta memelihara sifat-sifat terpuji.  (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Manusia yang memiliki keragaman sifat, adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingan manusia, tetapi juga Kitab Suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya.  Salah satu cara al-Qur’an untuk manusia supaya menghayati petunjuk allah adalah memperkenalkan jati dirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.  Ayat kedua surat al-Iqra’ menguraiakan secara singkat hal tersebut.  Dari sisi lain manusia hidup tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada yang lain. (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
            Ayat ketiga, setelah memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasinya yakni dengan nama Allah, ayat ketiga ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca itu.  Allah berfirman ”bacalah” berulang-ulang dan Tuhan pemelihara dan Pendidik-mu Maha Pemurah sehingga akan melimpahkan aneka karuni. (Shihab, 2012: 460 Jilid 15)
            Pengulangan kata ”bacalah” memiliki arti perintah pertama kepada pribadi Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua kepada umatnya.  Atau yang pertama bacalah pada waktu shalat dan yang kedua di luar shalat.  Pengulangan kata ”bacalah” berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa percaya diri pada Nabi Muhammad tentang kemampuan beliau membaca, karena tadinya Nabi Muhammad tidak pernah membaca.  Pengulangan membaca merupakan proses pelatihan supaya lebih sempurna. Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar beliau (Nabi) lebih banyak membaca, menelaah, memperhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulis dalam rangka mempersiapkan terjun ke masyarakat. (Shihab, 2012: 460 Jilid 15)
            Penyifatan Rabb dengan karim menunjukkan bahwa karama (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek) dikaitkan dengan Rububiyyah-Nya yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan. Kata al-ikram adalah satu-satunya ayat di dalam al-Qur’an yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut.  Ini mengandung pengertian bahwa Allah dapat menganugerahkan puncak segala yang terpuji bagi setiap hamba-Nya, terutama dalam kaitannya dengan perintah membaca.(Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Kata ”bacalah” wahai Nabi Muhammad, Tuhanmu akan menganugerahkan sifat kemurahan-Nya, pengetahuan tentang apa yang tidak engkau ketahui.  Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun obyek bacaannya sama, tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam obyek bacaan tersebut.  ”bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberi manfaat kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga, karena Dia (Allah) Akram, memiliki segala macam kesempurnaan.” (Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga, yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala perintah), yaitu membaca demi karena Allah, sedang perintah yang kedua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan kedua bahkan pengulangan bacaan tersebut. (Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
            Dalam ayat ketiga ini, Allah menjanjkan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah, Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.  Apa yang dijanjikan itu terbukti secara jelas.  Kegiatan membaca ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada.  Demikian juga, kegiatan membaca alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacannya itu-itu juga.  Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni adalah sama (tidak berbeda), namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang. (Shihab, 2012: 463 Jilid 15)
            Ayat keempat dan kelima, ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah, ayat ini melanjutkan dengan memberi contoh sebagaian dari kemurahan-Nya itu dengan menyatakan bahwa : Dia yang Maha Pemurah itu mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka  dari apa yang belum diketahuinya. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Pada kedua ayat tersebut terdapat apa yang dinamai ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimah lain.  Pada ayat empat, kata manusia tidak disebut karena telah tersebut pada ayat lima, dan pada ayat lima, kata tanpa pena tidak disebut, sebab sudah diisyaratkan pada ayat empat dengan disebutny pena.  Dengan demikian kedua ayat tersebut berarti ”Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan)(hal-hal yang telah diketahui sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya.  (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan dua cara yang telah ditempuh Allah dalam mengajar manusia.  Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung anpa alat.  Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ’Ilmu Ladunniy. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
            Dari uraian di atas penulis memetik pelajaran atau hikmah surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai berikut : 
1.      Membaca yang merupakan perintah Allah adalah kunci keberhasilan hidup duniawi dan ukhrawi. Selama itu dilakukan demi karena Alah, yakni demi kebaikan dan kesejahteraan makhluk. Bacaan yang dimaksud tidak terbatas hanya pada ayat-ayat Al Qur'an, tetapi segala sesuatu yang dapat dibaca.
2.      Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa kerjasama dengan pihak lain.
3.      Pengulangan perintah membaca yang disertai dengan penyifatan Allah dengan Maha Pemurah mengisyaratkan bahwa kendati obyek bacaan sama, namun kemurahan-Nya mengantar pembaca menemukan rahasia dan wawasan baru yang belum ditemukannya pada pembacaan sebelumnya. Bacalah alam atau al-Quran dengan nama Allah, niscaya Anda akan menemukan rahasia-rahasia baru.
4.      Sumber ilmu pengetahuan apa pun disiplinnya adalah Allah. Dia yang mengajar manusia dan mengilhaminya.
5.      Ada dua cara memperoleh pengetahuan. Pertama, dengan upaya manusia sendiri menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah, dan kedua tanpa usaha manusia, seperti yang diperoleh melalui ilham, intuisi, dan wahyu Ilahi. Yang kedua ini semata-mata karena anugerah Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya.