KAJIAN TAFSIR AL-MISBAH
KARYA MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
(Studi Surat al-Alaq Ayat 1 – 5)
A. Sejarah Hidup Qurais Syihab dan Tafsir
Al-Misbah
1. Sejarah Hidup Qurais Syihab
Penulis Tafsir
al-Mishbah bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi
Selatan, pada 16 Februari 1944. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru
besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang
ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan
masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti
dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas
Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan
Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat
sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN
1972–1977.
Quraish
Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga mengenyam pendidikan.
Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di di Ujung Pandang, selanjutnya, Quraish
Shihab belajar di pendidikan menengahnya di Malang. Tidak hanya itu, dia juga
‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia
berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Pada
1967, dia meraih gelar Lc. (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan
Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas
yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir
Alquran dengan tesis berjudul al-I'jaz
al-Tasyri'iy li al-Qur’an al-Karim.
Sekembalinya
ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain
itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur),
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur
dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan
berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah
Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980,
Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya
yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm
al-Durar li al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor
dalam ilmu-ilmu Alquran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai
penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya
ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan
Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar
kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah
Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga
banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus
Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI).
Di
sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan
ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab
juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap
hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh
rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di
Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi
majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran dan tafsir di
Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan
Alquran dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih
dikenal dan lebih unggul daripada pakar Alquran dan tafsir lainnya. Dalam hal
penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i
(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang
tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya
menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Ketertarikannya
terhadap tafsir Alquran sangat beralasan. Semenjak kecil ia didik dengan
Alquran, karena Ayahnya adalah pakar Alquran dan tafsir. Quraish kecil telah
menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia
harus mengikuti pengajian Alquran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain
menyuruh membaca Alquran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah
dalam Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Alquran mulai
tumbuh.
Sebagai ulama yang produktif, Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai
berikut:
- Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
- Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
- Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
- Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
- Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
- Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
- Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
- Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999);
- Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
- Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
- Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
- Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama);
- Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994);
- Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994);
- Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
- Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996);
- Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
- Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
- Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
- Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
- Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
- Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
- Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
- Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
- Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Wawasana al-Qur'an; Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati);
- 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
- Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
- Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. (Jakarta: Lentera Hati);
- M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
- M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Al-Qur'an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati);
- Membumikan al-Qur'an Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati).
Dengan
tidak bermaksud menempatkan Quraish Shihab sebagai ulama yang suci, melihat
dari kapabelitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, tidak diragukan lagi
keahliannya dalam menafsirkan Alquran.
2. Tafsir Al-Misbah
a.
Metode Penafsiran
Menurut
pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam penafsiran
Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali,
metode muqaran, dan metode maudhu’i. Tafsir Al-Mishbah
secara khusus, agaknya dapat dikategorikan dalam metode tafsir tahlili.
Metode
tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran
dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan
mushaf Alquran, dan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi
kebahasaan, sebab turun, hadis atau komentar sahabat yang berkaitan, korerasi
ayat dan surat, dan lain sebagainya.
Quraish
Shihab, adalah pemikir kontemporer, yang masih hidup dan eksis, yang
mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam
tim penerjemah Alquran Departemen Agama, selain memiliki Alquran terjemahan
pribadi. Dia juga menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Nama tafsir
Quraish Shihab itu adalah Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an. Tafsir ini terdiri dari lima belas volume, dan menafsirkan
Alquran secara lengkap, tiga puluh juz Alquran.
Tafsir
Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan
corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga
menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah
yang berarti penerang, lampu, lentera, atau sumber cahaya, penulis tafsir,
Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini, masyarakat Indonesia akan
tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap Alquran dan
Islam.
Tafsir
Al-Mishbah telah dicetak
berulang kali, di antaranya dicetak oleh Penerbit Lentera Hati di Ciputat pada
tahun 2009, dengan edisi lux dan dengan tampilan yang membuat pembaca
tertarik untuk membacanya.
Secara
khusus, biasanya ketika Quraish Shihab menafsirkan Alquran, menjelaskan
terlebih dahulu tentang surat yang hendak ditafsirkan: dari mulai makna surat,
tempat turun surat, jumlah ayat dalam surat, sebab turun surat, keutamaan
surat, sampai kandungan surat secara umum. Kemudian Quraish Shihab menuliskan
ayat secara berurut dan tematis, artinya, menggabungkan beberapa ayat yang
dianggap berbicara suatu tema tertentu. Selanjutnya, Quraish Shihab
menerjemahkan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan menggunakan analisis
korelasi antar ayat atau surat, analisis kebahasaan, riyawat-riwayat yang
bersangkutan, dan pendapat-pendapat ulama telah terdahulu.
Dalam
hal pengutipan pendapat ulama lain, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama yang
bersangkutan. Di anara ulama yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab
adalah Muhammad Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir;
Muhammad Husain ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an; al-Biqa’i; asy-Sya`rawi; al-Alusi; al-Ghazali; dll. Walau
dalam menafsirkan Alquran, Quraish Shihab sedikit banyaknya mengutip pendapat
orang lain, namun sering kali dia mencantumkan pendapatnya, dan
dikontektualisasi pada keadaan Indonesia.
b.
Corak Penafsiran
Dalam
menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, yang diperhatikan adalah hal
yang dominan dalam tafsir tersebut. Menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawi
menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili ada beberapa corak penafsiran,
yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir ash-Shufi,
tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-`Ilmi, dan
tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Dari
pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak
tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada
pengungkapan balaghah dan kemukjizatan Alquran, menjelaskan makna dan kandungan
sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lain
sebagainya.
Dalam Tafsir
al-Misbah, hal ini sangat jelas terlihat. Sebagai contoh, ketika Quraish
Shihab menafsirkan kata هَوْنًا
dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan:
“Kata (هَوْنًا) haunan berarti lemah
lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indefinite
noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah
penuh dengan kelemahlembutan.
Sifat
hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (يَمْشُونَ
عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً) yamsyuna `ala al-ardhi
haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak
ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara
jalan, Nabi Saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh,
membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena
perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh
cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR.
Muslim).
Kini, pada
masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam
pengertian kata (هَوْنًا) haunan,
disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang
melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau
ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan
kanannya.
Penggalan
ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan
tergesa-gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit,
penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.”
Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan
sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam
tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas
sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.
c.
Contoh Tafsiran
Untuk
menjelaskan contoh tafsiran Quraish Shihab, penulis mengambil salah satu ayat,
yakni surat al-An`am ayat 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ.
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal
dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih
terus-menerus ragu-ragu.”
Dalam hal ini, penulis terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal
dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish
Shihab, pendapat yang terkuat tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal
kebangkitan karena biasanya Alquran menggunakan kata ajal bagi manusia dalam
arti kematian. Ajal yang pertama adalah kematian, yang paling tidak
dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup setelah kematian seseorang.
Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali
oleh Allah SWT.
Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish bahwa pembentukan diri
manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat
hidup dengan normal, bisa jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun;
inilah yang tertulis dalam lauh al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi
semua bagian dari alam raya memiliki hubungan dan pengaruh dalam wujud atau
kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan penghalang yang tidak
diketahui jumlahnya itu saling memengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui
sehingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa
sampai pada batas100 atau 120 tahun itu.
Quraish kembali menjelaskan, hal inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus
Sunnah dinamai dengan qadha’ muallaq dan qadha’ mubram. Ada
ketetapan Allah yang bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak
terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena doa, dan ada juga
ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah sama
sekali.
3. Komentar Ulama
Jika dilihat berbagai
situs, akan didapati banyak sekali pujian buat Tafsir al-Mishbah ini.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, satu kesepakatan,
bahwa satu-satunya buku tafsir Indonesia yang paling banyak diminati adalah Tafsir
al-Mishbah: dari mulai kalangan menengah sampai kalangan terdidik.
Dari
sini, wajar ketika pemerhati karya tafsir
Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir M.
Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan setiap Muslim di Indonesia
sekarang.
KH. Abdullah Gymnastiar – Aa Gym menjelaskan, “Setiap
kata yang lahir dari rasa cinta, pengetahuan yang luas dan dalam, serta lahir
dari sesuatu yang telah menjadi bagian dirinya niscaya akan
memiliki kekuatan daya sentuh, daya hunjam dan daya dorong bagi orang-orang
yang menyimaknya. Demikianlah yang saya rasakan ketika membaca tulisan dari
guru yang kami cintai, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.” Hj. Khofifah Indar
Parawansa, “Sistematika tafsir ini sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh
mereka yang mengambil studi Islam khususnya tetapi juga sangat penting dibaca
oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri, kyai, bahkan sampai kaum
muallaf.”
Ir. Shahnaz Haque, “Membaca buku-buku M. Quraish Shihab, kita sangat beruntung
karena pakar ini berani dan mampu membuka kerang dan menunjukkan
mutiara-mutiara yang ada di dalamnya, hal yang memang dicari oleh umat yang
sedang dahaga akan bantuan serta keindahan.” Chrismansyah Rahadi – Chrisye,
“Kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kemampuan pemikiran kita, tentunya
dengan dasar-dasar Al-Quran dan Hadits, dan berpijak pada ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan Allah SWT. Penulisannya sangat komunikatif dan dapat
dibayangkan visualisasinya.” Ala kulli hal, tafsir ini sangat bermanfaat dan
penting untuk dibaca dan dikaji.
4. Analisis Kelebihan dan
Kelemahan
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, bahwa Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang
sangat penting di Indonesia, yang tentunya memiliki banyak kelebihan. Di
antaranya:
a)
Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya
banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau
internasional.
b)
Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir
pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna,
serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
c)
Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia
sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
d)
Quraish Shihab juga menyebutkan riwayat dan orang yang meriwayatkannya. Dan
masih banyak keistimewaan yang lain.
e)
Dalam menafsirkan ayat, Quraish tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan
antar surat.
Dengan
segala kelebihan yang dimiliki oleh Tafsir al-Mishbah, tafsir ini juga
memiliki berbagai kelemahan, diantaranya;
a)
Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish
dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi
pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan
kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi
Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.
b)
Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish
dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan
dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab,
takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran
ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu
sendiri.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama
lengkap Tafsir al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin
Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang menuntut ilmu di
Universitas tertua di dunia, al-Azhar University, lahir di Sulawesi Selatan,
dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan kontribusi positif bagi umat
Islam, khususnya Indonesia.
Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlili,
sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau
pun ada kekurangannya tidak dapat menghilangkan kelebihannya yang sangat
dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang ulama kontemporer memuji tafsir tersebut,
atau bahkan menjadikannya rujukan studi Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah.
5. Konsep Dasar Pendidikan
Agama Islam Menurut Quraish Shihab
Pendidikan Agama Islam adalah upaya transformasi ilmu, nilai, keterampilan,
kultur, adab kebiasaan yang berlandaskan Al-Qur’an dari pendidik kepada
terdidik untuk membawanya ke tingkat kesempurnaan (insan kamil). Pada usaha
pentransferan itu sendirilah letaknya hakikat pendidikan.
Al-Qur’an meletakkan manusia sebagai makhluk
mulia dan memiliki keistimewaan dari makhluk lain. Kedudukan yang mulia itu
dapat dilihat pada berbagai ayat Al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah
penegasan sebagai khalifah Allah di bumi dalam surat Al-Baqarah (2) : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ
فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya :“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah secara maksimal sudah semestinya manusia memiliki potensi-potensi yang
menopang untuk terujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi
potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani adalah meliputi organ jasmaniah
manusia yang berujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah terdiri dari fitrah,
ruh, kemauan bebas dan akal.
Sedangkan As-Syaibani menyatakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang
meliputi badan, akal dan ruh. Ketiganya persis seperti segi tiga yang sama
panjang sisinya. Selain dari Al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi
rohaniah lainnya, yakni qolbu, fuad, nafs.
Pendidikan Agama Islam menurut Quraish Shihab merupakan pendidikan akal dan
jiwa dimana akal menghasilkan ilmu dan pembinaan jiwanya yang merupakan
kesucian dan etika. Pendidikan Agama Islam terutama bagi penganut agama itu
sendiri merupakan hal terpenting dalam membangun karakter dan sumber daya
manusia yang handal menuju insan Qurani.
Hal ini yang sering kita temukan dalam ceramah Quraish Shihab, di samping itu
beliau juga sering mengutarakan bahwa Pendidikan agama sangat berpengaruh
terhadap kualitas pembangunan nasional yang membawa keadilan bagi masyarakat.
Lebih lanjut Quraish Shihab berpendapat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia. Keberhasilan pembangunan nasional di segala bidang ini sangat
ditentukan oleh manusianya yaitu manusia yang bertaqwa, berkpribadian, jujur,
ikhlas, berdedikasi tinggi serta mempunyai kesadaran, bertanggung jawab
terhadap masa depan.
Konsep pendidikan menurut Quraish Shihab berdasarkan perpektif Al-Qur’an tidak
sama dengan konsep pendidikan di timur dan di barat. Konsep yang digunakan oleh
Al-Qur’an lebih komprehensif dan universal di mana ajaran-ajarannya tidak
deskriminatif, akan tetapi lebih kepada penyesuain zaman dan waktu dan tempat
dimana masyarakat berada dengan tidak mengenyampingkan esensial dari ajaran Al-Qur’an
itu sendiri.
Al-Qur’an juga menggunakan metode pembiasaan dalam menanamkan ajarannya kepada
umat manusia, di mana dengan pembiasaan tersebut yang pada akhirnya melahirkan
kebiasaan dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya,
pembiasaan tersebut menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam
hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan etika. Sedangkan hal yang bersifat
aktif atau menuntut pelaksanaan ditemui pembiasaan tersebut secara mernyeluruh.
Sejak awal kemunculan Islam telah menunjukkan betapa
ajaran Islam itu membawa kepada peradaban. Hakikatnya dapat dilihat dari
kesatuan yang utuh antara hubungan manusia dengan Khaliqnya (Allah), sesama
manusia dan alam. Keseimbangan terhadap ketiga hubungan tersebut berimplikasi
kepada terwujudnya masyarakat madani.
Inti dari masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah terletak pada
keseimbangan hubungan manusia dengan ketiga aspek tersebut. Hubungan yang
harmonis antara manusia dengan Allah melahirkan kesadaran religius yang tinggi
serta menginsapi secara mendalam tentang hakikat hidup serta tujuan akhir dari
hidup manusia yang semua akan berdampak terhadap prilakunya di permukaan bumi
ini.
Hubungan manusia dengan sesama manusia akan meletakkan manusia pada posisi yang
sebenarnya dan melahirkan sikap egalitarian, demokratis, adil dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Hubungannya dengan alam semesta menempatkannya sebagai khalifah Allah di bumi,
di mana seluruh alam raya ini diamanahkan kepada dirinya untuk diolah, diambil
manfaatnya, dipelihara, dan dilestasrikan dengan tujuan untuk kemaslahatan dan
kemakmuran umat manusia. Untuk memerankan fungsi manusia sebagai khalifah, maka
diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan itu maka peran pendidikan sangat dominan untuk meujudkan
masyarakat madani, sebab masyarakat madani tersebut sarat dengan nilai-nilai
baik dan nilai transcendental, etis maupun rasional. Semua nilai itu
ditransferkan dari pendidik kepada terdidik. Pembentukan masyarakat madani akan
terancam apabila terdapat dua hal yaitu : pertama, mandeknya pendidikan dan
kedua, materi pendidikan yang ditransferkan tidak sesuai dengan hakikat
Pendidikan Agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.
Sumber Daya manusia semakin santer
di perbincangkan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi suatu bangsa di
mana semakin dibutuhkantenaga-tenaga yang berkualitas baik pada tingkat
konsepsional maupun operasional.
Manusia sebagai subjek dan
sekaligus objek pembangunan menempati posisi sentral dalam pembangunan. Manusia
sebagai subjek pembangunan dituntut untuk memiliki kualitas prima dalam segala
hal baik kondisi fisik maupun non fisik. Untuk tercapainya manusia yang
berkualitas prima tersebut, maka perlu dirancang upaya-upaya ke arah dimaksud.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mengantisipasi persoalan sumber daya manusia adalah dengan menyiapkan
seperangkat peraturan mengenai pendidikan.
Di pandang dari sudut sosio kultural bangsa Indonesia yang religius perlu
kiranya diperbincangkan peran agama dalam pembangunan sumber daya manusia.
Hampir seluruh sektor pembangunan di tanah air kita ini tidak bisa dipisahkan
dari agama. Telah banyak upaya pembangunan yang berhasil dilakukan lewat bahasa
agama. Berkaitan dengan itu ada baiknya dilihat pula bagaimana konsep agama
dalam pembangunan sumber daya manusia.
Hakikat pembangunan sumber
daya manusia adalah bertujuan umtuk meningkatkan kualitas manusia dalam segala
hal. Dengan meningkatkan kualitas manusia maka pencepatan pembangunan akan
terwujud. Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya
manusia yang berkualitas memiliki keunggulan dalam pembangunan, walaupun mereka
memiliki kekuranga dalam sumber daya alam.
B. Konsep Pendidikan Dalam Tafsir Al-Misbah
Karya Quraish Syihab di Dalam Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ
عَلَقٍ ﴿٢﴾
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾ الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ
الْإِنسَانَ مَا لَ مْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan . Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq : 1-5)
Pada ayat pertama, kata Iqra
terambil dari kata kerja qara’a yang berari menghimpun, membaca,
menelaah, mendlami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan semuanya bermuara pada arti menghimpun. Huruf ba’ pada kata biismi berfungsi
sebagai penyertaan atau mulasabah, sehingga ayat satu tersebut memiliki
arti ”bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.
Adapun kata rabb seakar dengan kata tarbiyah (pendidikan). Kata ini memiliki arti yang mengacu pada
pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan, akan tetapi
kata Rabb secara berdiri sendiri bermakna Tuhan. Pengunaan kata rabb pada ayat pertama ini
dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya sambil
menunjuk kewajaran-Nya untuk di sembah dan ditaati. Kata khalaqa dilihat dari segi
kebahasaan memiliki banyak arti, antara lain menciptakan (dari tiada),
menciptakan (tanpa satu) contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus,
mengatur, membuat dan sebagainya.
Berbeda dengan kata ja’ala yang mengandung penekanan terhadap
manfaat yang harus dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Obyek khalaqa pada ayat ini tidak
disebutkan, sehingga obyeknya pun sebagaimana iqra’ yang bersifat umum dan
dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk. (Shihab, 2012: 454-458
Jilid 15)
Selanjutnya pada ayat
kedua kata al-insan (manusia) terambil dari kata ins yang berarti
senang dan harmonis, atau terambil dari
kata nisy yang berarti lupa. Bisa
juga terambil dari kata naus yang memiliki arti gerak atau dinamika. Makna-makna
di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat
makhluk tersebut. Yakni manusia memiliki
sifat lupa dan kemampuan bergerak melahirkan dinamika. Kata insan menggambarkan manusia
dengan berbagai keragaman sifatnya. Kata
’alaq menurut bahasa segumpal darah, bisa juga berarti cacing yang
terdapat di dalam air, bila diminum oleh binatang amaka cacing itu tersangkut
di kerongkongannya. Kata ’alaq ada juga yang memahaminya dalam
arti sesuatu yang tergantung didinding rahim.
Ini karena pakar embriologi menyatakan bahwa setelah pertemuan sperma
dan indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat,
kemudian delapan. Demikian seterusnya
sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk
ke dinding rahim. Kata ’alaq dipahami
sebagai berbicara tentang sifat manusia semabagai makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada lainnya. (Shihab, 2012:
458-459 Jilid 15)
Pada ayat ketiga kata
al-ikram biasa diterjemahkan dengan maha (paling) pemurah atau
semuli-mulia. Kata al-ikram terambil
dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih,
bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat sebangsanya. Kata al-karim (ikram) mensifati Allah dalam
al-Qur’an, kesemuannya menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, bahkan demikian
juga kata Akram. (Shihab, 2012: 461 Jilid 15)
Selanjutnya,
pada ayat keempat dan lima kata al-qalam terambil dari kata kerja qalama
yang berarti memotong ujung sesuatu,
memotong ujung kuku disebut taqlim, tombak yang dipotong ujungnya
sehingga meruncing dinamai maqalim, anak panah yang runcing ujungnya dan bisa
digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam, alat untuk menulis juga
dinamakan qalam karena pada awalnya alat tersebut dibuat dari suatu bahan yang
dipotong dan diperuncing ujungnya. Kata qalam
di sini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Ini karena bahasa sering kali menggunakan
kata yang berarti ”alat” atau ”penyebab” untuk menunjuk akibat atau hasil dari
penyebab atau penggunaan alat tersebut. (Shihab,
2012: 464-465 Jilid 15)
Menurut
tafsir al-Misbah dari ayat 1-5 dari sutar al-’Alaq memiliki makna :
Ayat
pertama, perintah membaca tidak hanya cukup membaca tetapi harus mendalami,
meneliti, menelaah dan menyampaikan kepada orang lain ((Shihab, 2012: 454 Jilid
15). Perintah membaca (belajar) tidak
cukup hanya dengan membaca tetapi harus bekerja keras dan memiliki kesan yang
baik (penuh kebaikan) (Shihab, 2012: 455 Jilid 15). Seluruh pekerjaan yang di mau atau berhenti
di lakukan harus karena Allah, bukan karena yang lain. Sebab aktifitas yang diterima Allah hanya
yang dilakukan secara ikhlas, tanpa keikhlasan semua pekerjaan akan berakhir
kegagalan dan kepunahan Hal ini semua
dilakukan sebab Allah telah menciptakan manusia dari tiada menjadi ada. (Shihab,
2012: 456 Jilid 15).
Ayat
kedua, Allah memperkenalkan sebagai Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad
saw. dan diperintahkan oleh ayat pertama untuk selalu membaca dengan nama-Nya
serta demi untuk-Nya. Dialah Tuhan yang
telah menciptakan manusia, yakni semua manusia dari alaq (segumpal darah) atau
sesuatu yang bergantung di dinding rahim, kecuali Aam dan Hawa (Shihab, 2012:
458 Jilid 15). Dalam memperkenalkan perbuatan-perbuatan-Nya,
pencipta merupakan hal pertama yang dipertegas, karena ia merupakan persyaratan
bagi terlaksananya perbuatan-perbuatab yang lain. Pengenalan pekerjaan Tuhan tersebut tidak
hanya tertuju pada akal manusia, akan tetapi juga kepada kesadaran batin dan
intuisinya bahkan seluruh totalitas manusia karena pengenalan akal semata-mata
tidak berarti banyak. Sementara
pengenalan hati diharapkan menghasilkan perbuatanperbuatan baik serta
memelihara sifat-sifat terpuji. (Shihab,
2012: 461 Jilid 15)
Manusia
yang memiliki keragaman sifat, adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam
al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan karena ia diciptakan dalam bentuk yang
sebaik-baiknya atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan
ditundukkan Allah demi kepentingan manusia, tetapi juga Kitab Suci al-Qur’an
ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara al-Qur’an untuk manusia
supaya menghayati petunjuk allah adalah memperkenalkan jati dirinya, antara
lain dengan menguraikan proses kejadiannya.
Ayat kedua surat al-Iqra’ menguraiakan secara singkat hal tersebut. Dari sisi lain manusia hidup tidak dapat
hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada yang lain. (Shihab, 2012: 461
Jilid 15)
Ayat
ketiga, setelah memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasinya yakni
dengan nama Allah, ayat ketiga ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan
janji Allah atas manfaat membaca itu.
Allah berfirman ”bacalah” berulang-ulang dan Tuhan pemelihara dan
Pendidik-mu Maha Pemurah sehingga akan melimpahkan aneka karuni. (Shihab, 2012:
460 Jilid 15)
Pengulangan kata ”bacalah” memiliki arti perintah pertama kepada
pribadi Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua kepada umatnya. Atau yang pertama bacalah pada waktu shalat
dan yang kedua di luar shalat.
Pengulangan kata ”bacalah” berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa
percaya diri pada Nabi Muhammad tentang kemampuan beliau membaca, karena
tadinya Nabi Muhammad tidak pernah membaca.
Pengulangan membaca merupakan proses pelatihan supaya lebih sempurna.
Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar beliau (Nabi) lebih banyak
membaca, menelaah, memperhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis
dan tidak tertulis dalam rangka mempersiapkan terjun ke masyarakat. (Shihab,
2012: 460 Jilid 15)
Penyifatan
Rabb dengan karim menunjukkan bahwa karama (anugerah
kemurahan-Nya dalam berbagai aspek) dikaitkan dengan Rububiyyah-Nya yakni
pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut
dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan
pemeliharaan. Kata al-ikram adalah satu-satunya ayat di dalam al-Qur’an yang
menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut.
Ini mengandung pengertian bahwa Allah dapat menganugerahkan puncak
segala yang terpuji bagi setiap hamba-Nya, terutama dalam kaitannya dengan
perintah membaca.(Shihab, 2012: 462 Jilid 15)
Kata
”bacalah” wahai Nabi Muhammad, Tuhanmu akan menganugerahkan sifat
kemurahan-Nya, pengetahuan tentang apa yang tidak engkau ketahui. Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun
obyek bacaannya sama, tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam
obyek bacaan tersebut. ”bacalah dan
ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberi manfaat kepadamu manfaat yang banyak tidak
terhingga, karena Dia (Allah) Akram, memiliki segala macam kesempurnaan.” (Shihab,
2012: 462 Jilid 15)
Di
sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan
perintah membaca pada ayat ketiga, yakni yang pertama menjelaskan syarat yang
harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala perintah), yaitu membaca
demi karena Allah, sedang perintah yang kedua menggambarkan manfaat yang
diperoleh dari bacaan kedua bahkan pengulangan bacaan tersebut. (Shihab, 2012:
462 Jilid 15)
Dalam
ayat ketiga ini, Allah menjanjkan bahwa pada saat seseorang membaca dengan
ikhlas karena Allah, Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan,
pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu
juga. Apa yang dijanjikan itu terbukti
secara jelas. Kegiatan membaca ayat
al-Qur’an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari
pendapat-pendapat yang telah ada.
Demikian juga, kegiatan membaca alam raya ini telah menimbulkan
penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek
bacannya itu-itu juga. Ayat al-Qur’an
yang dibaca oleh oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni adalah
sama (tidak berbeda), namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus
berkembang. (Shihab, 2012: 463 Jilid 15)
Ayat
keempat dan kelima, ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah, ayat ini
melanjutkan dengan memberi contoh sebagaian dari kemurahan-Nya itu dengan
menyatakan bahwa : Dia yang Maha Pemurah itu mengajar manusia dengan pena,
yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat
dan usaha mereka dari apa yang belum
diketahuinya. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
Pada
kedua ayat tersebut terdapat apa yang dinamai ihtibak yang maksudnya
adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua
susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah
disebut pada kalimah lain. Pada ayat
empat, kata manusia tidak disebut karena telah tersebut pada ayat lima,
dan pada ayat lima, kata tanpa pena tidak disebut, sebab sudah diisyaratkan
pada ayat empat dengan disebutny pena.
Dengan demikian kedua ayat tersebut berarti ”Dia (Allah) mengajarkan
dengan pena (tulisan)(hal-hal yang telah diketahui sebelumnya) dan Dia
mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
Dari
uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan dua
cara yang telah ditempuh Allah dalam mengajar manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus
dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung anpa
alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan
istilah ’Ilmu Ladunniy. (Shihab, 2012: 464 Jilid 15)
Dari
uraian di atas penulis memetik pelajaran atau hikmah surat al-‘Alaq ayat 1-5
sebagai berikut :
1.
Membaca yang merupakan perintah Allah
adalah kunci keberhasilan hidup duniawi dan ukhrawi. Selama itu dilakukan demi
karena Alah, yakni demi kebaikan dan kesejahteraan makhluk. Bacaan yang dimaksud
tidak terbatas hanya pada ayat-ayat Al Qur'an, tetapi segala sesuatu yang dapat
dibaca.
2.
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak
dapat hidup tanpa kerjasama dengan pihak lain.
3.
Pengulangan perintah membaca yang
disertai dengan penyifatan Allah dengan Maha Pemurah mengisyaratkan bahwa
kendati obyek bacaan sama, namun kemurahan-Nya mengantar pembaca menemukan
rahasia dan wawasan baru yang belum ditemukannya pada pembacaan sebelumnya.
Bacalah alam atau al-Quran dengan nama Allah, niscaya Anda akan menemukan rahasia-rahasia
baru.
4.
Sumber ilmu pengetahuan apa pun
disiplinnya adalah Allah. Dia yang mengajar manusia dan mengilhaminya.
5.
Ada dua cara memperoleh pengetahuan.
Pertama, dengan upaya manusia sendiri menggunakan potensi-potensi yang
dianugerahkan Allah, dan kedua tanpa usaha manusia, seperti yang diperoleh
melalui ilham, intuisi, dan wahyu Ilahi. Yang kedua ini semata-mata karena
anugerah Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya.