A. Pendahuluan
Al-Qur’an,[1]
merupakan sumber ajaran islam yang pertama, hal ini telah diakui oleh seluruh
umat muslim. Al-Qur'an berisi[2]
berbagai petunjuk untuk kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi dalam penafsiran[3]
istimbat[4]
hukum[5]
para ulama berbeda pendapat, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yang di
anataranya qira’ah. Dari berbedaan cara
baca al-Qur'an (qira’ah) menjadi salah satu unsur yang menyebabkan perbedaan
hukum islam.
Qira’ah[6] di
dalam al-Qur'an ada beberapa macam, yang didasarkan pada imamnya
masing-masing. Dari keberagaman imam itu
membawa cara baca al-Qur'an yang bebeda.
Menurut para ulama, muncul sejumlah istilah popular yang menisbatkan
pada jumlah qira’ah, misalnya qira’ah sab’ah, qira’ah al-‘asyr dan qira’ah
al-‘arba’ ‘asyrah. Yang paling popular
dan paling mendapatkan perhatian secara luas adalah qira’ah sab’ah. Yaitu qira’ah yang dinisbatkan kepada tujuh
imam terkemuka, yakni Nafi’[7],
Ashim[8], Hamzah[9],
Ibn ‘Amir[10], Ibn
Kasir[11],Abu
‘Amir[12],
dan Kisa’i.[13]
Adapun yang dimaksud qira’ah ‘asyar adalah qira’ah yang dinisbatkan
kepada imam tujuh dan ditambahkan dengan tiga imam, yaitu Abu Ja’far[14],
Ya’qub[15]
dan Khalaf[16]. Sedangkan qira’ah arba’ ‘asyar dengan
penisbatan kepada sepuluh imam qira’ah yang tersebut dan ditambahkan dengan
empat imam qira’ah yang lain, di antaranya, Hasan al-Bashri[17],
Ibn Muhaishin[18], Yahya
al-Yazidi [19]dan
Syanbudi. [20]
Sebagaimana telah sedikit disinggung di
atas bahwa, dari macam-macam qira’ah,[21]
bisa menjadikan lahirnya keberagaman hukum islam. Perbedaan qira’at al-quran yang berkaitan
dengan substasi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz
atau kalimat tersebut, dan adakalanya tidak.
Dengan demikian , perbedaan qira’at al-quran dalam hal ini, adakanya
berpengaruh terhadap istinbath hukum, dan adakalanya tidak. Jadi qira’ah memiliki pengaruh besar dalam
pembentukan hukum islam.[22]
B. Sejarah Ilmu Qira’ah
Pada
masa hidup Nabi Muhammad saw, perhatian umat terhadap kitab al-Qur'an ialah
memperoleh ayat-ayat al-Qur'an itu, dengan mendengarkan, membaca, dan
menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Dari Nabi saw. kepada para sahabat, dari
sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, dan dari seorang imam ahli bacaan
yang satu kepada imam yang lain.[23]
Pada
periode pertama ini, al-Qur'an belum dibukukan, sehingga dasar pembacaan dan
pelajarannya adalah masih secara lisan (tanpa tulisan). Pedomannya adalah Nabi dan para sahabat serta
orang-orang yang hafal al-Qur'an. Hal ini
berlangsung terus sampai pada masa sahabat, masa pemerintahan Khalifah Abu
Bakar dan ‘Umar. Pada mada masa ini
al-Qur'an sudah dibukukan dalam satu mushhaf.
Pembukuan al-Qur'an tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar atas
inisiatif ‘Umar bin Khatab.[24]
Pada
masa pemerintahan Khalifah Usman mushhaf al-Qur'an itu disalin dan dibuat
banyak, serta dikirim ke daerah-daerah islam yang pada waktu itu sudah menyebar
luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al-Qur'an. Hal ini diupayakan oleh Khalifah Usman,
karena pada waktu iti ada perselisihan sesama kaum muslimin di daerah
Azzerbeijan mengenai bacaan al-Qur'an.
Perelisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama
muslim, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat al-Qur'an dari
Nabi saw, karena Nabi saw. mengajarkan sesui dengan dialek mereka
masing-masing. Tetapai karena tidak
memahami maksud tujuan Nabi saw. yang begitu tadi, lalu tiap-tiap suku
(golongan)menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang
lain salah, sehingga mengakibatkan perselisiahan.[25]
Inilah
pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah tumbuhnya ilmu qira’ah. Untuk memadamkan perselisihan itu, Khalifah
Usman mengadakan penyalinan mushhaf al-Qur'an dan mengirimkannya ke berbagai
daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam. Tentunya bacaan al-Qur'an di daerah-daerah
tersebut mengacu pada mushhaf yang dikirim oleh khalifah Usman tadi. Mushhaf-mushhaf yang dikirim oleh Khalifah
Usman seluruhnya sama, karena semuanya berasal dari beliau.[26]
Sesudah
itu anyak bermunculan para Qari’ yang ahli dalam berbagai cara dalam membaca
al-Qur'an. Mereka menjadi panutan di
daerahnya masing-masing dan menjadi pedoman bacaan, dan cara-cara membaca
al-Qur'an. Di samping itu tersiar juga
bacaan yang bermacam-macam. Cara bacaan
yang beranekaragam itu ada yang diterima, karena memenuhi persyaratan, dan ada
juga yang ditolak sebab tidak memenuhi persyaratan. Kemudian, keragaman cara baca (qira’ah)
dikenal oleh umat islam dengan nama qira’ah sab’ah, qira’ah ‘asyarh dan qira’ah
‘arba’ ‘asyarh.[27]
C. Perjalanan Hidup Ath-Thabari dan Nuansa
Intelektualnya
Ath-Thabari
adalah salah seorang intelektual islam yang aktif diberbagai disiplin ilmu,
pemikiran dan tafsirnya mampu mewarnai berbagai karya tafsir para mufasir
setelah beliau. Metode[28]
dan corak[29]
tafsirnya sangat unik dan menarik untuk dikaji dan diteliti oleh para
intelektual islam, baik dari segi riwayat, qira’ah, dan kedudukan i’rab yang
beliau munculkan sebagai salah satu bentuk sumbangan yang sangat berharga bagi
seluruh sarjana islam.
Ath-Thabari,
adalah merupakan salah satu tempat di wilayah ‘Amul tempat kelahiran beliau,
daerah yang masuk pada wilayah propinsi Tabaristan. Nama lengkap beliau adalah Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir bin Yazid ath-Thabari. Seputar
tahun tahun lahirnya beliau, para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan
tahun kelahirannya, di antara tahun kelahirannya beliau yang dimunculkan oleh
para sejarawan yaitu, tahun 224 H / 838 M dan 225 H / 839 M. Beliau berdomisili di Bagdad hingga ajal
menjemputnya, yang bertepatan pada tahun 310 H / 923 M.[30]
Sewaktu
di Bairut beliau membaca al-Qur'an dihadapan al-‘Abbas bin Yazid, dikala di
Mesir pada Yunus bin ‘Abd al-A’la dan lainnya.
Dan beliau juga berguru pada Muhammad bin ‘Abd al-Muluk, Ishaq bin Abi
Isma’il, Isma’il bin Musa al-Fazari, Hannad bin as-Sarri at-Tamimi, Abi Hammam
al-Walid bin Syaja’ as-Sukuni, Abi Kuraib Muhammad bin a’-‘Ala, Hamdani, Abi
Sa’id ‘Abd Allah bin Sa’id al-Asyja’, Ahmad bin Mani’ al-Baghawi, Ya’qub bin
Ibrahim ad-Dauraqi, ‘Ammar bin ‘Ali al-Falas, Muhammad bin Basyar Bundar, Abi
Musa Muhammad bin Musanna, ‘Abd al-A’la bin Washal, Sulaiman bin ‘Abd al-Jabar,
al-Hasan bin Qaj’ah, az-Zubair bin Bakar dan lain sebagainya. Di antaranya dari ‘Iraq, Syam dan Mesir.[31]
Kitabnya
tentang tafsir, yaitu Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur'an merupakan tafsir
paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bil
ma’sur. Ibnu Jarir memaparkan tafsir
dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan
mentarjihkan sebagaian atas lain. Para
ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah disusun sebuah kitab tafsir
yang dapat menyamainya.[32]
Hal
lain yang penting ialah sifat terpuji dalam kehidupannya, di mana sebelum ia
memulai menulis tafsir, ia melakukan shalat istikharah selama tiga tahun untuk
memohon hidayah Allah.[33]
Secara
garis besar, bahwa ath-Thabari adalah seorang intelektual Islam yang aktif di berbagai
disiplin ilmu. Di anatara karya beliaua
adalah :
1.
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an
2.
Tarikh al-Umam wa al-Muluk wa Akhbaruhum
3.
Al-‘Adabul Hamdiyah wa al-Akhlaqun
Nafisah
4.
Tarikh ar-Rijal
5.
Ikhtilaf al-Fuqaha’
6.
Tahdhib al-Asar
7.
Kitab al-Basit fi al-Fiqh
8.
Al-Jami’ fi al-Qira’at
9.
Kitab at-Tabsir fi al-Ushul.[34]
D. Qira’at Serta
Pengaruhnya Terhadap Penafsiran dan
Istinbath Hukum dalam Jami’ al-Bayan
ath-Thabari
1.
Surat al-Baqarah Ayat 222
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ
تَقْرَبُوهُنّ حَتّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهّرْنَ فَأْتُوهُنّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنّ اللّهَ يُحِبّ التّوّابِينَ وَيُحِبّ الْمُتَطَّرِينَ
Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah: ‘’Haid itu adalah suatu kotoran Oleh sebab itu . hendaklah kamu menjahkan
diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.” ( Qs al-Baqara: 222 ).
Ayat tersebut di atas merupakan larangan
bagi seorang suami, dari melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang dalam
keadaan haid. Sehubungan dengan ini,
para ulama telah sepakat tentang haramnya (seorang suami) melakukan hubungan
seksual (bersenggama) dengan istrinya yang sedang menjalani haid. Sama halnya
dengan kesepakatan mereka, tentang bolehnya melakukan istimta’ (bercumbu) bagi seorang suami dengan
isterinya yang sedang mengalami menstruasi (haid).[35]
Adapun batas larangan yang disebutkan
dalam ayat tersebut yaitu, sampai mereka (para isteri yang sedang mengalami
haid) itu, dalam keadaan suci kembali.[36]
Sementara itu, ( dalam qira’at sab’at )
Hamzah, al-kisa’i, dan ‘ashim riwayat syu’bah, membaca kata Yathurna
dengan Yattahharna. Sedangkan Ibn kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn
‘Amr, dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membaca Yathurna.[37]
Berdasarkan qira’at Yathurna
sebagian ulama menafsirkan ayat wa laa taqrabuuhunna hatta yathurna dengan, janganlah kamu bersetubuh dengan
mereka, sampai mereka suci atau berhenti dari ke luarnya darah haid mereka.[38]
Masing-masing Pendapat ini didukung oleh sejumlah
riwayat dan hadis, didalam sejumlah kitab Tafsir. Sebagaimana at-Thabari sebutkan dalam
tafsirnya, “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyar, dari Ibnu Mahdi dan
Mu’mal, dari Sufyan, Ibnu Abi Najikh, dari Mujahid, makana firman Allah Yathurna
adalah hanya sebatas berhentinya darah haid.[39]
Sedangkan qira’at Yattahharna
menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan ayat, wa laa taqrabuuhunna hatta
yattahharna yaitu, janganlah
kamu bersengama dengan mereka, sampai mereka bersuci.[40]
Dan ini merupakan pendapat yang at-Thabari pilih dalam hal persoalan ini.
Berkaitan dengan yang demikian itu, para ulama
berbeda pendapat tentang pengertian at-tahhuru, sebagian ulama menyatakan bahwa yang
dimaksud adalah. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah
wudhu. Sebagian lagi mengatakan, bahwa yang dimaksud at-tahhuru
adalah mencuci atau membersihkan farj (kemaluan) tempat keluarnya darah
haid tersebut.[41]
Sehubungan dengan ini, Imam malik, Imam
syafi’i, al-Awza’i dan al-sawri
berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya, bersetubuh dengan isterinya
yang sedang dalam keadaan haid, sampai ia (isterinya) berhenti dari haid, dan
mandi karena darah haidnya.[42]
Dalam
hal ini, Imam Syafi’i mengemukakan argumentansi sebagai berikut :[43]
a.
Bahwa qira’at mutawatirah (dalam hal ini qira’at sab’at) adalah dapat dijadikan hujjat secara
ijma’. Oleh karena itu, apabila ada dua versi qira’at mutawatirah Yathurna
dan yattahharna dan keduanya dapat digabungkan dari segi
kandungan hukumnya, maka kita wajib menggabungkannya. Qira’at yathurna mengandung
arti, sampai mereka suci atau berhenti
dari darah haid mereka, sementara qira’at Yattahharna mengandung arti,
sampai mereka bersuci dengan air (mandi). Kedua ketentuan hukum dalam kedua
qira’at tersebut, dapat digabungkan, yaitu sampai terpenuhinya kedua ketentuan
hukum tersebut.
b.
Firman Allah faidza tatahharna
fa’tuuhunna dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan
isterinya yang telah menjalani haid, apabila telah memenuhi persyaratan yaitu,
bersuci dengan mandi.
Selanjutnya, al-Qasimi menyatakan sebagai
berikut. Qira’at yattahharna
menunjukkan secara jelas, bahwa batas diharamkannya seorang suami menyetubuhi
isterinya yang sedang haid adalah, sampai ia (isterinya) mandi karena darah
haidnya. Sementara qira’at yathurna
meskipun menunjukkan, bahwa batas keharaman tersebut adalah sampai berhentinya
darah haid, akan tetapi kalau dikaitkan dengan rangkaian selanjutnya dalam ayat
tersebut, yaitu faida tatahharna
yang maknanya, sampai mereka bersuci dengan cara mandi, maka jadilah kedua
ketentuan hukum tersebut (berhenti dari
darah haid dan bersuci dengan cara mandi) menjadi batas keharaman dalam kasus
dimaksud oleh ayat.[44]
Dalam
pada itu, Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan wa laa
taqrabuuhunna hatta yathurna dalam ayat tersebut yaitu, janganlah kamu
bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci, dalam arti telah berhenti dari
darah haid mereka. Dengan demikian , para suami dibolehkan bersetubuh dengan isteri
mereka, setelah darah haid mereka berhenti.[45]
2.
Surat al-Maidah Ayat 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ
عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (6)
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. ”(QS.
Al-Maidah : 6)
Ayat
di atas menjelaskan, bahwa seseorang yang mau melaksanakan shalat jika dalam
keaadaan berhadas, diwajibkan untuk berwudu. Adapun caranya yaitu, di mulai
dengan mencuci muka, kemudian mencuci dua tangan sampai siku, mengusap kepala,
dan membasuh kaki sampai dua mata kaki.
Qira’at
wa arjulakum dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan
ketentuan hukum, bahwa dalam berwudu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara
qira’at versi lainnya wa arjulikum dipahami oleh sebagian ulama
dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudu tidak diwajibkan
mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).[54]
Dalam hal ini ath-Thabari berpendapat,
bahwa apabila seseorang berwudhu dengan tanpa harus membasuh kaki dalam
berwudhu, cukup hanya dengan mengusapnya. Intinya
menurut ath-Thabari membasuh kaki dengan air hanya dihukumi sunah saja tidak
wajib.[55]
c. Surat
al-Maidah Ayat 89
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ
فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ
أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(89)
Artinya :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” (Al-Maidah 89).
Ahli qurra’ berbeda pendapat
tentang bacaan ‘aqqattumul aimaan,[56]
kalau dibaca dengan mentasdid qaf
bermakna kamu meminta sumpah dan menolaknya. Selanjutnya dita’wilkan
dengan “Wahai orang-orang mu’min Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja pada hati kalian.[57]
Adapun bacaan aaqattumul aiman dengan
tanpa tasdid qaf, bermakna kalian memotong (menyalahi) sumpah itu
padahal hati kalian bersungguh-sungguh
dalam bersumpah. Ibnu Jarir dalam hal ini memilih bentuk qiraa’h yang mentakhfif
qaf (aqattumul aiman).[58]
Bacaan dengan mentasdid qaf
merupakan kalimat yang berwazan fa’’ala, adapun bacaan dengan tanpa tasdid
pada qaf akan tetapi dengan memanjangkan ‘ainnya merupakan bentuk
kalimat berwazan faa’ala.
Dari berbedaan qira’ah ini
menyebabkan perbedaan faham dan lahirnya hukum yang beragam. Orang yang membaca dengan mentasdid Qaf
tersebut bermakna kesungguhan atau kesenggajaan, sebagaimana riwayat dari
mujahid bahwa makna ‘aqqattum adalah kesenggajaan.[59]
Selanjutnya ada riwayat dari
al-Hasan, Sya’bi, dan Abi Malik makna ‘aqqattum adalah suatu hal yang
disenggaja atau ditekadkan dan wajib atasnya membayar kifarat. Yang selanjutnya dita’wilkan oleh Ibnu Jarir
yaitu kafaratnya dengan memberikan makan kepada sepuluh fakir miskin.[60]
Kewajiban membayar kifarat (denda)
alternativ yang ditawarkan oleh ayat tersebut berupa memberikan makan kepada
fakir miskin atau dengan menjalankan puasa tiga hari.
E. Penutup
Dari berbagai permasalahan yang
muncul dari sebuah sebab berbedaan qira’ah yang tersebut di atas menunjukkan
keunukan dan yang luar biasa dari ayat-ayat al-Qur’an.
Secara garis besar
permasalahan-permasalah yang muncul dari al-Qur’an justru melahirkan pemikiran
baru yang lebih dinamis dan fleksibel, dan lebih berguna bagi umat manusia
khususnya umat islam dalam kondisi-kondisi tertentu. Sehingga dalam menjalankan syariat hokum
islam lebih mudah untuk dilaksanakan oleh jajaran masyarakat islam, tidak
terikat oleh suatu faham-faham ataupun kemandulan dalam system ajaran.
Perbedaan-perbedaan itu tidak
selayaknya dijadikan salah satu alasan terjadinya perpecah-belahan umat islam,
akan tetapi justru supaya menjadi salah satu bentuk kemudahan umat islam dalam
menjalankan syariat islam.
Setiap faham yang muncul dari sebab
adanya keragaman qira’ah, yang selanjutnya melahirkan embrio hukum tersebut
pada dasarnya dilandasi dengan sumber-sumber yang akurat dan terpercaya. Oleh karena itu sudak selayaknya kita
mengakhiri tragedi terpecah-belahnya umat, dengan cara mengaplikasikan hukum
islam secara praktis dan dinamis serta disesuikan dengan situasi dan kandisi
yang berlangsung pada saat itu.
Selanjutnya, apabila melihat
terhadap perbedaan yang terjadi pada kasus hukum tentang hubungan seks pada
wanita yang berhenti haid. Apakah wanita tersebut harus bersuci dengan cara
mandi, ataukah hanya sebatas berhentinya darah haid.
Kedua hukum tersebut pada satu sisi
bisa akan berguna, pada sisi lain kurang begitu berguna, tergantung dari sudut
apa kita melihat. Contoh kasus misalkan,
ada seorang pria yang libido (hawa seksnya berlebihan), setelah melihat istrinya
sudah berhenti haid akan lebih berguna dalam berhubungan seks tidak harus
menunggu sampai istri bersuci secara total (mandi), sebab apabila seorang pria
yang sudah masuk hawa seksnya tidak akan bisa menahan diri. Pada sisi lain seorang pria yang nafsunya
timbul dan tidak langsung disalurkan bisa menyebabkan efek negativ pada dirinya
dan orang lain.[61]
Sebaliknya, bagi kaum pria yang hawa
seksnya tidak bergejolak, alangkah baiknya jika sang istri bersuci secara tatal
(mandi) sebelum melakukan hubungan seks.
Karena hal itu lebih baik, sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya Allah
lebih menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Kemudian, kasus selanjutnya tentang
hukum membasuh atau mengusap kaki setiap berwudhu. Bila dikaji dari segi ekonomi mungkin lebih
efektif hanya diusap saja tidak harus dibasuh, karena hal itu lebih
menguntungkan sebab tidak pemborosan air.
Akan tetapi jika melihat pada aspek
situasi dan kondisi tertentu, masing-masing faham tersebut akan berfaedah. Contohnya seperti terjadi kemarau panjang dan
kesulitan mencari air untuk kebutuhan sehari-hari, mungkin lebih baik apabila
memilih faham yang hanya mengusap kaki.
Sebaliknya, pada musim penghujan dan gambang mendapatkan air untuk
kebutuhan sehari-hari alangkah lebih baik jika memilih faham yang membasuh
kaki, karena hal itu akan lebih berguna yaitu untuk menjaga kesehatan. Sebab pada musim hujan kaki cenderung kurang
bersih, dan gambang terserang kuman (firus) apabila tidak bersih.
Kemudian, pada kasus yang lain
tentang orang yang melanggar sumpah, apakah berpuasa atau memberikan santunan
terhadap fakir miskin. Jika
melihat dari sisi ekonomi dan sosial di masyarakat, apabila seseorang melanggar
sumpah dan dikenakan kafarat, sebaiknya melihat kondisi masyarakat
sekelilingnya. Bilamana masyarakat
disekitar kita masih banyak yang miskin, alangkah baiknya denda kafarat
tersebut berupa santuan terhadap fakir miskin.
Mungkin hal tersebut akan lebih bermanfaat bagi umat manusia. Akan tetapi, jika lingkungan masyarakat
sekitar dalam taraf ekonomi yang kecukupan, alangkah lebih mulya apabila
kafarat tersebut dibayar dengan berpuasa.
Setelah melihat berbagai keragaman
faham yang disebabkan oleh berbedaan qira’ah yang selanjutnya melahirkan hukum
yang berlainan anatara satu dan lainnya. Ath-Thabari dalam memberikan komentar
dan pilihan pada qira’ah-qira’ah, di dasari beberapa hal yang di antaranya :
1.
Melihat kedudukan kalimat baik dari segi
nahwu dan sharaf, yang selanjutnya dimaknai dengan menggunakan pendekatan
bahasa, berikutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan ta’wil secara
lughawiyyah
2.
Melihat dari segi riwayat-riwayat yang
sangat beragam di dalam tafsirnya, yang selanjutnya mentarjih riwayat-riwayat
tersebut.
Selanjutnya, jika melihat tafsirnya dalam hal fiqh
ath-Thabari tidak terkontaminasi dengan madzhab-madzhab tertentu atau membela
salah satu madzhab tertentu, sebagaimana yang terjadi pada mufasir-mufasir
sesudahnya. Justru ath-Thabari mencetuskan madhzhab fiqh yang mandiri, yang
menggunakan pendekatan bahasa, ta’wil dan riwayah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faraj dan Khalid bin
Muhammad, Taqrib al-Ma’ani fi Sarh
hirz al-amani fi al-Qira’at as-Sab’,
Saudi : Dar az-Zaman, 2003,
cet ke-5
Adh-Dhahabi, Muhammad, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), Jilid 1
Al-Qartubi, Abi Muhammad Makki al-Qaisi
al-Qairawani, Kitab at-Tabshirah
fi al-Qira’at as-Sab’,
(Badnad: Dar as-Shahabah, tth.),
t.cet
Al-Qatan, Manna’,
Mabahis fi Ulum al-Qur’an,
(tt.,: tpn., tth.),
cet. ke-3
Al-Qurtubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad
al-Anshari, al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, (Bairut : Dar al-Fikr,
1998), t.cet.
Al-Zuhaili, Wahbah,
Tafsir al-Munir,
Damaskus : Dar al-Fikr, 1991,
cet ke-1
Ash-Shabuni, Muhammad,
at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1
At-Thabari, Ibnu
Jarir, Jami’ al-Bayan, (Bairut :
Dar al-Fikr, 2001), t.cet.
Az-Zarqani, Muhammad Abdu al-‘Adhim, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet
Djalal, HA Abdul.,
Ulummul Qur’an,
(Surabaya : Dunia Ilmu, 2000),
cet. ke-2
Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya
Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta:
Raja Grafindo, 1995), cet. ke- 1
Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘adzim, Kairo :
Dar al-Hadis, 2002, t.cet.
Ibnu Mujahid, , Kitab as-Sab’at fi al-Qira’at, Mesir:
Dar al-Ma’arif, t.th., t.cet.
Muhammad, al-Hafidz Abi al-Khair bin Muhammad, an-Nasy fi al-Qira’at al-‘Asyar, Mesir : ttp.,
tth., t.cet.
Ar-Razi, Mafatih al-Gaib, (Bairut :
Dar al-Fikr, 1990), t.cet.
Shamsuddin bin Muhammad bin
‘Ali bin Ahmad ad-Dawuri, Thabaqat
al-Mufassirin, (Bairut: Dar
al-Kutub ‘Alamiyyah, tth.), Jilid 2
Thameem Ushama, Methodologies
of the Qur’anic Exegesis (tarjamah) (Jakarta: Radar Jaya, 2000),
cet. ke-1
Zakiyah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta :
CV Haji Masagung, 1990), cet.
ke-6
_______ , Ilmu Jiwa dan Agama, (Jakarta :
Bulan Bintan, 1993), cet. ke-14
[1]Al-Qur’an
menurut bahasa berasal dari kata qara’a, qira’atan, dan qur’anan
yang berarti bacaan, sedangkan al-Qur’an menurut istilah ialah, Kalam
atau Firman Allah yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, (Muhammad
saw.) yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, suatu ibadah apabila
membacanya, diawali dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas. Lihat ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), Cet. ke-1,
hal. 8
[2]
Al-Qur'an berisi 30 juz, 114 surat, 6236 ayat (menurut kufiyyin), menurut
pendapat yang lain dengan perhitungan menunjukkan perintah, larangan, janji,
ancaman, kisah dan berita, perumpamaan (masing-masing 1000 ayat), halal dan
haram 500, du’a 100 dan nasikh mansukh 66.
(Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir,
(Bairut : dar al-Fikr, 1991), jilid
1, hal. 43
[3]
Tafsir menurut bahasa penjelasan atau keterangan (QS. Al-Furqan:33). Sedangkan menurut istilah ilmu untuk
mengetahui kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan
hukum berikut hikmah-hikmahnya. Muhammad ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), Cet. ke-1,
hal. 8
[4]
Intinbat adalah bahasa Arab, yang akar katanya al-nabath, dari nabata, yanbutu,
nabtan, yang artinya air yang pertama kali dikeluarkan atau mengeluarkan air
dari mata air. Sedangkan menurut istilah
yaitu, mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur'an dan
Sunah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal. Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya
Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), hal. 186
[5]
Hukum menurut bahasa adalah memimpin, memerintahkan, menolak, menetapkan atau
mencegahal. Sedangkan menurut istilah
ushul fiqh khitab syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan. Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh, (ttp., tp, tth), hal. 142
[6]
Secara etimologi, qira’ah merupakan bentuk masdar dari qara’a yang berarti
bacaan. Sedangkan menurut terminologis,
terdapat beberapa pengertian yang diutarakan oleh para ulama, di
antaranya: qira’ah adalah salah satu
madhab (aliran) pengucapan al-Qur'an yang dipilih oleh salah satu seorang imam
qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., Jilid ke-1, hal.
413; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 170
[7]
Nafi, dia adalah Ruwaim Nafi’ Ibn Abd ar-Rahman Ibn Abu Nu’aim al-Madini. Dia mengambil qira’ah dari Abu Ja’far
al-Qari’y, dan dari sekitar tujuh puluh tabi’in. meeka mengambil dari Abd Allah Ibn Abbas dari
Abu Hurairah, dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah, wafat 169 HAL. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 461 ; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 182
[8]
‘Ashim, dia adalah Abu Bakar ‘Ashim Ibn
Abu an-Najud Asadi, dia membaca al-Qur'an dihadapan Zirr Ibn Hubaisi di hadapan
‘Abd Allah Ibn Mas’ud di hadapan Rasulullah saw. dia wafat di Kuffah tahun 127 HAL. Muhammad
Abdu al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 458; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 183
[9]
Hamzah, dia adalah Abu ‘Amarah Hamzah Ibn Hubaib az-Zayyat al-Kufi Maula
Ikrimah Ibn Rabi’ at-Tamimiy. Dia
membaca dihadapan Abu Muhammad Sulaiman Ibn Mihran al-A’masy, dihadapan Yahya
Ibn Watsab, di hadapan Zirr Ibn Hubaisy, di hadapan Usman, Ali dan Ibn Mas’ud,
di hadapan Nabi saw., dia wafat tahun156 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim
az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988), t. cet., hal. 460;
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 183
[10]
‘Ibn‘Amir, dia adalah ‘Abdullah al-Yahshubiy, nisbat kepada Yahshub. Ia merupakan pakar dari Humair, ia seorang
tabi’in terkemuka, dia belajar dari Wasilah Ibn al-Asqa’ dan Nu’aim Ibn
Basyar. Dia mengambil qira’ah dari
Mughirah Ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari Usman Ibn Affan dari Rasulallah saw. wafat pada tahun 242 HAL. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 486; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal.182
[11]
Ibn Kasir, dia adalah Muhammad atau Abu Ma’bub, Abdullah Ibn Kasir ad-Dari, dia
Imam Makkah dalam hal qira’ahal. Dari
kalangan sahabat dia bertemu dengan Abd Allah Ibn az-Zubair, Abu Ayyub
al-Anshari dari Anas Ibn Malik. Ia
meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibn Abbas dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulallahal. Dia wafat 120 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim
az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988), t. cet., hal. 487;
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 182
[12]
Abu ‘Amir, dia adalah Abu Amr Zabban bin al-A’la ‘Ammar al-Bashri, ia
meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas dari Ubay
bin Ka’ab dari Rasulallah saw. dia wafat pada tahun 154 HAL. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 459; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 181
[13]
Kisa’i, dia adalah Abu al-Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’iy an-Nahwi, wafat tahun
189 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani,
Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet.,
hal. 462; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 183
[14]Abu
Ja’far, dia adalah Yazid bin alQa’qa’ al-Qari, ia mengambil qira’ah dari
Abd Allah bin Abbas dan Abu Hurairah
dari Ubai bin Ka’ab dari Rasulullah saw., wafat 130 HAL. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 463; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 184
[15]
Ya’qub,dia adlah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami, ia membaca di
hadapan Abu al-Mundzir Salam bin Salam bin Sulaiman at-Thawil, sedang Salam
membaca di hadapan ‘Ashim dan Abu Amr.
Dia wafat pada tahun 205 hal. 183. Muhammad Abdu al-‘Adhim
az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988), t. cet., hal. 463;
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 184
[16]
Khalaf, dia adalah Abu Muammad Khalaf bin Hisyam bin Sa’labah bin Khalaf bin
Salab. Dia membaca dihadapan Sulaim dari
Hamzah, di hadapan Ya’qub bin Khalifah al-A’sya, Abu Zaid bin Aus al-Anshari
kawan al-Mufadhal al-Dhabi dan di hadapan Abban al-‘Athar, yang semuanya dari
‘Ashim. Dia wafat pada tahun 229 HAL.
Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 464; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 184
[17]
Hasan al-Bashri, dia adalah as-Sayyid al-Imam al-Hasan bin Abu al-Hasan Yasar
Abu Sa’id al-Bashri, wafat pada tahun 110 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim
az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988), t. cet., hal. 465;
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 185
[18]
Ibn Muhaisin, dia adalah Muhammad bin Abd ar-Rahman as-Sahmi al-Makki, guru
qira’ah warga Makkak di samping Ibn Kasir, wafat 123 HAL. Muhammad Abdu
al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 465; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 185
[19]
Yahya al-Yazidi, dia adalah Yahya bin al-Mubarak bin al-Mughirah al-Imam Abu
Muhammad al-Adawi al-Bashri yang dikenal dengan sebutan al-Yazidi, wafat tahun
202 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim
az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 465; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 185
[20]
Syanbudi, dia adalah Muhamad bin Ahmad bin Ibrahim bin Yusuf bin al-‘Abbas bin
Maimun Abu al-Faraj as-Syanbudi as-Sathawi al-Bagdadi, wafat 388 HAL. Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet.,
hal. 465 ; Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 185
[21]
Untuk membedakan qira’ah yang benar dan yang menyimpang para ulama membuat
persyaratan sebagai berikut : (a) Kira’ah yang sesuai dengan kaidah bahasa
Arab, (b) Qira’ah yang sesuai dengan mushaf Usmani, (c) Qira’ah yang sahih
sanadnya. Selanjutnya, sebagaian ulama
menyimpulkan qira’ah menjadi enam macam :
(1) Mutawatir, adalah qira’ah yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. (2) Masyhur, yaitu qira’ah sahih
sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa
arab dan rasm Usmani, serta terkenal di kalangan para ahli qira’ah sehingga
tidak dikategorikan qira’ah yang salah (syad). (3) Ahad, qira’ah yang sahih, akan tetapi menyalahi
rasm Usmani, menyalahi kaedah bahasa arab dan tidak terkenal. Qira’ah ini tidak dapat diamalkan
bacaannya.(4)Syad, qira’ah yang tidak sahih, contoh malaka yauma ad-din. (5)
Maudhu, qira’ah yang tidak ada asalnya. (6)Mudraj, bacaan yang ditambahkan pada
qira’ah sebagai penafsiran. Manna’
al-Qatan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (tt.,:
tpn., tthal.), cet. ke-3,
hal. 176-179
[22]
Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), hal.201
[23]Abdul
Djalal HA., Ulummul Qur’an, (Surabaya :
Dunia Ilmu, 2000), cet.
ke-2, hal. 330; Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet.,
hal. 412
[24]
Abdul Djalal HA., Ulummul Qur’an, (Surabaya :
Dunia Ilmu, 2000), cet.
ke-2, hal. 331; Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet.,
412
[25]
Abdul Djalal HA., Ulummul Qur’an, (Surabaya :
Dunia Ilmu, 2000), cet.
ke-2, hal. 331; Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 412
[26]
Abdul Djalal HA., Ulummul Qur’an, (Surabaya :
Dunia Ilmu, 2000), cet.
ke-2, hal. 331; Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 413
[27]
Abdul Djalal HA., Ulummul Qur’an, (Surabaya :
Dunia Ilmu, 2000), cet.
ke-2, hal. 331; Manahilu
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., hal. 413
[28]
Metode yang digunakan oleh ath-Thabari di dalam menafsirkan al-Qur'an adalah
tergolong metode tahlili. Selanjutnya
bentuknya tafsir ath-Thabari termasuk dalam cirri-ciri tafsir bil ma’sur. Lihat adh-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), Jilid 1,
hal. 149
[29]
Corak yang berada di dalam tafsir ath-Thabari sangat beragam.
[30]
Kalil Muhdi ad-Din al-Misi, Tarjamah Ibn
Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, (Bairut :
Dar al-Fikr, 2001), Jilid 1,
hal. 471
[31]
Shamsuddin bin Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad ad-Dawuri, Thabaqat al-Mufassirin,
(Bairut: Dar al-Kutub ‘Alamiyyah, tthal.),
Jilid 2, hal. 111
[32]
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum
al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 385
[33]
Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis (tarjamah)
(Jakarta: Radar Jaya, 2000), cet. ke-1,
hal. 69
[34]
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi Ulum
al-Qur’an, (tt.,: tpn.,
tthal.), cet. ke-3, hal. 385
[35]
Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), h 201
[36]
Abi Muhammad Makki al-Qaisi al-Qairawani al-Qartubi, Kitab at-Tabshirah fi al-Qira’at
as-Sab’, (Badnad : Dar as-Shahabah, tthal.),
t.cet., hal. 166
[37]
Ibnu Mujahid, Kitab as-Sab’at fi
al-Qira’at, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.thal.),
hal. 183
[38]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 2, hal. 472
[39] At-Thabari, Ibnu
Jarir, Jami’ al-Bayan, (Bairut :
Dar al-Fikr, 2001), Jilid 2,
hal. 474
[40]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 1, hal. 474; Hasanuddin,
AF, Perbedaan Qira’ah dan
Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), h 203
[41]
Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, (Bairut : Dar al-Fikr,
1998), hal. 72
[42]
Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), hal. 203
[43]
Ar-Razi, Mafatih al-Gaib, (Bairut :
Dar al-Fikr, 1990), t.cet.
Jilid 5, hal. 82
[44]
Hasanuddin, AF, Perbedaan Qira’ah
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an, (Jakarta :
Raja Grafindo, 1995), h 203;
Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani,
Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1988), t. cet.,
hal. 146
[45]
Ar-Razi, Mafatih al-Gaib, (Bairut :
Dar al-Fikr, 1990), t.cet.
Jilid 5, hal. 97
[46]
Ibnu Mujahid, Kitab as-Sab’at fi
al-Qira’at, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.thal.),
hal. 247
[47]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 159
[48]
Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, (Bairut : Dar al-Fikr,
1998), Jilid 5, hal. 81; selanjutnya, Lihat Wahbah Zuhaili, Tafsir
al-Munir, Juz 6, hal. 112
[49]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 159
[50]
Wahbah, Zuhaili, Tafsir al-Munir,
Juz 6, hal. 106
[51]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 157-160
[52]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 163-167
[53]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 161
[54]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 161
[55]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 4, hal. 161
[56]
Bacaan dengan Tasdid pada Qaf, menurut qira’ah ‘Ashim, Abu Bakar Hamzah dan
Kisa’i. Adapun qira’ah dengan tanpa
tasdid akan tetapi dengan memanjangkan ‘ainnya menurut Ibnu Dakwan. Lihat Abu Muhammad, Kitab at-Tabsirah fi Qira’ah Sab,ah, hal. 198;
Abu Khair, an-Nasyr fi al-Qira’at
al-‘Asyar, Jilid 2, hal. 255;
Sayyid ashin dan Khalid, Taqrib
al-Ma’ani, hal. 239
[57]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 5, hal. 18
[58]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan, (Bairut
: Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 5, hal. 17-18
[59]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 5, hal. 18; Al-Qurtubi,
al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Bairut :
Dar al-Fikr, 1998), Jilid 3,
hal. 607
[60]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 5, hal. 18-19; Ibnu Kasir,
Jilid 3, hal. 202
[61]
Lihat, Zakiyah Darajat, Kesehatan
Mental, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1990),
cet ke-6, hal. 38; Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa dan Agama, (Jakarta :
Bulan Bintan, 1993), cet. ke-14,
hal. 1001
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun