A. Pendahuluan
Sebagian orang
bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi
kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan
yang unik dan tersendiri. dalam bab ini akan dikemukakan pembagian hadis dari
tinjauan kuantitas perawi.
Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis
hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka
melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan
sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah
orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur
(mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu :
1.
Hadis
mutawatir, hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis
yang lain hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[1]
- Mutawatir lafdzi
- Mutawatir ma’nawi
- Mutawatir amali.[2]
2.
Hadis
ahad, hadis ahad menurut mayoritas ulama hadis terbagai menjadi tiga bagian,
yaitu : [3]
- Masyhur (mustafid)
- ‘Aziz
- Gharib.
Disamping
pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek
kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
- Hadis mutawatir
- Hadis masyhur (hadis mustafidh)
- Hadis ahad.
Supaya lebih
memahami tinjauan hadis dari aspek-aspek yang telah tersebut di atas, lebih
lanjut akan penulis uraikan secara gambling.
B. Hadis Mutawatir
Di dalam
pengkajian hadis Nabi saw.[4]
para muhadis mengelompokkkan bagian-bagian bab tertentu, masing-masing bab
tersebut di analisis secara terperinci dengan menggunakan metode dan sistem
yang beragam. Pengelompokkan hadis pada
aspek-aspek tertentu diharapkan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para
pengkaji hadis khusunya para pemula untuk merumuskan bagian-bagian
tersebut. Dengan mempergunakan alur-alur
tertentu itulah akan dapat memberikan kemudahan-kemudahan yang akan
menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Selanjutnya,
dalam pemaparan bab ini penulis akan menjelaskan seputar hadis Nabi ditinjau
dari aspek kuantitas. Berbicara tentang
kuantitas hadis tentu yang kita bicarakan adalah jumlah hadis. Para muhadis
dalam membicarakan kuantitas hadis lebih rincinya bersentral pada sanad
hadis. Sebab pembicaraan sanad hadis itu
juga berbicara seputar matan. Lebih
lanjut, para muhaddis di dalam menghitung hadis tidak ditekankan pada
penghitungan matan hadis, akan tetapi penghitungan hadis disepakati oleh para
muhaddis dengan cara menghitung jumlah sanadnya.
Pemaparan tentang
sanad hadis Nabi ditinjau dari aspek kuantitasnya menghasilkan satu kesepakatan
rumusan, akan tetapi di dalam perumusan dan penjelasan seputar hadis Nabi ini
para ulama banyak yang berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat itu tidaklah menciptakan suatu perpecahan di dalam
kesepakan mereka, justru menambah khasanah keilmuan hadis Nabi.
Para pakar
ilmu hadis di dalam menjelaskan tentang kuantitas hadis, dikelompokkan ke dalam
bebarapa bagian. Dari masing-masing
bagian tersebut dibagi menjadi beberapa bagian lagi. Adapun
bagian pertama, hadis ditinjau dari aspek kuantitasnya yaitu hadis mutawatir.
Penelusuran
riwayat mutawatir yang dituangkan di dalam bab hadis mutawatir ini merupakan
suatu hal yang logis. Hadis yang
merupakan segala hal yang bersumber pada Nabi Muhammad saw. mutahil sampai
kepada kita jika tidak ada pengantarnya.
Pengantar hadis itulah yang lazim disebut sebagai rawi,
kelompok-kelompok perawi hadis (thabaqah as-Sanad) terbentuk secara alami yang
selanjutnya disebut sanad hadis.
Sanad hadis yang
terdapat di setiap hadis Nabi melalui sistem yang permanen. Hal itu terbukti dengan adanya pengelompokan
kelompok-kelompok (thabaqah) tertentu.
Kelompok pertama disebut sebagai sahabat Nabi, sahabat menyampaikan
hadis kepada tabi’in, tabi’in menyampaikan hadis kepada tabi’ tabi’in, tabi’
tabi’in menyampaikan hadis kepada muridnya (lazim disebut guru mushonnif),
kemudian yang terakhir dibukukan oleh para penulis hadis, seperti Imam Bukhari,
Imam Muslim, Abu Daud, at-tirmidzi, an-nasa’i, Ibnu majah, Ahmad bin Hanbal dan
lain sebagainya.
Perjalanan hadis
samapai kepada kita melalui mata rantai sanad yang panjang, sehingga sangat
perlu dianalisis dan diteliti ulang demi menjaga kebenaran berita dari Nabi
yang berfungsi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Penelitian tersebut untuk mengelompokkan
hadis-hadis yang bisa dipakai hujah secara mutlak (hadis mutawatir) dan
hadis-hadis yang perlu ditangguhkan sebagai hujah (hadis ahad)
Mutawatir[5] menurut bahasa adalah
bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih
berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan
turun silih berganti tak henti-hentinya[6] atau bermakna yang saling mengikuti.[7]
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang
bersumber dari Nabi saw., baik dari aspek ucapan (qauliyyah)[8], perbuatan (fi'liyyah)[9] maupun suatu rekomendasi
(taqririyyah)[10]
dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang
secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap
ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut Hasbi mutawatir adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
segolongan besar yang tidak terhitung Jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan
(diragukan;penulis), bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus menerus hingga sampai
kepada akhirnya. (sanadnya ;penulis)[11]
Menurut pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis)
berlandaskan panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang
banyak) yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat untuk
mengabarkan berita itu secara dusta.[12]
Dari pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam hadis mutawatir
yang mana hadis tersebut memiliki jalur sanad yang cukup banyak, dari jumlah
orang-orang yang meriwayatkan tersebut
suatu hal yang mustahil mereka-mereka para perawi hadis dengan sengaja
mengadakan suatu kesepakan untuk membuat kabar berita atau informasi lain yang
menyimpang. Kemustahilan itu muncul
sebab mereka para perawi hadis di dalam menyampaikan hadis ('ada al-hadis)[13] harus memiliki
syarat-syarat yang cukup ketat, ketelitian ini terbukti adanya perhatian para
ulama pada masanya dengan membuat berbagai kritikan terhadap perawi hadis, yang
selanjutnya termuat di dalam ilmu Jarh wa Ta'dil. [14]
Dari uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran
suatu hadis tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan
dengan syarat-syarat tertentu. Adapun
syarat-syarat itu adalah:
a.
Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan
paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat
yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang.[15] Menurut Abu ath-Thayyib jumlah perawi
tersebut minimal empat orang, pendapat ini diqiyaskan pada banyaknya saksi yang
diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terda’wa.[16] Menurut Ashhab asy-Syafi’i lima orang, pendapat ini diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang terdapat di dalam ‘ulul ‘azmi. [17] Menurut ulama yang lain
menyatakan batasan jumlah perawi tersebut mencapai duapuluh berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan oleh
Allah dalam surat
al-Anfal ayat 65.”Jika dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”. [18] Ada juga yang berpendapat bahwa hadis
mutawatir harus diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya empatpuluh orang (jalur
sanad),[19] pendapat ini juga
diqiyaskan pada firman Allah suarat al-Anfal ayat 64,”Ya Nabi, cukuplah Allah
dan orang-orang mu’min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.[20]
b.
Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua
tingkatan sanad (setiap thabaqah).[21]
c.
Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan.[22]
d.
Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami
mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat. Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah
berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa
dikatakan sebagai mutawatir. [23]
Dari berbagai
syarat-syarat hadis mutawatir yang telah dikemukakan di atas, ditinjau dari
aspek batasan sanad jumlah minimal tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat
sebab tidak memiliki landasan sumber yang jelas dan valid. Alasan-alasan yang telah mereka
kemukakan di dalam mempertahankan
pendapat mereka masing-masing sangat lemah dan menyimpang dari pokok kajian dan
persoalan.
Adapun jumlah
sedikit atau banyaknya periwayat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqah) tidak
mutlak menjadi persyaratan hadis mutawatir, akan tetapi kemutawatiran hadis itu
yang penting tercapainya ilmu dharury.[24] Walaupun jumlah perawi pada sanad hadis mutawatir
tersebut jumlahnya sedikit, selama dapat memberikan kesan dan membuktikan bahwa
berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, hadis tersebut layak
disebut mutawatir.[25]
Keseimbangan
jumlah perawi pada setiap tingkatan (thabaqah) mulai dari sahabat hingga
penulis hadis (mutadwin) sangat diutamakan.
Misalnya Nabi berbicara didengar oleh sepuluh orang sahabat, sahabat
menyampaikan hadis didengar oleh sepuluh tabi’in dan seterunya hingga pada
tingkatan penulis hadis. Apabila setiap
tingkatan sanad tersebut tidak seimbang jumlahnya tidak bisa disebut mutawatir,
contohnya seperti Nabi bersabda didengar oleh sepuluh sahabat, sahabat
menyampaikan hadis didengar oleh tiga tabi’in, hal ini menurut kesepakan ulama
hadis tidak bisa disebut mutawatir.[26]
C. Pembagian
Mutawatir :
Para muhaddis dalam
membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis
mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir
ma’nawi,[27]
dan ada yang mengatakan tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali. Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah
ini.
1.
Mutawatir Lafdhi
Mutawatir lafzi
adalah, hadis yang diriwayatkan secara tepat tanpa ada perubahan baik dari
lafad maupun ma’nanya.[28] Seperti contoh hadis :
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
mendustakan atasku (ucapan, perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya
di Neraka. (Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
Menurut Abu Bakar al-bazari, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40
sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa
hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat[29]
dengan lafad dan makna yang sama, [30]
ada yang mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat.[31] Menurut Endang Saetari hadis tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, at-turmudzi,
ath-Thayalisi, Abu Hanifah, ath-Thabrani, dan Hakim.[32]
Menurut Ibnu
Shalah[33] sebagaimana di
kutib oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Nuhbah, contoh hadis mutawatir
lafdhi itu tidaklah banyak sebab sukar sekali mengemukakan contoh hadis
mutawatir lafdzi.[34] Hadis mutawatir tersebut
di atas merupakan contoh hadis mutawatir lafdzi yang benar-benar nyata.[35] Menurut Hasbi contoh hadis mutawatir itu
kebanyakan mengenai shalat lima
waktu, bilangan rakaat shalat, tentang kadar zakat dan yang sebandingnya.[36]
Contoh hadis
mutawatir di atas setelah ditelusuri, oleh al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz
al-Hadis an-Nabawi karya AJ. Winsinck[37] bisa ditemukan diberbagai
kitab-kitab mu’tabarah, di antaranya kitab sahih Bukhari bab jana’iz, bab
anbiya’ dan bab adab, selanjutnya terdapat di sahih Muslim bab Zuhud, Abu Daud bab ‘ilmu, at-Turmudzi bab
fitan, bab ‘ilmu, bab tafsir, dan bab manaqib, Ibnu Majah bab mukhaddimah,
ad-Darimi bab muqaddimah dan Ahmad bin Hanbal terdapat pada sejumlah sanad
lebih kurang 43 jalur sanad. Setelah
penulis buka sesuai dengan petunjuk mu’jam hadis tersebut di atas tidak sama
lafadznya secara keseluruhan ,jadi ada yang diriwayatkan secara makna. Akan
tetapi untuk lafadz hadis sebagaimana tersebut di atas lebih dari sepuluh jalur
sanad.
2. Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi
dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan
yang lain.[38]
Contohnya hadis :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا
فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya
dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat
tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.[39]
Hadis-hadis sebagaimana tertulis di atas yang artinya semakna
lebih dari seratus hadis.[40] Di anatara contoh lain adalah seperti hadis
tentang mengangkat kedua tangan pada waktu berdo'a, Nabi saw. Selalu mengangkat
tangan di kala berdo’a, selanjutnya hal ini diriwayatkan oleh para sahabat
hingga menulis hadis. Para perawi di dalam
meriwayatkan hadis tentang mengangkat tangan di kala berdo’a ini secara makna
sama, akan tetapi bentuk lafad dan kalimatnya berbeda-beda.[41]
Menurut manna’ al-Qathan hadis mutawatir ma’nawi ini juga sangat
sulit ditemukan di dalam riwayat-riwayat hadis yang ada sangat sedikit, di
banding dengan jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad) yang jumlahnya sangat
banyak. Di anatara hadis mutawatir
ma’nawi adalah hadis tentang mashu ‘ala al-Khufaini, hadis rafa’ yadain fi
ash-shalah, hadis al-haid, hadis nadhr Allah imroan sami’ maqali, hadis unzila
al-Qur’an sab’ah ahruf, hadis man buniya lillah masjidan, hadis kullu muskir
haramun, hadis wailun lila’qab min an-nar, hadis ru’yat Allah fi al-akhirah, dan
hadis an-naha ‘an ittikhadh al-qubur masajid.
Selanjutnya qathan juga menyatakan bahwa hadis mutawatir ma’nawi lebih
banyak jumlahnya daripada hadis mutawatir lafdzi.[42]
3. Mutawatir Amali
Mutawatir adalah
sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di
kalangan umat islam, bahwa Muhammad Nabi saw. pernah mengajarkan atau
melaksanakan amalan yang mutawatir tersebut.[43]
Dalam hal ini banyak para penulis yang tidak memaparkan hadis
mutawatir amali, sebab mutawatir amali hakekadnya sama dengan mutawatir yang
lain (lafdzi dan maknawi). Jika berita
(pengamalan) itu bersumber dari Nabi
Muhammad saw. dalam periwayatan sama persis dengan yang dimaksud oleh Nabi saw.
secara tekstualnya, maka itu disebut mutawatir lafdzi. Sedangkan kalau berita (pengamalan) itu hanya
sama berupa makna yang sama tanpa disertai kesamaan lafadz maka itu disebut
mutawatir ma’nawi. Demikian menurut
analisis penulis.
D.
Hukum Mengamalkan Hadis Mutawatir
Sesuatu yang
sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa
memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang
menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak
ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya. Oleh sebab itulah semua hadis
mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam
beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.[44] Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai
hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran
al-Qur’an.
Menurut Ibnu
Taimiyyah sebagaimana dikutib oleh Utang Ranuwijaya di dalam buku Ilmu Hadis, ia
mengatakan “ Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib
baginya mempercayai keberannya dan mengamalkan sesuai dengan isi dan
kandungannya. Sedangkan bagi orang yang
belum mengetahui kemutawatiran hadis itu, maka baginya cukup mengikuti dan
menyerahkan kebenaran kemutawatiran hadis tersebut kepada orang yang telah
menyepakatinya”.[45]
E.
Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Ulama' sudah
susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam
sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa
dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu
adalah :[46]
a.
Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh
As-Suyuti. Dalam kitab ini memuat
hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada
bab-babnya.
b.
Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.
Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin
Ja'afar Al Kattani.
d.
Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[47]
F. Penutup.
Pernyataan
yang disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis
mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan
al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada. Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu
memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[48]
Pendapat
Ibnu Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan
menyatakan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur
dikenal oleh para ulama. Bahkan ada
kitab-kitab yang khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir. Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh
keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang
ada.[49]
Secara
garis besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat kemutawatiran
suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban dan al-Hazimi
memberi pernyataan seperti itu.
Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada
merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah
tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil
hadis mutawatir itu ada.
Begitu
juga dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis
mutawatir itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam
memberikan syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada
tiap-tiap sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan
kepastian berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury).
Dari berbagai
pendapat yang telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan
persyaratan mutawatir memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah
hadis yang telah ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis
mutawatir sangatlah sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir
(ahad). Hal tersebut bisa dibuktikan
dengan adanya kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya
kitab-kitab mu’tabarah,[50]
yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad) mutawatir. Hadis mutawatir jika diprosentase dengan
hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh persen. Intinya hadis mutawatir itu memang ada akan
tetapi jumlahnya sedikit sekali.
B. Hadis Ahad
Ahad menurut
bahasa aahad bentuk jamak dari kata "ahad" yang punya
arti "satu", jadi hadis ahad
(wahid) adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[51]
Pengertian
ahad berarti suatu hadis atau riwayat
yang memiliki satu sanad atau beberapa sanad, akan tetapi tidak sampai kepada
derajat mutawatir. Oleh karena itu, ada
batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad
adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik
rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya
tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam
kelompok hadis mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang
tidak mencapai derajat mutawatir. [52]
Hadis ahad
sebagaimana telah disinggung di atas secara sekilas terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu :[53]
1.
Masyhur (mustafid)
2.
'Aziz
3.
Gharib.
Sebelum penulis
memaparkan secara lebih lanjut dari bagian-bagian ahad secara terperinci perlu
diketahui bahwa, hadis ahad inilah yang akan di analisi ulang secara rinci dan
akan dibuktikan dengan penelitian secara lebih lanjut, supaya dapat diketahui
kualitasnya. Hal ini berbeda dengan
hadis mutawatir yang memiliki jalur sanad yang banyak dan saling menguatkan,
sehingga dengan kemutawatirannya ini sudah tidak perlu lagi diragukan dan tidak
perlu adanya penelitian serta sudah pasti bisa dijadikan hujjah di dalam hukum
islam.
Adapun penjelasan
seputar hadis ahad apabila ditinjau dari aspek kualitas memiliki hukum yang
beragam, bisa berkualitas (sahih, hasan maupun dhaif). Berbeda dengan hadis mutawatir yang apabila
ditinjau dari aspek kualitas yang sudah pasti sahih.
C. Hadis Masyhur
Hadis masyhur
merupakan bentuk hadis yang memiliki jumlah sanad yang minimal tiga jalur dan
atau lebih, akan tetapi tidak sampai kepada bentuk mutawatir.[54] Hadis masyhur memiliki sanad yang setidaknya
ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya. Sehingga
komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali
sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya
saling mendukung dan menguatkan.
Kedho’ifan hadis masyhur ini bisa meningkat menjadi hasan lighairih.
Ada
suatu pendapat yang mengatakan (beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa
sahih, pendapat ini muncul sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur
yang banyak, sehingga antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan. Seorang peneliti sering terkecoh dengan
adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas terhadap
hadis masyhur ini bisa terkecoh. Para muhadis kurang perduli dengan bilangan jumlah sanad
pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa disertai dengan
sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat,
sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [55]
Dengan demikian, menurut Nuruddin ‘Itr
walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad lebih dari dua jalur sanad dan
saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek diterima (maqbul) dan
ditolaknya (mardud)[56] terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu :[57]
1.
Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya : Bahwasanya Rasul Allah saw.
bersabda,”Apabila salah satu dari kalian mendatangi (melaksanakan) shalat
Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.[58] (Hadis ini diriwayatkan dari nabi melalui
banyak sanad)
2.
Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh
mendatangkan bahaya”.[59] (Hadis ini diriwayatkan
dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh an-Nawawi
dalam kitab Arba’in.
3.
Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا
الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya: “carilah
Ilmu walu di negeri Cina”.[60]( Hadis ini diriwayatkan
melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak bebas
dari rawi yang terkena kritik jarh (buruk atau cela). Oleh sebab itu hadis di atas merupakan hadis
masyhur yang dha’if.
B.
Definisi
Masyhur menurut
bahasa adalah isim maf'ul dari fi'il syahara yang artinya
menyebarluaskan dan menampakkan, dan dikatakan seperti itu karena dia tampak
dengan jelas. Sedangkan menurut istilah
ahad adalah hadis yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih,
dan tidak sampai pada batas-batas mutawatir.[61]
Hadis Masyhur
menurut Fuqaha semakna (muradif) dengan mustafidz,[62] para ulama di dalam
mendefinikan hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[63]
1.
Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.
Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka tidak
sependapat tentang perbedaannya
3.
Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena hadis
mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada
permulaan, pertengahan dan akhir
sanadnya, sedangkan hadis masyhur tidak demikian.[64]
4.
Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[65]
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa secara garis besar dapat digambarkan demikian, masyhur
menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid
menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut
bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama
juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian
istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau
lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan
tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan
tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu
belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
C. Klasifikasi Hadis Masyhur
Hadits masyhur ditinjau dari aspek
penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian. Hal ini terjadi disebabkan keberadaan hadits
Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan tertentu,
misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits yang
masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau bahkan
masyhur di masyarakat umum. Berbagai
hadis yang masyhur ini kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik
memiliki satu atau dua sanad yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan
dha’if.[66] Bahkan ada juga hadits yang masyhur di
masyarakat umum, akan tetapi tanpa ada sanad sama sekali. Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur
banyak dikenal diberbagai riwayat yang
yang bersumber dari Nabi saw., dan beragam kualitasnya ada shahih, hasan,
dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi kesumuanya di kenal atau masyhur oleh
berbagai kalangan dengan tidak tahu kualitas sebenarnya.[67]
Selanjutnya ada juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis
atau dibukukan oleh para ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu,
seperti hadits shahih di kitab jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’
as-sunan, hadis dha’if di kitab silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di
kitab silsilah al-hadits maudhu’ah, hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah,
hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits
masyhur dengan sebab sudah tercatat di dalam kitab-kitab tertentu.
Menurut Ibnu shalah di dalam
muqadimahnya mengatakan bahwa,[68] ada beberapa hadits
masyhur yang telah banyak kalangan masyarakat dari berbagai tingkatan, walaupun
ada beberapa kalangan yang lebih mengenal beberapa hadits masyhur
tertentu. Di antara hadits masyhur yang
banyak dikemukan itu adalah :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya:”Sesungguhnya setiap amal
itu tergantung niat”.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya :”Menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim(muslimat)”.
Berikut ini beberapa contoh seputar hadits mashur di berbagai
kalangan atau golongan masyarakat yang disesuaikan dengan kalangan mereka
masing-masing, yaitu :[69]
1. Hadits masyhur menurut ahli hadis secara
khusus
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا
بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah saw. melakukan qunut setelah ruku’ selama satu bulan
untuk memohon kecelakaan atas suku Ri’l dan suku Dzakwan”.[70]
2. Hadits masyhur menurut para muhaddits, ulama
lain dan masyarakat umum
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya : “Orang
muslim adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan
tangannya”.[71]
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
Artinya : “Setiap
Muslim adalah saudara muslim yang lain”.
3. Hadits masyhur menurut fuqaha
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى
اللَّهِ الطَّلاَقُ
Artinya :
“Perkara halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq”.
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak
boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Artinya :
orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat mereka”.
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya : ”Rasulullah saw. melarang jual beli dengan penipuan”.
4. Hadits masyhur menurut ahli ushul
إذا حكم الحاكم ثم اجتهد
فأصاب فله أجران وإذا اجتهد وحكم فأخطأ فله أجر
Artinya :”Apabila
Seorang Hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan benar, maka ia
mendapat dua pahala. Dan apabila ia
menghakimi lalu berijtihad untuknya dan salah maka ia mendapat satu pahala”.
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ
, وَالنِّسْيَانُ , وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Artinya:
“Diangkat dari umatku (dosa) atas kesalahan, lupa dan hal yang memaksa”.
5. Hadits masyhur menurut ahli bahasa Arab
(ahli nahwu)
نعم العبد صهيب لو لم يخف
الله لم يعصه
Artinya :
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah
ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya”.
6. Hadits masyhur menurut kalangan pendidikan
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Artinya :”Telah
mendidikku Rabku dan ia mendidik dengan baik”.
7. Hadits masyhur menurut kalangan Umum
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ
الْعَذَابِ
Artinya : Bepergian itu sebagai bagian dari siksaan”.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : “Barangsiapa menipu kami, maka ia tidak termasuk
golongan kami”.
الْحَرْبَ خَدْعَةً
Artinya : “Perang itu suatu tipu daya”.
الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ الْمُؤْمِنِ
Artinya : “Setiap
mukmin merupakan cermin mukmin lainnya”.
كَمَا تُدِينُ تُدَانُ
Artinya : “Sejauh
mana engkau ta’at, sejauh itu pula Allah akan berbuat baik kepadamu”.
الْمَجَالِسُ بِالأَمَانَةِ
Artinya : “Teman
bergaul itu didapat berdasarkan adanya kepercayaan”.
الْعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya :
“Tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”.
D. Permasalahan
Sekitar Hadits Masyhur
Menurut Nuruddin
‘Itr,[72]
penjelasan tentang hadits masyhur tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa,
para ulama mengupayakan penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat
supaya mereka terima.
Borch
menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin
yang taat dan bertakwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa
koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits.
Semuanya mereka yakini sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal
yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan
terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan. Telah jelas bahwa para
ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan
dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits. Jelas-jelas mereka mengakui
bahwa ijma' umat merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan
suatu hadits."
Selanjutnya ia
menambahkan, "Akan tetapi para muhadditsin ddak puas membiarkan diri
mereka terbawa oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem
yang mengancam keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang
ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping
kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan ini
dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada
kesimpulan yang dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang
dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara
kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:[73]
1.
la
menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat
dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan "kesepakatan umat
untuk menerima kredibilitas hadits".
Penafsiran ijma' yang demikian menyalahi kaidah ajaran Islam yang sangat mendasar dan tidak samar lagi
bagi setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan
Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat dijadikan
hujjah menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai hasil
penggalian hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma'
itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.
Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar masya-rakat
umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa mengkaji dengan
penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar di tengah-tengah
masyarakat. Imam Muslim menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya bahwa yang
menjadi motivasi penyusunan kitab Shahih-nya adalah karena ia melihat
ha-dits-hadits dha'if dan rusak beredar dengan leluasa di tengah-tengah umat
Islam.
3.
Para muhadditsin mengadakan pengkajian khusus terhadap hadits
yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur.
Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum untuk
kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak memiliki
kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah
kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits/ baik
shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.
Seandainya
kata-kata "kajian ijma" itu kita artikan sebagai ijma' ulama terbatas
dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian
dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang mudah dipahami
dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak
pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan seorang
ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah. la merupakan seorang ulama
spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat. Namun bagaimana
dengan hal yang telah disepakati oleh.para imam dan tokoh ulama dalam bidang
yang sama.
E. Hukum Mengamalkan Hadits Masyhur
Istilah hadits
masyhur bila ditinjau dari aspek pengertian yang sebenarnya tidak bisa dipakai
hujah, sebab hadits masyhur dalam pengertian istilah membahas tentang sanad
hadits. Hadits masyhur bisa dipakai
untuk berhujjah disaat hadits tersebut jelas kualitasnya, sebab hadits masyhur
sebagaimana telah disinggung di atas memiliki berbagai status, bisa shahih,
hasan, dha’if atau bahkan palsu.
Jadi
hadits masyhur bisa dipakai berhujjah setelah jelas kualitasnya yaitu, hadits mayhur
tersebut harus berstatus maqbul (shahih dan hasan), jika hadits masyhur
tersebut belum jelas statusnya maka tidak boleh dipakai berhujjah.
Sangat
berbeda dengan hadits mayshur yang banyak dikenal oleh berbagai kalangan,
maksudnya sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa, hadits masyhur yang
memang telah dikenal oleh kalangan tertentu dan sudah tertulis di kitab jami’
shahih tentu bisa dipakai hujjah.
F.
Kitab-kitab Hadis Masyhur
Karya ilmiah para ulama yang menulis hadits masyhur hanyalah hadits
masyhur lisani (mulut ke mulut) dan bukanlah hadits masyhur istilahi. Di antara
kitab-kitab yang memuat hadis masyhur itu adalah :[74]
1.
Al Maqashidul Hasanah Fima Isytahara 'Alal Al sinah oleh As
Sakhawi.
2.
Kasyful Khafa' wa Muzail al-Ilbas Fima Isytahara min al-Haditsi
'Ala al- Sinah an-Nas, oleh al-Ajluni.
3.
Tamyizu at-thayyib min al-Khabits fima Yaduru ‘Ala al-Sinah an-Nas min al-Hadits, karya Ibn
ad-Daiba’ asy-Syaibani.
2. Hadis ‘Aziz
a. Definisi Hadits ‘Aziz
Menurut bahasa ’aziz mempakan sifat musyabbahah dari kata
'azza ya'izzu, yang artinya sedikit atau jarang, atau juga sifat musyabbahah
dari kata 'azza ya'azzu, yang artinya kuat atau keras. Disebut demikian karena
sedikit atau jarang keberadaannya atau bisa juga dikatakan kuat keberadaannya
melalui jalur lain.[75] Sedangkan, menurut istilah hadits ‘aziz
adalah hadits yang perawinya berjumlah
tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya.[76]
Maksudnya adalah,
pada masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang
perawi.[77] Jika di sebagian
thabaqarnya dijumpai tiga orang atau lebih perawi, hal itu tidak merusak
(statusnya sebagai) hadits 'aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya meskipun
cuma satu thabaqat terdapat dua orang rawi. Sebab, yang dijadikan patokan
adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah
definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh para muhaddits. Sebagian
ulama berpendapat bahwa hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang atau tiga orang.[78] Mereka tidak membedakan dalam
kasus ini dengan hadits masyhur.[79] Adapun contoh hadits
masyhur di antaranya :
Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda :
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حتى
أَكُونَ أَحَبَّ إليه مِنْ وَلَدِه وَوَالِدِه وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya :”Tidak dianggap beriman salah
seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya, dari anaknya,
dan manusia seluruhnya”.
Hadits tersebut diriwayatkan
dari Anas Qaradah dan Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Qatadah Syu'bah dan Sa'id,
dari Abdul Aziz Ismail bin 'Ulayyah dan Abdul Warits, dan dari masing-masing
kelompok. [80]
Menurut
pendapat lain bahwa hadits masyhur merupakan kata istilah bahasa dari kata
‘azza ya’azzu yang artinya kuat, sebagaimana firman Allah swt.:[81]
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ
Artinya :”Kemudia
kami kuatkan dengan utusan ketiga (QS. Yasin:14)
Ibnu al-Shalah
berkata:[82]
Diriwayatkan kepada kita dari al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah, ia berkata
"Hadits gharib itu seperti hadits al-Zuhri dan Qatadah serta imam lain
yang telah disepakati haditsnya manakala ada seorang rawi meriwayatkan suatu
hadits dari mereka. Dan bila yang meriwayatkan hadits tersebut dua orang atau
tiga orang rawi, maka hadits tersebut disebut hadits 'aziz. Dan bila hadits
tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi, maka disebut hadits masyhur."[83]
Ibnu al-Shalah
mengikuti Ibnu Mandah tidak menjelaskan dengan sempurna tentang perbedaan
antara hadits 'aziz dan hadits masyhur. la menamai hadits yang diriwayatkan
oleh tiga orang rawi dengan nama 'aziz dan masyhur. Pendapatnya itu diikuti
oleh al-Nawawi dan lainnya. [84]
Hadits 'aziz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sedangkan hadits
masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang lebih dari
tiga. Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat
bahwa hadits 'aziz itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Mereka membedakan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur dengan perbedaan yang
sempurna. Mereka menggunakan istilah masyhur khusus untuk hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih. [85]
Relevansi sebutan
'aziz dan hadits 'aziz itu jelas, sebab hadits tersebut jadi kuat dengan
diriwayatkan melalui dua jalur atau karena jumlah hadits yang demikian sangat
sedikit. Oleh karena itu Ibnu Hibban mempertanyakan adanya hadits 'aziz
ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:[86] "Ibnu Hibban
beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua orang dari awal higga
akhir sanad sama sekali tidak dapat kita
jumpai.[87] Menurutku (al-Hafizh):
“Bila yang dikehendaki adalah bahwa periwayatan oleh dua orang saja dari dua
orang saja itu sama sekali tidak dapat kita jumpai, itu dapat diterima. Namun
gambaran hadits masyhur yang kita bahas ini dapat dijumpai, yakni hadits yang
tidak diriwayatkan oleh orang yang kurang dari dua dari rawi lain yang kurang
dari dua pula. [88]
Penjelasan
al-Hafizh itu sangat tepat karena bila suatu hadits dalam suatu tingkat diriwayatkan
oleh dua orang rawi yang kemudian pada tingkat berikutnya diriwayatkan oleh
rawi yang lebih dari dua orang, maka hadits tersebut masih tetap termasuk
kategori hadits 'aziz, karena jumlah rawi yang paling sedikit itu menentukan
nasib riwayat rawi yang lebih banyak. [89]
b. Hukum Mengamalkan Hadits
‘Aziz
Hukum hadits
'aziz itu sama dengan hukum hadits masyhur, yakni bergantung kepada keadaan
sanad dan matannya. Oleh karena itu bila pada kedua unsur itu telah terpenuhi
kritena hadits sahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan
adalah sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula yang dha 'if.
Hadits sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits 'aziz, bahkan kadang-kadang
berupa hadits gharib, sebagaimana telah dijelaskan di muka. [90]
c. Kitab-Kitab Yang Populer
Para ulama tidak
menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits 'aziz. Tampaknya
hal ini disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut. [91]
3. Hadits Gharib
Kedudukan hadis Ahad bila
bila dibanding dengan hadis mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari
aspek hujahnya. Hadis mutawatir dapat
dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah saw., maka tidak demikian pada
hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah saw., tetapi
diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat
dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw., dan
mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak
pasti (gairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun)
berasal dari Rasulullah saw., maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran
Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila
suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan
hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak. [92]
Keberadaan hadits ahad banyak
termuat diberbagai kitab-kitab hadits yang mu’tabarah atau yang bukan
mu’tabarah. Hadits ahad sebagaimana
telah disinggung di atas memiliki beberapa bagian, yaitu masyhur, ‘aziz dan
gharib. Hadist gharib adalah hadist yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam
sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di
mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad. Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu
hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan
berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang
sebagai hadist gharib.
a. Definisi Hadis
Gharib
Hadis gharib di lihat dari
aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul)
yang berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, dan sulit
dipahami.[93]
Yang dimaksud hadis gharib ini ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits, penyendiriannya itu dimana
saja dalam salah satu sanad. [94]
Kesendirian perawi bisa terdapat pada setiap tingkatan (thabaqah) dari seluruh
jalur sanad atau bisa terdapat disebagian tingkatan sanad. Bila di salah satu thabaqah ada jumlah perawi
lebih dari satu, hal itu tidak merusak pengertian hadis gharib karena yang
dijadikan patokan dalam standar hadits gharib adalah jumlah paling minimal
perawi disetiap thabaqahnya (tingkatan). [95]
Pengertian hadits gharib di
atas senada dengan pendapat Manna al-Qathan, walaupun hadits gharib itu
sanadnya menyendiri akan tetapi tidak ada persyaratan khusus yang diharuskan
pada seluruh tingkatan sanad hanya satu perawi, boleh jadi pada beberapa
tingkatan sanad terdapat ada lebih dari satu perawi.[96] Lebih lanjut ada beberapa keterangan lain
seputar definisi gharib, yaitu hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik
menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya maupun
menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun. Hadits yang demikian dinamakan gharib sebab
ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di
sampingnya atau karena hadits tersebut jauh dari tingkat masyhur terlebih lagi
sangat jauh dari peringkat mutawatir.[97]
Sedangkan nama lain yang satu
arti dengan hadis gharib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam
bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang
sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perawi dalam satu tingkatan sanad
atau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja
sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang.[98] Definisi tentang kesamaan hadits gharib dan
fard baik ditinjau dari aspek bahasa maupun istilah in didukung oleh Ibnu
hajar, walaupun beliau berkata:”Bahwa ahli istilah (muhaddits) telah membedakan
keduanya (gharib dan fard) dilihat dari aspek banyak atau sedikitnya
penggunaan. Disebut fard karena lebih
banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak.
Sedangkan hadits gharib lebih banyak digunakan untuk istilah hadits fard
yang nisbi”. [99]
Pendapat seputar perbedaan
antara pengertian tentang hadits gharib dan fard di atas di antaranya didukung
oleh Nuruddin ‘Itr, beliau mengatakan: “ Dalam memaknai hadits gharib dan fard
para ulama ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan bahwa hadits gharib dan
hadits fard itu semakna (muradif) ada juga yang mengatakan bahwa, antara hadis
gharib dan fard itu berbeda, hadits fard dimaknai oleh para ulama dengan
istilah, hadits yang rawinya menyendiri dari aspek atau segi apapun juga. Hadis
fard artinya lebih umum daripada hadits gharib dan mencakup beberapa macam
hadits yang tidak tercakup di dalam hadits gharib”.[100]
Selanjutnya, mereka membagi
hadits fard menjadi dua bagian, yaitu : Pertama, hadits fard mutlaq,
hadits fard bagian ini identik dengan hadits gharib sanad dan matan, yang
meliputi hadits syadh dan hadis munkar. Kedua,
hadits fard nisbi, yaitu hadits yang penyendiriannya terjadi berkaitan dengan
suatu aspek tertentu. Pengertian hadits
yang kedua ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan keghariban sanad dan
matan serta meliputi seluruh bentuk keghariban (tafarrud) yang lain. Di antara keghariban (tafarrud) itu adalah : [101]
1.
Tafarrud
al-tsiqah ‘an al-tsiqah (penyendirian rawi yang tsiqah dari rawi lain yang
tsiqah), maksudnya adalah suatu hadis yang tidak diriwayatkan oleh perawi
tsiqah yang lain, kecuali perawi tsiqah
yang ini.
2.
Tafarrud
al-rawi bi al-hadits ‘an rawi, artinya bahwa hadits seorang perawi tidak
diriwayatkan kecuali oleh seorang perawi lainnya, meskipun hadits tersebut
diriwayatkan melalui jalur sanad dari rawi lain.
3.
Menyendirinya
penduduk suatu Negara atau daerah dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh
penduduk Negara atau daerah lain.
Contohnya seperti hadits ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. mensholati
jenazah Suhail nin Baida’ di masjid.
dalam hal ini al-Hakim berkata, “Sunnah (hadits) ini hanya diriwayatkan
oleh penduduk Madinah”. Contoh lainnya
adalah hadits Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i, tentang seorang pria yang mengawini
wanita. Pria tersebut tidak membayar
maharnya dan tidak menggaulinya sampai meninggal dunia. Maka Nabi saw. memutuskan bahwa wanita
tersebut berhak mendapatkan mahar yang sepadan dengan mahar wanita-wanita dalam
keluarganya, wajib menjalani ‘iddah dan berhak mendapatkan harta waris. Sunnah (hadits) ini hanya diriwayatkan oleh
kabilah Bani Asyja’i, dan beberapa riwayat menunjukkan bahwa hadits itu juga
diriwayatkan oleh rawi lain dari bani Asyja’i.
b. Macam-Macam
Hadis Gharib
Hadis gharib ditinajau dari
aspek penyendiriannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits gharib muthlaq
dan gharib muthlaq nisbi. Di dalam pembagian ini Mahmud ath-Thahan sekaligus menyertakan
pembagian fard, sebab beliau menyamakan istilah hadits gharib dan fard. Di antara pembagian-pembagian itu adalah : [102]
1. Gharib mutlaq atau fard
mutlaq
Gharib ini adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal
sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq atau fard mutlaq,
walaupun setelah tabi’in itu banyak yang meriwayatkanya.[103]
Contohnya hadits tentang niat, hadits
ini diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra. seorang diri. Kesendiriannya ini terus berlanjut hingga
akhir sanad. Hadits ini pula
diriwayatkan oleh sejumlah perawi.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada
niatnya”.
2. Gharib nisbi atau fard nisbi
Gharib nisbi atau fard nisbi adalah apabila keghariban itu
terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisbi atau fard
nisbi, dengan kata lain hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi
pada awal sanadnya kemudian diriwayatkan
seorang perawi saja. Seperti beberapa
sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun
setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.[104]
Penamaan nisbi atau pengertian nisbi sendiri terletak pada
kesendiriannya seorang perawi yang dinisbatkan kepada individu tertentu. Contohnya hadits riwayat malik dari az-Zuhri
:
مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ مِغْفَرٌ
Artinya : Hadits malik dari
Ibn Syihab (az-Zuhri) bahwasanya Anas bin Malik mengabarkan, ”Bahwasanya
Rasulullah saw. memasuki kota
Makkah dan di atas kepalanya terdapat penutup”.
Pemahaman tentang hadits
gharib ini juga memuat beberapa perincian yang lain, di antaranya : gharib
nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu
seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai
sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa
kemungkinan, antara lain: Pertama, sifat keadilan dan kedhabitan
(kesiqohan) rawi, kedua, Kota atau tempat tinggal
tertentu dan yang ketiga meriwayatkannya dari orang tertentu juga. [105]
Selanjutnya, apabila
penyendirian hadis gharib ditinjau dari segi letaknya, apakah terletak di sanad
atau matan, hadis gharib ini terbagi juga menjadi tiga bagian, [106]
yaitu :
1. Gharib pada sanad dan matan
Di dalam hadis ini tidak
diriwayatkan kecuali melalui satu sanad,
contohnya :
كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ ، خَفِيفَتَانِ
عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
Artinya :”Ada dua kalimat yang dicintai Yang maha
Pengasih dan ringan diucapkan namun berat dalam mizan (timbangan amal), yaitu
subhana Allah wa bihamdih subhana Allah al-‘Azhim (Maha Suci Allah dan segala
puji-Nya, maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.
Hadits ini di kalangan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abi
Hurairah lalu darinya hanya diriwayatkan oleh Abu Zahrah, lalu diriwayatkan
hanya dari ‘Umarah, lalu hanya dari Muhammad bin fudhail. Melihat hal ini at-Turmidhi menyebutnya
dengan ungkapan “hadits ini gharib, tidak kami ketahui kecuali dari sanad ini”.[107]
2.
Gharib
pada sanad saja
Maksudnya adalah, suatu hadits yang masyhur kedatangannya
melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari
sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak
masyhur. [108] Ringkasnya bahwa hadits tersebut matannya
sudah terkenal dan diriwayatkan oleh sahabat yang banyak, tetapi bila ada
seorang perawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain, maka
kegharibannya hanya dari satu aspek saja.[109]
Contohnya hadits tentang niat lihat gambaran sanadnya atau hadis :
الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ ، وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ
فِي مُعَاءٍ وَاحِدٍ
Artinya :”Orang kafir makan
sepenuh tujuh usus, sedangkan orang beriman makan sepenuh satu usus”.
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:
Matan hadits ini dikenal dari Nabi saw. melalui banyak jalur. Syaikhani
mengeluarkannya dalam shahihain melalui jalur Abu Hurairah dan jalur
Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. Adapun hadits Abu Musa di atas dikeluarkan oleh
Muslim melalui Abu Kuraib. Hadits ini dinilai gharib oleh banyak ulama
dari segi ini. Mereka menyebutkan bahwa Abu Kuraib meriwayatkannya dengan
menyendiri.” Di antara yang menilai demikian adalah al-Bukhari dan Abu Zur'ah.
[110]
Contoh yang
lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh Yahya bin Ayyub
tentang larangan riya dengan ilmu, ia meriwayatkannya dengan muttashil,
sedangkan rawi lain meriwayatkannya dengan mursal. Al-Dzahabi berkata:”
Di antara hadits gharib yang diriwayatkannya adalah:
جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا تَعَلَّمُوا
الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَ لا لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلَا
تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ
Meriwayatkan
kepada kami Ibnu Juraij dari Abi al-Zubair dari Jabir bin ‘Abd Allah, bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda katanya: “Janganlah kamu mengajarkan ilmu untuk
bersombong-sombong terhadap ulama, untuk memamerkan kepintaranmu di hadapan
orang-orang yang bodoh, dan untuk mendirikan majelis yang dipilih-pilih.
Barangsiapa melakukan hal yang demikian, maka neraka adalah api yang akan
membakamya”.
Hadits ini masyhur dengan riwayat dari selain
Yahya secara mursal, akan tetapi gharib dari jalur Yahya bin Ayyub yang
diriwayatkan secara muttashil. Dengan demikian hadits ini adalah gharib sanad
dan tidak terdapat pada matannya.
Mengenai hal ini at-Turmudzi menyebut hadits yang demikian dengan
istilah gharib min hadza al-wajhi (hadis ini gharib dari jalur ini).
[111]
3. Gharib pada matan saja.
Hadis pada
bagian ini memiliki keghariban hanya pada matannya saja secara mutlak. Contohnya misalnya hadits at-Turmidzi yang
diriwayatkan dari malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra., katanya :
فَرَضَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى
وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya :
Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kepada hamba sahaya,
orang merdeka, orang laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang-orang dewasa
dari golongan muslim”.
Malik
meriwayatkan matan tersebut berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain, yaitu
dengan menambah kalimat minal muslimin. [112]
c.
Cara-cara Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau
menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis,
seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad.
Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau
matan lain yang menjadi syahid.
Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para muhadis dinamakan I’tibar. Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan sanad
hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis (takhrij Hadis). Dengan melakukan penelitian ini seseorang
akan tahu sejelas-jelasnya keadaan hadis
yang dimaksud, apakah dia mutawatir atau ahad (gharib).
d. Hukum Mengamalkan Hadits Gharib atau Fard
Sebelum memaparkan kehujahan
hadits gharib dan fard perlu ditegaskan bahwa, tampaklah
kedekatan antara dua jenis hadits ini, gharib dan fard tidak bisa
disatukan, sehingga para muhadditsin berbeda pendapat, apakah keduanya itu
sejenis ataukah memang merupakan jenis hadits yang berbeda. Menurut Nuruddin
‘Itr yang lebih tepat adalah menjadikannya sebagai dua jenis yang berbeda,
karena adanya sebagian jenis hadits fard yang tidak dapat dikategorikan
sebagai hadits gharib, seperti hadits fard yang dinisbatkan
kepada penduduk negara-negara tertentu atau hadits fard yang dinisbatkan
kepada kabildh-kabilah tertentu.
Selanjutnya,
hukum kedua jenis hadits ini tunduk kepada
syarat-syarat hadits sahih dan hadits hasan, apakah pada keduanya
terpenuhi syarat-syarat tersebut ataukah tidak. Oleh karena itu, ditinjau dari
segi diterima atau ditolaknya masing-masing dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
Pertama, Gharib shahih dan fard shahih, yaitu
hadits gharib dan hadits fard yang sanadnya memenuhi
syarat-syarat hadits shahih, seperti hadits dan hadits-hadits gharib
serta hadits fard lainnya yang mencapai derajat hadits sahih.
Al-Turmudzi memberikan predikat bagi hadits seperti ini dengan ungkapan: shahih
gharib (Hadits ini shahih yang gharib).
Kedua, Gharib hasan dan fard hasan, yaitu hadits gharib
dan hadits fard yang memenuhi kriteria hadits hasan li dzatihi.
Hadits yang demikian ini banyak terdapat dalam Jami' al-Turmidzi. Untuk
hadits yang demikian ia menyatakan: hasan gharib la na’rifuh illa min hadza
al-wajh (Hadits ini hasan gharib dan tidak kami ketahui kecuali melalui jalur
ini).
Ketiga, Gharih dha 'if dan fard dha
'if, yaitu hadits gharib dan hadits fard yang tidak memenuhi
kriteria hadits shahih den kriteria hadits hasan. Demikianlah umumnya
hukum kebanyakan hadits gharib, karena menyendirinya seorang rawi dengan suatu
hadits itu merupakan sumber kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecurigaan. Di
samping itu, banyak sekali segi ke-dha 'if-an dan kecacatan dalam hadits
gharib: dan oleh karena itu para ulama sangat berhati-hati terhadapnya
dan melarang memperbanyak mfriwayatkannya, bahkan sebagian dari mereka menyebut
kedua jenis hadits ini dengan nama hadits munkar.
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, "Ulama salaf
sungguh memuji hadits masyhur dan mencela hadits gharib secara
global." Al- Imam Abu Yusuf
berkata, "Barangsiapa mengikuti hadits gharib, maka ia berdusta." Imam
Ahmad berkata, "Janganlah kamu tulis hadits-hadits gharib ini, karena
semuanya adalah hadits-hadits rnunkar dan umumnya berasal dari para rawi yang
dha’if." Imam Malik berkata,
"Sejelek-jeiek ilmu (hadits) adalah ilmu (hadits) gharib dan
sebaik-baiknya ilmu (hadits) adalah ilmu (hadits) yang jelas, yang telah
diriwayatkan oleh kebanyakan manusia." Ibrahim al-Nakha'i beikata, "Para ulama membenci hadits gharib dan
ucapan yang asing.
Pernyataan seperti ini menjadi sangat jelas
bila dinisbatkan kepada hadits gharib sanadan wa matnan dan hadits
fa'rd muthlaq. Adapi n hadits gharib isnadan la matnan danfard nisbi
harus diteliti sanad-sanad hadits yang bersangkutan, sehingga apabila beberapa
sanad di antaranya adalah shahih karena telah memenuhi syarat hadits sahih,
maka ia adalah sahih. Demikian pula bila memenuhi syarat hadits hasan.
Bila tidak demikian, maka harus dikaji sanad-sanadnya, bila sanad-sanadnya itu
bisa saling menguatkan, maka dapat diterima, dan bila tidak dapat saling
menguatkan maka ia dha if.
Kadang-kadang hadits gharib sanad la matan
itu dha'if pada sanad yang mengandung kegharibam disebabkan kesalahan
atau kesalahdugaan rawinya. Maka dalam menghukumi hadits yang demikian harus
berpegang kepada matan hadits menurut sanad yang lain. Intinya hadits gharib atau fard ini bisa
dipakai hujah disaat hadits tersebut memiliki syarat-syarat hadits maqbul.
e. Kitab-kitab
Hadis Gharib
Buah karya yang di dalamnya memuat hadis-hadis gharib di
antaranya :
1.
Musnad
al-Bazzar karya Imam Bazari
2.
Mu’jam
al-Ausad karya at-Thabrani
3.
Gharaib
Malik karya ad-Daruqudni
4.
al-Afrad
juga karya ad-Daruqudni
5.
Sunnatin
Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[113]
[1]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[3]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[4]
Istilah hadis hanya dipergunakan untuk segala hal yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw., adapun semua berita yang bersumber selain dari Nabi Muhammas
saw. tidak dinamakan hadis, akan tetapi hanya dinamakan kisah, cerita atau
dongeng (isroilliyyat). Jadi penggunaan
istilah hadis yang termuat di dalam
kajian ilmu hadis memang benar-benar
dibatasi hanya yang bersentral pada Nabi Muhammad.
[5]
Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah
khabar. Lebih lanjut lihat; Mahmud
at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[6]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[7] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum
al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 95
[8]
Hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam berbagai tujuan dan
konteks. Selanjutnya lihat; Abd
al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi :
t.th.), cet., ke-12, h. 36
[9]
Fi’liyyah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana tindakan
menunaikan shalat lima
waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatan beliau dalam
melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.
Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh,
(Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[10]
Sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakaui oleh
Rasulullah saw. baik dari perkataan atau perbuatan. Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap
diamnya dan tidak adanya pengingkaran beliau, atau dengan persetujuan beliau
secara langsung. Selanjutnya lihat; Abd
al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi :
t.th.), cet., ke-12, h. 36
[11]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta :
Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h.
201
[12]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Pres), 2000,
cet., ke-3, h.120; Lihat juga :
Fatchur Rahman, Ikhtisar
Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.78
[13] ‘Ada al-Hadis secara lengkap akan diterangkan di dalam
bab Ilmu Tahamu wa al-‘Ada
(ilmu yang menerangkan tata cara penyampaian dan penerimaan hadis)
[14] Jarh
wa al-Ta’dil artinya adalah ilmu yang menerangkan tentang kelayakan atau
tidaknya seorang perawi hadis di dalam menyampaikan dan menerima hadis
Nabi. Lebih lengkapnya lihat bab ilmu al-Jar
wa al-Ta’dil (penilaian atau kritikan buruk dan baik pada perawi hadis)
[15]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet.,
h.19-20
[21]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[22]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[23]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[24] Ilmu
Dharuri adalah suatu Ilmu yang menunjukkan pada pengetahuan yang
sifatnya pasti, yaitu sesuatu yang mendatangkan keyalkinan. Dengan kata lain pengetahuan ini memaksa
manusia untuk membenarkan secara pasti, sebanding dengan seseorang yang
menyaksikan sesuatu dengan mata kepala sendiri, sehingga mustahil ia meragukan
perkara yang ia lihat tersebut. Lihat;
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Selanjutnya lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[25]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Selanjutnya lihat; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.80;
[26]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[27]
Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, (Mesir : Madba’ah
al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih
al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet.,
Jilid-2, h.404
[28]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[29]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[30]
M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet., ke-1, h. 131
[31] Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah,
2004), cet., ke-4, h. 98. Lihat juga;
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[33]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[34]
Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp.,
tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[35]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17
[36]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta :
Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h. 201.
Tentang pernyataan Ibnu shalah di atas bisa dibaca juga dalam catatan
kaki yang di sampaikan oleh Hasbi pada hal. 201
[37] Wensinck,
A.J., al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,
(Leyden : Brill, 1965), t.Cet. Jilid 5, h. 549
[38]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98. Lihat
juga; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[39]
Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah, Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), t. Cet. Jilid-1, h. 45
[41]
As-Syuyuti, al-Imam Jalal ad-Din Abu
al-Fadhil ‘Abdu ar-Rahman, Tadrib
ar-Rawi fi Syrhi Taqrib an-Nawawi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1993), t. Cet.
h.179
[42]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98
[43] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,
(Bandung :
Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h.132
[44]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[45]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2001), cet., ke-4, h. 133
[46]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[47]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;
M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet., ke-1, h. 133
[48]
Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp.,
tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[49]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16. Lihat juga; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h.81
[50]
Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194
H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.-
261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200
H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817
M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.-
915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824
M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad
bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)
[51]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., 21
[52]
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres,
2000), cet., ke-3, h. 93
[53]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98; Lihat
juga, Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[54]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[55]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[56]
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981),
cet., ke-4, h. 68
[57]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[58]
Bukhari,
[59]
Ibnu Majah,
[60]
Bukhari di dalam Tarikh
[61]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[62]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ; Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari
istafadza pecahan (mustaq) kata dari
fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian karena
keadaannya terlebar luas. Menurut
istilah sudah tersebut di atas. Lihat,
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[63]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211; Lihat
juga, Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h. 23
[64] Fatchur Rahman,
Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT
Alma’arif, tth.), cet., ke-9, h. 86
[65]
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits,
(Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h. 124-125
[66]
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981),
cet., ke-4, h. 68
[67]
An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah :
al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
[68]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (ttp. : Dar
Zuhud al-Qudsi, tth.), t.cet., h.134-135
[69]Contoh-contoh hadits masyhur setelah ditelusuri oleh
penulis banyak terdapat diberbagai kitab ilmu hadis, sayangnya semua contoh
antara kitab satu dengan yang lain hampir sama, walaupun ada yang sedikit berbeda. Lebih lanjut lihat, As-Suyuthi, Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet.
h. 350-354; Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet.,
h.23-24; Nuruddin ‘Itr, Manhaj
an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum
al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.202-208; Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar
Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, 407,
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981),
cet., ke-4, h.67-68; Al-Iraqi, at-
Taqyid wa al-`Idah Syarah Muqaddimah Ibn Shalah, (Bairut : Dar al-Fikr,
1981), t.cet, h. 263-366; Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah,
2004), cet., ke-4, h.99-100
[70]
Bukhari
[71]
Bukhari
[72]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[73]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.209-210
[74]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100; Mahmud
at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[75]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100
[76]
Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah
wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 100; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar
al-Fikr, tth.), t.cet., h.24
[77]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[78]
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits,
(Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h.135-136
[79]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[80]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[81] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih
al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406
[82]
Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. :
Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h.136
[83]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[84] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih
al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406; Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[85]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[86]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, 18
[87]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut :
Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[88]
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
(Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h.18; Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.71
[89]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[90]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[91]
Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[92] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[93]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[94]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10,
h. 98
[95]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[96]Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah,
2004), cet., ke-4, h.101
[97]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.186
[99]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[100]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.192
[101]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.192-193
[102]
Mahmud at-Thahan, Taisir
Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[103] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[104] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[105]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
[106]
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet.,
ke-1, h. 141
[107]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.188
[108]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.186-187
[110]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.188
[111]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995,
Cet. ke-2, Jilid-2, h.189
No comments:
Post a Comment
Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun