7 Jul 2012

Psikologi Gobal (Tinjauan Perkembangan Psikologi Modern)

Psikologi Gobal
(Tinjauan Perkembangan Psikologi Modern) 
By : Asrowi, MA.

A.     Pendahuluan
Pada era informasi dan komunikasi global seperti sekarang ini segala hal yang berbau modernisasi mampu menyentuh setiap segi kehidupan, para pakar di bidang psikologi pun serta merta menegaskan klaim yang hampir senada. "Tidak ada orang pada masa kini yang mengaku tidak mengenal psikologi," ujar Rita L. Atkinson dan kawan-kawan dalam buku mereka, Introduction to Psychology.
Beberapa psikolog berpendapat menurut mereka, psikologi telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Hal ini tertuang dari berbagai komentar masyarakat yang mulai memikirkan jawaban dari beberapa pertanyaan, di antaranya :
  1. Apa efek yang ditimbulkan oleh stres jangka panjang pada ?
  2. Mengapa orang mempelajari hal ihwal perilaku manusia ?
  3. Siapa sebenarnya yang membutuhkan pengetahuan psikologi ?
Perhatian dan minat sementara orang untuk mempelajari perilaku atau kodrat manusia hanya digerakkan oleh dorongan rasa ingin tahu. Mereka, boleh jadi, ingin sekadar tahu dan mengerti saja, tak ubahnya seperti orang yang melihat bintang gemintang di langit, sekadar untuk tahu dan mengerti.[1]
Selanjutnya, mereka lebih tertuju pada alasan-alasan yang lebih praktis dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang perilaku, kodrat, tabiat, atau pribadi manusia ari berbagai kelompok, komonitas dan kultur. Mereka yakin bahwa berbagai masalah sosial akan bisa dipecahkan atau diatasi seandainya orang nengetahui persis pangkal penyebabnya secara universal. Dalam pandangan mereka, kesukaran-kesukaran, atau persoalan-persoalan yang dibuat dan dialami oleh manusia dapat segera diatasi. Dengan bekal pengetahuan itu, mereka ingin mengikis, atau setidaknya, mengurangi problema-problema sosial, seperti kegelisahan dan pemogokan karyawan yang kerap terjadi, kejahatan dan tindak kriminalitas, konflik sosial, sampai pada perang sebagai konflik yang dilembagakan.[2]
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain lingkungan masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya. Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir, berkebiasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri.  Ada yang berbuat kebaikan, kejahatan, asusila dan perilaku-peilaku yang lain.
Bagaimana pun, psikologi dapat memberikan pengertian yang lebih baik mengenai sebab-sebab orang berpikir dan bertindak seperti yang mereka lakukan, dan memberikan pandangan untuk menilai sikap dan reaksi, baik yang kita lakukan sendiri atau oring lain.
Singkatnya, psikologi dibutuhkan oleh mereka yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dan bersama orang lain. Psikologi dibutuhkan atau dipelajari oleh mereka yang dalam tugas dan jabatannya akan bekerja bersama orang lain. Dengan demikian, psikologi selalu dibutuhkan oleh pimpinan perusahaan, pengurus organisasi massa, pengurus lembaga sosial, para pejabat pemerintah, para elit politik, komandan pasukan, wartawan, hakim, khatib, guru, dosen, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya.  Juga dibutuhkan oleh setiap orang dalam fungsi dan perannya sebagai rakyat biasa, suami, istri, ayah, ibu, dan anak dan lain sebagainya.
Jadi, dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal manusia. Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu, misinyanya, sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia memahami perasaan orang lain. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual dari orang tersebut. 
Masyarakat hari ini  sedang mengalami sosial drastis, informational, dan perubahan teknologi. Kemajuan revolusioner dalam globalisasi dan teknologi elektronik adalah  menjelmakan alam era baru yang menjangkau seluruh komunitas manusia yang saling mempengarui serta dibarengi emosi. Pengembangan dan kemajuan yang meningkat,  menuntut pada pribadi secara personal  untuk membentuk tujuan global dan hidup masyarakat yang bertarap internasional.[3]
Kompetisi ini dikawatirkan akan tumbuh  berbagai tekanan-tekanan  dari  aspek psikologi.  Sehingga perlu penelitian sejauhmana pengaruh globalisasi terhadap psikologi. Psikologi adalah disiplin yang integratif terbaik serta untuk pemahaman advance adaptasi manusia yang selalu berubah. Disiplin ilmu psikologi dengan uniknya saling mempengaruhi secara kompleks antara  intrapersonal, biologi, hubungan antar pribadi, dan sociostructural  manusia. [4] 
Bidang psikologi berusaha ikutandil pada visi an misi manusia yang lengkap dengan berbagai kesenangandan konflik. Keunggulan manusia di dalamr semua lapisan hidup saat ini berusaha untuk adaptasi dengan sistemdan nilai manusia yang selalu berkembang dan berubah dari  suatu perspektif local hingga lintas dimensi yang global.  Corak manusia era global memungkinkan manusia untuk  pengembangan mereka sendiri secara personal dan pembaharuan akan berdampak negative terhadap mental dan kejiwaan mereka. [5]
Psikologi bila ditinjau dari aspek  global dari ruang lingkup kajiannya, tentu memiliki karelasi yang sangat dekat dengan ilmu-ilmu lain, seperti hubungan psikolagi dan filsafat, psikologi, psikologi dan pendidikan terutama dengan paedagogiek, psikologi dan sosial, psikologidan kedokteran, psikologi dan agama, psikologi dan antropologi, psikologi dan politik, psikologi dan komonikasi, psikologi dan biologi, psikologi dan ilmu alam dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan psikologi.
Adapun dalam kajian makalah ini penulis tidak membahas atau mendiskusikan psikologi dalam ruang lingkup yang umum dan global, akan tetapi ingin mendiskusikan seputar  hubungan psikologi dan globalisasi.  Pengertian globalisasi ini tidak diartikan sebagaimana diatas, akan tetapi globalisasi dalam pengertian modernisasi di era baru.  Yang selanjutnya dalam makalah ini mencoba menelaah implikasi globalisasi terhadap psikologi.

B.  Psikologi dan Ruang Lingkupnya
Apa itu psikologi, pendefinisian istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan memberikan jawabannya di antaranya. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti "ilmu". jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-geiala kejiwaan.[6]
Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an Introduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.[7]
Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. W.A Gerungan adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang tidak sependapat. Menurutnya,[8]
  1. Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang dikenal tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artinya yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi merupakan istilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
  2. Ilmu jiwa kami gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala khayalan dan spekulasi mengobati jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang disepakati para sarjana psikologi pada zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang disebut psikologi itu juga termasuk ilmu jiwa.
Tampaknya, para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah, jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pemah berujar, "My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul" (Pikiran saya tidak mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Jadi, amat sukar untuk mengenai jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah mengobservasi perilakunya, meskipun perilaku bukan merupakan percerminan jiwa secara keseluruhan.. Plato dapat disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini.[9] la mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga orang memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga.
Dalam teorinya tentang "Pengingatan-Kembali", Plato mengapungkan. dua proposisi.[10] Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai pendapat yang berbeda dengannya. la melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa. Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda, walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualistis.
Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat, tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan "Cogito Ergo Sum" (saya berpikir, karena itu saya ada).
            Konsep-konsep difinisi, metodologi dan pendekatan-pendekatan dalam Psikologi yang telah dirumuskan para ahli bukanlah capaian final. Selalu terkandung cacat-cacat dalam setiap rumusan suatu ilmu, tidak terkecuali Psikologi. Secara sederhana saja dapat dikatakan bahwa karena teori-teori atau aliran-aliran Psikologi lahir dari peradaban Barat, maka kerangka pikir (mode of thought) dan rumusan Psikologi itu pun tak terlepas dari mode of thought masyarakat Barat. Karenanya, sangat mungkin ia mengandung bias-bias ketika kita memakaianya untuk menganalisis atau menerapkannya pada budaya atau masyarakat yang berbeda.[11]
Selanjutnya, untuk akhir-akhir ini umat manusia diperkenalkan kajian teori psikologi modern, yang yang bernama  Behaviorisme, Psikoanalisa, Humanistik dan psikologi yang termuda bernama Transpersonal. 
            Behaviorisme[12] (Aliran Perilaku) yang disponsori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), mendasarkan diri pada konsep stimulus respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan pada dasamya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitamya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik. Pandangan semacam ini memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Pandangan ini beranggapan bahwa apa pun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.[13]
Aliran  Psikoanalisa, Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1893), berpandangan manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya adalah komponen yang alami pada manusia sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.[14]
Psikologi Humanistik Aliran yang dipelopori Abraham H. Maslow (1908-1970) dan Carl Ransom Rogers (1902-1987) ini mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif, mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan antar manusia. Akan tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, akan kita temui begitu banyak kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimisti terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[15]
Transpersonal merupakan salah satu aliran psikologi dipelopori oleh Anthony Sutich.  Menurut Marylin Ferguson dalam buku The Aquarian Conspiracy mengatakan bahwa, Transpersonal lahir dan tumbuh berkembang di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960 dan 1970-an.  Gerakan yang menuntut persamaan hak perempuan, kaum homseksual dan lesbian, hal ini melanda daerah Amerika dan Eropa.    Psikologi Transpersonal cukup berbeda dengan psikologi-psikologi yang lain, pola pandangan aliran ini memuat ide-ide yaitu; potensi-potensi luhur (thehighest potentials) fenomena kesadaran  (states of consciousness) manusia, yang meliputi demensi kesatuan mistik, daya-daya batin, meditasi. Intinya aliran ini berusaha menyatukan teori psikologi dan spiritualitas.[16]
            Dari berbagai tinjauan secara definisi dan sekilas beberapa uraian aliran-aliran psikologi yang dikembangkan oleh para psikolog, secara garis besar memiliki berbagai bentuk dan obyek kajian, terfokus pada kajian terhadap manusia.  Baik secara individu, maupun kelompokmasyarakat. 

C.  Persoalan Masyarakat dan Psikologi
Masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang berkumpul dalam satu tatanan, tentunya setiap individu itu memiliki keragaman cara hidup baik dari berpikir, bekerja, keahlian, agama, status soaial dan lain sebagainya.  Kumpulan individu  yang selanjutnya dinamakan masyarakat ini pastinya mengahadapi berbagai permasalahan yang cukup komplek dan mendasar.  Penyebabnya tentu karena perbedaan yang sebagaimana disebut di atas.
Menurut para sosiolog, pada diri masyarakat global dan dalam menghadapi era baru globalisasi pada umumnya memiliki permasalahan-permasalah yang kompleks, akan tetapi masalah masyarakat yang paling  menonjol adalah persoalan sosial.  Adapun masalah-masalah sosial itu di antaranya sebagai berikut :
  1. Kemiskinan
  2. Pendidikan
  3. Kejahatan
  4. Disorganisasi keluarga
  5. Generasi muda dalam masyarakat modern
  6. Peperangan
  7. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
  8. Kependudukan
  9. Lingkugan hidup
  10. Birokrasi
Permasalahan sosial tersebut secara umum dan mendasar akan mempengaruhi psikologi masyarakat dan akan memiliki efek yang cukup signifikan terhadap perkembangan manusia di muka bumi ini.  Dari permasalahan itu pula berbagai perselisihan akan timbul di masyarakat bahkan peperangan antar manusia untuk memperebutkan sebuah keinginan dalam kompetisi di era global ini.  Lebih lanjut, permasalahanyang mengkontaminasi masyarakat akan berakibat buruk baik secara jasmani (fisik) maupun psikologi (jiwa) seseorang, yang berujung pada penyakit kronis kejiwaan. Walaupun awalnya terjadinya permasalahan-permasalahan itu disebabkan oleh krisis global yang menjakiti masyarakat secara umum.
D.  Glabalisasi dan Psikologi
Pengaruh globalisasi pada psikologis cukup signifikan, sebagaimana pengujian yang dilakukan oleh beberapa pakar. Terjadinya globalisasi diberbagai daerah dunia, yang kemudian konsekwensi globalisasi cukup berpengaruh pada psikologis, uraian globalisasi terfokus pada isu identitas. Yang secara rinci mereka berargumentasi bahwa kebanyakan orang-orang di seluruh dunia berkembang dari suatu kombinasi kultur dan identitas yang yang berbeda, dari kultur lokal bersinggungan dengan suatu identitas kultur yang global.  Identitas yang berbeda itulah melahirkan kebingungan dan meningkatnya emosi antar publik. Kultur barat sebagai hasil globalisasi  menjadikan identitas mereka terpelihara yang selanjutnya terus meningkat luas.[17]
Globalisasi telah tumbuh dan hidup berabad-abad sebagai proses perubahan, dimana kultur saling mempengaruhi satu sama lain dan menjadi lebih mirip, hal ini terjadi melalui perdagangan, imigrasi,  pertukaran informasi dan munculnya berbagai gagasan-gagasan baru.  Bagaimanapun juga di dalam dekade terbaru, derajat dan tingkat intensitas koneksi antar kultur yang berbeda dunia sudah mempercepat kemajuan berbagai sektor secara dramatis, oleh karena itu kemajuan dalam telekomunikasi mengalami suatu peningkatan cepat dan saling ketergantungan misalnya keuangan dan ekonomi di seluruh dunia. Sebagai contoh, barang ekspor sebagai proporsi produk domestik dunia tumbuh dari 8% pada tahun 1950 meningkat menjadi 26% pada tahun 1998 dan perjalanan internasional telah meningkat hinga 700% sejak 1960. Sebagai konsekwensi di tahun terakhir, globalisasi telah menjadi salah satu terminologi untuk menguraikan status dunia yang secara luas paling banyak digunakan.[18]
Globalisasi meliputi suatu isu dan gejala yang memiliki cakupan luas. Di dalam perkembangan buku-buku terbaru pada  topik atas, sebagian besar mereka telah terfokus pada ekonomi, didalam buku-buku tentang globalisasi juga telah menunjukan adanya isu-isu lain, globalisasi telah banyak mempengaruhu kehidupan orang-orang kota dan pada praktek budaya. Globalisasi menurut beberapa riset mempunyai implikasi psikologi terhadap masyarakat (publik), tetapi sampai sekarang implikasi ini belum secara menyeluruh dapat diuraikan. Akan tetapi secara langsung kontribusi psikologi untuk suatu pemahaman globalisasi telah diakui.  Sejalan dengan pergeseran budaya dan identitas masyarakat.[19]
Dalam hal ini Jeffirey Jensen brpendapat bahwa globalisasi mempunyai pengaruh terhadap psikologis.[20] Pada artikelnya Jensen terfokus pada isu yang berhubungan dengan masa remaja, sebab anak remaja mempunyai suatu peran sangat penting sedang dalam proses globalisasi.  Anak remaja mempunyai cukup kedewasaan dan otonomi untuk mengejar informasi dan pengalaman  di luar  itu tanpa ada pembatasan. Mereka belum merasa terikat dengan suatu jalan hidup yang terbatas dan belum mengembangkan kebiasaan perilaku dan kepercayaan yang mengakar.  Mereka menjadi lebih terbuka terhadap apa saja, walaupun suatu hal yang tidak biasa dan baru. Mereka cenderung untuk memiliki dan mempunyai minat dibanding anak-anak maupun  orang dewasa. Anak remaja dipandang oleh orang dewasa dalam beberapa kultur mereka sangat peka terhadap ajakan kultur yang global dan permasalahan anak remaja, seperti unsur menggunakan obat-obatan dan kehamilan sebelum nikah.  Menurut orang dewasa hal ini terjadi disebabkan oleh faktor globalisasi. Fokus pada masa remaja menyoroti isu identitas itu yang menjadi arti penting dan kunci di dalam psikologi globalisasi.[21]

E.  Globalisasi dan Kekacauan Mental
Kita sudah masuk dunia baru globalisasi yang menantang. globalisasi mungkin adalah digambarkan sebagai suatu proses di mana batasan-batasan yang tradisional yang memisahkan individu dan masyarakat secara berangsur-angsur dan terus meningkat. Proses ini sedang mengubah sifat alami interaksi manusia di dalam lapisan banyak orang, baik dari aspek ekonomi, politis, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. globalisasi sedang mengubah jalan hidup, ruang dan waktu tanpa batas.[22].
Pendekatan ideologis dan filosofis memandang tentang dampak globalisasi pada individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga, globalisasi jelas mempunyai efek negatif dan positif serta kemungkinan menciptakan pecundang dan pemenang. Masyarakat berubah dengan cepat melalui urbanisasi, acculturasi, modernisasi, sosial, politik dan perubahan budaya. Di dalam negara-negara orang banyak dimakan karat oleh disintegrasi ekonomi, distribusi yang berbeda, kekayaan kolektif, gangguan sosial, penindasan politis, imigrasi dan bahkan perang. Berjuta-juta orang masih kekurangan makanan, air, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara mendasar. Kekuatan ekonomi global sudah memperlemah masyarakat dan negara-negara lemah dan miskin pada status yang ekonomi.  Mata rantai yang kompleks antar  globalisasi, kesehatan, sosial dan kesejahteraan serta kesehatan mental sangat perlu untuk diselidiki.[23]

F.  Globalisasi Dan Kultur Interconection
Sebagai konsep, globalisasi mungkin telah menggantikan universalisasi. Dokter jiwa  yang biasanya mengadopsi suatu pandangan universalis di dalam perasaan yang mendasari manusia fisiologis dan sampai taraf tertentu psikologis yang bersifat universal, sedangkan ahli antropologi membantah untuk suatu relativis posisi. Relativis takut liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan memutar ruang individu mereka ke dalam kesatuan yang lebih homogen. Suatu pandangan globalisasi yang umum adalah bahwa masyarakat didorong kearah berbagai hal yang tak dapat dikendalikan dan bergeser ke status ke korporasi multinasional. Terdengar issu perdagangan bebas dan gerak bebas ekonomi semakin tak terkendali. [24]
Bagaimana peran media di dalam cara menggambarkan kemiskinan, kelaparan dan bencana alami di dalam berbagai fariabel negeri.  Globalisasi sedang mendobrak dan memerinci batasan-batasan alami, kita dapat menngunjungi dari satu kultur ke lain melalui televisi, internet, bioskop dan buku-buku. Dengan pergerakan ini  menaikkan harapan dan cita-cita. Orang pindah ekonomi tidak mengalami penghalang apapun dan menikmati suatu kultur perusahaan multinasional di mana mereka dapat mempunyai makanan Cina di Paris, makanan Perancis di dalam India dan orang India menyamak kulit Hong Kong.[25] Pengembaraan wisatawan dan ekonomi ang belakangan menghasilkan pendapatan. Globalisasi sedang memutar mereka yang adalah lemah dan miskin tanpa ketentuan dan tak berpendidikan diseret ke dalam kehidupan gelandangan. Siapun diijinkan untuk tetap berada di tempat maupun untuk mencari-cari suatu lebih baik menempatkan untuk menjadi segala bentuk karakter.
Globalisasi sebagai  intensifikasi interconnection global, mengusulkan suatu dunia penuh dengan pergerakan dan campuran, kontak dan pertalian, dan interaksi budaya saling menukar. Teknologi komunikasi dan pengangkutan semakin banyak dan cepat. Biaya produksi dan memaksimalkan laba telah memimpin korporasi multinasional untuk bergeser ke dalam produksi yang lebih jauh. Biaya Manusia bukanlah suatu pertimbangan di dalam akuntansi. Bagaimanapun, globalisasi dapat bermanfaat bagi individu, dengan membiarkan mereka untuk ikut serta, kultur imigran bisa meningkatkan cita-cita mereka. Dengan saling behubungan yang kompleks, tidak hanya dapat menyilang, menarik ke dalam tempat jaringan yang hegemony keuangan, tetapi juga orang-orang bergerak ke lintas batasan-batasan nasional, memutar wilayah pribadi ke dalam ruang publik[26], dan berjuang keras untuk mengatasi permasalahan satu sama lain, di mana kultur berselisih. Arus ibukota yang cepat, orang-orang, barang-barang, gambaran dan ideologi dunia bekerja sama di dalam suatu jaringan  yang ketat, kadang-kadang boleh mencekik individu untuk membebaskan diri dari permasalahan yang komplek. Saling behubungan ini dapat ditelusur balik ke dalam Kolonialisme mengenai Eropa, yang memulai proses dari homogenisasi budaya ke seberang batasan-batasan geografis.
Konseptual globalisasi menurut Harvey (1989) yang terutama sebagai tekanan ruang dan waktu seseorang hanya dapat mempertimbangkan tentang dampak dari tekanan sosial dan jiwa perorangan.  Tekanan ini tidak terjadi karena suatu selalu berlanjut tetapi secara singkat. Pertemuan sosial mungkin segera dan secara langsung, atau komunikasi ke seberang ruang dan waktu. Globalisasi begitu memimpin ke arah angka-angka orang-orang semakin banyak tertinggal di dalam keadaan di mana institusi mereka dibunuh,  praktek lokal berhubungan dengan sosial globalis mengorganisir aspek yang utama dari kehihidup sehari-hari,[27] sehingga memproduksi suatu perselisihan yang mengasingkan kedua-duanya individu dari  tempat dan ruang global.[28]
Dari perspektif psikiater budaya, kultur mempengaruhi gejala dan idiom yang menyusahkan, model individu bersifat menjelaskan karakter.  Identitas kesukuan mempunyai suatu peran di dalam individu yang mengagumi diri sendiri dan mempengaruhi terhadap sosial. Konsekwensi konteks pendukung pluralisme multikultural masyarakat yang baru, untuk kesejahteraan dan kesehatan psikologis individu sebagian besar tak dikenal. Dokter jiwa budaya melanjutkan untuk belajar sistem identitas yang  diancam oleh proses globalisasi.

G.  Globalisasi Dan Kesehatan Mental
Di samping bukti bahwa semua kekacauan mental adalah psychobiosocial, artinya bahwa mutu lingkungan sosial dihubungkan dengan resiko sakit ingatan, sukar untuk meramalkan dampak globalisasi pada secara umum. Bagaimanapun juga, kekacauan mental tidak bisa lagi di hindari dari konteks yang global yang membingkai hidup kita. Menurut Kirmayer & Minas ( 2000), globalisasi mempengaruhi psikiatri di dalam tiga jalan utama.  Di antranya :[29]
  1. Melalui efek pada format individu dan identitas kolektif
  2. Melalui dampak dari ketidaksamaan ekonomi terhadap kesehatan mental
  3. Melalui bentuk ketidakperdulian dari pengetahuan psikiatris sendiri
  4.  Melalui mass media dan telekomunikasi elektronik, kultur local dan kesukuan di seluruh bumi.[30]
Harpham et Al, 1988 and  Kleinman ( 1991), urbanisasi adalah peningkatan yang relatif yang berkenaan dengan populasi kota sebagai proporsi total, dan setelah diamati, urbanisasi telah mendorong suatu peningkatan gangguan perilaku terutama apabila dihubungkan dengan keluarga, mencakup kekerasan ke pasangan, anak-anak,  dan berbagai kekacauan di tingkat masyarakat.  Urbanisasi secara jangka panjang akan bereimplikasi pada kekacauan mental, di mana berbagai kesulitan dan peristiwa hidup sebagai salah-satu faktor penyebabnya. Kesulitan hidup yang kronis seperti lingkungan miskin, kekerasan dan kecelakaan, kompetisi sosial, konflik kelas, pemondokan.[31]
Marsella berkenaan dengan kehidupan global mengusulkan untuk menghadirkan suatu laboratorium alami untuk belajar tentang kekacauan mental tradisional seperti tekanan, penyakit jiwa dan sakit saraf,  terutama tentang tekanan yang berhubungan dengan permasalahan memondokkan, pekerjaan, perkawinan, anak terlantar, keamanan dan berbagai kesulitan lain berkenaan dengan kehidupan kota di dalam interaksi bersama dengan sumber daya yang tersedia untuk pelatihan atau resolusi mereka menyediakan pemahaman yang terbaik tentang faktor penentu psychopathological kekacauan di dalam populasi.  Peneliti lain[32] menekankan pada mata rantai antara kesehatan mental dan kemiskinan, perbedaan ekonomi dan underdevelopment, kondisi kerja dan rasa lapar kronis, kebebasan dan diskriminasi jenis kelamin, pelanggaran hak azasi manusia dan pendidikan yang terbatas,  semua itu patut untuk dipikirkan sebabbisa memperlemah dan membinasakan individu dan antara kedua-duanya dan sosial bisa bertindak sebagai penyangga atau bantalan melawan terhadap permasalahan kesehatan mental.[33]
Sakit ingatan dan permasalahan kesehatan mental meliputi 8% dari setiap tahun, karena orang dewasa yang tua 15-44 tahun tinggal di  demographically, penyakit neuropsychiatric 12% adalah beban penyakit yang global. Kebanyakan peneliti menggaris bawahi kemungkinan itu yang banyaknya orang dengan sakit ingatan utama dan beban permasalahan kesehatan mental bermasyarakat, akan menjadi terus meningkat setiap tahun ke tahun  sebagai dampak globalisasi.[34]  
Globalisasi mungkin untuk meningkatkan ketidaksamaan sosial dengan memperburuk perbedaan di dalam akses dan distribusi sumber daya. Persaud & Lusane ( 2000) menyarankan teknis proses ekonomi dihubungkan dengan diskriminasi sasial, seperti faktor sosial mungkin meningkatkan resiko perang saudara dan kekerasan kolektif.  Lebih lanjut faktor timbulnya serangan teroris, ekspose ke unsur berbahaya dan tersebar penyakit drug-resistant sebagai efek meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional mempunyai suatu dampak pada kesehatan mental yang tidak bisa di diremehkan.[35]

H.  Globalisasi dan Tekanan
Tekanan dapat bertindak sebagai suatu paradigma di dalam diskusi dampak globalisasi, dalam hal kelaziman kekacauan mental, tekanan juga dapat terjadi sebagai peristiwa tunggal dalam seumur hidup. Latar belakang  budaya mungkin ikut menentukan apakah tekanan akan jadi pengalaman, dan ternyata dinyatakan oleh psikologis dan terminologi emosional, atau fisik terminology tekanan dapat berpengaruh terhadap fisik.[36]
Tekanan adalah suatu kekacauan yang  sangat lazim. Tentu saja, pengalaman dari suasana hati dysphoric yang kini dianggap sebagai suatu peristiwa universal, walaupun corak klinis  boleh berbeda dengan kultur. Organisasi Kesehatan Dunia (OKD) meramalkan bahwa di dalam tahun 2020 tekanan akan terjadi di seluruh dunia, di dalam negara berkembang tekanan diproyeksikan sebagai penyebab beban penyakit.[37] Dari perspektif ini, kita meninjau ulang riset terbaru ke dalam variasi budaya di dalam epidemiologi, hasil diagnosa perawatan dan presentasi tekanan klinis, dan bagaimana globalisasi akan mempengaruhi idiom kesulitan.[38]
Tekanan Epidemiologi belajar pada permasalahan psikologis di dalam  pelayanan kesehatan umum  Suatu studi besar oleh Organisasi Kesehatan Dunia, secara umum  arus adalah paling menekan perasaan.  Tekanan adalah kekacauan suatu yang cukup berpengaruh terhadap mental.[39]

I.  Tekanan dan Somatisasi
Teori somatisasi[40] lebih awal mengusulkan itu, yaitu padanan tekanan budaya, yang secara khas terjadi kultur non-Western. Sekarang tumbuh bukti adanya gejala somatic, yaitu mempresentasikan secara umum corak tekanan seluruh dunia itu. Tekanan di dalam terminologi berkenaan dengan metafora somatic. Simon menggunakan data dari orang yang belajar pada permasalahan psikologis di dalam  pelayanan kesehatan umum, menguji hubungan antara tekanan dan gejala somatic. Bagaimanapun juga somatisasi telah digambarkan sebagai gejala somatic secara medis, frekwensi gejala somatic tergantung pada bagaimana somatisasi digambarkan. Somatisasi  adalah suatu konsep yang mencerminkan dualisme yang tidak bisa dipisahkan di dalam Biomedical di dalam praktek barat, sedangkan kebanyakan dari tradisi obat dan  kedokteran yang besar seperti Cina suatu pembedaan jelas antara mental dan phisik tidak terjadi.[41]
Orang-orang dari kultur tradisional tidak membedakan emosi lekas marah dan tekanan sebab mereka cenderung untuk di dalam menyatakan kesulitan di dalam terminologi somatic atau mereka mengorganisir konsep dysphoria dalam cara-cara yang berbeda dari orang-orang barat. Sebagai contoh orang-orang Cina yang mempunyai tingkat tekanan dan cenderung untuk menyangkal tekanan dan somatically.[42] Di dalam suatu tinjauan ulang literatur menunjukan kepada satu set saling behubungan dan saling berpengaruh. Negeri China telah mendiagnose neurasthenia, konsep neurasthenia diuraikan oleh Cina sebagai shenjing shuairuo dan itu meliputi somatic, teori dan gejala emosional sebagai tambahan terhadap apapun secara menekan gejala perasaan. [43] Konsep ini sesuai dengan epistemologi yang menjadi penyebab penyakit tradisional atas dasar kepincangan atau kejanggalan dari ketidak seimbangan dan organ bagian badan chi yang angat penting. [44]
Imigran Korea di  AS menyatakan bahwa rasa sakit yang tiba-tiba setelah doselidiki merupakan emosi yang secara simbolis atau secara fisik itu merupakan tekanan. fisik secara terminologi bukan emosional maupun jasmani, tetapi di suatu tempat diantara keduanya. Dysphoria telah dinyatakan sebagai gejala holistic (kemurungan jiwa telah diserap ke dalam badan). Kedokteran Korea tradisional membagi fungsi simbolis pada masing-masing organ bagian badan, paru-paru dihubungkan dengan keraguan, duka cita dan roh, hati dan marah, ginjal untuk takut.[45]
Bhui meninjau ulang literatur itu pada kekacauan mental umum antara orang India dan orang-orang Pakistan, mengacu pada kotak somatisasi yang hitam. Ia melaporkan bahwa Pasien yang mengunjungi dokter umum, mereka lebih sering mempunyai tekanan perasaan dan tekanan gagasan. Sakit adalah gejala pisik yang paling umum, akan tetapi proses penyembuan melalui mental itu sangat membantu penyembuan fisik.

J.  Kesimpulan
Globalisasi nampaknya akan menjadi salah satu kekuatan yang dominan di dalam  pengembangan psikologis orang-orang abad 21 itu. Kultur bisa dan dapat dipengaruhi satu sama lain melalui perdagangan, migrasi, dan perang. Berbagai kultur akan menyatu dansaling berkompetisi untuk mempertahankan identitas mereka masing-masing. Issu krisis akan semakin terdengar walaupun lapangan kerja semakinbanyak, menebabkan hidupnya penyakit jiwa yang mengkronis pada diri publik.
Sebagai konsekwensi globalisasi, menciptakan tantangan baru pada setiap identitas, yang selanjutnya berimplikasi dan mengubah terhadap system tradisional, dan beranjak ke era baru yang asing bagi mereka, sehingga mereka rentan terhadap  penyakit jiwa, sebab persinggungan kultur dan identitas mempuat publik yang asing tersebut menjadi gagu di dalam segala hal, khususnya berbagai kemajuan yang sangat global.
            Eksistensi psikologi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia era baru tekait berbagai permasalahan yang timbul akibat globalisasi, konflik keluarga, kultur, budaya, ekonomi, sosial, pertemuan kultur yang berbeda dan persaingan menjadi salah satu penyebab menyebarnya virus jiwa yang akan mempengarui struktur manusia yang universal.  Berbagai cara digunakan oleh publik peneliti untuk menyelesaikan permasalahan mental yang terganngu akibat dari konflik global.














DAFTAR PUSTAKA




Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992

Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era

Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003

Bauman  Z, Globbalization; The Human Consequences, 1998, vol. 421

Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku Politik, Rahardjo, Bandung :Al-Mizan, 1996, h. 261

Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995

Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental disorders

Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994

EnthinHervina, tempo;  Lebih lanjut lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, Diktat

J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada,  cet., ke-7

Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57

Kirmayer & Young, A, Culture and  Samatization, 1998, 67

Kirmayer, L.J., & Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45

Kunit, S.J., Globalization State and the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90

Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3

MariaT, Dkk, The Psychology of  Workingand  Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008

Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993

Murray, C.J.L.  & Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349
Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3

Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)

Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19

Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22






[1] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, h. 18
[2] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, h. 19
[3] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, h.12
[4] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, h.12
[5] Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology  at the Dawning of a Alobalization Era, h.12
[6] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, h. 19
[7] Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992, h.4
[8] Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003, h. 20
[9] Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku Politik, Rahardjo, Bandung :Al-Mizan, 1996, h. 261
[10] Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993, h. 27-28
[11] DjamaludinAncok danFuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994.,  h. 65
[12] Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet., ke-3, h.  122
[13] [13] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994, h. 66; Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., h. 107-117
[14] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994., h. 67; Sarlito  W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., h. h.151-155
[15] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994., h.69;  Sarlito W. Sarwono, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3., h. 174-178; Loren, 295-296
[16] EnthinHervina, tempo;  Lebih lanjut lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, h.4-16
[17] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57,, h.774
[18] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57,, h.774
[19] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57, h.774
[20] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57, h.774
[21] Jeffrey Jense, The Pyichology  of Globalization, 2002, vol.57, h.775
[22] Kunit, S.J., Globalization State and the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90, h. 65
[23] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.10
[24] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.10
[25] Bauman  Z, Globbalization; The Human Consequences, 1998, vol. 421., h. 9
[26] Publik adalah orang banyak atau umum, dan orang yang datang mengunjungi atau menonton dan merasa puas dengan pertunjukan itu.[26] Publik pada umumnyalebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti misalnya pcmbicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film dan lain sebagainya. Alat-alat pcnghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih bcsar. Akan tetapi karena jumlahnya yang sangat bcsar, maka tak ada pusat perhatian yang tajam dan karena itu kesatuan juga tak ada. Sctiap aksi publik diprakarsai oleh keinginan individual (misalnya pcmungutan suara dalam pemilihan umum), dan temyata individu-individu dalam suatu publik masih mempunyai kesadaran akan kedudukan sosial yang scsungguhnya dan juga masih lebih mementingkan kepentingan-kepcntingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan. Dengan demikian, tingkah-laku pribadi kelakuan publik didasarkan pada tingkah-laku atau perilaku individu. Untuk memudahkan mengumpulkan publik tersebut, digunakan cara-cara dcngan menggandengkan nilai-nilai sosial atau tradisi masyarakat bcrsangkutan, atau dengan menyiarkan pemberitaan-pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya. Soerjono Soekanto, Sosiologi “Suatu Pengantar”(Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1990), cet., ke-19, h.161-162

[27] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.11
[28] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.11
[29]  Kirmayer, L.J., & Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45., h.17
[30] Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental disorders, h.12
[31] MariaT, Dkk, The Psychology of  Workingand  Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008, 8 ; 5-18, h.15
[32] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, h. 30
[33] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.11
[34] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, h. 30
[35] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h. 12
[36] Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995, h. 33
[37] Murray, C.J.L.  & Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349, h.19
[38] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h.14
[39] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h. 14
[40] Somatisasi menurut Kamus Psikologi adalah mempertalikan semua penyakit mental dengan organic;  J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada,  cet., ke-7, h. 474
[41] Kirmayer & Young, A, Culture and  Samatization, 1998, 67
[42] Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
[43] Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22
[44] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h  14
[45] Dinesh Bhugra dan Anastasia Mastrogiaani, Globalisasiand Mental disorders, h. 15

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun