(Tinjauan Tentang Islam Dan Pluralisme)
A. Pendahuluan
Modernisasi[1]
merupakan suatu perubahan yang biasa disebut masyarakat modern, terlepas apakah
mengandung unsur manfaat atau mudhorat.
Setiap perubahan di masyarakat saat ini selalu membentuk berbagai warna
kehidupan, baik dari aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya.
Dari berbagai modernisasi menurut sebagaian kalangan muslim dianggap
merusak berbagai karakter dan pemikiran generasi penurus (pemuda Islam) yang
selanjutnya mereka namai sebagai aliran atau faham liberalisme[2], pluralisme, [3] dan
sekuler[4] sebagaian
kalangan muslim mengklaim bahwa setiap paham
berbau modernisasi yang berbentuk liberal dan plural difatwakan oleh
mereka sebagai faham sesat dan menyesatkan.
Istilah pluralisme agama yang baru-baru ini muncul dengan penuh janji
akan menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi
berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya
mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama. Dengan pluralisme mereka banyak berharap
bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk
hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan,
status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk. Dari berbagai gagasan janji pluralisme tersebut, di harapan mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai
tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.[5]
Permasalahan-permasalahan
tentang modernisasi yang cukup mendapatkan perhatian cukup besar adalah issue
pluralisme agama, issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah
keanekaragaman kebenaran obsolut antar
agama yang saling berseberangan. Setiap
agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lainnya sesat semuanya. Klaim ini kemudianmelahirkan keyakinan yang
biasa disebut doktrin keselamatan (doctrine
of salvation), bahkan keselamatan atau pencerahan atau surga merupakan hak
para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk gama lainakan celaka dan
masuk neraka, sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar
sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan
dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayanaatau Theravada
pada agama Budha, dan juga antar kelompok Islam yang beragan. Realitas tersebut telah mengantarkan
pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.[6]
Issue pluralisme ini sering diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup
besar, malah faktor utama dalam menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar
agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, perang, dan
pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic dleansing atau genocide). Di satu pihak, teknologi dan komunikasi
modern telah menjadikan jagad ini hamper seperti global village. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan
kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan menakutkan, seperti yang kita
saksikan antara Kristen dan Islam di Bonia-Herzegovina, Filipina Selatan, Sudan
Selatan dan kepulauan Maluku Indonesia. Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah,
Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katholik di Irlandia dan sebagainya.[7]
Fenomena pluralisme agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus di
hadapi masyarakat modern. Untuk itu
pertama kali dalam sejarahnya manusia menyaksikan dirinya secara global hidup
berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam
satu negara, dalam satu wilayah dalam satu kota dan bahkan satu geng atau agama yang
sama . fenomena demikian bagi masyarakat
yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai
seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri.[8]
Dari berbagai gambaran di atas, dari berbagai keragaman agama dan
keyakinan timbul berbagai gejolak dan prahara di masyarakat, permaslahan
tersebut perlu adanya solusi yang jitu supaya kerukunan dan kehidupan umat
manusia bisa tetap berlanglung secara damai.
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis tidak membahas pluralisme dari
berbagai agama, akan tetapi dibatasi pada fenomena dan pluralisme di dalam
agama Islam. Fenomena perbedaan faham
dalam islam kerap kali kita jumpai pada masyarakat, yang kemudian menimbulkan
perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri.
Penyebab yang timbul dari perbedaan itu di antaranya, Perbedaan di dalam
memahami kandungan Al-Qur’an, hadis Nabi dan perkembangan masyarakat Islam yang
ikut berkecimpung di era globalisasi.
Sehingga dari keragaman memahamii Islam itu mencul berbagai gejolak
negativ di masyarakat, yang kemudian memecah belah persatuan dan kesatuan umat
Islam. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, sebab bias lebih memperparah
keadan umat islam itu sendiri. Misalnya,
timbul berbagai tanggapan negative dari beberapa kalangan muslim seputar
pemikiran islam, diantaranya setiap ada suatu perbedaan faham tidak segan-segan
kelompok muslim satu dengan yang yang lain saling memurtadkan dan mengkafirkan. Hal ini akan sangat mempengarui kehidupan
masyarakat Islam secara luas khususnya manyarakat kalangan bawah yang kurang
mengeyang pendidikan formal. Padahal
umat Islam masih banyak ketinggalan dari berbagai aspek ilmu pengetahuan. Contoh nyata adalah komentar para salafi
terhadap khalafi yang sering kali menimbulkan keresahan di masyarakat karena
dipandang sebagai pemahaman yang liberal,
contoh kasus lain seperti komentar Hartono Ahmad Jaiz[9]
terhadap para pembaharu Islam di Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) tidak sedikit masyarakat terhasut yang
selanjutnya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar umat Islam.
Maka, dalam makalah ini penulis mencoba membahas pluralisme agama yang
ada di dalam Islam dengan harapan penulis bisa lebih memahami dan memaklumi
setiap perbedaan yang timbul di dalam pemahaman dan mengamalan ajaran Islam.
B. Agama Islam dan Pluralisme
Islam merupakan suatu agama yang
diakui kebenaranya oleh sebagaian besar masyarakat dunia khususnya Indonesia. Islam murupakan salah satu agama yang di ada
di dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk di da’wahkan kepada umat
manusia secara lembut dan penuh kasih sayang, tidak di da’wahkan dengan
kekerasan dan peperangan. Tidak seperti
kejadian-kejadian saat ini Islam menurut anggapan sebagaian kelompok muslim
yang memahami agama Islam dengan Statmen amal ma’ruf nahi munkar yang
selanjutnya diterjemahkan secara aplikatif dengan upaya memberantas agama
lainnya dan da’wah dengan kekerasan dan membesar-besarkan permusuhan antar umat
beragama. Bahkan sebagian kelompok muslim initidak hanya menciptakan permusuhan
antar agama akan tetapi dengan kelompok Islam lainnya pun mereka berseteru
dngan berbagai hujatan-hujatan yang sama sekali tidak mencirikan Islam sebagai
agama Rahmatullil’alamin. (memberikan ketenangan seluruh manusia)
Sebagaimana telah disinggung di atas
bahwa, agama Islam merupakan agama Rahmatullil’alamin tentunya harus
bisa menerima perbedaan (ikhtilaf) dari berbagai aspek kehidupan
khususnya kehidupan beragama dan harus selalu berdampingan dengan keyakinan
agama lain dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Hal ini sudah pernah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam membentuk masyarakat Madaninya. Beliau hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain dengan penuh kedamaian dan kasih sayang, sehinnga dalam hal ini
wajar jika dalam buku The 100, a Ranking
of The Most Influential Persons in History[10]
beliau menjadi orang nomor wahid di bandingkan dengan figur pemuka-pemuka tokoh
dunia lainnya.
Dari pemaparan yang sekilas ini
nampak jelas bahwa agama Islam khususnya Nabi Muhammad sebagai penyampai
risalah syariat agama Islam menerima pluralisme dan beliau merupakan penggagas
pluralisme pada masyarakat dan umat Islam yang diilhami dari Al-Qur'an. Adapun perpedaaan yang terjadi seputar
pemahaman figur Nabi Muhammad menurut penulis merupakan suatu keyakinan yang
dilandasi ilmu pengetahuan yang kurang memadai tentang Islam, mereka hanya
lebih mengedepankan fanatik agama dan keyakinan yang berlebihan serta emosi
yang tidak terkontrol.
Adapun issue pluralisme agama Islam
saat ini merupakan suatu pengembangan pemikiran agama searah dengan
perkembangan zaman modern dan globalisasi[11]
yang di dasari dari berbagai sumber yang cukup kompeten dan bisa
dipertanggungjawabkan di hadapan para umat dan kelompok-kelompok muslim yang
kurang bahkan menolak pluralisme agama Islam.
C. Al-Quran Dan Pluralisme
Al-Qur'an[12]
merupakan sumber ajaran dari syariat Islam, hal ini merupakan kesepakatan
seluruh golongan dan kelompok Islam yang ada saat ini. Orang yang membaca dan
memahami Al-Qur'an apabila secara seksama memperhatikandari ayat emi ayat surat demi surat akan menemukan
kandungan pluralisme di dalamnya. Bukti yang kongrit adalah lahirnya berbagai
tafsir yang berfariasi dan beragam warna serta
coraknya, yang selanjutnya
muncul berjilid-jilid kitab tafsir yang hampir kesemuannya memiliki gaya pembahasan yang
berbeda serta melahirkan berbagai bentuk pemikiran yang cukup beragam[13],
akan tetapi kesemuanya tidak saling berbenturan menurut esensinya.
Selanjutnya, dari keragaman tafsir
tersebut bermunculan berbagai metodologi ilmu pengaetahuan yang berkaitan
dengan Al-Qur'an, di antaranya Ilmu tafsir dan kaedah-kaedah lainnya yang terus
berkembang dan plural. Dari berbekal
fondasi metodologi tafsir tersebut tumbuh berkembanglah beribu-ribu karya cipta dalam berbagai
disiplin ilmu, yang kesemuannya itu merupakan bukti pluralisme.
Al-Qur’an tidak sekedar
mengungkapkan isyarat-isyaarat pluralisme secara umum,bahkan Al-Qur'an juga
menanamkan kaedah-kaedah yang bisa memperkuat pluralisme. Kaedah-kaedahini mencapai puncaknya ketika
al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap pluralisme agama untuk bisa hidup berdampingan. Di antara kaedah-kaedah yang menopang
pluralisme tersebut adalah sebagai berikut :[14]
1.
Nash-nash yang menyatakan bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu berpasangan, dan dengan demikian otomatis
menafikanfaham ketunggalanmasyarakat.
Al-Qur'an menegasakan pluralisme
yang dimulai dari suami istri, atau suami dengan beberapa istrinya dalam
kehidupan rumah tangga yang kemudian membentuk masyarakat (mujtama’). Pluralisme
paling tidak dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا
مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٦﴾
“Mahasuci Zat yang menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan dari apa yang tumbuh dari bumi”(QS.Yasin : 36)
وَاللَّهُ خَلَقَكُم
مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجاً ....... ﴿١١﴾
“Allah
menciptakankaliandari tanah kemudian air mani kemudian menjadikan kalian
berpasang-pasangan” (QS.Fathir: 11)
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ
خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٤٩﴾
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Ad-Dariyat
49)
2.
Penetapan prinsip derajat kebaikan yang
menjelaskan adanya perbedaan antar pemilik derajat tersebut, ini berarti
pluralisme. Al-Qur'an menggunakan kata derajat ini untuk membedakan
golongan-golongan yang menghampar dikalangan umat Islam.
وَهُوَ الَّذِي
جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ …….
﴿١٦٥﴾
“Dan Dialah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS.al-An’am 165)
………. وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِّمَّا يَجْمَعُونَ ﴿٣٢﴾
Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan. (QS. Az-Zuhruf 32)
3.
Adanya prinsip berlomba dalam kebajikan (istibaq
Al-khairat). Gambaran Al-Qur'an
mengenai hal ini menyangkut kebebasan indifidu.
Dengan tanpa penyeragaman.
Ayat-ayat yang berkaitan mengenaimasalah tersebut adalah;
…. فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ…..
﴿١٤٨﴾
“….Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan…….”(QS.al-Baqarah 148)
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن
لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
“
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”(QS.al-Maidah
48)
Selain
ayat di atas masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang meneramgkan persoalan di
atas, di antaranya : at-Taubah 100, Fathir 32 dana al-Hadid 21.
4.
Penetapan prinsip pembelaan (at-Tadafu’). Prinsip ini memiliki implikaasi lebih kuat
dibandingkan prinsip berlomba-lomba dalam kebajikan. Dalam prinsip pembelaan terdapat dua ayat
yaitu ;
فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ
اللّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ
لَّفَسَدَتِ الأَرْضُ وَلَـكِنَّ اللّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٢٥١﴾
“Mereka
(tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam
peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud)
pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan
kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”(QS.al-Baqarah 251)
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
﴿٣٩﴾ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا
رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ
لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ
اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ ﴿٤٠﴾
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu”.(QS. al-Haj 39)
“Orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya
Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.((QS. al-Haj 40)
Masing-masing ayat tersebut menggambarkan suatu
masyarakat dengan gairah aktifitasnya serta adanya persaingan antara kebenaran
dan kebatilan. Pluralitas atas kenyataan
tersebut diisyaratkan dalam penyebutan kata-kata shawami’ (tempat-tempat
pertapaan Rahib), masajid (masjid-masjid), shalawat (shalat-shalat) dan bai’
(jual-beli), yang kesemuanyya mengandung arti plural.
5.
Anugerah Allah yang bersifat menyeluruh. Al-Qur'an
menggambarkan tentang orang-orangyang mengalahkan masalah dunia demi mengejar
akhirat. Yaitu orang-orang yang telah
menyerahkan dirinya kepada kekalahan, dan menganggapnya sebagai suatu kenyataan
yang mesti diterima sebagai lemehan manusia.
Padalah Allah menjelaskan bahwa
manusia tidaklah terhalangi dari anugrah-Nya di dunia ini, sebagaimana
perhitungan (hisab) Allah juga tidak
akan di jatuhkan saat ini. Hisab hanya
akan terjadi kelak di akhirat.
6.
Penetapan prinsip kebebasan berkeyakinan
(hurriyat al-I’tiqad). Bisa jadi
penetapan Al-Qur'an terhadap prinsip ini adalah dalil terpenting dalam wacana
pluralisme, yaitu wacana yang dianggap menjadi poros penting dari semua agama
yang ada. Keyakinan ini jelas memuat nilai
pluralisme yang kental di dalamnya. Hal itu bisa ditemukan dalam ayat semisal ;
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ …….
﴿٢٥٦﴾
“Tiada
paksaan dalam beragama,(QS. Al-Baqarah : 256)
atau
ayat kebebasan beri’tiqad tersebut juga ditemukan dalam surat :
قُلْ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي
لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم
بِوَكِيلٍ ﴿١٠٨﴾
“
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al
Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka
sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa
yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri.
Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS. Yunus 108)
مَّنِ اهْتَدَى
فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ
رَسُولاً ﴿١٥﴾
“Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu
untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab
sebelum Kami mengutus seorang rasul”.(QS. al-Isr’ 15)
وَقُلِ الْحَقُّ مِن
رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا
بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقاً
﴿٢٩﴾
“Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek”.(QS. al-Kahfi 29)
Al-Qur'an menjelaskan bahwa da’wah Islam tidak perlu diikuti dengan kekerasan dan
tipuan, tau berharap supaya ajakannya mesti dituruti. Bilamana ternyata ajakannya tersebut ditolak
hanya akan menjadikan ia merasa gagap atau terbebani. Bukankah hidayah itu adalah milik Allah , dan
peranan Rasul hanyalah menyampaikan risalah belaka. Oleh sebab itu tidak perlu berputus asa
dengan penolakan yang diterimanya.
Penjelasan ini bisa dilihat dari Al-Qur'an surat :
لَّيْسَ عَلَيْكَ
هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ
فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ
مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾
“
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah
yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk
kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu
akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan)”. (QS. al-Baqarah 272)
dan
beberapa ayat yang lain, di antaranya : Yunus 99-100, al-Kahfi 6 dan Abasa 5-7.
Penegasan Al-Qur'an
terhadap prinsip-prinsip diatas menunjukkan bahwa Al-Qur'an memahami masyarakat
manusia dengan pemahaman yang benar dan mendasar. Al-Qur'an sangat menhormati watak dasar
manusia yang tidak hanya durhaka selamanya, tetapi juga memilikipotensi
kebaikan. Oleh karena dari beberapa
gambaran tersebut bisa ditarik satu wacana bahwa Al-Qur'an menyetujui
pluralisme .
D. Tauhid dan Pluralisme
Keyakinan beragama di antara umat tentu
didasari beberapa sebab, pada fitrahnya setiap manusia (individu) orang yang
suci, ada faktor-faktor yang menjadikan mereka berbeda keyakinan. Secara
garis besar orang tualah yang menanamkan keyakinan dan prinsip-prinsip
agama kepada anak-anaknya. Hal bisa kita petik dari sabda Nabi Muhammad
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [15]
Pandangan
Islam terhadap agama lain pada dasarnya berangkat dari aqidah (tauhid)
yang tertuang di dalam lafad “la ilaha illallah” (tiada tuhan selain
Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam dan relitas fundamental dalam
agama Islam.
Tauhid
yang tertuang dalam kalimat “la ilaha illallah” mengimplikasikan adanya dua
hakekat yang keduanya saling berbeda dan dikotomis, yaitu hakekad
ketuhanan (uluhiyah) dan hakekad
kehambaan (ubudiyyah). Hakekad ketuhanan
hanya di miliki Allah, sedangkan hakekad kehambaan dimiliki manusia. Tahid inilah yang sebenarnya merupakan pokok
semua agama yang diajarkan oleh semua utusan.[16]
Konsep
ketuhanan dan kehambaan ini telah tertuang di dalam al-Qur’an dengan sangat
jelas dan bahkan berulang-ulang bersama kisah rasul, ayat-ayat tersebut adalah
:[17]
لَقَدْ أَرْسَلْنَا
نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ
إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنِّيَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٥٩﴾
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya
lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku
takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS.al-A’raf
59).
Dari
ayat-ayat tersebut di atas menggambarkan tentang kesatuan ketuhanan bagiAllah
swt dankesatuan kehambaan bagiselainnya.
Maka implikasinya, semua manusia sebagai makhluk insani berasal
dari asal yang tunggal entitas yang
satu. Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi
Muhammad dalam sabdanya :
“Ingatlah,
bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kaliansatu, ingatlah tidakada kelebihan
bagibangsa Arapatas bangsa lainnya, tidak ada kelebihan bagi bangsa lainnya
atas bangsa Arab, tidak ada kelebihan bagi kulit putih atas kulit hitam, dan
tidak ada kelebihan bagi kulit hitamatas kulit putih, kecuali dengan
ketaqwaannya”[18]
Oleh
sebab itu manusia seluruh manusia itu sama di depanAllh, karena manusia pada
hakekatnya diciptakan oleh Allah hanya untuk mengimplementasikan kehendak, dan
hukum-hukum-Nya di muka bumi, yakni berperansebagai khalifah, tugasnya tidak lain agar mewujudkan kedamaian
dan penghambaan serta penyembahan mutlak kepada Allah. Satu-satunya orang bisa mencapai nilai
keunggulan komparatif di antara satu dengan yang lainnya hanyalah taqwa dan
amal saleh, dan bukan dari kedunyaan,seperti nasab, harta benda, jabatan, ras,
suku, kabilah dan lain-lain.[19]
E. Pluralisme Dalam Masyarakat Islam
Masyarakat merupakan suatu kumpulan
indifidu-indifidu manusia yang membentuk satu kelompok atau golongan
tertentu. Satu satu masyarakat kecil
lambat laun akan terus berkembang di seluruh aspek hidupnya baik aspek jumlah
penduduk, tingkat ekonomi, budaya, pemikiran dan lain sebagainya.
Pada perkembangan masyarakat
tentunya akan muncul keragaman hal dan corak hidup seiring tuntutan hidup, hal
ini akan banyak melahirkan berbagai permasalahan-permasalahan dan pendapat yang
cukup beragam. Setiap masyarakat
pastinya memiliki prinsip-prinsip hidup dan keyakinan yang berbeda, keberbedaan
inilah yang selanjutnya keharusan adanya pluralisme. Sebab jika setiap
perbedaan masyarakat tidak bisa saling mentolelir tentunya timbul hal-hal yang
merusak tatanan masyarakat itu sendiri.[20]
Masyarakat Islam adalah bagian dari
masyarakat lainnya (non Islam) di jagad ini, walaupun masyarakat Islam memiliki
berbagai keistimewaan yang dimiliki, setiap ada hal yang menimpa pada masyarakat
manusia tentu akan pula menimpa masyarakat Islam sesuai dengan kadar
perbedaannya.[21] Ketika sebuah masyarakat membaur dalam jumlah
jutaan manusia dan beribu-ribu sitem serta pemikirannya, niscaya tidak bisa
bersifat obyektik mengetahui sebuah kebenaran, apalagi yang berkaitan dengan
keyakinan agama. Seiring keterbatasan
dan keegoisan yang menguasai diri manusia membuat seseorang tidak mampu lagi
memahami suatu kebenaran secara umum dan semakin jauh dari nilai obyektifitas.
Bagi individu atau intitusi tertentu
sah-sah saja memegang satu bagian dari kebenaran, namun sangat sulit jika
dikatakan mereka mengusai kebenaran.
Secara keseluruhan dalam benak mereka hanya akan muncul anggapan bahwa
yang lain tidak berhak memiliki kebenaran, oleh sebab itu kebenaran menjadi
haknya. Hal ini merupakan suatu
pelecehan terhadap masyakat lainnya dan jelas-jelas bertentangan dengan tabiat
alami masyarakat. Akhirnya, kejadian itu
melahirkan sikap semena-mena terhadap orang lain.[22]
Pluralisme secara alami menampung
segala bentuk perbedaan-perbedaan sambil menerimanya. Kenyataan ini harus diyakini sebagai bagian
tak terpisahkan dari masyarakat, dan mustahil menghindarinya. Masalah ini nampak sebagai sesuatu yang baru
bagi orang yang lingkungan dan peradapannya masih primitive, hal ini tentu
dirasakan oleh para muslim yang jumud dan lebih mengedepankan fanatik dan azaz
tunggal.
Penerimaan terhadap gagasan
kesepakatan dan perbedaan dalam masyarakat Islam serta memegang teguh etika
pergaulan adalah jaminan tidak tergesernya perbedaan (inti pluralisme, dan
dalam perbedaan masih bisa menerima pendapat orang lain. Adapun kemanuggalan atau tunduk pada pendapat
satu akan mengancam pluralisme dalam Islam.
Walaupun sebagain besar masyarakat Islam masih memegang kebenaran adalah
satu, monopoli kebenaran dan yang lain dianggap sesat untuk selama-lamanya. [23]
Namapaknya, untuk membentuk system
pluralisme dalam agama Islam, semua pihak harus memelihara etika dalam setiap perbedaan keyakinan agama,
dengan menyakini diri sendiri bahwa menerima pendapat dan kebenaran orang lain
itu bukanlah sesuatu yang rendah dan buruk justru suatu akhlaq yang
terpuji. Selanjutnya, untuk memperjelas
penerimaan tentang perbedaan itu, sebagaimana sering mendengar istilah ikhtilaf
(berselisih), alangkah indahnya jika dimaknai sebagai rahmad. Sebab perbedaan itu sesuatu yang lazim dan
biasa berlaku di bumi yang dihuni jutaan manusia ini dari berbagai suku, ras,
dan masyarakat yang multi universal.[24]
Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan
adanya perbedaan suku dan ras[25]. Al-Qur’an memandang perbedaan warna sebagai
keindahan yang terdapat dalam alam semesta ini,
Allah menciptakan manusia bersuku supaya mereka saling mengenal bukan
untuk saling bermusuhan. Al-Qur’an juga
melihat kebenaran yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang tidak harus
dihindari, dan kesamaan adalah suatu yang jauh dari kenyataan. Usaha untuk memaksakan suatu keyakinan kepada
orang lain adalah mendorong permusuhan dan fanatisme yang akan menjadi racun
dalam masyarakat.[26]
Al-Qur’an menyuruh kepada
penganutnya supaya menyerahkan urusan perbedaan kepada Allah untuk menilainya
besuk di hari Qiyamat. Inilah solusi
terbaik yang ditawarkan, untuk bisa menjaga perbedaan dalam koridornya yang
lurus dan tidak terjerumus ke dalam medan perpecahan, permusuhan, kebencian dan
pertikaian, tak diragukan lagi supaya setiap orang menyerahkan urusannya kepada
Allah biar Allah yang menentukan siapa yang paling benar di antara manusia.
Selanjutnya, di bawah ini ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengambarkan perbedaan adalah sesuatu hal yang tidak harus
dibesar-besarkan akan tetapi harus diserahkan kepada Allah :[27]
. “…..
Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang
hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya"(Ai Imran 55)
“….
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
it”(al-Maidah), 048
F.
Penutup
Pada prinsip-prinsip kebenaran
beragama haruslah didasari dengan nilai-nilai obyektif, sehingga manusia bisa
hidup berdampingan satu dengan yang lain dengan penuh kedamaian. Nilai-nilai subtektifitas pada satu indifidu
(masyarakat) akan menimbulkan banyak gejala virus perpecahan antar umat manusia
di bumi ini.
Islam memandang kebenaran
sebagaimana dalam pembahasan di atas tidaklah dangkal, akan tetapi sangat
menghargai berbagai perbedaan di dunia ini.
Konsep Islam dimasyarakat yang tidak memandang perbedaan sebagai rahmat
dan suatu hal yang wajar, merupakan satu konsep yang bertentangan dengan
konsep-konsep agama Islam yang benar menurutaturanal-Qur’an dan al-Hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawy, Yusuf, at-Tatharafual-Ilmanifi
Muwajahatial-Islam (terjemah), Jakarta
:Pustaka al-Kausar, 2000, cet., ke-1
Al-Bana, Gama,
at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta: MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1
Abdullah Nashih
‘Ulwan, Aktiftas Islam menghadapi
Tantangan Global, Solo : Al-Alaq, 2003, cet., ke-1
As-Shabuni, Muhammad, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1
Al-Syaibani, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin
Halal, Al-Musnad li Imam Ahmad bin
Hanbal, (Bairut: Dar al-Fikr,
1994), Cet. ke-2l, Jilid 5, h. 411
Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme
Vis Avis Oksidentalism
(terjemah), Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1
Adh-Dhahabi, Tafsir
wa al-Mufasirun, Kairo : Maktabah Wahbah, 2000, cet.,k-7
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet. ke-3, h.307;
Departemen Dendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007 Edisi III,
cet., ke-7
Saekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta
:PTRaja Grafindo Persada, 1994, Edisi
IV, cet., ke-9
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Pres, 1996,
t.cet.
Legenhausen, Muhammad, Islam
and Religious Pluralism (terjemah), (Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet.,
ke-1
Thoha, Anis Malik, Tren
Pluralisme Agama, (Jakarta
: Gema Insani, 2005), cet., ke-1
Jaiz, Hartono Ahmad,
Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002), cet.,
ke-3
Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan
kembali Eksistensi Madrasah, “Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003),
cet., ke-2
Al-Kharasyi, Sulaiman bin
Saleh, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, (terjemah), Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah : 2005
H.Hart, Michael, The 100, A Ranking
of The Most Influential Persons in Histor,(terjemah) Jakarta : Pustaka Jaya, 1997, cet., ke-18
Wensinck,, A.J., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi
al-Hadis an-Nabawi, (Leyden :
Brill, 1985), t.cet., Jilid 6
Yakin, Fathi, Islam Era Global, Yogyakarta
: Ababil, 1996, cet., ke-1
[1]
Modern adalah berarti keadaan atau hal, sedangkan modernisasi merupaskan proses
pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup
sesuai dengan tuntutan masa kini.
Modernisme juga berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali
doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern pada filsafat
, sejarah, dan ilmu pengetahuan yang lain.
Lihat; Departemen pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
2007) Edisi III, cet., ke-7, h.751;
Lebih lanjut lihat, Soerjono Saekanto,
Sosiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta :PTRaja Grafindo Persada, 1994), Edisi IV, cet., ke-9, h.380
[2]
Liberal, yang berarti bersifat bebas berpikir
luas dan terbuka, adapun liberalisme adalah aliran yang menghendaki
demokrasi dan kebebasan. Lihat; Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka, 2007) Edisi III, cet., ke-7, h.668-669. Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),
cet. ke-3, h.307; Lihat;
Peter Salim, The
Contemporary English-Indonesia
Dictionary,
(Jakarta: Modern English
Pres, 1996), t.cet.,
h. 1070
[3]
Plural berarti jamak lebih dari satu, pluralis berarti kategori jumlah yang
menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang memiliki
dualis. Pluralisme adalah
suatu keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan system sosial dan
politik) atau keadaan budaya dari berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di
suatu masyaraka, atau suatu di mana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil
dapat mempertahankan identitas mereka di di dalam masyarakat tanpa harus
menentang kebudayaan yang dominan. Selanjutnya, teori pluralisme diartikan
dengan keyakinan-keyakinan seperti : 1) Realitas fundamental bersifat jamak, 2)
Ada banyak
tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir,
dan pada dirinya independen. 3)Alam semesta pada dasarnyavtidak ditentukan
dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan dan kontinuitas harmonis yang mendasar,
tidak ada tatanan kohean dan rasional fundamental. Pluralisme juga menyatakan pandangan bahwa
realitas tidak tersusun satu substansi yang unik atau salah satu dari jenis
substansi. Pluralis juga menandakan
pandangan bahwa realitas dapat dipecahkan ke dalam sejumlah lingkungan yang
berbeda yang sama sekali tidak dapat direduksikan kepada suatu kesatuan.; Lihat, Departemen pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) Edisi III,
cet., ke-7, h.882; Lihat; Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, (Jakarta:
Modern English Pres, 1996), t.cet.,
h. 1436; Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.853-385;
Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism,
h.43-45
[4] Sekuler dalam bahasa Arab disebut ‘Ilmaniah,
sedangkanpenurut bahasa Inggris dan Perancis secularit ata seculaiqui, yang
menurut istilah Perancis adalah suatu istilah yang tidak ada kaitannya dengan
kata ilmu. Sekuler menurut istilah-istilah, sekuler bersifat keduniaan atau
meterialisme, bukan keagamaan atau keruhanian.
Sekuler juga diartikanpendapat yang mengatakan bahwa agama tidak layak
menjadi fondasiakhlaq dan pendidikan, sekuler merupakanundang-undang akhlaq
yang berlandaskan pemikiran yang mewajibkan ditegakkannya nilai-nilaiprilaku
dan moral menurut kehidupan modern dan solidaritas sosial tanpa memandangkepada
agama. Intinya bahwa sekuler memisahkan
agama dari kehidupan individu atausosial dalamartianagama tidak boleh
ikutberperandalam pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum. Lebih lanjut
lihat; Yusuf al-Qardhawy, at-Tatharafual-Ilmanifi Muwajahatial-Islam
(terjemah), (Jakarta
:Pustaka al-Kausar, 2000), cet., ke-1, h. 1-5
[5] Lihat Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah
fiqh Mujtama’ Islamy, (Jakarta:
MataAir Publishing, 2006), cet., ke-1, h.8
[6]Anis
MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1,
h.1; Lihat, Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism,
h.47
[7]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.2
[8]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1, h.4
[9]
Lihat; Hartono Ahmad Jaiz, Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta
: Pustaka al-Kausar, 2002), cet.,3.
Lihat juga dalam buku-buku Hartono yang lain, baru-baru ini Hartono
mengatakan dalam salah satu berita diweb site bahwa UIN dan IAIN sedang
mengkader Nabi-Nabi palsu. Komentar
senada penulis rasakan dilingkungan masyarakat penulis.
[11]
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Aktiftas
Islam menghadapi Tantangan Global, (Solo : Al-Alaq, 2003), cet., ke-1,
h. 162
[12]
Al-Qur’an berupakan bentuk masdar dari qara’a. menurut istilah ulama tafsir al-Qur’an adalah
Kalam Allah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan pada penutup para Nabi dan
para Rasul dengan perantara Jibril as. Yang tertulis di dalam mushhaf-mushhaf
serta dinukil sampai kepada kita secara mutawatir, dianggap beribadah bagi
orang yang membacanya, serta diawali surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas. Lihat, Muhammad as-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut:
‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1,
h. 8
[13]
Lihat, Adh-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufasirun, (Kairo : Maktabah
Wahbah, 2000), cet.,k-7, h. 47
[14] Lihat, Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah
fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta
: MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1, h. 9
[15] Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi,
an-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Malik.
Lebih lanjut perinciannya; Wensinck,,
A.J., al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,
(Leyden : Brill, 1985), t.Cet., Jilid 6, h. 215
[16]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1,
h.186
[17]
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, di antaranya : al-Anbiya
25, al-A’raf 65, 73, 85, Thaha 13-14, al-Ikhlas, an-Nisa1 dan masih banyak lagi
yang lain.
[18]
Al-Syaibani, Abu ‘Abdillah bin Muhammad
bin Hanbal bin Halal, Al-Musnad li
Imam Ahmad bin Hanbal,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1994),
Cet. ke-2l, Jilid 5, h. 411
[19]
Anis MAlik Thoha,Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1,
h.189
[20]
Lihat, Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme Vis Avis Oksidentalism (terjemah), Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2008, cet., ke-1, h.83
[21]
FathiYakin, Islam Era Global, (terjemah) (Yogyakarta : Ababil,
1996), cet., ke-1, h. 119
[22]
Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan kembali Eksistensi Madrasah,
“Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003), cet., ke-2, h. 81
[23]
Sulaiman bin Saleh al-Kharasyi, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah,
(terjemah), (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 35
[24]
Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious Pluralism (terjemah),
(Jakarta : PT
Lentera Basritama, 2002, cet., ke-1, 133
[25]
QS. Ar-Rum 22
[26]
Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta: MataAir
Publishing, 2006, cet., ke-1,h. 59
[27]
Ayat-ayat yang Penjelasan hal ini cukup banyak, di antaranya; al-An’am 164,
al-Haj 69, az-Zuhruf 63, al-Baqarah113, Yunus 19, an-Nahl39 dan 124, asy-Syura
10, az-Zumar 3 dan 46 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggambarkan hal
ini.
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun