16 Aug 2014

HADIS DITINJAU DARI ASPEK KUANTITAS


A.  Pendahuluan
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.    Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam bab ini akan dikemukakan pembagian hadis dari tinjauan kuantitas perawi.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.  Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu :
1.      Hadis mutawatir, hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis yang lain hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[1]
  1. Mutawatir lafdzi
  2. Mutawatir ma’nawi
  3. Mutawatir amali.[2]
2.      Hadis ahad, hadis ahad menurut mayoritas ulama hadis terbagai menjadi tiga bagian, yaitu : [3]
  1. Masyhur (mustafid)
  2. ‘Aziz
  3. Gharib.
Disamping pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
  1. Hadis mutawatir
  2. Hadis masyhur (hadis mustafidh)
  3. Hadis ahad.
Supaya lebih memahami tinjauan hadis dari aspek-aspek yang telah tersebut di atas, lebih lanjut akan penulis uraikan secara gambling.

B.  Hadis Mutawatir
Di dalam pengkajian hadis Nabi saw.[4] para muhadis mengelompokkkan bagian-bagian bab tertentu, masing-masing bab tersebut di analisis secara terperinci dengan menggunakan metode dan sistem yang beragam.  Pengelompokkan hadis pada aspek-aspek tertentu diharapkan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para pengkaji hadis khusunya para pemula untuk merumuskan bagian-bagian tersebut.  Dengan mempergunakan alur-alur tertentu itulah akan dapat memberikan kemudahan-kemudahan yang akan menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Selanjutnya, dalam pemaparan bab ini penulis akan menjelaskan seputar hadis Nabi ditinjau dari aspek kuantitas.  Berbicara tentang kuantitas hadis tentu yang kita bicarakan adalah jumlah hadis.  Para muhadis dalam membicarakan kuantitas hadis lebih rincinya bersentral pada sanad hadis.  Sebab pembicaraan sanad hadis itu juga berbicara seputar matan.  Lebih lanjut, para muhaddis di dalam menghitung hadis tidak ditekankan pada penghitungan matan hadis, akan tetapi penghitungan hadis disepakati oleh para muhaddis dengan cara menghitung jumlah sanadnya. 
Pemaparan tentang sanad hadis Nabi ditinjau dari aspek kuantitasnya menghasilkan satu kesepakatan rumusan, akan tetapi di dalam perumusan dan penjelasan seputar hadis Nabi ini para ulama banyak yang berbeda pendapat.  Perbedaan pendapat itu tidaklah menciptakan suatu perpecahan di dalam kesepakan mereka, justru menambah khasanah keilmuan hadis Nabi.
    Para pakar ilmu hadis di dalam menjelaskan tentang kuantitas hadis, dikelompokkan ke dalam bebarapa bagian.  Dari masing-masing bagian tersebut dibagi menjadi beberapa bagian lagi.   Adapun bagian pertama, hadis ditinjau dari aspek kuantitasnya yaitu hadis mutawatir.
Penelusuran riwayat mutawatir yang dituangkan di dalam bab hadis mutawatir ini merupakan suatu hal yang logis.  Hadis yang merupakan segala hal yang bersumber pada Nabi Muhammad saw. mutahil sampai kepada kita jika tidak ada pengantarnya.  Pengantar hadis itulah yang lazim disebut sebagai rawi, kelompok-kelompok perawi hadis (thabaqah as-Sanad) terbentuk secara alami yang selanjutnya disebut sanad hadis. 
Sanad hadis yang terdapat di setiap hadis Nabi melalui sistem yang permanen.  Hal itu terbukti dengan adanya pengelompokan kelompok-kelompok (thabaqah) tertentu.  Kelompok pertama disebut sebagai sahabat Nabi, sahabat menyampaikan hadis kepada tabi’in, tabi’in menyampaikan hadis kepada tabi’ tabi’in, tabi’ tabi’in menyampaikan hadis kepada muridnya (lazim disebut guru mushonnif), kemudian yang terakhir dibukukan oleh para penulis hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, at-tirmidzi, an-nasa’i, Ibnu majah, Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.
Perjalanan hadis samapai kepada kita melalui mata rantai sanad yang panjang, sehingga sangat perlu dianalisis dan diteliti ulang demi menjaga kebenaran berita dari Nabi yang berfungsi sebagai salah satu sumber ajaran Islam.  Penelitian tersebut untuk mengelompokkan hadis-hadis yang bisa dipakai hujah secara mutlak (hadis mutawatir) dan hadis-hadis yang perlu ditangguhkan sebagai hujah (hadis ahad)

Mutawatir[5] menurut bahasa adalah bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih berganti tak henti-hentinya[6]  atau bermakna yang saling mengikuti.[7]
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik dari aspek ucapan (qauliyyah)[8], perbuatan (fi'liyyah)[9] maupun suatu rekomendasi (taqririyyah)[10] dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut Hasbi mutawatir adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung Jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan (diragukan;penulis), bahwa mereka telah sepakat berdusta.  Keadaan itu terus menerus hingga sampai kepada akhirnya. (sanadnya ;penulis)[11]
Menurut pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.[12]
Dari pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam hadis mutawatir yang mana hadis tersebut memiliki jalur sanad yang cukup banyak, dari jumlah orang-orang yang meriwayatkan tersebut  suatu hal yang mustahil mereka-mereka para perawi hadis dengan sengaja mengadakan suatu kesepakan untuk membuat kabar berita atau informasi lain yang menyimpang.  Kemustahilan itu muncul sebab mereka para perawi hadis di dalam menyampaikan hadis ('ada al-hadis)[13] harus memiliki syarat-syarat yang cukup ketat, ketelitian ini terbukti adanya perhatian para ulama pada masanya dengan membuat berbagai kritikan terhadap perawi hadis, yang selanjutnya termuat di dalam ilmu Jarh wa Ta'dil. [14]
Dari uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat itu adalah:
a.       Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang.[15]  Menurut Abu ath-Thayyib jumlah perawi tersebut minimal empat orang, pendapat ini diqiyaskan pada banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terda’wa.[16]  Menurut Ashhab asy-Syafi’i lima orang, pendapat ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang terdapat di dalam ‘ulul ‘azmi. [17] Menurut ulama yang lain menyatakan batasan jumlah perawi tersebut mencapai duapuluh berdasarkan ketentuan  yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Anfal ayat 65.”Jika dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”. [18] Ada juga yang berpendapat bahwa hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya empatpuluh orang (jalur sanad),[19] pendapat ini juga diqiyaskan pada firman Allah suarat al-Anfal ayat 64,”Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mu’min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.[20]
b.    Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua tingkatan sanad (setiap thabaqah).[21]
c.     Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan.[22]
d.    Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat.  Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa dikatakan sebagai mutawatir. [23]
Dari berbagai syarat-syarat hadis mutawatir yang telah dikemukakan di atas, ditinjau dari aspek batasan sanad jumlah minimal tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat sebab tidak memiliki landasan sumber yang jelas dan valid.  Alasan-alasan yang telah mereka kemukakan  di dalam mempertahankan pendapat mereka masing-masing sangat lemah dan menyimpang dari pokok kajian dan persoalan.
Adapun jumlah sedikit atau banyaknya periwayat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqah) tidak mutlak menjadi persyaratan hadis mutawatir, akan tetapi kemutawatiran hadis itu yang penting tercapainya ilmu dharury.[24]  Walaupun jumlah perawi pada sanad hadis mutawatir tersebut jumlahnya sedikit, selama dapat memberikan kesan dan membuktikan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, hadis tersebut layak disebut mutawatir.[25]
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap tingkatan (thabaqah) mulai dari sahabat hingga penulis hadis (mutadwin) sangat diutamakan.  Misalnya Nabi berbicara didengar oleh sepuluh orang sahabat, sahabat menyampaikan hadis didengar oleh sepuluh tabi’in dan seterunya hingga pada tingkatan penulis hadis.  Apabila setiap tingkatan sanad tersebut tidak seimbang jumlahnya tidak bisa disebut mutawatir, contohnya seperti Nabi bersabda didengar oleh sepuluh sahabat, sahabat menyampaikan hadis didengar oleh tiga tabi’in, hal ini menurut kesepakan ulama hadis tidak bisa disebut mutawatir.[26]

C.  Pembagian Mutawatir :
            Para muhaddis dalam membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[27] dan ada yang mengatakan tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali.  Selanjutnya akan penulis terangkan di bawah ini.

1.  Mutawatir Lafdhi
Mutawatir lafzi adalah, hadis yang diriwayatkan secara tepat tanpa ada perubahan baik dari lafad maupun ma’nanya.[28]  Seperti contoh hadis : 
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 “Barangsiapa mendustakan atasku (ucapan, perbuatan dan takrir), maka persiapkanlah dirinya di Neraka. (Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat) “
Menurut Abu Bakar al-bazari, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 sahabat.  Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat[29] dengan lafad dan makna yang sama, [30] ada yang mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat.[31]  Menurut Endang Saetari hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, at-turmudzi, ath-Thayalisi, Abu Hanifah, ath-Thabrani, dan Hakim.[32]  
            Menurut Ibnu Shalah[33] sebagaimana di kutib oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Nuhbah, contoh hadis mutawatir lafdhi itu tidaklah banyak sebab sukar sekali mengemukakan contoh hadis mutawatir lafdzi.[34] Hadis mutawatir tersebut di atas merupakan contoh hadis mutawatir lafdzi yang benar-benar nyata.[35]  Menurut Hasbi contoh hadis mutawatir itu kebanyakan mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat shalat, tentang kadar zakat dan yang sebandingnya.[36]
            Contoh hadis mutawatir di atas setelah ditelusuri, oleh al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadis an-Nabawi karya AJ. Winsinck[37] bisa ditemukan diberbagai kitab-kitab mu’tabarah, di antaranya kitab sahih Bukhari bab jana’iz, bab anbiya’ dan bab adab, selanjutnya terdapat di sahih Muslim bab  Zuhud, Abu Daud bab ‘ilmu, at-Turmudzi bab fitan, bab ‘ilmu, bab tafsir, dan bab manaqib, Ibnu Majah bab mukhaddimah, ad-Darimi bab muqaddimah dan Ahmad bin Hanbal terdapat pada sejumlah sanad lebih kurang 43 jalur sanad.  Setelah penulis buka sesuai dengan petunjuk mu’jam hadis tersebut di atas tidak sama lafadznya secara keseluruhan ,jadi ada yang diriwayatkan secara makna. Akan tetapi untuk lafadz hadis sebagaimana tersebut di atas lebih dari sepuluh jalur sanad.
  
2.  Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi dari aspek ma’nanya saja, akan tetapi lafadnya berbeda antara hadis satu dengan yang lain.[38]  Contohnya hadis :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam shalat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.[39]
Hadis-hadis sebagaimana tertulis di atas yang artinya semakna lebih dari seratus hadis.[40]  Di anatara contoh lain adalah seperti hadis tentang mengangkat kedua tangan pada waktu berdo'a, Nabi saw. Selalu mengangkat tangan di kala berdo’a, selanjutnya hal ini diriwayatkan oleh para sahabat hingga menulis hadis. Para perawi di dalam meriwayatkan hadis tentang mengangkat tangan di kala berdo’a ini secara makna sama, akan tetapi bentuk lafad dan kalimatnya berbeda-beda.[41]
Menurut manna’ al-Qathan hadis mutawatir ma’nawi ini juga sangat sulit ditemukan di dalam riwayat-riwayat hadis yang ada sangat sedikit, di banding dengan jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad) yang jumlahnya sangat banyak.  Di anatara hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis tentang mashu ‘ala al-Khufaini, hadis rafa’ yadain fi ash-shalah, hadis al-haid, hadis nadhr Allah imroan sami’ maqali, hadis unzila al-Qur’an sab’ah ahruf, hadis man buniya lillah masjidan, hadis kullu muskir haramun, hadis wailun lila’qab min an-nar, hadis ru’yat Allah fi al-akhirah, dan hadis an-naha ‘an ittikhadh al-qubur masajid.  Selanjutnya qathan juga menyatakan bahwa hadis mutawatir ma’nawi lebih banyak jumlahnya daripada hadis mutawatir lafdzi.[42]        

3.  Mutawatir Amali
            Mutawatir adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa Muhammad Nabi saw. pernah mengajarkan atau melaksanakan amalan yang mutawatir tersebut.[43] 
Dalam hal ini banyak para penulis yang tidak memaparkan hadis mutawatir amali, sebab mutawatir amali hakekadnya sama dengan mutawatir yang lain (lafdzi dan maknawi).  Jika berita (pengamalan)  itu bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam periwayatan sama persis dengan yang dimaksud oleh Nabi saw. secara tekstualnya, maka itu disebut mutawatir lafdzi.  Sedangkan kalau berita (pengamalan) itu hanya sama berupa makna yang sama tanpa disertai kesamaan lafadz maka itu disebut mutawatir ma’nawi.  Demikian menurut analisis penulis.

D.  Hukum  Mengamalkan Hadis Mutawatir
Sesuatu yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya. Oleh sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.[44]  Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutib oleh Utang Ranuwijaya di dalam buku Ilmu Hadis, ia mengatakan “ Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai keberannya dan mengamalkan sesuai dengan isi dan kandungannya.  Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui kemutawatiran hadis itu, maka baginya cukup mengikuti dan menyerahkan kebenaran kemutawatiran hadis tersebut kepada orang yang telah menyepakatinya”.[45]

E.  Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Ulama' sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu adalah :[46]
a.       Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh As-Suyuti.  Dalam kitab ini memuat hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada bab-babnya.
b.      Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.       Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin Ja'afar Al Kattani.
d.      Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[47]

F.  Penutup.
Pernyataan yang disampaikan oleh para muhaddis di dalam merumuskan syarat-syarat hadis mutawatir sangatlah ketat, sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Hiban dan al-Hazimy menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin ada.  Menurut Ibnu Shalah bahwa hadis mutawatir itu memang ada, hanya jumlah hadis mutawatir itu sangat sedikit.[48]
Pendapat Ibnu Hiban dan al-Hazimy ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dengan menyatakan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya munculnya kitab-kitab hadis mutawatir yang mashur dikenal oleh para ulama.  Bahkan ada kitab-kitab yang khusus menerangkan tentang hadis-hadis mutawatir.  Selanjutnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa mereka yang menyatakan hadis mutawatir itu tidak ada disebabkan oleh keterbatasan mereka dan kurangnya mereka menelaah jalan sanad-sanad hadis yang ada.[49]
Secara garis besar masing-masing pernyatan muhaddis dalam merumuskan syarat-syarat kemutawatiran suatu hadis memang sangat ketat, sehingga wajar jika Ibnu Hiban dan al-Hazimi memberi pernyataan seperti itu.  Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu mustahil ada merupakan hal yang wajar sebab kemungkinan mereka melihatnya dari jumlah tingkatan sanad yang berjumlah empatpuluh jalur sanad  pada tiap-tiap tobaqahnya, sehingga mustahil hadis mutawatir itu ada. 
Begitu juga dengan pernyataan Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang mengatakan bahwa hadis mutawatir itu banyak, sebab pendapat yang utarakan oleh Ibnu Hajar ini dalam memberikan syarat-syarat mutawatir perawi tidak harus berjumlah banyak pada tiap-tiap sanad dan tingkatannya (thabaqah), yang penting dapat mendatangkan kepastian berita yang valid (mendatangkan ilmu dharury). 
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukan oleh para muhaddis di dalam memberikan persyaratan mutawatir memanglah sangat ketat, sehingga secara prosentase jumlah hadis yang telah ditulis oleh para mutadwin yang berkaitan dengan hadis mutawatir sangatlah sedikit, dibanding jumlah hadis yang bukan mutawatir (ahad).  Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya kitab-kitab hadis yang beredar di masyarakat khususnya kitab-kitab mu’tabarah,[50] yang di dalamnya sangat sedikit menerangkan atau menulis hadis (sanad) mutawatir.  Hadis mutawatir jika diprosentase dengan hadis yang bukan mutawatir (ahad) lebih kurang sepuluh persen.  Intinya hadis mutawatir itu memang ada akan tetapi jumlahnya sedikit sekali.

B.  Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa aahad bentuk jamak dari kata "ahad" yang punya arti "satu", jadi hadis  ahad (wahid) adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang.  Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[51]
Pengertian ahad  berarti suatu hadis atau riwayat yang memiliki satu sanad atau beberapa sanad, akan tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir.  Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. [52]
Hadis ahad sebagaimana telah disinggung di atas secara sekilas terbagi menjadi beberapa bagian,  yaitu :[53]
1.      Masyhur (mustafid)
2.      'Aziz
3.      Gharib. 
Sebelum penulis memaparkan secara lebih lanjut dari bagian-bagian ahad secara terperinci perlu diketahui bahwa, hadis ahad inilah yang akan di analisi ulang secara rinci dan akan dibuktikan dengan penelitian secara lebih lanjut, supaya dapat diketahui kualitasnya.  Hal ini berbeda dengan hadis mutawatir yang memiliki jalur sanad yang banyak dan saling menguatkan, sehingga dengan kemutawatirannya ini sudah tidak perlu lagi diragukan dan tidak perlu adanya penelitian serta sudah pasti bisa dijadikan hujjah di dalam hukum islam.
Adapun penjelasan seputar hadis ahad apabila ditinjau dari aspek kualitas memiliki hukum yang beragam, bisa berkualitas (sahih, hasan maupun dhaif).  Berbeda dengan hadis mutawatir yang apabila ditinjau dari aspek kualitas yang sudah pasti sahih. 

C.  Hadis Masyhur
Hadis masyhur merupakan bentuk hadis yang memiliki jumlah sanad yang minimal tiga jalur dan atau lebih, akan tetapi tidak sampai kepada bentuk mutawatir.[54]  Hadis masyhur memiliki sanad yang setidaknya ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya. Sehingga komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya saling mendukung dan menguatkan.  Kedho’ifan hadis masyhur ini bisa meningkat menjadi hasan lighairih.
  Ada suatu pendapat yang mengatakan (beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa sahih, pendapat ini muncul sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur yang banyak, sehingga antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan.  Seorang peneliti sering terkecoh dengan adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas terhadap hadis masyhur ini bisa terkecoh.  Para muhadis kurang perduli dengan bilangan jumlah sanad pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa disertai dengan sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat, sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [55]
   Dengan demikian, menurut Nuruddin ‘Itr walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad lebih dari dua jalur sanad dan saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek diterima (maqbul) dan ditolaknya (mardud)[56] terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[57]
1.      Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya : Bahwasanya Rasul Allah saw. bersabda,”Apabila salah satu dari kalian mendatangi (melaksanakan) shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.[58]  (Hadis ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad)

2.      Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya”.[59] (Hadis ini diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh an-Nawawi dalam kitab Arba’in.

3.      Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya: “carilah Ilmu walu di negeri Cina”.[60]( Hadis ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak bebas dari rawi yang terkena kritik jarh (buruk atau cela).  Oleh sebab itu hadis di atas merupakan hadis masyhur yang dha’if.

B.  Definisi
Masyhur menurut bahasa adalah isim maf'ul dari fi'il syahara yang artinya menyebarluaskan dan menampakkan, dan dikatakan seperti itu karena dia tampak dengan jelas.  Sedangkan menurut istilah ahad adalah hadis yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih, dan tidak sampai pada batas-batas mutawatir.[61]
            Hadis Masyhur menurut Fuqaha semakna (muradif) dengan mustafidz,[62] para ulama di dalam mendefinikan hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[63]
1.      Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.      Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka tidak sependapat tentang perbedaannya
3.      Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena hadis mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada permulaan, pertengahan  dan akhir sanadnya, sedangkan hadis masyhur tidak demikian.[64]
4.      Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[65] 
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa secara garis besar dapat digambarkan demikian, masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .

C.  Klasifikasi Hadis Masyhur
            Hadits masyhur ditinjau dari aspek penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian.  Hal ini terjadi disebabkan keberadaan hadits Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan tertentu, misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits yang masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau bahkan masyhur di masyarakat umum.  Berbagai hadis yang masyhur ini kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik memiliki satu atau dua sanad yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.[66]  Bahkan ada juga hadits yang masyhur di masyarakat umum, akan tetapi tanpa ada sanad sama sekali.  Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur banyak  dikenal diberbagai riwayat yang yang bersumber dari Nabi saw., dan beragam kualitasnya ada shahih, hasan, dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi kesumuanya di kenal atau masyhur oleh berbagai kalangan dengan tidak tahu kualitas sebenarnya.[67]
Selanjutnya ada juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis atau dibukukan oleh para ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu, seperti hadits shahih di kitab jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’ as-sunan, hadis dha’if di kitab silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di kitab silsilah al-hadits maudhu’ah, hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah, hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits masyhur dengan sebab sudah tercatat di dalam kitab-kitab tertentu.  
            Menurut Ibnu shalah di dalam muqadimahnya mengatakan bahwa,[68] ada beberapa hadits masyhur yang telah banyak kalangan masyarakat dari berbagai tingkatan, walaupun ada beberapa kalangan yang lebih mengenal beberapa hadits masyhur tertentu.  Di antara hadits masyhur yang banyak dikemukan itu adalah :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
            Artinya:”Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niat”.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
            Artinya :”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim(muslimat)”.

Berikut ini beberapa contoh seputar hadits mashur di berbagai kalangan atau golongan masyarakat yang disesuaikan dengan kalangan mereka masing-masing, yaitu :[69]
1.   Hadits masyhur menurut ahli hadis secara khusus 
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
Artinya : “Bahwasanya Rasulullah saw. melakukan qunut setelah ruku’ selama satu bulan untuk memohon kecelakaan atas suku Ri’l dan suku Dzakwan”.[70]

2.   Hadits masyhur menurut para muhaddits, ulama lain dan masyarakat umum
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya : “Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”.[71]
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
Artinya : “Setiap Muslim adalah  saudara muslim yang lain”.

3.   Hadits masyhur menurut fuqaha
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ
Artinya : “Perkara halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq”.
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Artinya : orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat mereka”.
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya : ”Rasulullah saw. melarang jual beli dengan penipuan”.

4.   Hadits masyhur menurut ahli ushul
إذا حكم الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهد وحكم فأخطأ فله أجر
Artinya :”Apabila Seorang Hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala.  Dan apabila ia menghakimi lalu berijtihad untuknya dan salah maka ia mendapat satu pahala”.
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ , وَالنِّسْيَانُ , وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Artinya: “Diangkat dari umatku (dosa) atas kesalahan, lupa dan hal yang memaksa”.

5.   Hadits masyhur menurut ahli bahasa Arab (ahli nahwu)
نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
Artinya : “Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya”.

6.   Hadits masyhur menurut kalangan pendidikan
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Artinya :”Telah mendidikku Rabku dan ia mendidik dengan baik”.


7.   Hadits masyhur menurut kalangan Umum
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ
Artinya : Bepergian itu sebagai bagian dari siksaan”.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : “Barangsiapa menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami”.

الْحَرْبَ خَدْعَةً
Artinya : “Perang itu suatu tipu daya”.

الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ الْمُؤْمِنِ
Artinya : “Setiap mukmin merupakan cermin mukmin lainnya”.

كَمَا تُدِينُ تُدَانُ
Artinya : “Sejauh mana engkau ta’at, sejauh itu pula Allah akan berbuat baik kepadamu”.

الْمَجَالِسُ بِالأَمَانَةِ
Artinya : “Teman bergaul itu didapat berdasarkan adanya kepercayaan”.

الْعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya : “Tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”.


D.  Permasalahan Sekitar Hadits Masyhur
Menurut Nuruddin ‘Itr,[72] penjelasan tentang hadits masyhur tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa, para ulama mengupayakan penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat supaya mereka terima.
Borch menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin yang taat dan bertakwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits. Semuanya mereka yakini sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan. Telah jelas bahwa para ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits. Jelas-jelas mereka mengakui bahwa ijma' umat merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan suatu hadits."
Selanjutnya ia menambahkan, "Akan tetapi para muhadditsin ddak puas membiarkan diri mereka terbawa oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem yang mengancam keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan ini dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada kesimpulan yang dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:[73]
1.      la menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan "kesepakat­an umat untuk menerima kredibilitas hadits".  Penafsiran ijma' yang demikian menyalahi kaidah ajaran Islam  yang sangat mendasar dan tidak samar lagi bagi setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat dijadikan hujjah menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai hasil penggalian hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma' itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.      Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar masya-rakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Imam Muslim menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya bahwa yang menjadi motivasi penyusunan kitab Shahih-nya adalah karena ia melihat ha-dits-hadits dha'if dan rusak beredar dengan leluasa di tengah-tengah umat Islam.
3.      Para muhadditsin mengadakan pengkajian khusus terhadap hadits yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur. Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum untuk kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak memiliki kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits/ baik shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.      Seandainya kata-kata "kajian ijma" itu kita artikan sebagai ijma' ulama terbatas dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang mudah dipahami dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah. la merupakan seorang ulama spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat. Namun bagaimana dengan hal yang telah disepakati oleh.para imam dan tokoh ulama dalam bidang yang sama.

E.  Hukum Mengamalkan Hadits Masyhur
            Istilah hadits masyhur bila ditinjau dari aspek pengertian yang sebenarnya tidak bisa dipakai hujah, sebab hadits masyhur dalam pengertian istilah membahas tentang sanad hadits.  Hadits masyhur bisa dipakai untuk berhujjah disaat hadits tersebut jelas kualitasnya, sebab hadits masyhur sebagaimana telah disinggung di atas memiliki berbagai status, bisa shahih, hasan, dha’if atau bahkan palsu. 
            Jadi hadits masyhur bisa dipakai berhujjah setelah jelas kualitasnya yaitu, hadits mayhur tersebut harus berstatus maqbul (shahih dan hasan), jika hadits masyhur tersebut belum jelas statusnya maka tidak boleh dipakai berhujjah. 
            Sangat berbeda dengan hadits mayshur yang banyak dikenal oleh berbagai kalangan, maksudnya sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa, hadits masyhur yang memang telah dikenal oleh kalangan tertentu dan sudah tertulis di kitab jami’ shahih tentu bisa dipakai hujjah. 

F.   Kitab-kitab Hadis Masyhur
Karya ilmiah para ulama yang menulis hadits masyhur hanyalah hadits masyhur lisani (mulut ke mulut) dan bukanlah hadits masyhur istilahi. Di antara kitab-kitab yang memuat hadis masyhur itu adalah :[74]
1.      Al Maqashidul Hasanah Fima Isytahara 'Alal Al sinah oleh As Sakhawi.
2.      Kasyful Khafa' wa Muzail al-Ilbas Fima Isytahara min al-Haditsi 'Ala al- Sinah an-Nas, oleh al-Ajluni.
3.      Tamyizu at-thayyib min al-Khabits fima Yaduru ‘Ala al-Sinah an-Nas min al-Hadits, karya Ibn ad-Daiba’ asy-Syaibani.

2.  Hadis ‘Aziz
a.  Definisi Hadits ‘Aziz
            Menurut bahasa ’aziz mempakan sifat musyabbahah dari kata 'azza ya'izzu, yang artinya sedikit atau jarang, atau juga sifat musyabbahah dari kata 'azza ya'azzu, yang artinya kuat atau keras. Disebut demikian karena sedikit atau jarang keberadaannya atau bisa juga dikatakan kuat keberadaannya melalui jalur lain.[75]  Sedangkan, menurut istilah hadits ‘aziz adalah  hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya.[76]
Maksudnya adalah, pada masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi.[77] Jika di sebagian thabaqarnya dijumpai tiga orang atau lebih perawi, hal itu tidak merusak (statusnya sebagai) hadits 'aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya meskipun cuma satu thabaqat terdapat dua orang rawi. Sebab, yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh para muhaddits. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang.[78] Mereka tidak membedakan dalam kasus ini dengan hadits masyhur.[79] Adapun contoh hadits masyhur di antaranya :
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حتى أَكُونَ أَحَبَّ إليه مِنْ وَلَدِه وَوَالِدِه وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya :”Tidak dianggap beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya, dari anaknya, dan manusia seluruhnya”.

Hadits tersebut diriwayatkan dari Anas Qaradah dan Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Qatadah Syu'bah dan Sa'id, dari Abdul Aziz Ismail bin 'Ulayyah dan Abdul Warits, dan dari masing-masing kelompok. [80]
            Menurut pendapat lain bahwa hadits masyhur merupakan kata istilah bahasa dari kata ‘azza ya’azzu yang artinya kuat, sebagaimana firman Allah swt.:[81]
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ
Artinya :”Kemudia kami kuatkan dengan utusan ketiga (QS. Yasin:14)
Ibnu al-Shalah berkata:[82] Diriwayatkan kepada kita dari al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah, ia berkata "Hadits gharib itu seperti hadits al-Zuhri dan Qatadah serta imam lain yang telah disepakati haditsnya manakala ada seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari mereka. Dan bila yang meriwayatkan hadits tersebut dua orang atau tiga orang rawi, maka hadits tersebut disebut hadits 'aziz. Dan bila hadits tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi, maka disebut hadits masyhur."[83]
Ibnu al-Shalah mengikuti Ibnu Mandah tidak menjelaskan dengan sempurna tentang perbedaan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur. la menamai hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi dengan nama 'aziz dan masyhur. Pendapatnya itu diikuti oleh al-Nawawi dan lainnya. [84]
Hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sedangkan hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang lebih dari tiga.  Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat bahwa hadits 'aziz itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Mereka membedakan antara hadits 'aziz dan hadits masyhur dengan perbedaan yang sem­purna. Mereka menggunakan istilah masyhur khusus untuk hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih. [85]
Relevansi sebutan 'aziz dan hadits 'aziz itu jelas, sebab hadits ter­sebut jadi kuat dengan diriwayatkan melalui dua jalur atau karena jumlah hadits yang demikian sangat sedikit. Oleh karena itu Ibnu Hibban mempertanyakan adanya hadits 'aziz ini.  Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:[86] "Ibnu Hibban beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua orang dari awal higga akhir sanad  sama sekali tidak dapat kita jumpai.[87] Menurutku (al-Hafizh): “Bila yang dikehendaki adalah bahwa periwayatan oleh dua orang saja dari dua orang saja itu sama sekali tidak dapat kita jumpai, itu dapat diterima. Namun gambaran hadits masyhur yang kita bahas ini dapat dijumpai, yakni hadits yang tidak diriwayatkan oleh orang yang kurang dari dua dari rawi lain yang kurang dari dua pula. [88]
Penjelasan al-Hafizh itu sangat tepat karena bila suatu hadits dalam suatu tingkat diriwayatkan oleh dua orang rawi yang kemudian pada tingkat berikutnya diriwayatkan oleh rawi yang lebih dari dua orang, maka hadits tersebut masih tetap termasuk kategori hadits 'aziz, karena jumlah rawi yang paling sedikit itu menentukan nasib riwayat rawi yang lebih banyak. [89]

b.  Hukum Mengamalkan Hadits ‘Aziz
Hukum hadits 'aziz itu sama dengan hukum hadits masyhur, yakni bergantung kepada keadaan sanad dan matannya. Oleh karena itu bila pada kedua unsur itu telah terpenuhi kritena hadits sahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan adalah sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula yang dha 'if. Hadits sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits 'aziz, bahkan kadang-kadang berupa hadits gharib, sebagaimana telah dijelaskan di muka. [90]

c. Kitab-Kitab Yang Populer
Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits 'aziz. Tampaknya hal ini disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut. [91]


3.  Hadits Gharib
Kedudukan hadis Ahad bila bila dibanding dengan hadis mutawatir sangat berbeda apabila ditinjau dari aspek hujahnya.  Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah saw., maka tidak demikian pada hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah saw., tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw., dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak pasti (gairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah saw., maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak. [92]
Keberadaan hadits ahad banyak termuat diberbagai kitab-kitab hadits yang mu’tabarah atau yang bukan mu’tabarah.  Hadits ahad sebagaimana telah disinggung di atas memiliki beberapa bagian, yaitu masyhur, ‘aziz dan gharib.  Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.  Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.

a.  Definisi Hadis Gharib
Hadis gharib di lihat dari aspek bahasa bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami.[93] Yang dimaksud hadis gharib ini ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits, penyendiriannya itu dimana saja dalam salah satu sanad. [94] Kesendirian perawi bisa terdapat pada setiap tingkatan (thabaqah) dari seluruh jalur sanad atau bisa terdapat disebagian tingkatan sanad.  Bila di salah satu thabaqah ada jumlah perawi lebih dari satu, hal itu tidak merusak pengertian hadis gharib karena yang dijadikan patokan dalam standar hadits gharib adalah jumlah paling minimal perawi disetiap thabaqahnya (tingkatan). [95]
Pengertian hadits gharib di atas senada dengan pendapat Manna al-Qathan, walaupun hadits gharib itu sanadnya menyendiri akan tetapi tidak ada persyaratan khusus yang diharuskan pada seluruh tingkatan sanad hanya satu perawi, boleh jadi pada beberapa tingkatan sanad terdapat ada lebih dari satu perawi.[96]  Lebih lanjut ada beberapa keterangan lain seputar definisi gharib, yaitu hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya maupun menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun.  Hadits yang demikian dinamakan gharib sebab ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sampingnya atau karena hadits tersebut jauh dari tingkat masyhur terlebih lagi sangat jauh dari peringkat mutawatir.[97]
Sedangkan nama lain yang satu arti dengan hadis gharib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perawi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang.[98]  Definisi tentang kesamaan hadits gharib dan fard baik ditinjau dari aspek bahasa maupun istilah in didukung oleh Ibnu hajar, walaupun beliau berkata:”Bahwa ahli istilah (muhaddits) telah membedakan keduanya (gharib dan fard) dilihat dari aspek banyak atau sedikitnya penggunaan.  Disebut fard karena lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak.  Sedangkan hadits gharib lebih banyak digunakan untuk istilah hadits fard yang nisbi”. [99]
Pendapat seputar perbedaan antara pengertian tentang hadits gharib dan fard di atas di antaranya didukung oleh Nuruddin ‘Itr, beliau mengatakan: “ Dalam memaknai hadits gharib dan fard para ulama ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan bahwa hadits gharib dan hadits fard itu semakna (muradif) ada juga yang mengatakan bahwa, antara hadis gharib dan fard itu berbeda, hadits fard dimaknai oleh para ulama dengan istilah, hadits yang rawinya menyendiri dari aspek atau segi apapun juga. Hadis fard artinya lebih umum daripada hadits gharib dan mencakup beberapa macam hadits yang tidak tercakup di dalam hadits gharib”.[100]
Selanjutnya, mereka membagi hadits fard menjadi dua bagian, yaitu : Pertama, hadits fard mutlaq, hadits fard bagian ini identik dengan hadits gharib sanad dan matan, yang meliputi hadits syadh dan hadis munkar.  Kedua, hadits fard nisbi, yaitu hadits yang penyendiriannya terjadi berkaitan dengan suatu aspek tertentu.  Pengertian hadits yang kedua ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan keghariban sanad dan matan serta meliputi seluruh bentuk keghariban (tafarrud) yang lain.  Di antara keghariban (tafarrud) itu adalah : [101]
1.      Tafarrud al-tsiqah ‘an al-tsiqah (penyendirian rawi yang tsiqah dari rawi lain yang tsiqah), maksudnya adalah suatu hadis yang tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqah  yang lain, kecuali perawi tsiqah yang ini.
2.      Tafarrud al-rawi bi al-hadits ‘an rawi, artinya bahwa hadits seorang perawi tidak diriwayatkan kecuali oleh seorang perawi lainnya, meskipun hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur sanad dari rawi lain.
3.      Menyendirinya penduduk suatu Negara atau daerah dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh penduduk Negara atau daerah lain.  Contohnya seperti hadits ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. mensholati jenazah Suhail nin Baida’ di masjid.  dalam hal ini al-Hakim berkata, “Sunnah (hadits) ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Madinah”.  Contoh lainnya adalah hadits Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i, tentang seorang pria yang mengawini wanita.  Pria tersebut tidak membayar maharnya dan tidak menggaulinya sampai meninggal dunia.  Maka Nabi saw. memutuskan bahwa wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang sepadan dengan mahar wanita-wanita dalam keluarganya, wajib menjalani ‘iddah dan berhak mendapatkan harta waris.  Sunnah (hadits) ini hanya diriwayatkan oleh kabilah Bani Asyja’i, dan beberapa riwayat menunjukkan bahwa hadits itu juga diriwayatkan oleh rawi lain dari bani Asyja’i.

b.  Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis gharib ditinajau dari aspek penyendiriannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits gharib muthlaq dan gharib muthlaq nisbi. Di dalam pembagian ini Mahmud ath-Thahan sekaligus menyertakan pembagian fard, sebab beliau menyamakan istilah hadits gharib dan fard.  Di antara pembagian-pembagian itu adalah : [102]
1.      Gharib mutlaq atau fard mutlaq
      Gharib ini adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq atau fard mutlaq, walaupun setelah tabi’in itu banyak yang meriwayatkanya.[103]   Contohnya hadits tentang niat, hadits ini diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra. seorang diri.  Kesendiriannya ini terus berlanjut hingga akhir sanad.  Hadits ini pula diriwayatkan oleh sejumlah perawi. 
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya”.
2.      Gharib nisbi atau fard nisbi
      Gharib nisbi atau fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisbi atau fard nisbi, dengan kata lain hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada  awal sanadnya kemudian diriwayatkan seorang perawi saja.  Seperti beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.[104] 
      Penamaan nisbi atau pengertian nisbi sendiri terletak pada kesendiriannya seorang perawi yang dinisbatkan kepada individu tertentu.  Contohnya hadits riwayat malik dari az-Zuhri :
مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ مِغْفَرٌ
Artinya : Hadits malik dari Ibn Syihab (az-Zuhri) bahwasanya Anas bin Malik mengabarkan, ”Bahwasanya Rasulullah saw. memasuki kota Makkah dan di atas kepalanya terdapat penutup”.
Pemahaman tentang hadits gharib ini juga memuat beberapa perincian yang lain, di antaranya : gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.  Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain: Pertama, sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqohan) rawi,  kedua, Kota atau tempat tinggal tertentu dan yang ketiga meriwayatkannya dari orang tertentu juga. [105]
Selanjutnya, apabila penyendirian hadis gharib ditinjau dari segi letaknya, apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib ini terbagi juga menjadi tiga bagian, [106] yaitu :
1.      Gharib pada sanad dan matan
Di dalam hadis ini tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad,  contohnya :
كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
Artinya :”Ada dua kalimat yang dicintai Yang maha Pengasih dan ringan diucapkan namun berat dalam mizan (timbangan amal), yaitu subhana Allah wa bihamdih subhana Allah al-‘Azhim (Maha Suci Allah dan segala puji-Nya, maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.
      Hadits ini di kalangan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abi Hurairah lalu darinya hanya diriwayatkan oleh Abu Zahrah, lalu diriwayatkan hanya dari ‘Umarah, lalu hanya dari Muhammad bin fudhail.  Melihat hal ini at-Turmidhi menyebutnya dengan ungkapan “hadits ini gharib, tidak kami ketahui kecuali dari sanad ini”.[107]

2.      Gharib pada sanad saja
      Maksudnya adalah, suatu hadits yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur. [108]  Ringkasnya bahwa hadits tersebut matannya sudah terkenal dan diriwayatkan oleh sahabat yang banyak, tetapi bila ada seorang perawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain, maka kegharibannya hanya dari satu aspek saja.[109] Contohnya hadits tentang niat lihat gambaran sanadnya atau hadis :
الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ ، وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مُعَاءٍ وَاحِدٍ
Artinya :”Orang kafir makan sepenuh tujuh usus, sedangkan orang beriman makan sepenuh satu usus”.
      Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: Matan hadits ini dikenal dari Nabi saw. melalui banyak jalur. Syaikhani mengeluarkannya dalam shahihain melalui jalur Abu Hurairah dan jalur Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. Adapun hadits Abu Musa di atas dikeluarkan oleh Muslim melalui Abu Kuraib. Hadits ini dinilai gharib oleh banyak ulama dari segi ini. Mereka menyebutkan bahwa Abu Kuraib meriwayatkannya dengan menyendiri.” Di antara yang menilai demikian adalah al-Bukhari dan Abu Zur'ah. [110]
      Contoh yang lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh Yahya bin Ayyub tentang larangan riya dengan ilmu, ia meriwayatkannya dengan muttashil, sedangkan rawi lain meriwa­yatkannya dengan mursal. Al-Dzahabi berkata: Di antara hadits gharib yang diriwayatkannya adalah:
جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَ لا لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلَا تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ

Meriwayatkan kepada kami Ibnu Juraij dari Abi al-Zubair dari Jabir bin ‘Abd Allah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda katanya: “Janganlah kamu mengajarkan ilmu untuk bersombong-sombong terhadap ulama, untuk memamerkan kepintaranmu di hadapan orang-orang yang bodoh, dan untuk mendirikan majelis yang dipilih-pilih. Barangsiapa melakukan hal yang demikian, maka neraka adalah api yang akan membakamya”.
      Hadits ini masyhur dengan riwayat dari selain Yahya secara mursal, akan tetapi gharib dari jalur Yahya bin Ayyub yang diriwayatkan secara muttashil. Dengan demikian hadits ini adalah gharib sanad dan tidak terdapat pada matannya.  Mengenai hal ini at-Turmudzi menyebut hadits yang demikian dengan istilah gharib min hadza al-wajhi (hadis ini gharib dari jalur ini). [111]

3.      Gharib pada matan saja.
Hadis pada bagian ini memiliki keghariban hanya pada matannya saja secara mutlak.  Contohnya misalnya hadits at-Turmidzi yang diriwayatkan dari malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra., katanya :
فَرَضَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kepada hamba sahaya, orang merdeka, orang laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang-orang dewasa dari golongan muslim”.
Malik meriwayatkan matan tersebut berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain, yaitu dengan menambah kalimat minal muslimin. [112]

c.  Cara-cara Mengetahui Keghariban Hadis
Untuk mengetahui atau menetapkan suatu hadis gharib hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad.  Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid.  Cara-cara tersebut lebih lazim oleh para muhadis dinamakan I’tibar.  Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan sanad hadis, seseorang harus mengadakan riset hadis (takhrij Hadis).  Dengan melakukan penelitian ini seseorang akan tahu sejelas-jelasnya keadaan  hadis yang dimaksud, apakah dia mutawatir atau ahad (gharib).

d. Hukum Mengamalkan Hadits Gharib atau Fard
            Sebelum memaparkan kehujahan hadits gharib dan fard perlu ditegaskan bahwa, tampaklah kedekatan antara dua jenis hadits ini, gharib dan fard tidak bisa disatukan, sehingga para muhadditsin berbeda pendapat, apakah keduanya itu sejenis ataukah memang merupakan jenis hadits yang berbeda. Menurut Nuruddin ‘Itr yang lebih tepat adalah menjadikannya sebagai dua jenis yang berbeda, karena adanya sebagian jenis hadits fard yang tidak dapat dikategorikan sebagai hadits gharib, seperti hadits fard yang dinisbatkan kepada penduduk negara-negara tertentu atau hadits fard yang dinisbatkan kepada kabildh-kabilah tertentu.
            Selanjutnya, hukum kedua jenis hadits ini tunduk kepada syarat-syarat hadits sahih dan hadits hasan, apakah pada keduanya terpenuhi syarat-syarat tersebut ataukah tidak. Oleh karena itu, ditinjau dari segi diterima atau ditolaknya masing-masing dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
Pertama, Gharib shahih dan fard shahih, yaitu hadits gharib dan hadits fard yang sanadnya memenuhi syarat-syarat hadits shahih, seperti hadits dan hadits-hadits gharib serta hadits fard lainnya yang mencapai derajat hadits sahih. Al-Turmudzi memberikan predikat bagi hadits seperti ini dengan ungkapan: shahih gharib (Hadits ini shahih yang gharib).
Kedua, Gharib hasan dan fard hasan, yaitu hadits gharib dan hadits fard yang memenuhi kriteria hadits hasan li dzatihi. Hadits yang demikian ini banyak terdapat dalam Jami' al-Turmidzi. Untuk hadits yang demikian ia menyatakan: hasan gharib la na’rifuh illa min hadza al-wajh (Hadits ini hasan gharib dan tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini).
Ketiga, Gharih dha 'if dan fard dha 'if, yaitu hadits gharib dan hadits fard yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih den kriteria hadits hasan. Demikianlah umumnya hukum kebanyakan hadits gharib, karena menyendirinya seorang rawi dengan suatu hadits itu merupakan sumber kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecurigaan. Di samping itu, banyak sekali segi ke-dha 'if-an dan kecacatan dalam hadits gharib: dan oleh karena itu para ulama sangat berhati-hati terhadapnya dan melarang memperbanyak mfriwayatkannya, bahkan sebagian dari mereka menyebut kedua jenis hadits ini dengan nama hadits munkar.
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, "Ulama salaf sungguh memuji hadits masyhur dan mencela hadits gharib secara global."  Al- Imam Abu Yusuf berkata, "Barangsiapa mengikuti hadits gharib, maka ia berdusta." Imam Ahmad berkata, "Janganlah kamu tulis hadits-hadits gharib ini, karena semuanya adalah hadits-hadits rnunkar dan umumnya berasal dari para rawi yang dha’if."  Imam Malik berkata, "Sejelek-jeiek ilmu (hadits) adalah ilmu (hadits) gharib dan sebaik-baiknya ilmu (hadits) adalah ilmu (hadits) yang jelas, yang telah diriwayatkan oleh kebanyakan manusia." Ibrahim al-Nakha'i beikata, "Para ulama membenci hadits gharib dan ucapan yang asing.
Pernyataan seperti ini menjadi sangat jelas bila dinisbatkan kepada hadits gharib sanadan wa matnan dan hadits fa'rd muthlaq. Adapi n hadits gharib isnadan la matnan danfard nisbi harus diteliti sanad-sanad hadits yang bersangkutan, sehingga apabila beberapa sanad di antaranya adalah shahih karena telah memenuhi syarat hadits sahih, maka ia adalah sahih. Demikian pula bila memenuhi syarat hadits hasan. Bila tidak demikian, maka harus dikaji sanad-sanadnya, bila sanad-sanadnya itu bisa saling menguatkan, maka dapat diterima, dan bila tidak dapat saling menguatkan  maka ia dha if. 
Kadang-kadang hadits gharib sanad la matan itu dha'if pada sanad yang mengandung kegharibam disebabkan kesalahan atau kesalahdugaan rawinya. Maka dalam menghukumi hadits yang demikian harus berpegang kepada matan hadits menurut sanad yang lain.  Intinya hadits gharib atau fard ini bisa dipakai hujah disaat hadits tersebut memiliki syarat-syarat hadits maqbul.

e.  Kitab-kitab Hadis Gharib
      Buah karya yang di dalamnya memuat hadis-hadis gharib di antaranya :
1.      Musnad al-Bazzar karya Imam Bazari
2.      Mu’jam al-Ausad karya at-Thabrani
3.      Gharaib Malik karya ad-Daruqudni
4.      al-Afrad juga karya ad-Daruqudni
5.      Sunnatin Minha Ahlu Baldatin karya Abu Daud as-Sajistani.[113]









[1] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[2] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, 122
[3] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[4] Istilah hadis hanya dipergunakan untuk segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad saw., adapun semua berita yang bersumber selain dari Nabi Muhammas saw. tidak dinamakan hadis, akan tetapi hanya dinamakan kisah, cerita atau dongeng (isroilliyyat).  Jadi penggunaan istilah  hadis yang termuat di dalam kajian ilmu hadis  memang benar-benar dibatasi hanya yang bersentral pada Nabi Muhammad.
[5] Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah khabar.  Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[6] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[7]  Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 95
[8] Hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam berbagai tujuan dan konteks.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[9] Fi’liyyah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana tindakan menunaikan shalat lima waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatan beliau dalam melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[10] Sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakaui oleh Rasulullah saw. baik dari perkataan atau perbuatan.  Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya pengingkaran beliau, atau dengan persetujuan beliau secara langsung.  Selanjutnya lihat; Abd al-Wahhab khalaf, ‘Ilmu ushul Fiqh, (Bairut : Dar al-Ilmi : t.th.), cet., ke-12, h. 36
[11] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6,  h. 201
[12] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.120;  Lihat juga : Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.78
[13] ‘Ada al-Hadis secara lengkap akan diterangkan di dalam bab Ilmu Tahamu wa al-‘Ada (ilmu yang menerangkan tata cara penyampaian dan penerimaan hadis)
[14] Jarh wa al-Ta’dil artinya adalah ilmu yang menerangkan tentang kelayakan atau tidaknya seorang perawi hadis di dalam menyampaikan dan menerima hadis Nabi.  Lebih lengkapnya lihat bab ilmu al-Jar wa al-Ta’dil (penilaian atau kritikan buruk dan baik pada perawi hadis)
[15] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19-20
[16] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79
[17] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79
[18] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.79-80
[19] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.120
[20] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.80
[21] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[22] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[23] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[24] Ilmu Dharuri adalah suatu Ilmu yang menunjukkan pada pengetahuan yang sifatnya pasti, yaitu sesuatu yang mendatangkan keyalkinan.  Dengan kata lain pengetahuan ini memaksa manusia untuk membenarkan secara pasti, sebanding dengan seseorang yang menyaksikan sesuatu dengan mata kepala sendiri, sehingga mustahil ia meragukan perkara yang ia lihat tersebut.  Lihat; Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Selanjutnya lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[25] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Selanjutnya lihat; Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.80; 
[26] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[27] Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah  al-Hadis, (Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[28] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 96.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[29] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[30] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 131
[31] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[32] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.121
[33] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h. 135
[34] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[35] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17
[36] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang : 1980), cet., ke-6, h. 201.  Tentang pernyataan Ibnu shalah di atas bisa dibaca juga dalam catatan kaki yang di sampaikan oleh Hasbi pada hal. 201
[37] Wensinck,  A.J.,  al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi,  (Leyden : Brill,  1965),  t.Cet. Jilid 5, h. 549
[38] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98.  Lihat juga; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 20
[39] Al-Bukhari,  Abi ‘Abdillah,  Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1995),  t. Cet. Jilid-1,   h. 45
[40] Endang Soetari,  Ilmu Hadis,   (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, h.122
[41] As-Syuyuti,  al-Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abdu ar-Rahman,  Tadrib ar-Rawi fi Syrhi Taqrib an-Nawawi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,   1993),  t. Cet.  h.179
[42] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98
[43] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h.132
[44] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[45] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta :  Gaya Media Pratama, 2001), cet., ke-4, h. 133
[46] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[47] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97; Lihat juga;  M. Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 133
[48] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[49] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut : Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru ,h. 16.  Lihat juga; Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.81
[50] Kitab Mu’tabarah itu di antaranya Kitab Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari (194 H.- 252 H. = 810 M. – 870 M.), Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (204 H.- 261 H.= 820 M.- 875 M.), Kitab Sunan at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi (200 H.-279 H.= 824 M.- 892 M.), Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202 H.- 275 H.= 817 M.-889 M.), Kitab Sunan an-nasa’i karya Imam Nasa’i (215 H.- 303 H.= 839 M.- 915 M.), Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (207 H.- 273 H.= 824 M.-887 M.), Sunan at-Darimi karya Imam at-Darimi, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal 164 H.- 341 H.), Kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik (94 H.- 179 H.)
[51] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., 21
[52] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3, h. 93
[53] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 98;  Lihat juga, Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[54] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[55] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[56] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[57] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[58] Bukhari,
[59] Ibnu Majah,
[60] Bukhari di dalam Tarikh
[61] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[62] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ;  Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari istafadza pecahan (mustaq)  kata dari fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian karena keadaannya terlebar luas.  Menurut istilah sudah tersebut di atas.  Lihat, Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[63] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211;  Lihat juga,  Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 23
[64] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h. 86
[65] Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h. 124-125
[66] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[67] An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
[68] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (ttp. : Dar Zuhud al-Qudsi, tth.), t.cet., h.134-135
[69]Contoh-contoh hadits masyhur setelah ditelusuri oleh penulis banyak terdapat diberbagai kitab ilmu hadis, sayangnya semua contoh antara kitab satu dengan yang lain hampir sama, walaupun ada yang sedikit berbeda.  Lebih lanjut lihat, As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet. h. 350-354; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.23-24; Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.202-208; Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, 407, Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.67-68;  Al-Iraqi, at- Taqyid wa al-`Idah Syarah Muqaddimah Ibn Shalah, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), t.cet, h. 263-366;  Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.99-100
[70] Bukhari
[71] Bukhari
[72] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[73] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.209-210
[74] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100;  Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.21
[75] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.100
[76] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 100; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.24
[77] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[78] Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h.135-136
[79] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[80] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[81] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406
[82] Ibnu Shalah, Muqddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (t.tp. : Dar Zuhud al-Qudsi, t.th.), t.cet., h.136
[83] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[84] Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.406;  Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.212
[85] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[86] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, 18
[87] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h.355
[88] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h.18;  Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h.71
[89] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[90] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.213
[91] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 24
[92]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[93] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[94] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalahul Hadis, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, tth.), cet., ke-10, h. 98
[95] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[96]Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.101
[97] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.186
[98] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25 
[99] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[100] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.192
[101] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.192-193
[102] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.25
[103]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 140
[104]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[105] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[106] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), cet., ke-1, h. 141
[107] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.188
[108] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.186-187
[109] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.104
[110] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.188
[111] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.189
[112] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis,  (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h.105
[113] Mahmud, at-Thahan,  Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.27

No comments:

Post a Comment

Setiap Mencopy artikel mohon meninggalkan pesan yang membagun