(Ditinjau dari
Aspek Pengaruhnya Terhadap Hadis)
(Asrowi, MA.)
A. Pendahuluan
Hadits[1] sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir[2] dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an,[3] serta yang berfungsi sebagai mubaiyin
(penjelasan) Al-Qur’an,[4] bisa dijadikan hujjah dalam hukum
Islam kalau berstatus hadis maqbul (diterima).[5]
Para muhaddisin, dalam menentukan diterimanya suatu hadis harus terpenuhinya
syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan
karena hadis itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang
terurai dalam sanad-sanadnya[6].
Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi,
sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui
mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang harus ditolak.[7] Hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul)
yaitu, hadis shahih lidzathi, hasan lidzathi, sahih lighairihi , dan
hasan lighairihi.[8]
Selanjutnya, hadis shahih lidzathi adalah hakekat hadis shahih
yang sebenarnya. Menurut Ibn Shalah hadis
shahih ialah : “Hadis musnad[9] yang sanadnya bersambung melalui
periwayatan orang yang adil[10] lagi dhabid[11] dari orang yang adil lagi pula
sampai ujungnya, tidak syadz[12] dan tidak mu’allal[13] (terkena ilat)”.[14] Imam Nawawi meringkas definisi Ibn Shalah, beliau mengatakan bahwa hadis
shahih ialah : “Hadis yang bersambung sanadnya melalui periwayatan
orang-orang yang adil lagi dhabid tanpa sadz dan illat.”[15]
Selanjutnya Syuhudi Ismail mengatakan, suatu hadis bisa dinilai shahih
kalau terpenuhi unsur-unsur kaidah kesahihan hadis, yaitu:
1. Sanad hadis yang bersangkutan harus
bersambung mulai dari mukharijnya sampai kepada Nabi
2. Seluruh periwayat dalam hadis, ia harus
bersifat adil dan dhabid
Kemudian hadis hasan lidzatihi adalah, hadis yang muttashil
sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih
rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa illat.[17] Untuk menghilangkan kesamaan antara hadis
shahih dan hadis hasan adalah, bahwasanya keadilan pada hadis hasan
disandang oleh orang yang kurang kuat ingatannya, sedangkan pada hadis
shahih seorang perawi benar-benar kuat ingatannya, dan pada keduanya
selamat dari kejanggalan dan penyakit.[18]
Selanjutnya yang dimaksud dengan hadis shahih lighairihi adalah
hadis yang keshahihhannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis
kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya.
Diantara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga
dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih.
Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li
dzatihi. Dengan ditemukan keterangan lain, baik berupa syahid maupun
mutabi’ yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya, hadis
ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li
ghairi.[19]
Kemudian, hadis hasan lighairihi adalah, hadis hasan bukan
dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan
karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya syahid atau mutabi’[20]. Dengan pengertian ini jelaslah, bahwa hasan
lighairihi kualitas asalnya dibawah hadis hasan, yakni hadis dhaif.[21]
Meskipun hadis dhaif[22] bisa meningkat derajatnya setingkat lebih
tinggi menjadi hasan, namun tidak semua hadis dhaif bisa
meningkat. Hadis dhaif yang bisa meningkat, hanyalah hadis-hadis tidak
yang terlalu lemah seperti hadis mursal,[23] hadis mu’allal,[24] hadis mubham[25] dan hadis mastur[26].
Sedangkan untuk hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis maudhu’[27], hadis matruk[28] dan hadis mungkar[29], derajatnya tidak bisa meningkat.
Hadis-hadis yang tersebut akan tetap berkedudukan mardud, yang berarti
tidak dapat dijadikan hujjah.[30]
Hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad dan matan[31] dapat diketahui kemaqbulannya,
harus diadakan penelitian hadis (studi takhrij[32]).
Dengan kegiatan ini segala hadis-hadis yang dikutib dan tersebar dalam
berbagai kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak
memperhatikan kaidah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga
menjadi jelas keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.[33]
Dalam hal ini penulis menitik beratkan pembahasan pada sanad hadis,
karena para ulama’ hadis menilai sangat pentingnya kedudukan sanad dalam
riwayat hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka
suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi berita
itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama
hadis tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan
sebagai hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya ulama yang bukan ahli hadis,
maka berita tersebut oleh ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis
maudhu’.[34]
Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan sanad, Muhammad bin
Sirin menyatakan bahwa : “Sesungguhnya
pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil
agamu itu. Maksudnya, dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat penting
diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dalam hadis yang
bersangkutan.”[35]. Abdullah
bin Mubarak menyatakan bahwa : “Sanad hadis merupakan dari agama.
Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas
menyatakan apa yang dikehendakinya”.[36] Pernyataan itu memberi peringatan bahwa sanad
hadis merupakan bagian penting dari riwayat hadis. Kebenaran suatau hadis
yang tercantum dalam berbagai kitab ditentukan
juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.[37]
Terhadap pernyataan Abdullah bin Mubarak itu, Imam Nawawi menjelaskan bahwa
: “Bila sanad suatu hadis
berkualitas sahih, maka hadis itu dapat diterima, sedangkan sanad
hadis itu tidak shahih, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.
An-Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadis dengan sanadnya ibarat hubungan hewan
dengan kakinya”.[38]
Selanjutnya, jika seseorang ingin meneliti suatu sanad hadis, ia harus
mengkaji ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad, diantaranya ilmu Rijal al-Hadis[39] yang mencakup ilmu Thabaqad[40] dan Tarikh ar-ruwah[41], dan Ilmu Jarh wa Ta’dil[42].
Pada penyusunan makalah ini penulis menganalisis kedudukan ilmu Jarh wa
Ta’dil dikaji dari segi kedudukannya dan pengaruhnya terhadap kualitas
hadis. Kemudian penulis tuangkan dalam makalah
yang berjudul “Kedudukan Jarh wa Ta’dil dalam menentukan Kualitas Hadis”.
B. Uraian Suputar Jarh wa Ta’dil
1. Definisi[43]
a. Al-Jarh
secara etimologis merupakan bentuk mashdar, dari kata ( ) yang berarti
seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya
darah dari luka itu. Dikatakan ( ) yang berarti hakim dan yang lain melontarkan
sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
b. Al-Jarh
secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya. Sedang “at-Tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang
membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
c. Al-Adl secara etimologis berarti sesuatu yang
terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang
adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti
menilainya positif.
d. Al-Adl secara terminologis berarti orang yang
tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga
khabar kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat yang telah
kami sebutkan dalam kelayakan ada’. Sehingga tampak sifat adilnya dan dapat
diterima khabarnya. Dengan demikian, ilmu al-jarh wa at-Ta’dil berarti : Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi
dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. [44]
2. Kaedah Jarh wa Ta’dil
Mayoritas 'Ulama hadits dan fiqh
bersepakat bahwa seorang perawi harus mempunyai dua syarat dasar, yaitu :
a.
'Adalah (adil) : artinya bahwa perawi haruslah seorang muslim,
baligh, berakal dan terbebas dari beberapa sebab kefasikan dan selamat dari
cacat muru'ah.
b.
Dhabt : maksudnya seorang perawi tidaklah bertentangan
dengan perawi-perawi lain yang terpercaya, tidak buruk hafalannya, salahnya
tidak keterlaluan, tidak pelupa dan tidak salah duga.[45]
Sifat 'adalah (keadilan) bisa
ditetapkan dengan salah satu dari dua perkara :[46]
a.
Dengan ditetapkan oleh 'Ulama ta'dil atau ditetapkan oleh salah
satu saja dari mereka.
b.
Adakalanya karena dia sudah masyhur dan terkenal adil, oleh karena
itu siapa yang sudah terkenal adil di kalangan ahli ilmu, dan sudah banyak yang
memujinya maka hal itu sudah dianggap cukup, tidak perlu dan tidak membutuhkan
kepada seorang ahli ta'dil yang menetapkan atas keadilannya, orang
-orang yang seperti itu adalah imam-imam yang sudah terkenal seperti imam
empat, Sufyan dan Auza'i dan lain-lainnya.[47]
Kedhabitan perawi bisa
diketahui karena dia cocok dengan perawi-perawi
terkemuka yang cermat dalam meriwayatkan hadis, oleh karena itu apabila seorang
perawi hadis cocok dengan para perawi lainnya yang dhobit dalam meriwayatkan
hadis maka dia adalah seorang yang dhabith, sebaliknya jika perawi tersebut bertentangan
dalam periwayatan dengan perawi yang dhabith atau perawi itu tidak cocok dengan
perawi yang banyak maka hilanglah kedhabitannya dan otomatis haditnya rusak dan
tidak bisa dipakai sebagai hujjah.[48]
Adapun ta'dil, bisa diterima dengan tanpa
menyebutkan sebabnya menurut pendapat shahih
lagi pula masyhur, sebab penyabab ta'dil banyak sekali di mana sulit untuk
menghitungnya, karena seorang mu'addil kadang-kadang butuh mengatakan :
"Dia tidak melakukan demikian, dia tidak melakukan dosa ini", atau
dia butuh mengatakan : "Dia melakukan demikian dan seterusnya dan
seterusnya".[49]
Sedangkan jarhu tidaklah
diterima kecuali menyebutkan jarhnya (kesalahan-kesalahannya), disampaing itu muhadis
pada umumnya berbeda pendapat mengenai sebab-sebab jarhu, terkadang sebagian
muhadis menjarh (menyacat) dengan sesuatu yang tidak semestinya. Di dalam menetapkan jarh wa ta’dil, menurut
pendapat muhadis yang shahih mengatakan bahwa jarhu dan ta'dil bisa ditetapkan
oleh satu orang. Ada juga yang berpendapat lain bahwa jarhu
dan ta'dil sekurang-kurangnya ditetapkan oleh dua orang.[50]
Selanjutnya, para muhadis di dalam menetapkan keadaan jarh wa
ta’dil dari aspek yang mana lebih di dahulukan, apakah jarh. Jika dalam satu perawi jarhu dan ta'dil
berkumpul. Pendapat mu'tamad mengatakan
bahwa jarhu harus didahulukan, bila dia berfungsi sebagai yang memberi penafsiran. Ada
yang berpendapat bahwa apabila bilangan mu'addil lebih atas jumlah 'orang
melakukan jarhu maka didahulukan ta'dil, dan ini merupakan pendapat dha'if yang
tidak mu'tamad. [51]
Adapun Periwayatan seorang yang adil dari seseorang tidaklah
dianggap sebagai ta'dil terhadap seseorang itu menurut mayoritas 'Ulama dan ini
merupakan pendapat yang shahih, tetapi ada yang berpendapat hal itu merupakan
ta'dil. Amalan seorang 'alim serta fatwanya yang cocok dengan hadits bukanlah
merupakan hukum keshahihannya, dan ketidakcocokannya terhadap hadits tidaklah
merusak keshahihannya dan juga tidak pada perawi-perawinya. Tetapi ada yang
malah berpendapat bahwa hal itu merupakan hukum keshahihannya, selanjutnya Imam
Al Amisi dan 'Ulama ushul yang lain membenarkannya, dan dalam masalah ini
memang dibicarakan dengan panjang lebar.[52]
Bagaimana hukum riwayat seorang yang bertaubat dari kefasiqan ada
dua pendapat : Pertama : Seorang yang taubat dari kefasikan
riwayatnya diterima. Kedua : Riwayatnya
orang yang telah taubat dalam melakukan pembohongan terhadap hadits Rasulullah
SAW tidaklah diterima.[53]
C. Tingkatan jarhu dan
Ta'dil :
1.
Tingkatan lafadz menta’dilkan Rawi [54]
a. Lafadz
yang menunjukkan (kesempurnaan) kelebihan perawi
اوثق الناس
|
|
Orang
yang paling siqah
|
اثبت الناس حفظ وعدالة
|
|
Orang
yang paling mantap kedilannya dan hafalan
|
اليه المنتهى في الثبت
|
|
Orang
yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
|
ثقة فوق الثقة
|
|
Orang
yang siqah melebihi orang yang siqah
|
b. Lafadz
yang menunjukkan keadilan dan kedhabitan perawi[55]
ثبت ثبت
|
|
Orang
yang teguh (lagi) teguh
|
ثقة ثقة
|
|
Orang
yang tiqah (lagi) siqah
|
حجة حجة
|
|
Orang
yang ahli (lagi) Petah lidahnya
|
ثبت ثقة
|
|
Orang
yang teguh (lagi) siqah
|
حافظ حجة
|
|
Orang
yang hafidz lagi petah lidahnya
|
ظابط متقن
|
|
Orang
yang kuat ingatannya lagi menyakinkan ilmunya
|
c. Lafadz
yang menunjukkan keadilan dan kuat ingatan perawi[56]
متقن
|
|
Orang
yang meyakinlan ilmunya
|
ثقة
|
|
Orang
yang tiqah
|
حافظ
|
|
Orang
yang kuat hafalannya
|
حجة
|
|
Orang
yang petah lidahnya
|
d.
Lafadz yang menunjukkan keadilan dan
kedhabitan akan tetapi kurang kuat ingatannya[57]
صدوق
|
|
Orang
yang sangat jujur
|
مأمون
|
|
Orang
yang dapat memegang amanat
|
لا بأس به
|
|
Orang
yang tidak cacat
|
e.
Lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi,
akan tetapi tidak mengandung adanya kedhabitan perawi[58]
محله الصدق
|
|
Orang
yang berstatus jujur
|
جيد الحديث
|
|
Orang
yang baik hadisnya
|
حسن الحديث
|
|
Orang
yang bagus hadisnya
|
مقارب الحديث
|
|
Orang
yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang yang siqah
|
f. Lafadz
yang menunjukkan arti cacatnya perawi[59]
صدوق ان شاءالله
|
|
Orang
yang jujur, insya Allah
|
فلان ارجوبان لاباس به
|
|
Orang
yang diharapkan tsiqah
|
فلان صويلح
|
|
Orang
yang sedikit kesalehannya
|
فلان مقبول حديثه
|
|
Orang
yang diterima haditsnya
|
2. Tingkatan lafadz
mentarjihkan Rawi [60]
a. Lafadz
yang menunjukkan arti cacat (cela) yang amat sangat pada Rawi[61]
اوضع الناس
|
|
Orang
yang paling dusta
|
اكذب الناس
|
|
Orang
yang paling bohong
|
اليه المنتهىفىالوضع
|
|
Orang
yang paling top kebohongannya
|
|
|
|
b. Lafadz yang menunjukkan arti cacat (cela) yang amat
sangat dengan shigat muballagah pada rawi[62]
كذاب
|
|
Orang
yang pembohong
|
وضاع
|
|
Orang
yang pendusta
|
دجال
|
|
Orang
yang penipu
|
|
|
|
c. Lafadz
yang menunjukkan arti tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. [63]
فلان متهم بالكذب
|
|
Orang
yang dituduh bohong
|
اومتهم بالوضع
|
|
Orang
yang dituduh dusta
|
فلان فيه النظر
|
|
Orang
yang perlu diteliti
|
فلان ساقط
|
|
Orang
yang gugur
|
فلان ذاهب الحديث
|
|
Orang
yang haditsnya telah hilang
|
فلان متروك الحديث
|
|
Orang
yang ditinggalkan haditsnya
|
d. Lafadz
yang menunjukkan lemah yang amat sangat[64]
مطرح الحديث
|
|
Orang
yang dilempar haditsnya
|
فلان ضعيف
|
|
Orang
yang lemah
|
فلان مردودالحديث
|
|
Orang
yang ditolak haditsnya
|
e. Lafadz
yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalan[65]
فلان لايحتج به
|
|
Orang
yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
|
فلان مجهول
|
|
Orang
yang tidak dikenal identitasnya
|
فلان منكرالحديث
|
|
Orang
yang mungkar haditsnya
|
فلان مضطرب الحديث
|
|
Orang
yang kacau haditsnya
|
فلان واه
|
|
Orang
yang banyak menduga-duga
|
f. Lafadz
yang menunjukkan sifat lemah yang mendekati keadilan perawi[66]
ضعف حديثه
|
|
Orang
yang didla’ifkan haditsnya
|
فلان مقال فيه
|
|
Orang
yang diperbincamgkan
|
فلان فيه خلف
|
|
Orang
yang disingkiri
|
فلان لين
|
|
Orang
yang lunak
|
فلان ليس بالحجة
|
|
Orang
yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
|
فلان ليس بالقوى
|
|
Orang
yang tidak kuat
|
D. Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil[67]
- Ma 'rifatu 'r-rijal: Karya Yahya Ibni Ma'in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz perta-ma kitab tersebut, yang masih herupa manuskrip (tulisan ta-ngan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
- Ad-Dlu 'afa'. Karya Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
- At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sa-ngat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hen-daklah hati-hati terhadap pcnta'dilannya. Naskah aslinya dike-temukan di Darul-Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
- Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya 'Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-be-sar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mu-kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang asli dijadikan dua jilid.
- Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biar pun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
- Lisanu 'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. la dicetak di India pada tahun 1329-1331 H. dalam 6 jilid.[68]
E. Kesimpulan
Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan salah satu ilmu hadits yang sangat
berpengaruh perannya, hal ini terbukti dengan adanya berbagai komentar para
muhadis yang memperbincangkan ilmu Jarh wa Ta’dil ini. Bahkan untuk menentukan kualitas hadis untuk
berhujjah, ilmu Jarh wa Ta’dil ini menjadi alat penimbang yang paling utama dibanding
ilmu-ilmu hadis yang lain.
Secara garis besar ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan suatu ilmu hadis
yang memiliki posisi terpenting, teragung dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dan
digolongkan mana saja hadis yang shahih, hasan dan yang dho’if bahkan y ang
palsu sekalipun.
Selanjutnya, dengan ilmu ini dapat memutuskan mana saja hadis yang dapat
diterima (maqbul) dan yang ditolak (mardud), karena masing-masing tingkatan
Jarh wa Ta’dil memiliki akibat hukum hadis yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, Bandung: Cv Diponegoro, 1983,
Cet. ke-2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996,
Cet. ke-1
Fatchur
Rahman, Musthalahul Hadis. Bandung
: PT Alma’arif, t.th , cet., ke-10, h. 320;
Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul
al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta
: Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1
Imam Jalal ad-Din Abu
al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti, Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Bairut:
Dar al-Fikr, 1993, t.Cet.,
Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar
al-Fikr, tth., t. Cet.
Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu
wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 220
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2
Shuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995,
Cet. ke-2
Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001,
cet. ke-4
Endang Soetari, Ilmu
Hadis, Bandung
: Amal Bakti Press, 2000, cet., ke-3,
[1] Hadis menurut bahasa adalah baru, ucapan, perkataan,
kabar, berita, cerita, sedangkan kalau menurut istilah adalah, segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik dari segi ucapan, perbuatan,
dan taqrir. Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996),
Cet. ke-1, h. 747; Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah
al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr,
tth.), t. cet., h. 14;
[2] Taqrir ialah, sesuatu yang timbul dari sahabat
Rasul Allah saw. yang telah diakui oleh Rasul Allah saw., baik berupa ucapan maupun
perbuatan. Lihat, ‘Abd al-Wahab
Khalaf, Ushul Fiqh, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), h. 36
[3] Shuhudi Ismail,
Pengantar Ilmu Hadis,
(Bandung: Angkasa, 1994),
Cet. ke-10,h. 3
[4] Nuruddin
‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. ke-2,
Jilid 1, h. 2
[5]Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 32
[6] Sanad menurut bahasa yang disandarkan,
sedangkan menurut istilah hadis adalah silsilah perawi yang menghubungkan
sampai pada matan. Lihat, Mahmud
ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 16
[7]Nuruddin ‘Itr, Manhaj
an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum
al-Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995),
Cet. ke-2., Jilid 2, h. 1
[8] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 33
[9] Kata musnad merupakan isim maful dari asnada
yang bermakna menggolongkan dan menisbatkan, menurut istilah muhadis yaitu
hadis marfu’ (bersandar pada Nabi) atau muttasil (bersambung
hingga akhir sanad). Lihat Mahmud
ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 15;
Ibn Kasir, al-Ba’is
al-Hasis, (Bairut: Dar al-Fikr,
1996), t.Cet., h. 34
[10] Perawi ‘adil yaitu, seorang muslim, balig,
berakal, tidak fasik tidak cacat mental dan bisa menjaga muru’ah. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis,
(Bairut: Dar al-Fikr, tth.),
t. cet., h.15
[11] Perawi dhabid berarti cermad, kuat ingatannya,
mampu menjaga kitabnya dari segala bentuk penambahan atau pengurangan. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis,
(Bairut: Dar al-Fikr, tth.),
t. cet., h.15
[12] Perawi siqah bertentangan dengan perawi yang
lebih siqah. Lihat Mahmud
ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h.15
[13] Illat berarti cacat, kesalahan, penyakit dan
keburukan. Yaitu, hadis yang lahirnya
tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.
Shuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10, h. 147
[14] Al-Hafid Zain ad-Din ‘Abd ar-Rahman bin Husain
al-‘Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah
Syarh Muqoddimah Ibn as-Shalah,
(Bairut: Dar al-Fikr, t.th.),
t. cet., h. 20
[15]Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman
as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh
Taqrib an-Nawawi,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1993),
t.Cet., h. 31; Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , (Bairut:
Dar al-Fikr, 1989), t.Cet., h. 220
[16]Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992),
Cet. ke-1, h. 64
[17] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut:
Dar al-Fikr, 1989, t.Cet h.
333
[18]Subhi as-Shalah,
Ulum al-Hadis wa Mushthalahu, (Bairut:
Dar al-‘Ilm li Malayin,
1988), Cet. ke-17, h. 156;
Nuruddin ‘Itr, op. cit., h. 27
[19]Utang Ranuwijaya,
Ilmu Hadis,
(Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), cet. ke-4,
h. 166; Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, (Bandung:
Cv Diponegoro, 1983), Cet. ke-2,
h. 31; Shuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis, Jakarta:
Bulan Bintang, 1995, Cet. ke-2, h. 181
[20] Syahid adalah hadis yang diriwayatkan dari
seorang sahabat sama (hampir sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat lain,
baik secara lafdzi maupun ma’nawi. Sedangkan, mutabi’ adalah kebersamaan
seorang perawi dengan perawi lain dalam meriwayatkan suatu hadis dari gurunya
atau dari oranh yang di atasnya. Lihat
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 366
[21]Utang Ranuwijaya,
Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001,
cet. ke-4, h. 173
[22] Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat
(lemah), menurut istilah ialah, hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat shahih
atau hasan. Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet., h. 63;
[23] Mursal, merupakan isim maf’ul dari kata arsal
yang bermakna atlaq (melepaskan), menurut istilah adalah hadis yang dimarfu’kan
seorang tabi’in kepada Rasul Allah saw., baik berupa sabda, perbuatan
maupun taqrir, baik itu tabi’in kecil maupun tabi’in besar. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah
al-Hadis, Bairut: Dar
al-Fikr, tth., t. Cet. h. 71
[24] Mu’alal, merupakan isim maf’ul dari kata
‘a’alla, menurut istilah muhaddis adalah hadis yang nampak di
dalamnya ada ilat yang merusak kesahihannya, padahal lahirnya kelihatan
selamat dari illat. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut:
Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 343
[25] Mubham (perawi yang tidak disebut namanya),
hadis yang di dalamnya ada peawi yang ‘adil yang meriwayatkan dari seorang
perawi lain tanpa menyebut namanya.
Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 272
[26] Mastur (perawi yang tidak diketahui hal
ikhwalnya), hadis yang di dalamnya sanadnya ada perawi yang tidak diketahui hal
ikhwalnya.
[27] Maudhu’ merupakan isim maf’ul dari kata
dasar wadha’a yang artinya menurunkan, diberi sebutan seperti itu karena
turunnya kategori hadis ini, maudhu’ menurut istilah adalah sesuatu yang
dinisbatkan kepada Rasul saw. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau
sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan. Hadis ini tidak bisa
meningkat derajatnya, bahkan ulama bersepakat bahwa hadis maudhu’ tidak
diperkenankan untuk diriwayatkan kepada seseorang yang tidak tahu persis
keadaannya dalam pengertian apa saja, kecuali disertai penjelasan
kemaudhu’annya. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, h. 68
[28] Matruk, menurut bahasa terambil dari kata tark,
yang kemudian diartikan dengan yang ditinggalkan atau yang sudah tidak ada
faedahnya. Menurut istilah ialah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh dusta dalam hadis
nabawi, atau sering bedusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat
kefasikannya melalui peruatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali
salah dan lupa. Hadis matruk
merupakan hadis memiliki peringkat nomor dua paling bawah setelah maudhu’,
derajatnya tidak bisa meningkat karena kerendahan sanad, bahkan bisa dicurigai
sebagai hadis maudhu’. Lihat,
Nuruddin ‘Itr, Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, h. 65-66
[29] Munkar, menurut bahasa ialah isim maf’ul
dari kata inkar, lawan dari ikrar. Menurut istilah, munkar memiliki beberapa
definisi, di antaranya adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang
keliru menyolok, pelupa atau nampak sekali kefasiqannya, atau hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if yang bertentangan dengan hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya.
Hadis mungkar termasuk jenis hadis yang sangat dha’if dan
tidak bisa meningkat kualitasnya, sebab ada kemungkinan diriwayatkan oleh
perawi yang dha’if yang disifati dengan kesalahan yang menyolok, atau
pelupa, atau memang diriwayatkan oleh perawi yang fasiq, dan barangkali
diriwayatkan oleh perawi yang dha’if dan yang bertentangan dengan periwayatan
perawi yang siqah. Lihat,
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 101
[30] Abdul Qadir Hasan,
Ahmad Qadir Hasan, Ilmu
Mushthalah al-Hadis, Bandung: Cv Diponegoro, 1983,
Cet. ke-2, h. 73
[31] Menurut bahasa, sanad berarti : Sandaran, yang dapat dipegangi atau
dipercaya, kaki bukit atau kaki gunung.
Menurut istilah, sanad hadis berart :
Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Sedangkan, matan dari segi bahasa,
berarti : Punggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi. Dari segi istilah, yaitu : Materi berita yang berupa sabda, perbuatan
atau taqrir Nabi saw, yang terletak setelah sanad yang akhir. Lihat, Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10, h. 17-23
[32] Takhrij menurut bahasa ialah, al-Istinbat
(mengeluarkan dari sumbernya), at-tadrib (latihan), dan at-taujih
(pengarahan, menjelaskan duduk persoalan).
Sedangkan takhrij menurut istilah adalah, mengungkap atau
mengeluarkan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang
berada dalam rangkaian sanadnya, sebagai yang mengeluarkan hadis tersebut. Lihat, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001,
cet. ke-4, h. 111-112
[33]Utang Ranuwijaya,
Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001,
cet. ke-4, h. 114
[34]Shuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10, h. 23-24
[35]Shuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10, h. 24 ; ; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 242
[36] Shuhudi Ismail,
Pengantar Ilmu Hadis, Bandung:
Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h.25
[37] Shuhudi Ismail,
Pengantar Ilmu Hadis, Bandung:
Angkasa, 1994, Cet. ke-10, 24
[38]Shuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa,
1994, Cet. ke-10, 25
[39] Rijal al-hadis adalah ilmu yang membahas
tentang hal ihwal sejarah para rawi dari kalangan shahabat, tabi’in dan atba’
at-tabi’in. Lihat, Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung : Amal Bakti Press, 2000), cet.,
ke-3, h. 155
[40] Thabaqad ialah, ilmu yang membahas tentang
kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu pengikat yang sama. Lihat,
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung : Amal Bakti
Press, 2000), cet., ke-3, h. 155
[41] Tarikh ar-ruwah merupakan suatu ilmu yang
memaparkan tentang biografi para perawi, dari segi nama, gelar, julukan, tempat
tanggal lahir dan wafat, keturunan, guru, murud, jumlah hadis yang
diriwayatkan, tempat serta waktunya, dan lain-lain. Lihat,
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 253
[42] Jarh wa Ta’dil suatu ilmu yang membahas tentang
hal ihwal para rawi dalam hal memcacat keaibannya atau memuji keadilannya. Lihat,
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,
Bairut: Dar al-Fikr, 1989,
t.Cet., h. 260
[43] ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar
al-Fikr, tth., t. Cet. h.
123
[44] ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar
al-Fikr, tth., t. Cet. h.
123
[45]Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 123; ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits
; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 139
[46] ; Lihat, ‘Ajaj
Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok
Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr,
tth., t. Cet. h. 241
[47] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 125
[48] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 124, Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut:
Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 201
[49] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 126
[50] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 127
[51] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 125; lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits
; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 139
[52] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 126; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits
; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 140
[53] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,
Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 126
[54] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 313 ; Selanjutnya, lihat : Syuhudi Ismail, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), cet., ke-2, h.
197-198
[55] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 314; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah
al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 246
[56] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 315
[57] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 315
[58] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 315: Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 246
[59] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 316
[60] Selanjutnya, lihat : Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1995), cet., ke-2, h. 201-204
[61] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 316
[62] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 317
[63] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 317; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 247
[64] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 317
[65] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 317
[66] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 318; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 247
[67] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif,
t.th.), cet., ke-10, h. 320
[68] Fatchur Rahman, Musthalahul Hadis.(Bandung : PT Alma’arif,
t.th), cet., ke-10, h. 320; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ;
diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth.,
t. Cet. h. 248
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun