16 Aug 2014

HADIS DITINJAU DARI ASPEK KUANTITAS



A.  Pendahuluan
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.    Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam bab ini akan dikemukakan pembagian hadis dari tinjauan kuantitas perawi.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.  Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu :
1.      Hadis mutawatir, hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis yang lain hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[1]
  1. Mutawatir lafdzi
  2. Mutawatir ma’nawi
  3. Mutawatir amali.[2]
2.      Hadis ahad, hadis ahad menurut mayoritas ulama hadis terbagai menjadi tiga bagian, yaitu : [3]
  1. Masyhur (mustafid)
  2. ‘Aziz
  3. Gharib.
Disamping pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
  1. Hadis mutawatir
  2. Hadis masyhur (hadis mustafidh)
  3. Hadis ahad.
Supaya lebih memahami tinjauan hadis dari aspek-aspek yang telah tersebut di atas, lebih lanjut akan penulis uraikan secara gambling.

B.  Hadis Mutawatir
Mutawatir[4] menurut bahasa adalah bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih berganti tak henti-hentinya  atau bermakna yang saling mengikuti.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik dari aspek ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi'liyyah) maupun suatu rekomendasi (taqririyyah) dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.
Dari uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat itu adalah:
a.       Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang
b.    Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua tingkatan sanad (setiap thabaqah).
c.     Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan.
d.    Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat.  Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa dikatakan sebagai mutawatir. [5]

            Para muhaddis dalam membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[6] dan ada yang mengatakan tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali.  Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah ini.

1.  Mutawatir Lafdhi
Mutawatir lafzi adalah, hadis yang diriwayatkan secara tepat tanpa ada perubahan baik dari lafad maupun ma’nanya.[7]  Seperti contoh hadis : 
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 “Barangsiapa mendustakan atasku (ucapan, perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya di Neraka. (Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
  
2.  Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan yang lain.[8]  Contohnya hadis :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.[9]
3.  Mutawatir Amali
            Mutawatir adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa Muhammad Nabi saw. pernah mengajarkan atau melaksanakan amalan yang mutawatir tersebut.
4.  Hukum  Mengamalkan Hadis Mutawatir
Sesuatu yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya. Oleh sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan. Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutib oleh Utang Ranuwijaya di dalam buku Ilmu Hadis, ia mengatakan “ Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai keberannya dan mengamalkan sesuai dengan isi dan kandungannya.  Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui kemutawatiran hadis itu, maka baginya cukup mengikuti dan menyerahkan kebenaran kemutawatiran hadis tersebut kepada orang yang telah menyepakatinya”.

5.  Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Ulama' sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu adalah :[10]
a.       Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh As-Suyuti.  Dalam kitab ini memuat hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada bab-babnya.
b.      Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.       Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin Ja'afar Al Kattani.
d.      Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[11]

6.  Penutup.
Pernyataan yang disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada.  Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[12]
Pendapat Ibnu Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan menyatakan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur dikenal oleh para ulama.  Bahkan ada kitab-kitab yang khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir.  Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang ada.[13]
Secara garis besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat kemutawatiran suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban dan al-Hazimi memberi pernyataan seperti itu.  Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad  pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil hadis mutawatir itu ada. 
Begitu juga dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis mutawatir itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam memberikan syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada tiap-tiap sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan kepastian berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury). 
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan persyaratan mutawatir memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah hadis yang telah ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis mutawatir sangatlah sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad).  Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya kitab-kitab mu’tabarah,[14] yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad) mutawatir.  Hadis mutawatir jika diprosentase dengan hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh persen.  Intinya hadis mutawatir itu memang ada akan tetapi jumlahnya sedikit sekali.


C.  Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa aahad bentuk jamak dari kata "ahad" yang punya arti "satu", jadi hadis  ahad (wahid) adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang.  Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[15]
Pengertian ahad  berarti suatu hadis atau riwayat yang memiliki satu sanad atau beberapa sanad, akan tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir.  Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. [16]
Hadis ahad sebagaimana telah disinggung di atas secara sekilas terbagi menjadi beberapa bagian,  yaitu :[17]
1.      Masyhur (mustafid)
2.      'Aziz
3.      Gharib. 
Sebelum penulis memaparkan secara lebih lanjut dari bagian-bagian ahad secara terperinci perlu diketahui bahwa, hadis ahad inilah yang akan di analisi ulang secara rinci dan akan dibuktikan dengan penelitian secara lebih lanjut, supaya dapat diketahui kualitasnya.  Hal ini berbeda dengan hadis mutawatir yang memiliki jalur sanad yang banyak dan saling menguatkan, sehingga dengan kemutawatirannya ini sudah tidak perlu lagi diragukan dan tidak perlu adanya penelitian serta sudah pasti bisa dijadikan hujjah di dalam hukum islam.
Adapun penjelasan seputar hadis ahad apabila ditinjau dari aspek kualitas memiliki hukum yang beragam, bisa berkualitas (sahih, hasan maupun dhaif).  Berbeda dengan hadis mutawatir yang apabila ditinjau dari aspek kualitas yang sudah pasti sahih. 

1.  Hadis Mashur
a.  Definisi Masyhur
Hadis masyhur merupakan bentuk hadis yang memiliki jumlah sanad yang minimal tiga jalur dan atau lebih, akan tetapi tidak sampai kepada bentuk mutawatir.[18]  Hadis masyhur memiliki sanad yang setidaknya ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya. Sehingga komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya saling mendukung dan menguatkan.  Kedho’ifan hadis masyhur ini bisa meningkat menjadi hasan lighairih.
  Ada suatu pendapat yang mengatakan (beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa sahih, pendapat ini muncul sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur yang banyak, sehingga antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan.  Seorang peneliti sering terkecoh dengan adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas terhadap hadis masyhur ini bisa terkecoh.  Para muhadis kurang perduli dengan bilangan jumlah sanad pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa disertai dengan sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat, sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [19]
   Dengan demikian, menurut Nuruddin ‘Itr walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad lebih dari dua jalur sanad dan saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek diterima (maqbul) dan ditolaknya (mardud)[20] terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[21]
1.      Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya : Bahwasanya Rasul Allah saw. bersabda,”Apabila salah satu dari kalian mendatangi (melaksanakan) shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.
(Hadis ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad)

2.      Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya”. (Hadis ini diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh an-Nawawi dalam kitab Arba’in.

3.      Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya: “carilah Ilmu walu di negeri Cina”. ( Hadis ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak bebas dari rawi yang terkena kritik jarh (buruk atau cela).  Oleh sebab itu hadis di atas merupakan hadis masyhur yang dha’if.

a.  Definisi
Masyhur menurut bahasa adalah isim maf'ul dari fi'il syahara yang artinya menyebarluaskan dan menampakkan, dan dikatakan seperti itu karena dia tampak dengan jelas.  Sedangkan menurut istilah ahad adalah hadis yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih, dan tidak sampai pada batas-batas mutawatir.[22]
            Hadis Masyhur menurut Fuqaha semakna (muradif) dengan mustafidz,[23] para ulama di dalam mendefinikan hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[24]
1.      Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.      Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka tidak sependapat tentang perbedaannya
3.      Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena hadis mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada permulaan, pertengahan  dan akhir sanadnya, sedangkan hadis masyhur tidak demikian.[25]
4.      Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[26] 
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa secara garis besar dapat digambarkan demikian, masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .

b.  Klasifikasi Hadis Masyhur
            Hadits masyhur ditinjau dari aspek penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian.  Hal ini terjadi disebabkan keberadaan hadits Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan tertentu, misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits yang masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau bahkan masyhur di masyarakat umum.  Berbagai hadis yang masyhur ini kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik memiliki satu atau dua sanad yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.[27]  Bahkan ada juga hadits yang masyhur di masyarakat umum, akan tetapi tanpa ada sanad sama sekali.  Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur banyak  dikenal diberbagai riwayat yang yang bersumber dari Nabi saw., dan beragam kualitasnya ada shahih, hasan, dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi kesumuanya di kenal atau masyhur oleh berbagai kalangan dengan tidak tahu kualitas sebenarnya.[28]
Selanjutnya ada juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis atau dibukukan oleh para ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu, seperti hadits shahih di kitab jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’ as-sunan, hadis dha’if di kitab silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di kitab silsilah al-hadits maudhu’ah, hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah, hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits masyhur dengan sebab sudah tercatat di dalam kitab-kitab tertentu.  
            Menurut Ibnu shalah di dalam muqadimahnya mengatakan bahwa,[29] ada beberapa hadits masyhur yang telah banyak kalangan masyarakat dari berbagai tingkatan, walaupun ada beberapa kalangan yang lebih mengenal beberapa hadits masyhur tertentu.  Di antara hadits masyhur yang banyak dikemukan itu adalah :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
            Artinya:”Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niat”.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
            Artinya :”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim(muslimat)”.

Berikut ini beberapa contoh seputar hadits mashur di berbagai kalangan atau golongan masyarakat yang disesuaikan dengan kalangan mereka masing-masing, yaitu :[30]
1.   Hadits masyhur menurut ahli hadis secara khusus 
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
Artinya : “Bahwasanya Rasulullah saw. melakukan qunut setelah ruku’ selama satu bulan untuk memohon kecelakaan atas suku Ri’l dan suku Dzakwan”.

2.   Hadits masyhur menurut para muhaddits, ulama lain dan masyarakat umum
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya : “Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”.
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
Artinya : “Setiap Muslim adalah  saudara muslim yang lain”.

3.   Hadits masyhur menurut fuqaha
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ
Artinya : “Perkara halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq”.
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Artinya : orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat mereka”.
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya : ”Rasulullah saw. melarang jual beli dengan penipuan”.

4.   Hadits masyhur menurut ahli ushul
إذا حكم الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهد وحكم فأخطأ فله أجر
Artinya :”Apabila Seorang Hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala.  Dan apabila ia menghakimi lalu berijtihad untuknya dan salah maka ia mendapat satu pahala”.
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ , وَالنِّسْيَانُ , وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Artinya: “Diangkat dari umatku (dosa) atas kesalahan, lupa dan hal yang memaksa”.

5.   Hadits masyhur menurut ahli bahasa Arab (ahli nahwu)
نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
Artinya : “Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya”.

6.   Hadits masyhur menurut kalangan pendidikan
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Artinya :”Telah mendidikku Rabku dan ia mendidik dengan baik”.


7.   Hadits masyhur menurut kalangan Umum
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ
Artinya : Bepergian itu sebagai bagian dari siksaan”.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : “Barangsiapa menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami”.

الْحَرْبَ خَدْعَةً
Artinya : “Perang itu suatu tipu daya”.

الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ الْمُؤْمِنِ
Artinya : “Setiap mukmin merupakan cermin mukmin lainnya”.

كَمَا تُدِينُ تُدَانُ
Artinya : “Sejauh mana engkau ta’at, sejauh itu pula Allah akan berbuat baik kepadamu”.

الْمَجَالِسُ بِالأَمَانَةِ
Artinya : “Teman bergaul itu didapat berdasarkan adanya kepercayaan”.

الْعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya : “Tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”.


c.  Permasalahan Sekitar Hadits Masyhur
Menurut Nuruddin ‘Itr,[31] penjelasan tentang hadits masyhur tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa, para ulama mengupayakan penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat supaya mereka terima.
Borch menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin yang taat dan bertakwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits. Semuanya mereka yakini sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan. Telah jelas bahwa para ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits. Jelas-jelas mereka mengakui bahwa ijma' umat merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan suatu hadits."
Selanjutnya ia menambahkan, "Akan tetapi para muhadditsin ddak puas membiarkan diri mereka terbawa oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem yang mengancam keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan ini dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada kesimpulan yang dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:[32]
1.      la menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan "kesepakat­an umat untuk menerima kredibilitas hadits".  Penafsiran ijma' yang demikian menyalahi kaidah ajaran Islam  yang sangat mendasar dan tidak samar lagi bagi setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat dijadikan hujjah menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai hasil penggalian hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma' itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.      Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar masya-rakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Imam Muslim menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya bahwa yang menjadi motivasi penyusunan kitab Shahih-nya adalah karena ia melihat ha-dits-hadits dha'if dan rusak beredar dengan leluasa di tengah-tengah umat Islam.
3.      Para muhadditsin mengadakan pengkajian khusus terhadap hadits yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur. Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum untuk kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak memiliki kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits/ baik shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.      Seandainya kata-kata "kajian ijma" itu kita artikan sebagai ijma' ulama terbatas dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang mudah dipahami dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah. la merupakan seorang ulama spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat. Namun bagaimana dengan hal yang telah disepakati oleh.para imam dan tokoh ulama dalam bidang yang sama.

d.  Hukum Mengamalkan Hadits Masyhur
            Istilah hadits masyhur bila ditinjau dari aspek pengertian yang sebenarnya tidak bisa dipakai hujah, sebab hadits masyhur dalam pengertian istilah membahas tentang sanad hadits.  Hadits masyhur bisa dipakai untuk berhujjah disaat hadits tersebut jelas kualitasnya, sebab hadits masyhur sebagaimana telah disinggung di atas memiliki berbagai status, bisa shahih, hasan, dha’if atau bahkan palsu. 
            Jadi hadits masyhur bisa dipakai berhujjah setelah jelas kualitasnya yaitu, hadits mayhur tersebut harus berstatus maqbul (shahih dan hasan), jika hadits masyhur tersebut belum jelas statusnya maka tidak boleh dipakai berhujjah. 
            Sangat berbeda dengan hadits mayshur yang banyak dikenal oleh berbagai kalangan, maksudnya sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa, hadits masyhur yang memang telah dikenal oleh kalangan tertentu dan sudah tertulis di kitab jami’ shahih tentu bisa dipakai hujjah. 

e.   Kitab-kitab Hadis Masyhur
Karya ilmiah para ulama yang menulis hadits masyhur hanyalah hadits masyhur lisani (mulut ke mulut) dan bukanlah hadits masyhur istilahi. Di antara kitab-kitab yang memuat hadis masyhur itu adalah :[33]
1.      Al Maqashidul Hasanah Fima Isytahara 'Alal Al sinah oleh As Sakhawi.
2.      Kasyful Khafa' wa Muzail al-Ilbas Fima Isytahara min al-Haditsi 'Ala al- Sinah an-Nas, oleh al-Ajluni.
3.      Tamyizu at-thayyib min al-Khabits fima Yaduru ‘Ala al-Sinah an-Nas min al-Hadits, karya Ibn ad-Daiba’ asy-Syaibani.

2.  Hadits ‘Aziz
            Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, hadits ahad terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu masyhur, ‘Aziz dan gharib.  Pembahasan hadits masyhur telah diuraikan di atas, selanjutnya mari kita ikuti pembahasan hadis yang lain yaitu hadits ‘aziz.

a.  Definisi Hadits ‘Aziz
            Menurut bahasa ’aziz mempakan sifat musyabbahah dari kata 'azza ya'izzu, yang artinya sedikit atau jarang, atau juga sifat musyabbahah dari kata 'azza ya'azzu, yang artinya kuat atau keras. Disebut demikian karena sedikit atau jarang keberadaannya atau bisa juga dikatakan kuat keberadaannya melalui jalur lain.[34]  Sedangkan, menurut istilah hadits ‘aziz adalah  hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya.[35]
Maksudnya adalah, pada masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi.[36] Jika di sebagian thabaqarnya dijumpai tiga orang atau lebih perawi, hal itu tidak merusak (statusnya sebagai) hadits 'aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya meskipun cuma satu thabaqat terdapat dua orang rawi. Sebab, yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh para muhaddits. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang.[37] Mereka tidak membedakan dalam kasus ini dengan hadits masyhur.[38] Adapun contoh hadits masyhur di antaranya :
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حتى أَكُونَ أَحَبَّ إليه مِنْ وَلَدِه وَوَالِدِه وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya :”Tidak dianggap beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya, dari anaknya, dan manusia seluruhnya”.

Hadits tersebut diriwayatkan dari Anas Qaradah dan Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Qatadah Syu'bah dan Sa'id, dari Abdul Aziz Ismail bin 'Ulayyah dan Abdul Warits, dan dari masing-masing kelompok. [39]
            Menurut pendapat lain bahwa hadits masyhur merupakan kata istilah bahasa dari kata ‘azza ya’azzu yang artinya kuat, sebagaimana firman Allah swt.:[40]
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ
Artinya :”Kemudia kami kuatkan dengan utusan ketiga (QS. Yasin:14)
Ibnu al-Shalah berkata:[41] Diriwayatkan kepada kita dari al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah, ia berkata "Hadits gharib itu seperti hadits al-Zuhri dan Qatadah serta imam lain yang telah disepakati haditsnya manakala ada seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari mereka. Dan bila yang meriwayatkan hadits tersebut dua orang atau tiga orang rawi, maka hadits tersebut disebut hadits 'aziz. Dan bila hadits tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi, maka disebut hadits masyhur."[42]
Ibnu al-Shalah mengikuti Ibnu Mandah tidak menjelaskan dengan sempurna tentang perbedaan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur. la menamai hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi dengan nama 'aziz dan masyhur. Pendapatnya itu diikuti oleh al-Nawawi dan lainnya. [43]
Hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sedangkan hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang lebih dari tiga.  Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat bahwa hadits 'aziz itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Mereka membedakan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur dengan perbedaan yang sem­purna. Mereka menggunakan istilah masyhur khusus untuk hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih. [44]
Relevansi sebutan 'aziz dan hadits 'aziz itu jelas, sebab hadits ter­sebut jadi kuat dengan diriwayatkan melalui dua jalur atau karena jumlah hadits yang demikian sangat sedikit. Oleh karena itu Ibnu Hibban mempertanyakan adanya hadits 'aziz ini.  Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:[45] "Ibnu Hibban beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua orang dari awal higga akhir sanad  sama sekali tidak dapat kita jumpai.[46] Menurutku (al-Hafizh): “Bila yang dikehendaki adalah bahwa periwayatan oleh dua orang saja dari dua orang saja itu sama sekali tidak dapat kita jumpai, itu dapat diterima. Namun gambaran hadits masyhur yang kita bahas ini dapat dijumpai, yakni hadits yang tidak diriwayatkan oleh orang yang kurang dari dua dari rawi lain yang kurang dari dua pula. [47]
Penjelasan al-Hafizh itu sangat tepat karena bila suatu hadits dalam suatu tingkat diriwayatkan oleh dua orang rawi yang kemudian pada tingkat berikutnya diriwayatkan oleh rawi yang lebih dari dua orang, maka hadits tersebut masih tetap termasuk kategori hadits 'aziz, karena jumlah rawi yang paling sedikit itu menentukan nasib riwayat rawi yang lebih banyak. [48]

b.  Hukum Mengamalkan Hadits ‘Aziz
Hukum hadits 'aziz itu sama dengan hukum hadits masyhur, yakni bergantung kepada keadaan sanad dan matannya. Oleh karena itu bila pada kedua unsur itu telah terpenuhi kritena hadits sahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan adalah sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula yang dha 'if. Hadits sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits 'aziz, bahkan kadang-kadang berupa hadits gharib, sebagaimana telah dijelaskan di muka. [49]

c. Kitab-Kitab Yang Populer
Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits 'aziz. Tampaknya hal ini disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut. [50]


3.  Hadits Gharib
Kedudukan hadis Ahad bila bila dibanding dengan hadis mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari aspek hujahnya.  Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah saw., maka tidak demikian pada hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah saw., tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw., dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak pasti (gairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah saw., maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak. [51]
Keberadaan hadits ahad banyak termuat diberbagai kitab-kitab hadits yang mu’tabarah atau yang bukan mu’tabarah.  Hadits ahad sebagaimana telah disinggung di atas memiliki beberapa bagian, yaitu masyhur, ‘aziz dan gharib.  Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.  Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.[52]


a. Definisi Hadis Gharib
Hadis gharib di lihat dari aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami. Yang dimaksud hadis gharib ini ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits, penyendiriannya itu dimana saja dalam salah satu sanad. [53]
Sedangkan nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang lain lebih dari satu orang.[54]

b.  Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a.       Gharib mutlaq / fard mutlaq
Gharib ini adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq/fard mutlaq, walaupun setelah tabi’in itu banyak yang meriwayatkanya.[55]
b.      Gharib nisbi / fard nisbi
Gharib nisbi / fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisbi/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.[56]

c.  Ciri-Ciri Hadis Gharib
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hadis gharib memiliki ciri khusus yaitu, penyendirian pada awal sanad hal ini disebut gharib mutlaq.  Akan tetapi lebih lanjut diuraikan bahwa, gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rabi.  Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain adalah : [57]
a.       Sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqohan) rawi
b.      Kota atau tempat tinggal tertentu
c.       Meriwayatkannya dari orang tertentu juga.
Selanjutnya, apabila penyendirian hadis gharib ditinjau dari segi letaknya, apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib ini terbagi juga menjadi tiga bagian, yaitu :[58]
a.       Gharib pada sanad dan matan
b.      Gharib pada sanad saja
c.       Gharib pada matan saja.

d.  Cara-cara Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad.  Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid.  Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para muhadis dinamakan I’tibar.  Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan sanad hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis (takhrij Hadis).  Dengan melakukan penelitian ini seseorang akan tahu sejelas-jelasnya keadaan  hadis yang dimaksud, apakah dia mutawatir atau ahad (gharib).[59]

e.  Kitab-kitab Hadis Gharib
Buah karya yang di dalamnya memuat hadis-hadis gharib di antaranya :
    1. Musnad al-Bazzar karya Imam Bazari
    2. Mu’jam al-Ausad karya at-Thabrani
    3. Gharaig Malik karya ad-Daruqudni
    4. al-Afraad Allati Tafarrada Sunnatin Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[60]


4.  Penutup
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Di dalam hadits itu sendiri terdapat klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadis mutawatir dan hadits ahad dari segi kualitas hadits ada hadis sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’, dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadis maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang maqbul. Hadis ahad (gharib) masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan kedhabithan, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad (gharib)bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).


[1] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[2] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, 122
[3] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[4] Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah khabar.  Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[5] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[6] Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah  al-Hadis, (Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[7] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[8] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[9] Al-Bukhari,  Abi ‘Abdillah,  Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1995),  t. Cet. Jilid-1,   h. 45
[10] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[11] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;  M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 133
[12] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[13] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Lihat juga; Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.81
[14] Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194 H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.- 261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200 H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817 M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.- 915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824 M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)
[15] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., 21
[16] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3, h. 93
[17] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98;  Lihat juga, Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[18] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[19] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[20] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[21] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[22] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[23] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ;  Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari istafadza pecahan (mustaq)  kata dari fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian karena keadaannya terlebar luas.  Menurut istilah sudah tersebut di atas.  Lihat, Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[24] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211;  Lihat juga,  Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 23
[25] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h. 86
[26] Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h. 124-125
[27] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[28] An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
[29] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (ttp. : Dar Zuhud al-Qudsi, tth.), t.cet., h.134-135
[30]Contoh-contoh hadits masyhur setelah ditelusuri oleh penulis banyak terdapat diberbagai kitab ilmu hadis, sayangnya semua contoh antara kitab satu dengan yang lain hampir sama, walaupun ada yang sedikit berbeda.  Lebih lanjut lihat, As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet. h. 350-354; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.23-24; Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.202-208; Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, 407, Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.67-68;  Al-Iraqi, at- Taqyid wa al-`Idah Syarah Muqaddimah Ibn Shalah, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), t.cet, h. 263-366;  Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.99-100
[31] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[32] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.209-210
[33] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100;  Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[34] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100
[35] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 100; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.24
[36] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[37] Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h.135-136
[38] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[39] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[40] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406
[41] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h.136
[42] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[43] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406;  Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[44] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[45] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, 18
[46] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[47] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h.18;  Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.71
[48] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[49] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[50] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[51]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[52] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 25
[53] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10, h. 98
[54] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 26
[55]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[56] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 26
[57] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[58] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 27
[59] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[60] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 27

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun