16 Aug 2014

KLASIFIKASI KUANTITAS HADIS


( Tinjauan Terhadap Hadis Gharib )

A.  Pendahluan
Pada awalnya Rasulullah saw. melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bin abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-ansory dan Ibnu Shahab Al-zahri untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah ar-Raby bin Sabiy dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).[1]
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
 Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas yang lain akan dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh mahasiswa lain.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.

B.  Klasifikasi Kuantitas Hadis
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad. [2]

1.  Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang data secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawati, yaitu sebagai berikut : [3]

  1. Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.[4]
  1. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid. [5]
  1. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong. [6]
  1. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadisun). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan. [7]
                        Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada dua yaitu :
  1. Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama. Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama. [8]

  1. Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi. [9]

Seperti telah disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath'i atau maqth'u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath'i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW. Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen. [10]
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad .

2. Hadis Ahad
Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. [11] Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. [12]
            Hadis Ahad memiliki beberapa bagian atau memiliki cabang-cabang, di antaranya :
  1. Hadist Masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir . Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir . [13]
  1. Hadist ‘Aziz
‘ Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya.[14] Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi. Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz. [15]
  1. Hadist Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.  Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.[16]
Lebih lanjut, kedudukan hadis Ahad bila bila disbanding dengan hadis mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari aspek hujahnya.  Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian pada hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak pasti (gairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist tersebut harus ditolak. [17]

C.  Hadis Gharib
Hadis gharib di lihat dari aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh darikerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami. Yang dimaksud hadis gharib ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan. Dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. [18]Sedang nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang lain lebih dari satu orang.[19]

1.  Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a.       Gharib mutlaq / fard mutlaq
Gharib ini adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq/fard mutlaq, walaupun setelah tabi’in itu banyak yang meriwayatkanya.[20]
b.      Gharib nisbi / fard nisbi
Gharib nisbi / fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisbi/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.[21]

2.  Ciri-Ciri Hadis Gharib
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hadis gharib memiliki ciri khusus yaitu, penyendirian pada awal sanad hal ini disebut gharib mutlaq.  Akan tetapi lebih lanjut diuraikan bahwa, gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rabi.  Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain adalah : [22]
a.       Sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqohan) rawi
b.      Kota atau tempat tinggal tertentu
c.       Meriwayatkannya dari orang tertentu juga.
Selanjutnya, apabila penyendirian hadis gharib ditinjau dari segi letaknya, apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib ini terbagi juga menjadi tiga bagian, yaitu :[23]
a.       Gharib pada sanad dan matan
b.      Gharib pada sanad saja
c.       Gharib pada matan saja.

  1. Cara-cara Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad.  Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid.  Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para muhadis dinamakan I’tibar.  Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan sanad hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis (takhrij Hadis).  Dengan melakukan penelitian ini seseorang akan tahu sejelas-jelasnya keadaan  hadis yang dimaksud, apakah dia mutawatir atau ahad (gharib).[24]

4.  Kitab-kitab Hadis Gharib
Buah karya yang di dalamnya memuat hadis-hadis gharib di antaranya :
    1. Musnad al-Bazzar karya Imam Bazari
    2. Mu’jam al-Ausad karya at-Thabrani
    3. Gharaig Malik karya ad-Daruqudni
    4. al-Afraad Allati Tafarrada Sunnatin Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[25]


D.  Penutup
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Di dalam hadits itu sendiri terdapat klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’, dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang maqbul. Hadis ahad (gharib) masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan kedhabithan, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad (gharib)bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).










DAFTAR PUSTAKA


Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009, cet., ke-1

Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, Bandung, Amal Bakti Pres, 2000, cet., ke-3

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, Bandung : PT. Al-Ma’arif, t.th., cet., ke-10

Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009, Cet. Ke-3

Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis; Diterjemahkan ke dalam Buku Ulum Hadis, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, cet., ke-2



[1] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis; Diterjemahkan ke dalam Buku Ulum Hadis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), cet., ke-2, h. 19
[2] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34

[3] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 20
[4] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10, h. 78

[5] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 22
[6] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 23

[7] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 26
[8]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 131

[9] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 26
[10] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3, h. 92

[11] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 24
[12] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3, h. 93

[13] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 20

[14] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 135

[15] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 29

[16] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 31
[17]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140

[18] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10, h. 98
[19] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34

[20]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140

[21] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[22] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141

[23] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[24] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141

[25] Mahmud, at-Thahan,  Taisir Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,  (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun