16 Aug 2014

Hadis Mutawatir Ditinjau Dari Aspeknya





A.  Pendahuluan

Di dalam pengkajian hadis Nabi saw.[1] para muhadis mengelompokkkan bagian-bagian bab tertentu, masing-masing bab tersebut di analisis secara terperinci dengan menggunakan metode dan sistem yang beragam.  Pengelompokkan hadis pada aspek-aspek tertentu diharapkan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para pengkaji hadis khusunya para pemula untuk merumuskan bagian-bagian tersebut.  Dengan mempergunakan alur-alur tertentu itulah akan dapat memberikan kemudahan-kemudahan yang akan menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Selanjutnya, dalam pemaparan bab ini penulis akan menjelaskan seputar hadis Nabi ditinjau dari aspek kuantitas.  Berbicara tentang kuantitas hadis tentu yang kita bicarakan adalah jumlah hadis.  Para muhadis dalam membicarakan kuantitas hadis lebih rincinya bersentral pada sanad hadis.  Sebab pembicaraan sanad hadis itu juga berbicara seputar matan.  Lebih lanjut, para muhaddis di dalam menghitung hadis tidak ditekankan pada penghitungan matan hadis, akan tetapi penghitungan hadis disepakati oleh para muhaddis dengan cara menghitung jumlah sanadnya. 
Pemaparan tentang sanad hadis Nabi ditinjau dari aspek kuantitasnya menghasilkan satu kesepakatan rumusan, akan tetapi di dalam perumusan dan penjelasan seputar hadis Nabi ini para ulama banyak yang berbeda pendapat.  Perbedaan pendapat itu tidaklah menciptakan suatu perpecahan di dalam kesepakan mereka, justru menambah khasanah keilmuan hadis Nabi.
    Para pakar ilmu hadis di dalam menjelaskan tentang kuantitas hadis, dikelompokkan ke dalam bebarapa bagian.  Dari masing-masing bagian tersebut dibagi menjadi beberapa bagian lagi.   Adapun bagian pertama, hadis ditinjau dari aspek kuantitasnya yaitu hadis mutawatir.
Penelusuran riwayat mutawatir yang dituangkan di dalam bab hadis mutawatir ini merupakan suatu hal yang logis.  Hadis yang merupakan segala hal yang bersumber pada Nabi Muhammad saw. mutahil sampai kepada kita jika tidak ada pengantarnya.  Pengantar hadis itulah yang lazim disebut sebagai rawi, kelompok-kelompok perawi hadis (thabaqah as-Sanad) terbentuk secara alami yang selanjutnya disebut sanad hadis. 
Sanad hadis yang terdapat di setiap hadis Nabi melalui sistem yang permanen.  Hal itu terbukti dengan adanya pengelompokan kelompok-kelompok (thabaqah) tertentu.  Kelompok pertama disebut sebagai sahabat Nabi, sahabat menyampaikan hadis kepada tabi’in, tabi’in menyampaikan hadis kepada tabi’ tabi’in, tabi’ tabi’in menyampaikan hadis kepada muridnya (lazim disebut guru mushonnif), kemudian yang terakhir dibukukan oleh para penulis hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, at-tirmidzi, an-nasa’i, Ibnu majah, Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.
Perjalanan hadis samapai kepada kita melalui mata rantai sanad yang panjang, sehingga sangat perlu dianalisis dan diteliti ulang demi menjaga kebenaran berita dari Nabi yang berfungsi sebagai salah satu sumber ajaran Islam.  Penelitian tersebut untuk mengelompokkan hadis-hadis yang bisa dipakai hujah secara mutlak (hadis mutawatir) dan hadis-hadis yang perlu ditangguhkan sebagai hujah (hadis ahad)

B.  Definisi Hadis Mutawatir

Mutawatir[2] menurut bahasa adalah bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih berganti tak henti-hentinya[3]  atau bermakna yang saling mengikuti.[4]
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik dari aspek ucapan (qauliyyah)[5], perbuatan (fi'liyyah)[6] maupun suatu rekomendasi (taqririyyah)[7] dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut Hasbi mutawatir adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung Jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan (diragukan;penulis), bahwa mereka telah sepakat berdusta.  Keadaan itu terus menerus hingga sampai kepada akhirnya. (sanadnya ;penulis)[8]
Menurut pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.[9]
Dari pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam hadis mutawatir yang mana hadis tersebut memiliki jalur sanad yang cukup banyak, dari jumlah orang-orang yang meriwayatkan tersebut  suatu hal yang mustahil mereka-mereka para perawi hadis dengan sengaja mengadakan suatu kesepakan untuk membuat kabar berita atau informasi lain yang menyimpang.  Kemustahilan itu muncul sebab mereka para perawi hadis di dalam menyampaikan hadis ('ada al-hadis)[10] harus memiliki syarat-syarat yang cukup ketat, ketelitian ini terbukti adanya perhatian para ulama pada masanya dengan membuat berbagai kritikan terhadap perawi hadis, yang selanjutnya termuat di dalam ilmu Jarh wa Ta'dil. [11]
Dari uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat itu adalah:
a.       Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang.[12]  Menurut Abu ath-Thayyib jumlah perawi tersebut minimal empat orang, pendapat ini diqiyaskan pada banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terda’wa.[13]  Menurut Ashhab asy-Syafi’i lima orang, pendapat ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang terdapat di dalam ‘ulul ‘azmi. [14] Menurut ulama yang lain menyatakan batasan jumlah perawi tersebut mencapai duapuluh berdasarkan ketentuan  yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Anfal ayat 65.”Jika dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”. [15] Ada juga yang berpendapat bahwa hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya empatpuluh orang (jalur sanad),[16] pendapat ini juga diqiyaskan pada firman Allah suarat al-Anfal ayat 64,”Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mu’min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.[17]
b.    Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua tingkatan sanad (setiap thabaqah).[18]
c.     Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan.[19]
d.    Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat.  Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa dikatakan sebagai mutawatir. [20]
Dari berbagai syarat-syarat hadis mutawatir yang telah dikemukakan di atas, ditinjau dari aspek batasan sanad jumlah minimal tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat sebab tidak memiliki landasan sumber yang jelas dan valid.  Alasan-alasan yang telah mereka kemukakan  di dalam mempertahankan pendapat mereka masing-masing sangat lemah dan menyimpang dari pokok kajian dan persoalan.
Adapun jumlah sedikit atau banyaknya periwayat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqah) tidak mutlak menjadi persyaratan hadis mutawatir, akan tetapi kemutawatiran hadis itu yang penting tercapainya ilmu dharury.[21]  Walaupun jumlah perawi pada sanad hadis mutawatir tersebut jumlahnya sedikit, selama dapat memberikan kesan dan membuktikan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, hadis tersebut layak disebut mutawatir.[22]
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap tingkatan (thabaqah) mulai dari sahabat hingga penulis hadis (mutadwin) sangat diutamakan.  Misalnya Nabi berbicara didengar oleh sepuluh orang sahabat, sahabat menyampaikan hadis didengar oleh sepuluh tabi’in dan seterunya hingga pada tingkatan penulis hadis.  Apabila setiap tingkatan sanad tersebut tidak seimbang jumlahnya tidak bisa disebut mutawatir, contohnya seperti Nabi bersabda didengar oleh sepuluh sahabat, sahabat menyampaikan hadis didengar oleh tiga tabi’in, hal ini menurut kesepakan ulama hadis tidak bisa disebut mutawatir.[23]

C.  Pembagian Mutawatir
           
Para muhaddis dalam membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[24] dan ada yang mengatakan tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali.  Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah ini.

1.  Mutawatir Lafdhi

Mutawatir lafzi adalah, hadis yang diriwayatkan secara tepat tanpa ada perubahan baik dari lafad maupun ma’nanya.[25]  Seperti contoh hadis : 

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 “Barangsiapa mendustakan atasku (ucapan, perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya di Neraka. (Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
Menurut Abu Bakar al-bazari, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 sahabat.  Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat[26] dengan lafad dan makna yang sama, [27] ada yang mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat.[28]  Menurut Endang Saetari hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, at-turmudzi, ath-Thayalisi, Abu Hanifah, ath-Thabrani, dan Hakim.[29]  
            Menurut Ibnu Shalah[30] sebagaimana di kutib oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Nuhbah, contoh hadis mutawatir lafdhi itu tidaklah banyak sebab sukar sekali mengemukakan contoh hadis mutawatir lafdzi.[31] Hadis mutawatir tersebut di atas merupakan contoh hadis mutawatir lafdzi yang benar-benar nyata.[32]  Menurut Hasbi contoh hadis mutawatir itu kebanyakan mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat shalat, tentang kadar zakat dan yang sebandingnya.[33]
            Contoh hadis mutawatir di atas setelah ditelusuri, oleh al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadis an-Nabawi karya AJ. Winsinck[34] bisa ditemukan diberbagai kitab-kitab mu’tabarah, di antaranya kitab sahih Bukhari bab jana’iz, bab anbiya’ dan bab adab, selanjutnya terdapat di sahih Muslim bab  Zuhud, Abu Daud bab ‘ilmu, at-Turmudzi bab fitan, bab ‘ilmu, bab tafsir, dan bab manaqib, Ibnu Majah bab mukhaddimah, ad-Darimi bab muqaddimah dan Ahmad bin Hanbal terdapat pada sejumlah sanad lebih kurang 43 jalur sanad.  Setelah penulis buka sesuai dengan petunjuk mu’jam hadis tersebut di atas tidak sama lafadznya secara keseluruhan ,jadi ada yang diriwayatkan secara makna. Akan tetapi untuk lafadz hadis sebagaimana tersebut di atas lebih dari sepuluh jalur sanad.






  
2.  Mutawatir Ma’nawi

Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan yang lain.[35]  Contohnya hadis :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.[36]
Hadis-hadis sebagaimana tertulis di atas yang artinya semakna lebih dari seratus hadis.[37]  Di anatara contoh lain adalah seperti hadis tentang mengangkat kedua tangan pada waktu berdo'a, Nabi saw. Selalu mengangkat tangan di kala berdo’a, selanjutnya hal ini diriwayatkan oleh para sahabat hingga menulis hadis. Para perawi di dalam meriwayatkan hadis tentang mengangkat tangan di kala berdo’a ini secara makna sama, akan tetapi bentuk lafad dan kalimatnya berbeda-beda.[38]
Menurut manna’ al-Qathan hadis mutawatir ma’nawi ini juga sangat sulit ditemukan di dalam riwayat-riwayat hadis yang ada sangat sedikit, di banding dengan jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad) yang jumlahnya sangat banyak.  Di anatara hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis tentang mashu ‘ala al-Khufaini, hadis rafa’ yadain fi ash-shalah, hadis al-haid, hadis nadhr Allah imroan sami’ maqali, hadis unzila al-Qur’an sab’ah ahruf, hadis man buniya lillah masjidan, hadis kullu muskir haramun, hadis wailun lila’qab min an-nar, hadis ru’yat Allah fi al-akhirah, dan hadis an-naha ‘an ittikhadh al-qubur masajid.  Selanjutnya qathan juga menyatakan bahwa hadis mutawatir ma’nawi lebih banyak jumlahnya daripada hadis mutawatir lafdzi.[39]        

3.  Mutawatir Amali
           
Mutawatir adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa Muhammad Nabi saw. pernah mengajarkan atau melaksanakan amalan yang mutawatir tersebut.[40]  
Dalam hal ini banyak para penulis yang tidak memaparkan hadis mutawatir amali, sebab mutawatir amali hakekadnya sama dengan mutawatir yang lain (lafdzi dan maknawi).  Jika berita (pengamalan)  itu bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam periwayatan sama persis dengan yang dimaksud oleh Nabi saw. secara tekstualnya, maka itu disebut mutawatir lafdzi.  Sedangkan kalau berita (pengamalan) itu hanya sama berupa makna yang sama tanpa disertai kesamaan lafadz maka itu disebut mutawatir ma’nawi.  Demikian menurut analisis penulis.

D.  Hukum  Mengamalkan Hadis Mutawatir

Sesuatu yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya. Oleh sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.[41]  Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutib oleh Utang Ranuwijaya di dalam buku Ilmu Hadis, ia mengatakan “ Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai keberannya dan mengamalkan sesuai dengan isi dan kandungannya.  Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui kemutawatiran hadis itu, maka baginya cukup mengikuti dan menyerahkan kebenaran kemutawatiran hadis tersebut kepada orang yang telah menyepakatinya”.[42]

E.  Kitab-kitab Hadis Mutawatir

Ulama' sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu adalah :[43]
a.       Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh As-Suyuti.  Dalam kitab ini memuat hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada bab-babnya.
b.      Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.       Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin Ja'afar Al Kattani.
d.      Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[44]

F.  Penutup.

Pernyataan yang disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada.  Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[45]
Pendapat Ibnu Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan menyatakan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur dikenal oleh para ulama.  Bahkan ada kitab-kitab yang khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir.  Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang ada.[46]
Secara garis besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat kemutawatiran suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban dan al-Hazimi memberi pernyataan seperti itu.  Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad  pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil hadis mutawatir itu ada. 
Begitu juga dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis mutawatir itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam memberikan syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada tiap-tiap sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan kepastian berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury). 
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan persyaratan mutawatir memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah hadis yang telah ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis mutawatir sangatlah sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad).  Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya kitab-kitab mu’tabarah,[47] yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad) mutawatir.  Hadis mutawatir jika diprosentase dengan hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh persen.  Intinya hadis mutawatir itu memang ada akan tetapi jumlahnya sedikit sekali.


[1] Istilah hadis hanya dipergunakan untuk segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad saw., adapun semua berita yang bersumber selain dari Nabi Muhammas saw. tidak dinamakan hadis, akan tetapi hanya dinamakan kisah, cerita atau dongeng (isroilliyyat).  Jadi penggunaan istilah  hadis yang termuat di dalam kajian ilmu hadis  memang benar-benar dibatasi hanya yang bersentral pada Nabi Muhammad.
[2] Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah khabar.  Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[3] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[4]  Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 95
[5] Hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam berbagai tujuan dan konteks.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[6] Fi’liyyah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana tindakan menunaikan shalat lima waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatan beliau dalam melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[7] Sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakaui oleh Rasulullah saw. baik dari perkataan atau perbuatan.  Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya pengingkaran beliau, atau dengan persetujuan beliau secara langsung.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6,  h. 201
[9] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.120;  Lihat juga : Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.78
[10] ‘Ada al-Hadis secara lengkap akan diterangkan di dalam bab Ilmu Tahamu wa al-‘Ada (ilmu yang menerangkan tata cara penyampaian dan penerimaan hadis)
[11] Jarh wa al-Ta’dil artinya adalah ilmu yang menerangkan tentang kelayakan atau tidaknya seorang perawi hadis di dalam menyampaikan dan menerima hadis Nabi.  Lebih lengkapnya lihat bab ilmu al-Jar wa al-Ta’dil (penilaian atau kritikan buruk dan baik pada perawi hadis)
[12] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19-20
[13] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79
[14] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79
[15] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79-80
[16] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres, 2000),  cet., ke-3, h.120
[17] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.80
[18] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[19] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[20] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[21] Ilmu Dharuri adalah suatu Ilmu yang menunjukkan pada pengetahuan yang sifatnya pasti, yaitu sesuatu yang mendatangkan keyalkinan.  Dengan kata lain pengetahuan ini memaksa manusia untuk membenarkan secara pasti, sebanding dengan seseorang yang menyaksikan sesuatu dengan mata kepala sendiri, sehingga mustahil ia meragukan perkara yang ia lihat tersebut.  Lihat; Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Selanjutnya lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[22] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Selanjutnya lihat; Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.80; 
[23] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[24] Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah  al-Hadis, (Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[25] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[26] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[27] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 131
[28] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[29] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.121
[30] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[31] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[32] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17
[33] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h. 201.  Tentang pernyataan Ibnu shalah di atas bisa dibaca juga dalam catatan kaki yang di sampaikan oleh Hasbi pada hal. 201
[34] Wensinck,  A.J.,  al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,  (Leyden : Brill,  1965),  t.Cet. Jilid 5, h. 549
[35] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[36] Al-Bukhari,  Abi ‘Abdillah,  Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1995),  t. Cet. Jilid-1,   h. 45
[37] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.122
[38] As-Syuyuti,  al-Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abdu ar-Rahman,  Tadrib ar-Rawi fi Syrhi Taqrib an-Nawawi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,   1993),  t. Cet.  h.179
[39] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98
[40] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h.132
[41] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[42] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta :  Gaya Media Pratama, 2001), cet., ke-4, h. 133
[43] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[44] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;  M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 133
[45] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[46] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Lihat juga; Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.81
[47] Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194 H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.- 261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200 H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817 M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.- 915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824 M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun