(
Tinjauan Terhadap Hadis Gharib )
A. Pendahluan
Pada awalnya Rasulullah saw. melarang sahabat untuk menulis hadis, karena
dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk
menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bin abdul azis. Beliau
penulis surat
kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-ansory
dan Ibnu Shahab Al-zahri untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama
kali mengumpulkan hadis adalah ar-Raby bin Sabiy dan Said bin Abi Arabah, akan
tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih
dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).[1]
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan
beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan
masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini
akan dikemukakan pembagian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan
tinjauan mengenai kualitas yang lain akan dibahas oleh makalah yang dibawakan
oleh mahasiswa lain.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah
para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang
berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses
penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah
perawinya.
B. Klasifikasi Kuantitas Hadis
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi
hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis
ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu
pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis
mustafidh) dan hadis ahad. [2]
1. Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang data secara beriringan
tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir
sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4
kriteria hadis mutawati, yaitu sebagai berikut : [3]
- Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya
harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada
pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang,
40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat
yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.[4]
- Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal
sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja
maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid. [5]
- Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah
pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan
adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan
realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,
apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum
dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih
memungkinkan untuk berkosensus berbohong. [6]
- Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau
dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika
atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap
yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu
mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadisun). Baru
artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita
hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra
misalnya ungkapan periwayatan. [7]
Sebagian
jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada dua yaitu :
- Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang
persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan
susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya
(kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis
besar dan perincian makna hadis itu tetap sama. Hadis tersebut menurut
keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat,
bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang
meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama. [8]
- Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang
sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata
lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian
maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadis-hadis yang termasuk
hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis
mutawatir lafdhi. [9]
Seperti telah disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis
mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath'i atau maqth'u) berasal dari
Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa
hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath'i” (pengetahuan yang pasti), yakni
pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari
Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa
menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang
sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan
yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau
persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan,
atau persetujuan Rasulullah SAW. Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu
sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain
kepastiannya itu mencapai seratus persen. [10]
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam
tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya
dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan
hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis
ahad .
2. Hadis Ahad
Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau
ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya,
berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu.
Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist
ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. [11]
Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad
antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa
hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau
dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. [12]
Hadis
Ahad memiliki beberapa bagian atau memiliki cabang-cabang, di antaranya :
- Hadist Masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah
populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau
tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama
berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam
pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist
mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat
hadist mutawatir . Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur
(hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan
bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist
mutawatir . [13]
- Hadist ‘Aziz
‘ Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga
berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau
hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang
adanya.[14] Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist
‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu
pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz. [15]
- Hadist Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis
yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada
beberapa tingkatan sanad. Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi,
hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.[16]
Lebih lanjut, kedudukan hadis Ahad bila bila disbanding dengan hadis
mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari aspek hujahnya. Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya
berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian pada hadist ahad . Hadist ahad
tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun)
berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad
mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal
dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak pasti (gairu qath'i atau ghairu
maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka
kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan
hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok
hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist
tersebut harus ditolak. [17]
C. Hadis Gharib
Hadis gharib di lihat dari aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa
dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh
darikerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami. Yang dimaksud hadis gharib
ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan. Dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. [18]Sedang
nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard.
Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard
mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam
satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah
satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang lain lebih dari satu orang.[19]
1. Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a.
Gharib mutlaq / fard mutlaq
Gharib ini adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal
sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq/fard mutlaq, walaupun setelah
tabi’in itu banyak yang meriwayatkanya.[20]
b.
Gharib nisbi / fard nisbi
Gharib nisbi / fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah
sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisbi/fard nisby. Seperti
beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa
tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang
meriwayatkanya.[21]
2. Ciri-Ciri Hadis Gharib
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hadis gharib memiliki ciri
khusus yaitu, penyendirian pada awal sanad hal ini disebut gharib mutlaq. Akan tetapi lebih lanjut diuraikan bahwa, gharib
nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu seorang rabi. Penyendirian rawi
mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai
beberapa kemungkinan, antara lain adalah : [22]
a.
Sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqohan) rawi
b.
Kota
atau tempat tinggal tertentu
c.
Meriwayatkannya dari orang tertentu juga.
Selanjutnya,
apabila penyendirian hadis gharib ditinjau dari segi letaknya, apakah terletak
di sanad atau matan, hadis gharib ini terbagi juga menjadi tiga bagian, yaitu :[23]
a.
Gharib pada sanad dan matan
b.
Gharib pada sanad saja
c.
Gharib pada matan saja.
- Cara-cara Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa
dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad. Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain
yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para
muhadis dinamakan I’tibar. Lebih lanjut
untuk mengetahui keadaan sanad hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis
(takhrij Hadis). Dengan melakukan
penelitian ini seseorang akan tahu sejelas-jelasnya keadaan hadis yang dimaksud, apakah dia mutawatir
atau ahad (gharib).[24]
4. Kitab-kitab Hadis Gharib
Buah karya yang di dalamnya memuat hadis-hadis gharib di antaranya :
- Musnad al-Bazzar karya Imam Bazari
- Mu’jam al-Ausad karya at-Thabrani
- Gharaig Malik karya ad-Daruqudni
- al-Afraad Allati Tafarrada Sunnatin Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[25]
D. Penutup
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Di dalam hadits
itu sendiri terdapat klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya
rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada
hadits sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’, dari segi
kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi
perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat
menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para
perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai
pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang maqbul. Hadis ahad (gharib)
masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan
para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita
secara individu yaitu sifat keadilan dan kedhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti
(qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad (gharib)bersifat
relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan. Pengertian zhann tidak identik dengan
syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat
(rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang
antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009, cet., ke-1
Endang Soetari, Ilmu
Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, Bandung,
Amal Bakti Pres, 2000, cet., ke-3
Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushtalahul Hadis, Bandung
: PT. Al-Ma’arif, t.th., cet., ke-10
Mahmud, at-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis ;
Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis,
Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 2009, Cet. Ke-3
Nuruddin ‘Itr, Manhaj
an-Naqd fi Ulum al-Hadis; Diterjemahkan ke dalam Buku Ulum Hadis, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1995, cet., ke-2
[1]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis; Diterjemahkan ke
dalam Buku Ulum Hadis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), cet., ke-2, h. 19
[2]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[3]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 20
[4]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10,
h. 78
[5]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 22
[6]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 23
[7]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 26
[8] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 131
[9]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 26
[10]
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres,
2000), cet., ke-3, h. 92
[11]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 24
[12]
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres,
2000), cet., ke-3, h. 93
[13]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 20
[14]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 135
[15]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 29
[16]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 31
[17] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[18]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10,
h. 98
[19]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[20] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[21]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[22]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
[23]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
[24]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
[25]
Mahmud, at-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis ; Diterjemah ke dalam Buku Ilmu Hadis Praktis, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), Cet. Ke-3, h. 34
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun