A. Pendahuluan
Sebagian orang
bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi
kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan
yang unik dan tersendiri. dalam bab ini akan dikemukakan pembagian hadis dari
tinjauan kuantitas perawi.
Untuk
mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi
para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian
hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah
orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur
(mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu :
1.
Hadis
mutawatir, hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis
yang lain hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[1]
- Mutawatir lafdzi
- Mutawatir ma’nawi
- Mutawatir amali.[2]
2.
Hadis
ahad, hadis ahad menurut mayoritas ulama hadis terbagai menjadi tiga bagian,
yaitu : [3]
- Masyhur (mustafid)
- ‘Aziz
- Gharib.
Disamping
pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek
kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
- Hadis mutawatir
- Hadis masyhur (hadis mustafidh)
- Hadis ahad.
Supaya lebih
memahami tinjauan hadis dari aspek-aspek yang telah tersebut di atas, lebih
lanjut akan penulis uraikan secara gambling.
B. Hadis Mutawatir
Mutawatir[4] menurut bahasa adalah
bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti.
Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih
berganti tak henti-hentinya atau
bermakna yang saling mengikuti.
Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik
dari aspek ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi'liyyah) maupun suatu rekomendasi
(taqririyyah) dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan
dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut pendapat
yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat
kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.
Dari uraian
definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah
mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat
tertentu. Adapun syarat-syarat itu
adalah:
a.
Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan
paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat
yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang
b.
Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua
tingkatan sanad (setiap thabaqah).
c.
Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan.
d. Sandaran hadis
mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami mendengar, kami melihat,
kami menyentuh atau kami membuat. Adapun
jika sandaran hadis mereka hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat
mereka (perawi hadis) tidak bisa dikatakan sebagai mutawatir. [5]
Para muhaddis dalam
membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis
mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir
ma’nawi,[6] dan ada yang mengatakan
tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali. Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah
ini.
1. Mutawatir Lafdhi
Mutawatir lafzi adalah, hadis yang
diriwayatkan secara tepat tanpa ada perubahan baik dari lafad maupun ma’nanya.[7] Seperti contoh hadis :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa mendustakan atasku (ucapan,
perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya di Neraka. (Hadits ini
diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
2. Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi
dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan
yang lain.[8] Contohnya hadis :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ
يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau,
kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.[9]
3. Mutawatir Amali
Mutawatir adalah sesuatu yang diketahui
dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam,
bahwa Muhammad Nabi saw. pernah mengajarkan atau melaksanakan amalan yang
mutawatir tersebut.
4. Hukum Mengamalkan Hadis Mutawatir
Sesuatu yang sudah mutawatir bisa
mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk
mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu
kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk
mengakui keberadaannya. Oleh sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus
diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk
diamalkan. Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai hujjah, dihukumi kafir,
sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutib
oleh Utang Ranuwijaya di dalam buku Ilmu
Hadis, ia mengatakan
“ Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya
mempercayai keberannya dan mengamalkan sesuai dengan isi dan kandungannya. Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui
kemutawatiran hadis itu, maka baginya cukup mengikuti dan menyerahkan kebenaran
kemutawatiran hadis tersebut kepada orang yang telah menyepakatinya”.
5. Kitab-kitab Hadis
Mutawatir
Ulama' sudah susah payah mengumpulkan
hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam sebuah karangan
tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa dengan mudah
bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu adalah :[10]
a.
Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh
As-Suyuti. Dalam kitab ini memuat
hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada
bab-babnya.
b.
Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.
Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin
Ja'afar Al Kattani.
d.
Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[11]
6. Penutup.
Pernyataan yang
disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis
mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan
al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada. Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu
memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[12]
Pendapat Ibnu
Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan menyatakan
bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur dikenal oleh
para ulama. Bahkan ada kitab-kitab yang
khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir. Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh
keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang
ada.[13]
Secara garis
besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat
kemutawatiran suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban
dan al-Hazimi memberi pernyataan seperti itu.
Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada
merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah
tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil
hadis mutawatir itu ada.
Begitu juga
dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis mutawatir
itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam memberikan
syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada tiap-tiap
sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan kepastian
berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury).
Dari berbagai pendapat yang
telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan persyaratan mutawatir
memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah hadis yang telah
ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis mutawatir sangatlah
sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad). Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya
kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya kitab-kitab mu’tabarah,[14]
yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad)
mutawatir. Hadis mutawatir jika
diprosentase dengan hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh
persen. Intinya hadis mutawatir itu
memang ada akan tetapi jumlahnya sedikit sekali.
C. Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa aahad bentuk jamak
dari kata "ahad" yang punya arti "satu", jadi
hadis ahad (wahid) adalah hadis yang di
riwayatkan oleh satu orang. Sedangkan
menurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[15]
Pengertian ahad berarti suatu hadis atau riwayat yang
memiliki satu sanad atau beberapa sanad, akan tetapi tidak sampai kepada
derajat mutawatir. Oleh karena itu, ada
batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad
adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik
rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya
tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam
kelompok hadis mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang
tidak mencapai derajat mutawatir. [16]
Hadis ahad sebagaimana telah disinggung di
atas secara sekilas terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :[17]
1.
Masyhur (mustafid)
2.
'Aziz
3.
Gharib.
Sebelum penulis memaparkan secara lebih
lanjut dari bagian-bagian ahad secara terperinci perlu diketahui bahwa, hadis ahad
inilah yang akan di analisi ulang secara rinci dan akan dibuktikan dengan
penelitian secara lebih lanjut, supaya dapat diketahui kualitasnya. Hal ini berbeda dengan hadis mutawatir yang
memiliki jalur sanad yang banyak dan saling menguatkan, sehingga dengan
kemutawatirannya ini sudah tidak perlu lagi diragukan dan tidak perlu adanya
penelitian serta sudah pasti bisa dijadikan hujjah di dalam hukum islam.
Adapun penjelasan seputar hadis ahad apabila
ditinjau dari aspek kualitas memiliki hukum yang beragam, bisa berkualitas
(sahih, hasan maupun dhaif). Berbeda
dengan hadis mutawatir yang apabila ditinjau dari aspek kualitas yang sudah
pasti sahih.
1. Hadis Mashur
a. Definisi Masyhur
Hadis masyhur merupakan bentuk hadis yang
memiliki jumlah sanad yang minimal tiga jalur dan atau lebih, akan tetapi tidak
sampai kepada bentuk mutawatir.[18] Hadis masyhur memiliki sanad yang setidaknya
ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya. Sehingga
komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali
sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya
saling mendukung dan menguatkan.
Kedho’ifan hadis masyhur ini bisa meningkat menjadi hasan lighairih.
Ada suatu pendapat yang
mengatakan (beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa sahih, pendapat ini
muncul sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur yang banyak,
sehingga antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan. Seorang peneliti sering terkecoh dengan
adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas terhadap
hadis masyhur ini bisa terkecoh. Para muhadis kurang perduli dengan bilangan jumlah sanad
pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa disertai dengan
sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat,
sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [19]
Dengan
demikian, menurut Nuruddin ‘Itr walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad
lebih dari dua jalur sanad dan saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek
diterima (maqbul) dan ditolaknya (mardud)[20] terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu :[21]
1.
Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya : Bahwasanya Rasul Allah saw. bersabda,”Apabila salah satu
dari kalian mendatangi (melaksanakan) shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.
(Hadis ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad)
2.
Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak
boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya”. (Hadis ini
diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh
an-Nawawi dalam kitab Arba’in.
3.
Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya: “carilah Ilmu walu di negeri Cina”. (
Hadis ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun
semua sanadnya tidak bebas dari rawi yang terkena kritik jarh (buruk atau
cela). Oleh sebab itu hadis di atas
merupakan hadis masyhur yang dha’if.
a. Definisi
Masyhur menurut bahasa adalah isim maf'ul
dari fi'il syahara yang artinya menyebarluaskan dan menampakkan,
dan dikatakan seperti itu karena dia tampak dengan jelas. Sedangkan menurut istilah ahad adalah hadis
yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih, dan tidak sampai
pada batas-batas mutawatir.[22]
Hadis Masyhur
menurut Fuqaha semakna (muradif) dengan mustafidz,[23] para ulama di dalam
mendefinikan hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[24]
1.
Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.
Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka tidak
sependapat tentang perbedaannya
3.
Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena hadis
mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada
permulaan, pertengahan dan akhir
sanadnya, sedangkan hadis masyhur tidak demikian.[25]
4.
Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[26]
Sebagaimana dijelaskan di
atas bahwa secara garis besar dapat digambarkan demikian, masyhur menurut
bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid menurut
bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa
hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama
juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian
istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau
lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan
tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan
tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu
belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
b. Klasifikasi Hadis Masyhur
Hadits masyhur ditinjau dari aspek
penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian. Hal ini terjadi disebabkan keberadaan hadits
Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan tertentu,
misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits yang
masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau bahkan
masyhur di masyarakat umum. Berbagai
hadis yang masyhur ini kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik
memiliki satu atau dua sanad yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.[27] Bahkan ada juga hadits yang masyhur di
masyarakat umum, akan tetapi tanpa ada sanad sama sekali. Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur
banyak dikenal diberbagai riwayat yang
yang bersumber dari Nabi saw., dan beragam kualitasnya ada shahih, hasan,
dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi kesumuanya di kenal atau masyhur oleh
berbagai kalangan dengan tidak tahu kualitas sebenarnya.[28]
Selanjutnya ada
juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis atau dibukukan oleh para
ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu, seperti hadits shahih di kitab
jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’ as-sunan, hadis dha’if di kitab
silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di kitab silsilah al-hadits maudhu’ah,
hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah, hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis
qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits masyhur dengan sebab sudah tercatat di
dalam kitab-kitab tertentu.
Menurut Ibnu shalah di dalam
muqadimahnya mengatakan bahwa,[29] ada beberapa hadits
masyhur yang telah banyak kalangan masyarakat dari berbagai tingkatan, walaupun
ada beberapa kalangan yang lebih mengenal beberapa hadits masyhur
tertentu. Di antara hadits masyhur yang
banyak dikemukan itu adalah :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya:”Sesungguhnya setiap amal
itu tergantung niat”.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya :”Menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim(muslimat)”.
Berikut ini
beberapa contoh seputar hadits mashur di berbagai kalangan atau golongan
masyarakat yang disesuaikan dengan kalangan mereka masing-masing, yaitu :[30]
1. Hadits
masyhur menurut ahli hadis secara khusus
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ
وَذَكْوَانَ
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah saw. melakukan qunut setelah ruku’ selama satu bulan
untuk memohon kecelakaan atas suku Ri’l dan suku Dzakwan”.
2. Hadits
masyhur menurut para muhaddits, ulama lain dan masyarakat umum
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
Artinya : “Orang
muslim adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan
tangannya”.
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
Artinya : “Setiap
Muslim adalah saudara muslim yang lain”.
3. Hadits masyhur menurut fuqaha
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ
Artinya : “Perkara
halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq”.
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak
boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Artinya :
orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat mereka”.
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya : ”Rasulullah saw. melarang jual beli dengan penipuan”.
4. Hadits masyhur menurut ahli ushul
إذا حكم الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهد وحكم فأخطأ فله أجر
Artinya :”Apabila
Seorang Hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan benar, maka ia
mendapat dua pahala. Dan apabila ia
menghakimi lalu berijtihad untuknya dan salah maka ia mendapat satu pahala”.
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ , وَالنِّسْيَانُ , وَمَا اُسْتُكْرِهُوا
عَلَيْهِ
Artinya:
“Diangkat dari umatku (dosa) atas kesalahan, lupa dan hal yang memaksa”.
5. Hadits masyhur menurut ahli bahasa Arab
(ahli nahwu)
نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
Artinya :
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah
ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya”.
6. Hadits masyhur menurut kalangan pendidikan
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Artinya :”Telah
mendidikku Rabku dan ia mendidik dengan baik”.
7. Hadits masyhur menurut kalangan Umum
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ
Artinya : Bepergian itu sebagai bagian dari siksaan”.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : “Barangsiapa menipu kami, maka ia tidak termasuk
golongan kami”.
الْحَرْبَ خَدْعَةً
Artinya : “Perang itu suatu tipu daya”.
الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ الْمُؤْمِنِ
Artinya : “Setiap
mukmin merupakan cermin mukmin lainnya”.
كَمَا تُدِينُ تُدَانُ
Artinya : “Sejauh
mana engkau ta’at, sejauh itu pula Allah akan berbuat baik kepadamu”.
الْمَجَالِسُ بِالأَمَانَةِ
Artinya : “Teman
bergaul itu didapat berdasarkan adanya kepercayaan”.
الْعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya :
“Tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”.
c. Permasalahan Sekitar Hadits Masyhur
Menurut Nuruddin ‘Itr,[31]
penjelasan tentang hadits masyhur tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa,
para ulama mengupayakan penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat supaya
mereka terima.
Borch menyimpulkan pernyataan
Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin yang taat dan bertakwa
telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa koreksi terhadap segala
sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits. Semuanya mereka yakini
sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal yang mengancam kesahihan
banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan terus menerus itu dapat
dengan mudah mereka jinakkan. Telah jelas bahwa para ahli agama sendiri
senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan dalam menetapkan
kesahihan dan kredibilitas hadits. Jelas-jelas mereka mengakui bahwa ijma' umat
merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan suatu hadits."
Selanjutnya ia menambahkan,
"Akan tetapi para muhadditsin ddak puas membiarkan diri mereka terbawa
oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem yang mengancam
keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang ternodai sistem
tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping kesepakatan umat
untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan ini dikemukakan
dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada kesimpulan yang
dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang dari garis
kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara kesalahan
tersebut adalah sebagai berikut:[32]
1.
la
menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat
dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan "kesepakatan umat
untuk menerima kredibilitas hadits".
Penafsiran ijma' yang demikian menyalahi kaidah ajaran Islam yang sangat mendasar dan tidak samar lagi bagi
setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan Islam,
sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat dijadikan hujjah
menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai hasil penggalian
hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma' itu tidak
boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.
Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar
masya-rakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa
mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar di
tengah-tengah masyarakat. Imam Muslim menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya
bahwa yang menjadi motivasi penyusunan kitab Shahih-nya adalah karena ia
melihat ha-dits-hadits dha'if dan rusak beredar dengan leluasa di tengah-tengah
umat Islam.
3.
Para muhadditsin mengadakan pengkajian khusus terhadap hadits
yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur.
Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum untuk
kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak memiliki
kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah
kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits/ baik
shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.
Seandainya
kata-kata "kajian ijma" itu kita artikan sebagai ijma' ulama terbatas
dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian
dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang mudah dipahami
dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak
pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan
seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah. la merupakan seorang
ulama spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat. Namun
bagaimana dengan hal yang telah disepakati oleh.para imam dan tokoh ulama dalam
bidang yang sama.
d. Hukum Mengamalkan Hadits Masyhur
Istilah hadits
masyhur bila ditinjau dari aspek pengertian yang sebenarnya tidak bisa dipakai
hujah, sebab hadits masyhur dalam pengertian istilah membahas tentang sanad
hadits. Hadits masyhur bisa dipakai
untuk berhujjah disaat hadits tersebut jelas kualitasnya, sebab hadits masyhur
sebagaimana telah disinggung di atas memiliki berbagai status, bisa shahih,
hasan, dha’if atau bahkan palsu.
Jadi hadits
masyhur bisa dipakai berhujjah setelah jelas kualitasnya yaitu, hadits mayhur
tersebut harus berstatus maqbul (shahih dan hasan), jika hadits masyhur
tersebut belum jelas statusnya maka tidak boleh dipakai berhujjah.
Sangat berbeda
dengan hadits mayshur yang banyak dikenal oleh berbagai kalangan, maksudnya
sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa, hadits masyhur yang memang telah
dikenal oleh kalangan tertentu dan sudah tertulis di kitab jami’ shahih tentu
bisa dipakai hujjah.
e. Kitab-kitab Hadis
Masyhur
Karya ilmiah para ulama yang menulis hadits masyhur hanyalah hadits
masyhur lisani (mulut ke mulut) dan bukanlah hadits masyhur istilahi. Di antara
kitab-kitab yang memuat hadis masyhur itu adalah :[33]
1.
Al Maqashidul Hasanah Fima Isytahara 'Alal Al sinah oleh As
Sakhawi.
2.
Kasyful Khafa' wa Muzail al-Ilbas Fima Isytahara min al-Haditsi
'Ala al- Sinah an-Nas, oleh al-Ajluni.
3.
Tamyizu at-thayyib min al-Khabits fima Yaduru ‘Ala al-Sinah an-Nas min al-Hadits, karya Ibn
ad-Daiba’ asy-Syaibani.
2. Hadits ‘Aziz
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa, hadits ahad terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu masyhur, ‘Aziz dan gharib.
Pembahasan hadits masyhur telah diuraikan di atas, selanjutnya mari kita
ikuti pembahasan hadis yang lain yaitu hadits ‘aziz.
a. Definisi Hadits ‘Aziz
Menurut bahasa ’aziz mempakan sifat musyabbahah dari kata
'azza ya'izzu, yang artinya sedikit atau jarang, atau juga sifat musyabbahah
dari kata 'azza ya'azzu, yang artinya kuat atau keras. Disebut demikian karena
sedikit atau jarang keberadaannya atau bisa juga dikatakan kuat keberadaannya
melalui jalur lain.[34] Sedangkan, menurut istilah hadits ‘aziz
adalah hadits yang perawinya berjumlah
tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya.[35]
Maksudnya adalah,
pada masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang
perawi.[36] Jika di sebagian
thabaqarnya dijumpai tiga orang atau lebih perawi, hal itu tidak merusak
(statusnya sebagai) hadits 'aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya meskipun
cuma satu thabaqat terdapat dua orang rawi. Sebab, yang dijadikan patokan
adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah
definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh para muhaddits. Sebagian
ulama berpendapat bahwa hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang atau tiga orang.[37] Mereka tidak membedakan dalam
kasus ini dengan hadits masyhur.[38] Adapun contoh hadits
masyhur di antaranya :
Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda :
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حتى
أَكُونَ أَحَبَّ إليه مِنْ وَلَدِه وَوَالِدِه وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya :”Tidak dianggap beriman salah
seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya, dari anaknya,
dan manusia seluruhnya”.
Hadits tersebut diriwayatkan
dari Anas Qaradah dan Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Qatadah Syu'bah dan Sa'id,
dari Abdul Aziz Ismail bin 'Ulayyah dan Abdul Warits, dan dari masing-masing
kelompok. [39]
Menurut
pendapat lain bahwa hadits masyhur merupakan kata istilah bahasa dari kata
‘azza ya’azzu yang artinya kuat, sebagaimana firman Allah swt.:[40]
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ
Artinya :”Kemudia
kami kuatkan dengan utusan ketiga (QS. Yasin:14)
Ibnu al-Shalah
berkata:[41]
Diriwayatkan kepada kita dari al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah, ia berkata
"Hadits gharib itu seperti hadits al-Zuhri dan Qatadah serta imam lain
yang telah disepakati haditsnya manakala ada seorang rawi meriwayatkan suatu
hadits dari mereka. Dan bila yang meriwayatkan hadits tersebut dua orang atau
tiga orang rawi, maka hadits tersebut disebut hadits 'aziz. Dan bila hadits
tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi, maka disebut hadits masyhur."[42]
Ibnu al-Shalah
mengikuti Ibnu Mandah tidak menjelaskan dengan sempurna tentang perbedaan
antara hadits 'aziz dan hadits masyhur. la menamai hadits yang diriwayatkan
oleh tiga orang rawi dengan nama 'aziz dan masyhur. Pendapatnya itu diikuti
oleh al-Nawawi dan lainnya. [43]
Hadits 'aziz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sedangkan hadits
masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang lebih dari
tiga. Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat
bahwa hadits 'aziz itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Mereka membedakan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur dengan perbedaan yang
sempurna. Mereka menggunakan istilah masyhur khusus untuk hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih. [44]
Relevansi sebutan
'aziz dan hadits 'aziz itu jelas, sebab hadits tersebut jadi kuat dengan
diriwayatkan melalui dua jalur atau karena jumlah hadits yang demikian sangat
sedikit. Oleh karena itu Ibnu Hibban mempertanyakan adanya hadits 'aziz ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:[45] "Ibnu Hibban
beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua orang dari awal higga
akhir sanad sama sekali tidak dapat kita
jumpai.[46] Menurutku (al-Hafizh):
“Bila yang dikehendaki adalah bahwa periwayatan oleh dua orang saja dari dua
orang saja itu sama sekali tidak dapat kita jumpai, itu dapat diterima. Namun
gambaran hadits masyhur yang kita bahas ini dapat dijumpai, yakni hadits yang
tidak diriwayatkan oleh orang yang kurang dari dua dari rawi lain yang kurang
dari dua pula. [47]
Penjelasan
al-Hafizh itu sangat tepat karena bila suatu hadits dalam suatu tingkat diriwayatkan
oleh dua orang rawi yang kemudian pada tingkat berikutnya diriwayatkan oleh
rawi yang lebih dari dua orang, maka hadits tersebut masih tetap termasuk
kategori hadits 'aziz, karena jumlah rawi yang paling sedikit itu menentukan
nasib riwayat rawi yang lebih banyak. [48]
b. Hukum
Mengamalkan Hadits ‘Aziz
Hukum hadits
'aziz itu sama dengan hukum hadits masyhur, yakni bergantung kepada keadaan
sanad dan matannya. Oleh karena itu bila pada kedua unsur itu telah terpenuhi
kritena hadits sahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan
adalah sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula yang dha 'if.
Hadits sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits 'aziz, bahkan kadang-kadang
berupa hadits gharib, sebagaimana telah dijelaskan di muka. [49]
c. Kitab-Kitab Yang Populer
Para ulama tidak
menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits 'aziz. Tampaknya
hal ini disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut. [50]
3. Hadits Gharib
Kedudukan hadis Ahad bila
bila dibanding dengan hadis mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari
aspek hujahnya. Hadis mutawatir dapat
dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah saw., maka tidak demikian pada
hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah saw., tetapi
diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat
dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw., dan
mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak
pasti (gairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun)
berasal dari Rasulullah saw., maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran
Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila
suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan
hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak. [51]
Keberadaan hadits ahad banyak
termuat diberbagai kitab-kitab hadits yang mu’tabarah atau yang bukan
mu’tabarah. Hadits ahad sebagaimana
telah disinggung di atas memiliki beberapa bagian, yaitu masyhur, ‘aziz dan
gharib. Hadist gharib adalah hadist yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam
sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di
mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad. Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu
hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan
berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang
sebagai hadist gharib.[52]
a. Definisi Hadis Gharib
Hadis gharib di lihat dari
aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul)
yang berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, dan sulit
dipahami. Yang dimaksud hadis gharib ini ialah hadis yang dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits, penyendiriannya
itu dimana saja dalam salah satu sanad. [53]
Sedangkan nama lain yang satu
arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam
bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang
sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam satu tingkatan sanad
atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja
sedangkan pada timgkatan yang lain lebih dari satu orang.[54]
b. Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis gharib dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu:
a. Gharib mutlaq / fard mutlaq
Gharib ini adalah apabila
keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka
disebut gharib mutlaq/fard mutlaq, walaupun setelah tabi’in itu banyak yang
meriwayatkanya.[55]
b.
Gharib
nisbi / fard nisbi
Gharib nisbi / fard nisbi
adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in
maka disebut gharib nisbi/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan
hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu,
hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.[56]
c. Ciri-Ciri Hadis Gharib
Sebagaimana telah disinggung
di atas, bahwa hadis gharib memiliki ciri khusus yaitu, penyendirian pada awal
sanad hal ini disebut gharib mutlaq.
Akan tetapi lebih lanjut diuraikan bahwa, gharib nisbi adalah apabila
penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rabi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain
adalah : [57]
a.
Sifat
keadilan dan kedhabitan (kesiqohan) rawi
b.
Kota atau tempat tinggal tertentu
c.
Meriwayatkannya
dari orang tertentu juga.
Selanjutnya, apabila penyendirian hadis gharib ditinjau
dari segi letaknya, apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib ini
terbagi juga menjadi tiga bagian, yaitu :[58]
a.
Gharib
pada sanad dan matan
b.
Gharib
pada sanad saja
c.
Gharib
pada matan saja.
d. Cara-cara
Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau
menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis,
seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad.
Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau
matan lain yang menjadi syahid.
Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para muhadis dinamakan I’tibar. Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan sanad
hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis (takhrij Hadis). Dengan melakukan penelitian ini seseorang
akan tahu sejelas-jelasnya keadaan hadis
yang dimaksud, apakah dia mutawatir atau ahad (gharib).[59]
e. Kitab-kitab Hadis Gharib
Buah karya yang di dalamnya
memuat hadis-hadis gharib di antaranya :
- Musnad al-Bazzar karya Imam Bazari
- Mu’jam al-Ausad karya at-Thabrani
- Gharaig Malik karya ad-Daruqudni
- al-Afraad Allati Tafarrada Sunnatin Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[60]
4. Penutup
Hadits merupakan sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an. Di dalam hadits itu sendiri terdapat klasifikasi
atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadis mutawatir dan
hadits ahad dari segi kualitas hadits ada hadis sahih, hadits hasan, hadits daif
, dan hadits maudu’, dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadis maqbul dan
hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan
munqati’.
Demikian hadis dilihat dari
kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis
mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau
menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan
standar hadis yang maqbul. Hadis ahad (gharib) masih memerlukan barbagai
persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau
sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu
yaitu sifat keadilan dan kedhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti
(qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad
(gharib)bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan. Pengertian zhann
tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann
diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan
dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah
(marjuh).
[1]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[3]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[4]
Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah
khabar. Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan,
Taisir Mushthalah al-Hadis,
(Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[5]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[6]
Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, (Mesir : Madba’ah
al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih
al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet.,
Jilid-2, h.404
[7]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[8]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[9]
Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah, Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), t. Cet. Jilid-1, h. 45
[10]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[11]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;
M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet., ke-1, h. 133
[12]
Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp.,
tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[13]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Lihat juga; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.81
[14]
Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194
H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.-
261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200
H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817
M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.-
915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824
M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad
bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)
[15]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., 21
[16]
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres,
2000), cet., ke-3, h. 93
[17]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98; Lihat
juga, Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[18]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[19]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[20]
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981),
cet., ke-4, h. 68
[21]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[22]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[23]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ; Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari
istafadza pecahan (mustaq) kata dari
fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian karena
keadaannya terlebar luas. Menurut
istilah sudah tersebut di atas. Lihat,
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[24]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211; Lihat
juga, Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h. 23
[25] Fatchur Rahman,
Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h. 86
[26]
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits,
(Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h. 124-125
[27]
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981),
cet., ke-4, h. 68
[28]
An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah :
al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
[29]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (ttp. : Dar
Zuhud al-Qudsi, tth.), t.cet., h.134-135
[30]Contoh-contoh hadits masyhur setelah ditelusuri oleh
penulis banyak terdapat diberbagai kitab ilmu hadis, sayangnya semua contoh
antara kitab satu dengan yang lain hampir sama, walaupun ada yang sedikit
berbeda. Lebih lanjut lihat, As-Suyuthi,
Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr
:1993), t.cet. h. 350-354; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h.23-24; Nuruddin ‘Itr,
Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke
dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, Jilid-2, h.202-208; Ash-Shan’ani, Taudhih
al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet.,
Jilid-2, 407, Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar
al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.67-68;
Al-Iraqi, at- Taqyid wa al-`Idah Syarah Muqaddimah Ibn Shalah,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1981), t.cet, h. 263-366; Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum
al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.99-100
[31]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[32]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.209-210
[33]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100; Mahmud
at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[34]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100
[35]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 100; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h.24
[36] As-Suyuthi,
Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr
:1993), t.cet., h.355
[37]
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits,
(Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h.135-136
[38]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[39]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[40] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih
al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406
[41]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h.136
[42]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[43] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih
al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406; Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[44]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[45]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, 18
[46]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[47]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h.18; Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.71
[48]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[49]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[50]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[51] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[53]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10,
h. 98
[55] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[57]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
[59]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun