A. Pendahuluan
Di dalam pengkajian hadis
Nabi saw.[1]
para muhadis mengelompokkkan bagian-bagian bab tertentu, masing-masing bab
tersebut di analisis secara terperinci dengan menggunakan metode dan sistem
yang beragam. Pengelompokkan hadis pada
aspek-aspek tertentu diharapkan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para
pengkaji hadis khusunya para pemula untuk merumuskan bagian-bagian
tersebut. Dengan mempergunakan alur-alur
tertentu itulah akan dapat memberikan kemudahan-kemudahan yang akan
menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Selanjutnya, dalam pemaparan
bab ini penulis akan menjelaskan seputar hadis Nabi ditinjau dari aspek
kuantitas. Berbicara tentang kuantitas
hadis tentu yang kita bicarakan adalah jumlah hadis. Para muhadis
dalam membicarakan kuantitas hadis lebih rincinya bersentral pada sanad
hadis. Sebab pembicaraan sanad hadis itu
juga berbicara seputar matan. Lebih
lanjut, para muhaddis di dalam menghitung hadis tidak ditekankan pada
penghitungan matan hadis, akan tetapi penghitungan hadis disepakati oleh para
muhaddis dengan cara menghitung jumlah sanadnya.
Pemaparan tentang sanad hadis
Nabi ditinjau dari aspek kuantitasnya menghasilkan satu kesepakatan rumusan,
akan tetapi di dalam perumusan dan penjelasan seputar hadis Nabi ini para ulama
banyak yang berbeda pendapat. Perbedaan
pendapat itu tidaklah menciptakan suatu perpecahan di dalam kesepakan mereka,
justru menambah khasanah keilmuan hadis Nabi.
Para pakar
ilmu hadis di dalam menjelaskan tentang kuantitas hadis, dikelompokkan ke dalam
bebarapa bagian. Dari masing-masing
bagian tersebut dibagi menjadi beberapa bagian lagi. Adapun
bagian pertama, hadis ditinjau dari aspek kuantitasnya yaitu hadis mutawatir.
Penelusuran riwayat mutawatir
yang dituangkan di dalam bab hadis mutawatir ini merupakan suatu hal yang
logis. Hadis yang merupakan segala hal
yang bersumber pada Nabi Muhammad saw. mutahil sampai kepada kita jika tidak
ada pengantarnya. Pengantar hadis itulah
yang lazim disebut sebagai rawi, kelompok-kelompok perawi hadis (thabaqah
as-Sanad) terbentuk secara alami yang selanjutnya disebut sanad hadis.
Sanad hadis yang terdapat di
setiap hadis Nabi melalui sistem yang permanen.
Hal itu terbukti dengan adanya pengelompokan kelompok-kelompok
(thabaqah) tertentu. Kelompok pertama
disebut sebagai sahabat Nabi, sahabat menyampaikan hadis kepada tabi’in,
tabi’in menyampaikan hadis kepada tabi’ tabi’in, tabi’ tabi’in menyampaikan
hadis kepada muridnya (lazim disebut guru mushonnif), kemudian yang terakhir
dibukukan oleh para penulis hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud,
at-tirmidzi, an-nasa’i, Ibnu majah, Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.
Perjalanan hadis samapai
kepada kita melalui mata rantai sanad yang panjang, sehingga sangat perlu
dianalisis dan diteliti ulang demi menjaga kebenaran berita dari Nabi yang
berfungsi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Penelitian tersebut untuk mengelompokkan
hadis-hadis yang bisa dipakai hujah secara mutlak (hadis mutawatir) dan hadis-hadis
yang perlu ditangguhkan sebagai hujah (hadis ahad)
B. Definisi Hadis
Mutawatir
Mutawatir[2] menurut bahasa adalah
bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih
berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan
turun silih berganti tak henti-hentinya[3] atau bermakna yang saling mengikuti.[4]
Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik
dari aspek ucapan (qauliyyah)[5], perbuatan (fi'liyyah)[6] maupun suatu rekomendasi
(taqririyyah)[7]
dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang
secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap
ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut Hasbi
mutawatir adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak
terhitung Jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan (diragukan;penulis), bahwa
mereka telah sepakat berdusta. Keadaan
itu terus menerus hingga sampai kepada akhirnya. (sanadnya ;penulis)[8]
Menurut pendapat
yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat
kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.[9]
Dari pengertian
di atas menjelaskan bahwa dalam hadis mutawatir yang mana hadis tersebut
memiliki jalur sanad yang cukup banyak, dari jumlah orang-orang yang
meriwayatkan tersebut suatu hal yang
mustahil mereka-mereka para perawi hadis dengan sengaja mengadakan suatu kesepakan
untuk membuat kabar berita atau informasi lain yang menyimpang. Kemustahilan itu muncul sebab mereka para
perawi hadis di dalam menyampaikan hadis ('ada al-hadis)[10] harus memiliki
syarat-syarat yang cukup ketat, ketelitian ini terbukti adanya perhatian para
ulama pada masanya dengan membuat berbagai kritikan terhadap perawi hadis, yang
selanjutnya termuat di dalam ilmu Jarh wa Ta'dil. [11]
Dari uraian
definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah
mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat
tertentu. Adapun syarat-syarat itu
adalah:
a.
Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan
paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat
yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang.[12] Menurut Abu ath-Thayyib jumlah perawi
tersebut minimal empat orang, pendapat ini diqiyaskan pada banyaknya saksi yang
diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terda’wa.[13] Menurut Ashhab asy-Syafi’i lima orang, pendapat ini diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang terdapat di dalam ‘ulul ‘azmi. [14] Menurut ulama yang lain
menyatakan batasan jumlah perawi tersebut mencapai duapuluh berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan oleh
Allah dalam surat
al-Anfal ayat 65.”Jika dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”. [15] Ada juga yang berpendapat bahwa hadis
mutawatir harus diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya empatpuluh orang (jalur
sanad),[16] pendapat ini juga
diqiyaskan pada firman Allah suarat al-Anfal ayat 64,”Ya Nabi, cukuplah Allah
dan orang-orang mu’min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.[17]
b.
Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua
tingkatan sanad (setiap thabaqah).[18]
c.
Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan.[19]
d.
Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami
mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat. Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah
berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa
dikatakan sebagai mutawatir. [20]
Dari berbagai syarat-syarat
hadis mutawatir yang telah dikemukakan di atas, ditinjau dari aspek batasan
sanad jumlah minimal tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat sebab tidak
memiliki landasan sumber yang jelas dan valid.
Alasan-alasan yang telah mereka kemukakan di dalam mempertahankan pendapat mereka
masing-masing sangat lemah dan menyimpang dari pokok kajian dan persoalan.
Adapun jumlah sedikit atau
banyaknya periwayat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqah) tidak mutlak menjadi
persyaratan hadis mutawatir, akan tetapi kemutawatiran hadis itu yang penting
tercapainya ilmu dharury.[21] Walaupun jumlah perawi pada sanad hadis
mutawatir tersebut jumlahnya sedikit, selama dapat memberikan kesan dan
membuktikan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, hadis
tersebut layak disebut mutawatir.[22]
Keseimbangan jumlah perawi
pada setiap tingkatan (thabaqah) mulai dari sahabat hingga penulis hadis
(mutadwin) sangat diutamakan. Misalnya Nabi
berbicara didengar oleh sepuluh orang sahabat, sahabat menyampaikan hadis
didengar oleh sepuluh tabi’in dan seterunya hingga pada tingkatan penulis
hadis. Apabila setiap tingkatan sanad
tersebut tidak seimbang jumlahnya tidak bisa disebut mutawatir, contohnya
seperti Nabi bersabda didengar oleh sepuluh sahabat, sahabat menyampaikan hadis
didengar oleh tiga tabi’in, hal ini menurut kesepakan ulama hadis tidak bisa
disebut mutawatir.[23]
C. Pembagian Mutawatir
Para muhaddis dalam membagi cabang mutawatir ada sedikit
perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian
yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[24] dan ada yang mengatakan
tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali. Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah
ini.
1. Mutawatir Lafdhi
Mutawatir lafzi adalah, hadis yang diriwayatkan secara tepat tanpa
ada perubahan baik dari lafad maupun ma’nanya.[25] Seperti contoh hadis :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
mendustakan atasku (ucapan, perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya
di Neraka. (Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
Menurut Abu Bakar al-bazari, hadis
tersebut diriwayatkan oleh 40 sahabat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62
orang sahabat[26]
dengan lafad dan makna yang sama, [27]
ada yang mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat.[28] Menurut Endang Saetari hadis tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, at-turmudzi,
ath-Thayalisi, Abu Hanifah, ath-Thabrani, dan Hakim.[29]
Menurut Ibnu Shalah[30] sebagaimana di
kutib oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Nuhbah, contoh hadis mutawatir
lafdhi itu tidaklah banyak sebab sukar sekali mengemukakan contoh hadis
mutawatir lafdzi.[31] Hadis mutawatir tersebut
di atas merupakan contoh hadis mutawatir lafdzi yang benar-benar nyata.[32] Menurut Hasbi contoh hadis mutawatir itu
kebanyakan mengenai shalat lima
waktu, bilangan rakaat shalat, tentang kadar zakat dan yang sebandingnya.[33]
Contoh hadis mutawatir di atas
setelah ditelusuri, oleh al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadis an-Nabawi
karya AJ. Winsinck[34] bisa ditemukan diberbagai
kitab-kitab mu’tabarah, di antaranya kitab sahih Bukhari bab jana’iz, bab
anbiya’ dan bab adab, selanjutnya terdapat di sahih Muslim bab Zuhud, Abu Daud bab ‘ilmu, at-Turmudzi bab
fitan, bab ‘ilmu, bab tafsir, dan bab manaqib, Ibnu Majah bab mukhaddimah,
ad-Darimi bab muqaddimah dan Ahmad bin Hanbal terdapat pada sejumlah sanad
lebih kurang 43 jalur sanad. Setelah
penulis buka sesuai dengan petunjuk mu’jam hadis tersebut di atas tidak sama
lafadznya secara keseluruhan ,jadi ada yang diriwayatkan secara makna. Akan
tetapi untuk lafadz hadis sebagaimana tersebut di atas lebih dari sepuluh jalur
sanad.
2. Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi
dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan
yang lain.[35]
Contohnya hadis :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ
يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau,
kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.[36]
Hadis-hadis sebagaimana tertulis di atas yang artinya semakna
lebih dari seratus hadis.[37] Di anatara contoh lain adalah seperti hadis
tentang mengangkat kedua tangan pada waktu berdo'a, Nabi saw. Selalu mengangkat
tangan di kala berdo’a, selanjutnya hal ini diriwayatkan oleh para sahabat
hingga menulis hadis. Para perawi di dalam
meriwayatkan hadis tentang mengangkat tangan di kala berdo’a ini secara makna
sama, akan tetapi bentuk lafad dan kalimatnya berbeda-beda.[38]
Menurut manna’ al-Qathan hadis mutawatir ma’nawi ini juga sangat
sulit ditemukan di dalam riwayat-riwayat hadis yang ada sangat sedikit, di
banding dengan jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad) yang jumlahnya sangat
banyak. Di anatara hadis mutawatir
ma’nawi adalah hadis tentang mashu ‘ala al-Khufaini, hadis rafa’ yadain fi
ash-shalah, hadis al-haid, hadis nadhr Allah imroan sami’ maqali, hadis unzila
al-Qur’an sab’ah ahruf, hadis man buniya lillah masjidan, hadis kullu muskir
haramun, hadis wailun lila’qab min an-nar, hadis ru’yat Allah fi al-akhirah, dan
hadis an-naha ‘an ittikhadh al-qubur masajid.
Selanjutnya qathan juga menyatakan bahwa hadis mutawatir ma’nawi lebih
banyak jumlahnya daripada hadis mutawatir lafdzi.[39]
3. Mutawatir Amali
Mutawatir adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari
agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa Muhammad Nabi saw.
pernah mengajarkan atau melaksanakan amalan yang mutawatir tersebut.[40]
Dalam hal ini banyak para penulis yang tidak memaparkan hadis
mutawatir amali, sebab mutawatir amali hakekadnya sama dengan mutawatir yang
lain (lafdzi dan maknawi). Jika berita
(pengamalan) itu bersumber dari Nabi
Muhammad saw. dalam periwayatan sama persis dengan yang dimaksud oleh Nabi saw.
secara tekstualnya, maka itu disebut mutawatir lafdzi. Sedangkan kalau berita (pengamalan) itu hanya
sama berupa makna yang sama tanpa disertai kesamaan lafadz maka itu disebut
mutawatir ma’nawi. Demikian menurut
analisis penulis.
D. Hukum Mengamalkan Hadis Mutawatir
Sesuatu yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri,
artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan
tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala
sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya. Oleh
sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum
(hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.[41] Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai
hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran
al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutib oleh Utang Ranuwijaya
di dalam buku Ilmu Hadis, ia mengatakan “ Barang siapa yang telah
meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai keberannya dan
mengamalkan sesuai dengan isi dan kandungannya.
Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui kemutawatiran hadis itu, maka
baginya cukup mengikuti dan menyerahkan kebenaran kemutawatiran hadis tersebut
kepada orang yang telah menyepakatinya”.[42]
E.
Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Ulama' sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu
mereka menjadikannya dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para
santri atau mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara
karangan-karang-an itu adalah :[43]
a.
Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh
As-Suyuti. Dalam kitab ini memuat
hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada
bab-babnya.
b.
Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.
Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin
Ja'afar Al Kattani.
d.
Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[44]
F. Penutup.
Pernyataan yang
disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis
mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan
al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada. Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu
memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[45]
Pendapat Ibnu
Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan menyatakan
bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur dikenal oleh
para ulama. Bahkan ada kitab-kitab yang
khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir. Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh
keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang
ada.[46]
Secara garis
besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat
kemutawatiran suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban
dan al-Hazimi memberi pernyataan seperti itu.
Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada
merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah
tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil
hadis mutawatir itu ada.
Begitu juga
dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis mutawatir
itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam memberikan
syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada tiap-tiap
sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan kepastian
berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury).
Dari berbagai pendapat yang
telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan persyaratan mutawatir
memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah hadis yang telah
ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis mutawatir sangatlah
sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad). Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya
kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya kitab-kitab mu’tabarah,[47]
yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad)
mutawatir. Hadis mutawatir jika
diprosentase dengan hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh
persen. Intinya hadis mutawatir itu
memang ada akan tetapi jumlahnya sedikit sekali.
[1]
Istilah hadis hanya dipergunakan untuk segala hal yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw., adapun semua berita yang bersumber selain dari Nabi Muhammas
saw. tidak dinamakan hadis, akan tetapi hanya dinamakan kisah, cerita atau
dongeng (isroilliyyat). Jadi penggunaan
istilah hadis yang termuat di dalam
kajian ilmu hadis memang benar-benar
dibatasi hanya yang bersentral pada Nabi Muhammad.
[2]
Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah
khabar. Lebih lanjut lihat; Mahmud
at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[3]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[4] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum
al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 95
[5]
Hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam berbagai tujuan dan
konteks. Selanjutnya lihat; Abd
al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi :
t.th.), cet., ke-12, h. 36
[6]
Fi’liyyah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana tindakan
menunaikan shalat lima
waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatan beliau dalam
melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.
Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh,
(Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[7]
Sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakaui oleh
Rasulullah saw. baik dari perkataan atau perbuatan. Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap
diamnya dan tidak adanya pengingkaran beliau, atau dengan persetujuan beliau
secara langsung. Selanjutnya lihat; Abd
al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi :
t.th.), cet., ke-12, h. 36
[8]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta :
Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h.
201
[9]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Pres), 2000,
cet., ke-3, h.120; Lihat juga :
Fatchur Rahman, Ikhtisar
Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.78
[10] ‘Ada al-Hadis secara lengkap akan diterangkan di dalam
bab Ilmu Tahamu wa al-‘Ada
(ilmu yang menerangkan tata cara penyampaian dan penerimaan hadis)
[11] Jarh
wa al-Ta’dil artinya adalah ilmu yang menerangkan tentang kelayakan atau
tidaknya seorang perawi hadis di dalam menyampaikan dan menerima hadis
Nabi. Lebih lengkapnya lihat bab ilmu al-Jar
wa al-Ta’dil (penilaian atau kritikan buruk dan baik pada perawi hadis)
[12]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet.,
h.19-20
[18]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[19]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[20]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[21] Ilmu
Dharuri adalah suatu Ilmu yang menunjukkan pada pengetahuan yang
sifatnya pasti, yaitu sesuatu yang mendatangkan keyalkinan. Dengan kata lain pengetahuan ini memaksa
manusia untuk membenarkan secara pasti, sebanding dengan seseorang yang
menyaksikan sesuatu dengan mata kepala sendiri, sehingga mustahil ia meragukan
perkara yang ia lihat tersebut. Lihat;
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Selanjutnya lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[22]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Selanjutnya lihat; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.80;
[23]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[24]
Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, (Mesir : Madba’ah
al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih
al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet.,
Jilid-2, h.404
[25]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[26]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[27]
M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet., ke-1, h. 131
[28] Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah,
2004), cet., ke-4, h. 98. Lihat juga;
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[30]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[31]
Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp.,
tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[32]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17
[33]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta :
Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h. 201.
Tentang pernyataan Ibnu shalah di atas bisa dibaca juga dalam catatan
kaki yang di sampaikan oleh Hasbi pada hal. 201
[34] Wensinck,
A.J., al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,
(Leyden : Brill, 1965), t.Cet. Jilid 5, h. 549
[35]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[36]
Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah, Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), t. Cet. Jilid-1, h. 45
[38]
As-Syuyuti, al-Imam Jalal ad-Din Abu
al-Fadhil ‘Abdu ar-Rahman, Tadrib
ar-Rawi fi Syrhi Taqrib an-Nawawi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1993), t. Cet.
h.179
[39] Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah,
2004), cet., ke-4, h. 98
[40] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,
(Bandung :
Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h.132
[41]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[42]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2001), cet., ke-4, h. 133
[43]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[44]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;
M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet., ke-1, h. 133
[45]
Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp.,
tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[46]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Lihat juga; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.81
[47]
Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194
H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.-
261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200
H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817
M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.-
915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824
M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad
bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun